Thursday, December 17, 2009

Sejarah INDONESIA Di Openbare Bibliotheek

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Rabu, 05 Agustus 2009
--------------------------
----------------
Sejarah INDONESIA Di Openbare Bibliotheek Reigersbos
Salah satu 'peninggalan' gerakan massa Reformasi 1998, yang amat berharga, adalah membeludaknya tulisan dan informasi. Munculnya seakan-akan tiba-tiba. Bagaikan gelombang perkasa menghempaskan kebohongan, rekayasa dan kebodohan masa Orba. Periode itu adalah masa tumbuh seperti jamur di musim hujan, -- puluhan, ratusan, bahkan ribuan tulisan, bersangkutan dengan SEJARAH INDONESIA. Khususnya penulisan mengenai periode pasca- Presiden Sukarno. Difokuskan pada periode Orba. Sebabnya banjir informasi tsb, ialah, karena pada periode Orba, penulisan dll yang menyangkut sejarah Indonesia, sepenuhnya ditentukan oleh Orba. Mutlak dikuasai oleh aparat intel dan Kejaksaan Agung. Terutama sekitar peristiwa G30S, persekusi dan pembunuhan masal ekstra-judisial yang terjadi sesudah itu. Lebih-lebih lagi yang menyangkut apa yang dipropagandakan sebagai 'perpindahan secara damai dan konstitusionil' kekuasan negara Indonesia dari Presiden Sukarno ke Jendral Suharto.

Salah satu contoh, munculnya penerbitan yang dimaksudkan, ialah, buku yang berjudul 'TAHUN YANG TAK PERNAH BERAKHIR', Memahami Pengalaman Korban 65, Esai-esai sejarah lisan. Editor: John Roosa, Ayu Ratih & Hilmar Farid. Diterbitkan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), bersama dengan Tim Relawan untuk Kemanusiaan an Institut Sejarah Sosial Indonesia, Jakarta, 2004.

Satu buku lagi, yang merupakan suatu studi khusus dan terfokus, adalah yang diulis oleh John Roosa, berjudul: 'A PRETEXT FOR MASS MURDER, The September 30 Movement & SUHARTO'S Coup d'Etat in Indonesia'. Diterbitkan dengan bantuan the Centre for Southeast Asian Studies and the Anonymous Fund for the Humanities of the University of Winconsin-Madison. Edisi Indonesianya diterbitkan oleh Hasta Mitra, 2008.
Buku-buku tsb diatas bisa terbit di Indonesia, hanya sesudah disingkirkannya Presiden Suharto. Hanya sesudah rezim Orba formal digantikan oleh pemerintah-pemerintah Reformasi berikutnya.

* * *

BELANDA, termasuk negeri yang banyak menaruh perhatian terhadap Indonesia.
Selain itu kalangan cendekiawan, lembaga ilmu dan perguruam tinggi Amerika, sejak berdirinya Republik Indonesia, seiring dengan perkembangan hubungan kedua negeri, memberikan perhatian lebih besar kepada masalah Indonesia. Ini bisa dilihat dari buku-buku hasil studi dan analisis yang ditulis oleh a.l. George Kahin. Khusus mengenai peristiwa sekitar G30S, muncul tulisan-tulisan dan buku oleh a.l. Ben Anderson dan Ruth McVey.
Belakangan bisa dilihat di buku BARACK OBAMA, berjudul THE AUDICITY OF HOPE . . . . Penerbit Canon Books Ltd, 2007. Pada Bab 8, halaman 271 s/d hlm 279 (seluruhnya 9 halaman) terdapat penulisan analisis mengenai INDONESIA. Kiranya pertama kali seorang politikus AS (ketika itu Obama anggota Senat AS), menulis demikian panjang dan mendetail mengenai Indonesia. Suatu gugahan bagi cendekiawan, mediawan dan penggiat politik Indonesia untuk membacanya!!!
Kalangan cendekiawan Australia juga menaruh perhatian cukup besar terhadap masalah Indonesia.

Di kalangan masyarakat Belanda, khususnya misalnya Stichting Wertheim, Komite Indonesia, KITLV, ISSG, NIOD, dll , perhatian itu tampak lebih banyak terbanding yang datang dari bangsa-bangsa lainnya. Ini disebabkan oleh latar belakang sejarah yang berlangsung 3,5 abad dalam hubungan dua negeri. Suatu latar belakang dominasi kolonialisme Belanda terhadap Indonesia.

Bisa dikatakan ini juga pencerminan dari situasi 'love and hate relation' antara kedua nasion ini. Kadang-kadang ia muncul di permukaan. Misalnya, yang termanifestasi dalam satu peristiwa, ketika Ratu Beatrix dan Pengeran Claus yang waktu itu dalam perjalanan kunjungan kenegaraan ke Indonesia. Mendadak sontak, kedua tamu agung itu mampir dulu untuk 'shopping' di Singapore.

Mengapa tidak langsung ke Jakarta? Rupanya ada 'message kilat' dari Den Haag. Agar jangan ke Jakarta dulu. Soalnya karena pas hari-hari itu, Indonesia sedang memperingati dan merayakan HARI KEMERDEKAAN 17 AGUSTUS. Kedua tamu agung Kerajaan Belanda tsb berada dalam posisi yang 'kikuk' dn 'serba salah'. Sedangkan Indonesia dalam posisi 'tersinggung' dan 'mendongkol'. Pasalnya, sampai saat itu pemerintah Den Haag masih berkeras-kepala belum mau mengakui kenyataan sejarah. Bahwa Kemerdekaan Indonesia, terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945. Yaitu saat sejak PROKLAMASI KEMERDEKAAN, 17 Agustus 1945, oleh Sukarno dan Moh Hatta atas nama bangsa Indonesia. Pemerintah Belanda berpegang pada pendirian bahwa Negara Indonesia (RIS) baru lahir pada tanggal 29 Desember 1949. Setelah yang dinamakan 'penyerahan kedaulatan' berlangsung dari tangan pemerintah Kerajaan Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Sebagai pelaksanaan persetujuan Indonesia-Belanda akhir Desember 1949 (Persetujuan Konferensi Meja Bundar).

* * *

Namun, 'ketegangan' tsb jadi reda. Disebabkan oleh kunjungan resmi Menteri Luarnegeri Kerajaan Belanda Ben Bot, untuk menghadiri Peringatan Kemerdekaan Indonesia, pada taggal 17 Agustus 2005. Kata Menlu Ben Bot dalam pidatonya a.l:

Op 17 augustus zal ik dan ons land vertegenwoordigen bij de Indonesische herdenking van de op 17 augustus 1945 uitgeroepen onafhankelijkheid. Ik zal aan het Indonesische volk uitleggen dat mijn aanwezigheid mag worden gezien als een politieke en morele aanvaarding van die datum. Maar waar het nu in de eerste plaats om gaat is dat wij de Indonesiërs eindelijk klare wijn schenken. Al decennialang zijn Nederlandse vertegenwoordigers op 17 augustus aanwezig bij vieringen van de Indonesische onafhankelijkheid. Ik zal met steun van het Kabinet aan de mensen in Indonesië duidelijk maken dat in Nederland het besef bestaat dat de onafhankelijkheid van de Republiek Indonesië de facto al begon op 17 augustus 1945 en dat wij - zestig jaar na dato - dit feit in politieke en morele zin ruimhartig aanvaarden.

Diterjemahkan secara bebas, kurang-lebih beginilah bunyi pernyataan Menlu Belanda Ben Bot:

'Pada tanggal 17 Agustus saya akan mewakili negeri kita pada peringatan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Saya akan menjelaskan kepada rakyat Indonesia bahwa keberadaan saya boleh dianggap sebagai suatu penerimaan politik dan moril bersangkutan dengan tanggal tsb. Tetapi yang pertama-tama di sini ialah bahwa kita akhirnya menghidangkan anggur yang jernih kepada orang-orang Indonesia. Sudah berlangsung puluhan tahun para wakil Nederland hadir pada perayaan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus. Dengan dukungan pemerintah, saya akan menjelaskan kepada orang-orang di Indonesia bahwa di Nederland terdapat pengertian bahwa kemerdekaan Republik Indonesia, de facto telah dimulai pada tanggal 17 Agustus 1945 dan bahwa kita – enampuluh tahun sesuah tanggal itu – menerima kenyataan ini politik dan moril dengan hati yang luas'.

* * *

Meskipun melalui lika-liku dan mengambil waktu tidak kurang dari 60 th, akhirnya Den Haag mengakui juga fakta sejarah bahwa INDONESIA MERDEKA pada tanggal 17 AGUSTUS 1945.

Dalam arti tertentu pengakuan pemerintah Belanda bisa dikatakan tergolong PELURUSAN SEJARAH. Sekalipun datangnya terlalu terlambat, mendapat sambutan juga di kalangan masyarakat Indonesia. Di lain fihak ada reaksi bahwa pengakuan Belanda tsb bukan timbul dari kesadaran murni. Tetapi disebabkan oleh pelbagai kritik dan tekanan terhadap pemerintah Belanda, yang begitu lama mempertahankan pandangan kolonialnya. Pengakuan tsb juga ada yang menganggapnya sebagai 'plintat-plintut' dan 'malu-malu kucing'. Disebabkan a.l oleh sikapnya yang terlalu menenggang dan 'takut' oposisi yang datang dari jurusan para mantan-KL dan KNIL. Mereka-meraka itu ikut ambil bagian langsung dalam perang kolonial melawan Republik Indonesia. Juga ada kekhawatiran bahwa oposisi akan menuntut ganti rugi kepada pemerintah, karena mereka merasa tertipu dan dibodohkan oleh pemerintah ketika diperintahkan terjun dalam perang di Indonesia melawan Republik Indonesia.

* * *

Tulisan ini maksudnya menunjukkan bahwa sebuah buku yang terpampang di rek buku Openbare Bibliotheek Reigersbos, Nederland, adalah mengenai SEJARAH INDONESIA. Seperti ditulis oleh penerbitnya, buku sejarah Indonesia ini, menjelaskan sejarah Indonesia kuno maupun yang terbaru. Dijelaskan tentang kerajaan-kerajaan besar dan jaya sebelum datangnya orang-orang Eropah, masuk dan ekspansi Islam dan hubungan yang tak serasi antara pelbagai kerajaan di Jawa. Dan akhirnya mengenai VOC pada abad ke-17 dan abad ke-18. Juga ditulis agak mendetail mengenai masa kolonial, pendudukan Jepang, perjuangan kemerdekaan dan penyerahan Irian Barat.

Yang bikin buku sejarah Indonesia ini agak unik, ialah perhatian yang diberikan terhadap orang-orang Belanda-Indo. Mereka itu menempati kedudukan yang agak 'terjepit' diantara lapisan atas yang kolonial – yaitu orang-orang Belanda totok – dan, mayoritas mutlak rakyat Indonesia. Perang Dunia II dan selanjutnya mereka menghadapi kesulitan untuk memilih antara dua tanah air, membikin sejrah dari orang-orang Belanda Indo amat mengharukan (bewogen).

Dikatakan selanjutnya bahwa buku SEJARAH INDONESIA ini, ditulis dengan jernih dan merupakan karya standar. Dihiasi banyak gambar dan foto berwarna, menjadikannya sebuah sejarah yang komplit, yang punya hubungan erat ratusan tahun dengan Nederland. Demikian tulis penerbitnya antara lain. Aku kira apa yang digambarkan oleh penerbit mengenai buku SEJARAH INDONESIA, bolehlah.

* * *

Salah satu ukuran penting --- obyetif-tidaknya penulisan peristiwa sejarah Indonesia sejak lahir dan tumbuhnya gerakan kemerdekaan nasional, ialah --- bagaimana ditulis mengenai PKI. Tentang lahir- tumbuh, kegiatan dan andilnya dalam perjuangan kemerdekaan nasional. Bagaimana duduknya saling hubungan antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Sarekat Islam (SI). Bagaimana peranan para pemimpin perjuangan anti-kolonial. Seperti Sukarno, Moh. Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Alimin, Amir Syarifuddin, Husni Thamrin, dll. Bila itu ditulis sesuai fakta-fakta seperti terdapat dalam arsip/fakta/foto, di banyak perpustakaan, arsip, dokumentasi dan lembaga studi yang tersebar di dunia ini, khususnya di negeri Belanda, --- maka boleh dikatakan penulisnya berusaha obyektif. Dengan catatan bahwa harus selalu diingat, adalah wajar, bahwa penulisan sejarah, tidak bisa mutlak bebas dari pandangan subyektif penulisnya mengenai peristiwa sejarah tsb.

Bila itu ditulis dengan pelbagai rekayasa dan pemalsuan, dipotong di sini, ditambah di sana, atau samasekali 'dihilangkan', maka penulisan sejarah seperti itu adalah subyektif. Bahwa penulisan seperti itu adalah pembengkokan atau pemalsuan terhadap fakta sejarah. Apalagi bila fakta atau peristiwa itu s a m a
s e k a l i tak ditulis. Seperti umpamanya, 'kekosongan' catatan dan pemberitaan mengenai pembunuhan masal ekstra-judisial terhadap ribuan, bahkan lebih sejuta warga yang tak bersalah, s e s u d a h terjadinya G30S. Dimana jelas tanggungjawabnya ada pada aparat keamanan. Kejadian pelanggaran kemanusiaan itu boleh dibilang samasekali tak ada dalam dokumentasi, pemberitaan resmi atau catatan umum sejarah semasa rezim Orba. Atau penulisan yang direkayasa, seperti penulisan Orba terhadap penamaan Gerakan 30 September (G30S). Penulisan oleh Orba, tidak seperti apa yang dinyatakan sendiri oleh pelakunya, yaitu: Gerakan 30 September disingkat G30S. Pencatatan dan penyiaran Orba menambahkan kata – 'PKI'- dibelakang kata 'G30S'. Sehingga kata G30S menjadi: G30S/PKI. Suatu penemuan atau rekayasa penulisnya sendiri. Apa yang dilakukan Orba bukan penulisan atau pencatatan sejarah! Tetapi PEMALSUAN atau PEMBENGKOKAN SEJARAH!

Lihat contoh bagaimana buku sejarah Indonesia yang ditulis oleh orang-orang Belanda dan ditempatkan di Openbare Bibbliotheek Reigersbos. Pada buku 'Geschiedenis van Indonesië' itu, di halaman 98, dimuat sebuah foto dari sepuluh orang pemuda Indonesia berjas putih. Ada yang memakai kopiah hitam ada yang tidak. Dua orang diantaranya mengenakan sarong. Di belakang mereka ada papan-tulis hitam dengan tulisan PKI (gambar palu-arit) SI. Di bawah foto terdapat teks berbunyi sbb: Foto van een bijeenkomst van leden van de PKI en van de Sarekat Islam te Makassar (Zuid-Celebes) op 8 April 1923. Communisten en Moslims vonden elkaar in de strijd tegen het zondige Europese kapitalisme. De samenwerking hield echter niet lang stand. Bahasa Indonesianya kira-kira sbb: Foto suatu rapat anggota-anggota PKI dan Sarekat Islam di Makasar (Celebes-Selatan) pada tanggal 8 April 1923. Orang-orang Komunis dan orang-orang Muslim saling bertemu dalam perjuangan melawan kapitalisme Eropah yang durhaka. Namun, kerjasama itu tak tahan lama. Dst. Itu sekadar contoh, bagaimana hubungan PKI dan SI ditulis dalam buku tsb.

Contoh lain yang menarik: -- Pada Bab 5, buku yang sedang kita bicarakan ini, ditulis judul KEBANGKITAN NASIONALISME. Foto yang dimuat adalah foto-foto Abdoel Rivai (pendiri majalah BINTANG HINDIA, kemudian jadi anggota Volksraad, sebagai wakil Sarekat Islam); Abdoel Moeis (salah seorang pendiri majalah KAOEM MOEDA di Bandung); dan Tirtoadisoerjo (salah seorang pemdiri a.l SAREKAT DAGANG ISLAM).
Lebih menarik lagi adalah foto profil Tirtoadisoerjo yang dimuat di situ. Foto itu adalah foto yang sepenuhnya foto-kopi buku Pramoedya Ananta Toer, berjudul SANG PEMULA, terbitan Lentera Noesantara.

Selanjutnya ada tulisan pada fasal 3 bab tsb, berjudul Organisasi Nasionalis Pertama dan Asal-usulnya. Dinyatakan bahwa OSVIA, STOVIA dan ELS adalah kolam budidaya NASIONALISME. Ditulis bahwa Rivai, Moeis dan banyak kaum nasionalis lainnya adalah siswa-siswa pertama OSVIA (sekolah pendidikan bagi pamongpraja bumiputera) dan STOVIA (Sekolah pendidikan dokter bumiputera). Dua sekolah tsb adalah dua badan perguruan tinggi yang dianggap sebagai kolam-budidaya (buaian) nasionalisme (Indonesia).
(Bersambung) * * *

No comments: