Thursday, December 17, 2009

PERINGATAN 10 TH TIMOR LESTE DI KITLV

Kolom IBRAHIM ISA

Sabtu, 05 September 2009

---------------------------------



PERINGATAN 10 TH TIMOR LESTE DI KITLV


Bersama Cisca Pattipilohy, dua senioren ini, memberanikan diri menerjang angin kencang dan hujan rintik-rintik. Tambah lagi suhu mulai menurun. Dikuduk terasa silir-silir. Tokh kami memerlukan pergi ke Leiden. Menganggap perlu hadir di seminar yang diselenggarakan KITLV bersama Universiteit Leiden dan IIAS, untuk ‘Commemorate the 10th anniversary of East Timor ’s vote on self-determination, 30 August 1999’ . Begitulah seperti diumumkan dalam undangan yang dikirimkan drs Siegers ari KITLV.


Tidak dimaksudkan di sini ceritera panjang-lebar. Sekadar mengajak pembaca mengikuti yang paling berkesan, apa yang kualami pada hari Jum'at tanggal 3 September itu.


Sungguh terasa beruntung sekali, karena dapat dua sahabat baru. Mereka itu: Dua orang pemuda Timor Leste. Tegap, berser-seri dan penuh semangat. Langsung datang dari negerinya. Mereka di Belanda, untuk melanjutkan studi – antropologi – di Universitas Tilburg. Di sini belum disebutkan nama-nama mereka masing-masing. Soalnya belum bicara bahwa akan diulis sedikit tentang seminar, dan akan a.l menyebut nama mereka.


Ternyata mereka bukan mahasiswa biasa. Di Timor Leste sudah berfungsi sebagai dosen universitas. Mungkin di sini akan menambah studi untuk memperoleh Ph.D.


* * *


Acara peringatan cukup padat. Sesudah penjelasan Gerry van Klinken yang menjadi moderator. Berikutnya bicara Irene Cristalis, seorang jurnalis Belanda yang pernah berpangkalan di Hongkong, Beijing, Bangkok, New Delhi dan Timor Timur.


Pokoknya Irene membawakan cerita yang telah dituannya di dalam bukunya 'EAST TIMOR, A Nationá Bitter Dawn' – (Reedited and updated – June 2009).

Di situ diceriterakan terciptanya secara teraumatik negara Asia yang termuda. Timor Timur, yang sedang berjunag untuk membangun kembali negeri sejak Indonesia dengan segan mundur dalam tahun 1999. Ireen mengisahkan situasi pada hari-hari terakhir pendudukan Indonesia atas Timor Timor. Semua ceriteranya itu didasarkan pada riest tahunan dan wawancara langsung dengan para pemimpin Timor Timur, para pendeta, biarawati, mahasiswa dan pejuang-pejuang gerilya. Ia juga menunjukan pada kerumitan di intern-politik Timor Timur.


MENJADIKAN MEREKA ORANG-ORANG INDONESIA. ANAK-ANAK TIMOR YANG DIKIRIM KE INDONESIA.


Bicara selanjutnya seorang sarjana Australia, Helen van Klinken. Ia menyampaikan cerita memilukan. Betapa penguasa Indonesia berusaha mengubah anak-anak Timor Timur menjadikannya orang-orang Indonesia. Anak-anak itu diperoleh dari a.l penculikan oleh tentara. Sebagai korban perang agresi dan pendudukan yang dilancarkan Indonesia, terhadap kaum gerilya Timor Timur.


Alasan perikemanusiaan yang disampaikan Indonesia mengirimkan anak-anak yatim itu untuk diadopsi oleh keluarga-keluarga Indonesia, tak sesuai dengan kenyataan. Banyak dari anak-anak itu akhirua dipaksa menjadi semaca budak. Diperas. Sebagian lagi dikirimkan ke pesantren-pesantren Islam. Padahal seperti diketahui penduduk Timor Leste, tentunya termasuk orangtua anak-anak tsb, adalah pemeluk agama Katolik.


* * *


KOLABORATOR BERGABUNG DNG PEJUANG KEMERDEKAAN


Yang paling menarik ialah dipertunjukkannya sebuah dokumenter. Gerry van Klinken menjelaskan sebelumnya bahwa dokumenteR itu adalah wawancara dengan seorang k o l a b o r a t o r Timor Timur, yang pada awal kerjasama dengan fihak Indonesia. Setelah pengalaman pahit, dipenjarakan dan disiksa karena menuampaikan surat pengaduan kepada Presiden Suharto. Pengaduan itu hakikatnya gugatan terhadap tindakan sewenang-wenang TNI dan aparat pendudukan RI terhadap rakyat Timor Timur. Juga menggugat janji-janji kosong fihak Indonesia terhadap rakyat Timor Timur.





This book tells the story of the traumatic creation of Asia's youngest country, East Timor, which has been struggling to rebuild itself ever since the mayhem of Indonesia's reluctant withdrawal in 1999. The author, one of a mere handful of journalists who refused to be evacuated in the final days of the Indonesian occupation, gives a vivid first-hand account of the lives of individual Timorese during the occupation, their struggle for freedom and their endeavors to rebuild their homeland. Based on years of research, and lengthy interviews with East Timor 's leaders, priests, nuns, students and guerrilla fighters, this moving and extremely readable book is at the same time also an exploration of the complexities of the country's internal politics.



*Kolom IBRAHIM ISA*

*-----------------*

*Rabu, 01 Desember 2005.*


*TIMOR TIMUR, HAM & politik "Hubungan baiknya" dengan INDONESIA.*


Kemarin, Rabu 30 November, koran pagi Amsterdam, "de Volkskrant",
menyiarkan sebuah berita AP dari Dili, ibu kota Timor Timur.

Asal sedikit saja ada kepedulian terhadap masalah pemberlakuan HAM di
negeri yang rakyatnya begitu gagah-berani memperjuangkan kemerdekaannya
terhadap kolonialisme Portugis, dan kemudian melawan agresi, pendudukan
dan aneksasi Orba Indonesia,--- maka berita AP dari Dili itu pasti
membikin hati dan fikiran jadi gundah, marah, kecewa dan prihatin.


Meurut berita tsb Presiden Timor Lorosae, Xanana Gusmao, telah
menyisihkan sebuah laporan komisi mengenai pelanggaran hak-hak azasi
manusia (ketika Timor Timur) berada di bawah kekuasaan Indonesia. Xanana
Gusmao menganggap bahwa 'rekonsiliasi' dengan Indonesia lebih penting
ketimbang keadilan bagi para korban yang telah jatuh selama 24 tahun
Timur Timor berada di bawah pendudukan Indonesia. Xanana Gusmao juga
tidak mau mengambil oper saran-saran komisi untuk ganti-rugi yang harus
dibayar oleh negeri-negeri, yang pada tahun-tahun itu telah menyokong
Indonesia, seperti Amerika Serikat. Padahal Komisi Untuk Penerimaan,
Kebenaran dan Rekonsiliasi, adalah badan yang dibentuk oleh administrasi
interim-PBB. Jelas, laporah tsb terdiri dari 2500 halaman berisi
kritik-kritik keras sekali terhadap Indonesia.


Di sini bisa dilihat bagaimana sebuah negeri kecil yang terjerembab
dalam posisi yang sangat tidak mudah, karena terpaksa berbaikan dengan
tetangganya; yang jauh lebih besar dan yang angkara murka, seperti rezim
Orba Indonesia. Tambahan lagi rezim angkara murka tsb didukung oleh Barat.


Meskipun negeri kecil, --- namun kasus Timor Timur, selama lebih dari 20
tahun, menjadi sorotan media dunia, dan menjadi agenda penting kegiatan
banyak NGO yang berkepedulian dengan hak bangsa-bangsa untuk menentukan
nasib sendiri dan pemberlakukan HAM di mancanegara. Timor Timur menjadi
salah satu pusat perhatian media dunia, karena negeri kecil yang
rakyatnya mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1975, dengan
pelbagai dalih telah diagresi oleh rezim Orba Indonesia dibawah Jendral
Suharto, diduduki dan kemudian dianeksasi. Agresi, pendudukan dan
aneksasi yang dilakukan Orba Indonesia telah menimbulkan ratusan ribu
korban di fihak rakyat Timor Timur (menurut taksiran inernasional jumlah
korban di fihak rakyat Timor Timur berkisar di sekitar angka 200.000),
dan juga ribuan prajurit TNI menemui ajalnya di bumi Timor Timur. Para
prajuti TNI itu dindoktrinasi bahwa mereka berkorban demi kepentingan
bangsa Indonesia. Padahal jelas itu agresi, pendudukan dan aneksasi
dengan kekerasan.


Yang mengenaskan ialah sikap sementara elite politisi Orba yang
ikut-ikutan secara absurd menganggap dan melakukan kampanye bahwa Timor
Timur adalah bagian dari Republik Indonesia. Argumentasi mereka juga
sepenuhnya atas dasar rekayasa. Mereka mimpi bahwa adalah rakyat Timor
sendiri yang berhasrat untuk bergabung dengan Indonesia. Tidak jelas
apakah sikap para elite Orba itu untuk mencari muka pada presiden
Suharto ketika itu, ataukah memang ideologi 'nasionalisme-sempit' mereka
sudah begitu merosotnya, sehingga menganggap agresi, pendudukan militer
dan aneksasi sebagai tindakan yang 'halal' demi 'kebesaran' Indonesia.
Sudah tidak ada lagi bau-baunya nasionalisme yang sehat, nasionalisme
yang patriotik dan adil. Sudah demikian merosotnya sikap dan pendirian
chauvinis sementara elite, politisi, media dan cencekiawan Orba tsb,
sehingga tidak bisa membedakan lagi tindakan begaimana yang adalah
agresi, dan mana yang merupakan penggabungan dua wilayah dua negeri,
yang benar-benar didasarkan atas kehendak rakyatnya masing-masing.


Rezim Orba, TNI telah melakukan pelanggaran HAM luar biasa di Timor
Timur. Dunia internasional mengutuknya, dan pengadilan mengenai
pelanggaran HAM di Timor Timur oleh Orba/tentara, khususnya pada periode
"referendum" juga diadakan. Entah bagaimana hasilnya dan follow-upnya
sedikit diketahui umum.


Agresi, pendudukan dan aneksasi Timor Timur oleh Indonesia, jelas
disokong oleh Barat, terutama oleh Amerika Serikat dan Australia.
Meskipun apa yang dilakukan Indonesia terhadap Timor Timur sejak 1975
itu melanggar hukum internasional, melanggar prinsip-prinsip PBB, namun,
tokh disokong sepenuhnya oleh fihak Barat, karena itu adalah demi
kepentingan 'strategi Perang Dingin' mereka. Gembar gembor mereka
mengenai keuniversilan hak bangsa-bangsa menentukan nasib sendiri yang
ada di bawah kekuasaan atau pengaruh Uni Sovyet ketika itu, adalah suatu
omong kosong besar dan munafik. Bila itu menyangkut Tibet yang ada di
bawah RRT atau negeri-negeri Baltik yang ada di bawah kekuasaaan Sovyet
ketika itu, maka mereka menabuh genderang meneriakkan keharusan
dilaksanakannya prinsip PBB 'hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib
sendiri' . Tapi begitu terlibat kasus Timor Timur dimana lebih
diutamakan kepentingan strategi 'perang dingin' mereka, maka segala
prinsip hak bangsa-bangsa menentukan nasib sendiri, dibuang di keranjang
sampah. Rezim Orba yang melakukan pelanggaran tsb malah disokong, secara
ekonomi,finansil, politik dan militer.


Berkali-kali kita menyaksikan betapa fihak Barat dan yang sefaham dengan
sikap Barat tsb, mentrapkan sikap 'double standard' bila itu menyangkut
HAM. Bisa dilihat dalam contoh sbb: Ambillah apa yang terjadi di
Kampuchea atau di Tibet. Sikap mereka amat garang menghadapi penggunaan
kekerasan militer oleh penguas di situ. Bukan main suara protes yang
datang dari jurusan Barat dan yang sefaham dengan mereka itu. Tapi, bila
itu menyangkut korban di Indonesia (1965-1966) yang meliputi lebih
sejuta orang yang tidak bersalah, atau menghadapi masalah kudeta Jendral
Pinnochet di Chili yang mengakibatkan korban besar dan terbunuhnya
presiden Allende, maka kalangan yang berkuasa di Barat dan mereka-mereka
yang sefaham dengan Barat itu, seperti bisu-tuli saja lahyaknya.
Sebabnya? Karena di Kampuchea atau di Tibet, yang menjadi pelaku
kekerasan adalah kekuasaan yang dianggap komunis. Sebaliknya di
Indonesia atau di Chili, yang menjadi korban kekerasan itu adalah
golongan komunis dan Kiri. Pelakunya adalah yang anti-Komunis. Semacam
ada suatu prinsip misterius yang mereka pegang, yaitu, MEMBUNUH GOLONGAN
KIRI, MEMBUNUH KOMUNIS tidak melanggar HAM, itu boleh-boleh saja. Makin
banyak komunis atau golongan kiri yang jatuh korban makin baik adanya.
Begitulah sikap dan logika mereka-mereka itu. Keuniversilan HAM yang
mereka gembar-gemborkan itu adalah MUNAFIK!

'Double standard' dalam bersikap terhadap pelanggaran HAM ini masih
berlaku terus sampai dewasa ini, baik secara internasional, maupun di
Indonesia.


Tampaknya fihak Barat, khususnya Amerika Serikat dan Australia,
sebagaimana halnya dulu mereka tutup telinga dan tutup mulut terhadap
agresi, pendudukan dan aneksasi Timor Timur oleh rezim Orba Jendral
Suharto, --- sekarangpun kiranya mereka akan membisu juga menghadapi
kenyataan bahwa laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk
adminstrasi-interim PBB di Timor Timur, begitu saja dimasukkan ke dalam
laci.


Memang dalam hal ini, situasinya serba sulit bagi Presiden Timor Timur
Xanana Gusmao. Sebagai negeri kecil yang menghadapi begitu banyak
masalah pasca-kemerdekaan, mengatasi pengangguran, pendidikan, kesehatan
dan perumahan rakyuat, -- yang menyangkut masalah nasional pembangunan
ekonomi dan keamanan, memang memerlukan situasi yang 'stabil' dalam
hubungannya dengan Indonesia. Suatu Indonesia, yang sudah tidak lagi
dipimpin oleh Jendral Suharto, sudah mengalami masa reformasi dan
demokratisasi tertentu, namun, masih menganggap bahwa tindakan-tindakan
kekerasan militer fihak Orba Indonesia, sebagai akibat dari agresi,
pendudukan dan aneksasi terhadap Timor Timur, -- adalah sebagai suatu
tindakan yang demi mempertahankan 'kebesaran' Indonesia. Mereka masih
menganggap bahwa referendum di Timor Timur di bawah naungan
internasional/PBB, yang hasilya adalah 'lepasnya Timor Timur dari
Republik Indonesia, sebagai suatu 'kerugian' bagi Republik Indonesia.
Mereka-mereka itu, para pendukung dan penyangga Orba masih belum mawas diri.


Kantor Berita Associatied Press juga menulis bahwa Timor Timur hampir
tidak memiliki kekayaan alam sebagai sumber tambahan, dan tercatat
sebagai negeri yang paling miskin di Asia. Itulah sebabnya maka Timor
Timur masih berat tergantung dari Indonesia, partnernya dalam
perdagangan. Itu pulalah sebabnya Presiden Gusmao tidak mau bikin marah
Indonesia dengan permintaan gantirugi bagi korban-korban dan keluarga
mereka dan peringatan ke alamat Jakarta agar orang-orang militer
Indonesia yang bersalah diberikan hukum yang setimpal.


Analisis AP tsb punya dasar. Tentu sebab musabab utama mengapa Presiden
Gusmao sampai mengambil sikap demikian itu, ialah, karena ia menyadari
betul bahwa di Indonesia militer masih punya suara menentukan, baik
mengenai masalah-masalah yang menyangkut masalah nasional, apalagi yang
bersangkutan dengan masalah keamanan.


Sikap Presiden Xanana Gusmao yang menganggap lebih penting punya
hubungan 'tetangga baik' dengan RI, ketimbang memperjuangkan keadilan
bagi para korban yang jatuh akibat Orba Indonesia, dengan sendirinya --
bisa difahami.


Meskipun situasi politik di Indonesi sudah mengalami perubahan sejak
jatuhnya Suharto, dan kini presidennya adalah hasil pilihan langsung
rakyat, namun, ---- pandangan politik luarnegerinya, khusus menghadapi
masalah Timor Timur, hakikatnya masih sama. * * *






THE LEIDEN SOUTHEAST ASIA SEMINAR

We kindly invite you to attend the following seminar:

‘Commemorate the 10th anniversary of East Timor ’s vote on self-determination, 30 August 1999’

Date: Thursday 3 September 2009
Time: 14.30 - 17.00
Venue: Room 228 (second floor), Lipsius building, University of Leiden , Cleveringaplaats 1, 2311 BD Leiden.

Please register if you wish to attend : kitlv@kitlv.nl

The Leiden Southeast Asia Seminar is a cooperation of the KITLV, IIAS, VVI and the Departments of Languages and Cultures of Indonesia and of Cultural Anthropology & Development Sociology, Leiden University


To have your address removed from the KITLV database, please contact Yayah Siegers at kitlv@kitlv.nl



drs. S.R. (Yayah) Siegers-Samaniri

Directiesecretaris / Director's Office and Supporting Staff

Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde / Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies

Reuvensplaats 2, 2311 BE Leiden

PO box 9515 , 2300 RA Leiden

The Netherlands

Phone +31 (0)71 527 2295, fax +31 (0)71 527 2638

E-mail: siegers@kitlv.nl / kitlv@kitlv.nl

www.kitlv.nl

No comments: