Thursday, December 17, 2009

SAHABAT KARIBKU TERCINTA JOESOEF ISAK

Kolom IBRAHIM ISA *)

18 Agustus 2009

-----------------------------


MENGENANG SAHABAT KARIBKU TERCINTA JOESOEF ISAK



(1)

Mengenangkan seorang sahabat karib tercinta yang begitu commited dengan cita-cita hidup mulya manusia: Perjuangan untuk KEBEBASAN dan KEADILAN, -- bisa terjadi melalui berbagai cara. Salah satu cara, ialah berusaha mengenalnya lebih baik, dan lebih baik lagi. Tidak jarang justru sesudah seseorang meninggal dunia, saat-saat itu bertambah pengenalan mengenai dirinya. Meninggalnya Joesoef Isak membawa ingatan kita pada masa lampau. Ketika masih leluasa bisa bergaul dan berkomunikasi dengannya.


Ini berlaku untuk semua kawan yang mengenal dan dikenalnya. Maka, sesudah beliau meninggal bermunculanlah cerita dan anekdot, tulisan dan kesan serta tanggapan banyak orang yang kenal baik dengan beliau. Manusia Indonesia yang langka ini: Joesoef Isak.


Keterlibatanku dengan 'The Wertheim Foundation', yang kepedulian utamanya adalah usaha emansipasi bangsa Indonesia, telah membawaku ke hubungan dan pengenalan yang lebih dekat lagi dengan Joesoef Isak.


Ketika mengenangkan kembali Joesoef Isak, cara yang kupilih, ialah dengan memulai tulisan terkait dengan salah satu peristiwa penting dalam hubungan dua negeri dan bangsa, Indonesia dan Belanda. Yaitu dengan diberikannya 'WERTHEIM AWARD 2005' kepada JOESOEF ISAK.


* * *


Dalam sidang Pengurusnya, pada tanggal 26 April 2005, The Wertheim Foundtion telah mengambil keputusan memberikan 'Wertheim Award 2005', kepada Joesoef Isak. 'Wertheim Award' itu diterimanya bersama budayawan Goenawan Mohammad, di Den Haag, di Ruangan Nusantara, Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Nederland. Suatu peristiwa yang luar biasa. Karena dua tokoh Indonesia tsb (dalam bahasa asingnya) adalah DESIDEN. Adalah penentang rezim Orba. Tokh, pemenang-pemenang Wertheim Award ini menerima Award tsb di ruang pertemuan KBRI Den Haag, yaitu ruang NUSANTARA.


Semua yang menerima undangan The Wertheim Foundation, ke KBRI Den Haag untuk menghadiri upacara penyampaian 'Wertheim Award 2005' kepada Goenawan Mohammad dan Joesoef Isak, ---- tak habis heran. Kok peristiwa demikian itu bisa terjadi. Bisa diduga hal itu bisa terjadi. Karena suasana gerakan REFORMASI masih menggema di KBRI Den Haag. Ini penting: Juga karena sikap pribadi Mohammad Joesoef, Dutabesar RI untuk Belanda ketika itu. Beliau kontan menyetujui usul Pengurus The Wertheim Foundation, agar penyerahan Wertheim Award kepada Goenawan Mohammad dan Joesoef Isak dilakukan di KBRI Den Haag. Di suatu wilayah Republik Indonesia!


* * *


Beberapa waktu sebelumnya atas nama Pengurus The Wertheim Foundation, aku menilpun Josoef Isak di rumahnya. Menanyakan kepadanya apakah ia bersedia menerima Wertheim Award 2005 bersama Goenawan Mohammad. Joesoef tertegun sebentar. Ia samasekali tak menduga akan mendapat penghargaan dan penghormatan demikain besarnya dari The Wertheim Foundation. Sebuah lembaga di Nederland, yang kepedulian utamanya adalan emansipasi bangsa Indonesia.


Wah, katanya. Itu suatu kehormatan besar menerima Wertheim Award. Joesoef tambah gembira mengetahui bahwa ia akan menerima Award tsb bersama Goenawan Mohammad.


Dalam keputusannya memberikan WERTHEIM AWARD 2005 kepada Joesoef Isak, dinyatakan, sebagaimana tertera pada teks yang tertera di Piagam Award Wertheim 2005 tsb sbb:


“In its meeting of April 26, 2005, the Board of the Wertheim Foundation has decided, following the advice of the external selection committee, to assign the Wertheim Award 2005 to JOESOEF ISAK, to honour him for his courage and talent and in particular for his unremitting efforts to publish politically banned but important and widely read books during the years of political oppression in Indonesia. In doing so he significantly contributed to the fight for the freedom of opinion and press in Indonesia and greatly furthered the struggle for emancipation of the Indonesia people.”


Diterjemahkan bebas, sbb:


Dalam sidangnya pada tanggal 26 April, 2005, Pengurus Wertheim Foundation telah memutuskan, sesuai saran suatu komisi seleksi internasional, untuk menyampaikan WERTHEIM AWARD 2005, kepada JOESOEF ISAK, sebagai penghormatan terhadapnya atas keberanian dan bakat kemampuannya dan teristimewa untuk usaha yang tak henti-henti untuk menerbitkan buku-buku yang dilarang secara politik dan banyak dibaca selama bertahun-tahun lamanya Indonesia mengalami penindasan politik. Dengan berbuat demikian ia telah memberikan sumbangan amat penting terhadap perjuangan untuk kebebasan menyatakan pendapat dan pers di Indonesia dan secara besar-bearan memajukan perjuangan untuk emansipasi rakyat Indonesia.


* * *


Keputusan The Wertheim Foundation yang memberikan penghargaan dan penghormatan demikian besarnya kepada Joesoef Isak, sepenyhnya tepat dan benar! Karena Joesoef Isak telah mengabdikan seluruh hidup dan karyanya demi kebebasan menyatakan pendapat, demi demokrasi dan hak-hak azasi manusia.

Demi emansipasi bangsa Indonesia.


Oleh karena itu meningalnya Joesoef Isak merupakan kehilangan besar bagi bangsa Indonesia. Sekaligus juga merupakan kehilangan besar untuk The Wertheim Foundation.


* * *


Mari kita simak dan kenangkan kembali 'ACCEPTANCE SPEECH' Joesoef Isak, ketika menerima 'Wertheim Award 005'. (Teks aslinya dalam bahasa Inggris. Berikut ini adalah terjemahan bebas>



PIDATO JOESOEF ISAK di KBRI DEN HAAG, ketika menerima Wertheim Award 2005:

Yang terhormat para anggota Pengurus Wertheim Foundatrion.

Yth pejabat pimpinan dan staf Kedutaan Indonesia

Goenawan Mohammad dan sahabat-sahabatku tercinta.



Para tamu yang terhormat,

Setelah menjalani bedah jantung tiga minggu yang lalu, fisik saya belum sepenuhnya pulih. Tetapi sekarang ini, jiwa dan fikiran saya dalam kesehatan baik. Dan saya sangat gembira hadir di sini berhadapan dengan hadirin semua dalam peristiwa ini. Suatu kejadian yang begitu signifikan khususnya bagi saya.

Wertheim Award yang akan saya terima hari ini, bersama dengan sahabat karib saya kawan bung Goenawan Mohammad, menjadikan saya bangga dan merupakan kehormatan besar bagi saya. Oleh karena itu perlu saya tekankan segera bahwa kehormatan ini jelas bukan sesuatu yang semata-mata bagi saya pribadi. Saya sepenuhnya sadar bahwa perjuangan untuk kebebasan menyatakan pendapat, bagi individu maupun bagi masyarakat, merupakan suatu usaha kolektif orang-per-orang yang mempunya prinsip dan pendirian yang sama. Teristimewa mengenai kegiatan Hasta Mitra yang bekerja di bidang publikasi. Di sini ingin saya sebut pertama-tama, sumbangsih Hasyim Rahman dan Pramudya Ananta Tur. Kemudian sumbangsih para karyawan, yang kerja dengan rajin dan setia pada cita-cita Hasta Mitra, diantaranya mendiang Kasto dan sahabat kita Sugeng. Semua empat orang tsb, yang saya sebut namanya tadi, semua mantan tapol Pulau Buru.



Saya jug tidak lupa para pemuda dan mahasiswa, juga toko-toko buku kecil-kecilan yang berani dan mengambil risiko ketika mendistribusikan buku yang kami terbitkan, teapi yang selalu dilarang oleh pemerintah Suharto.



Satu point ingin saya garisbawahi di sini. Penyampaian Award ini adalah inheren dengan pengakuan bahwa di dalam periode sejak didirikannya Republik Indonesia yang baru diproklamasikan dalam tahun 1945, telah terdapat suatu titik-hitam (black spot) yang sangat menghina martabat manusia. Selama lebih separuh dari 60 tahun berdirinya, Repulik Indonesia berada di bawah kekuasaan otoriter militer di bawah pimpinan jendral Suharto. Tetapi kita semua tau bahwa negeri-negeri yang menamakan dirinya 'dunia bebas' ('the free world') justru menganggap periode Suharto adalah periode demokrasi di Indonesia. Karena para jendral itu berhasil menggulingkan pemerintahan Sukarno yang dituduh pro-komunis. Saya menganggap Award yang akan saya terima ini sebagai suatu koreksi terhadap manipulasi politik dan penilaian rincu terhadap sejarah.



Selanjutnya, pemberian Award berarti pengakuan bahwa di tengah-tengah kekuasaan militer, telah lahir dan tumbuh kekuatan progresif yang dengan terang-terangan melakukan perjuangan melawan kesewwnang-wenangan rezim. Kekuatan progresif ini belum tampil sebagai pemenanng, Karena dengan turunnya jendral Suharto, bukan dengan sendirinya berarti kehancuran substansial kekuasaan otoriter yang menamakan dirinya rezim Orde Baru. Ini dibuktikan oleh award yang diberikan oleh partai Golkar kepada orang yang yang hakikatnya mengepalai rezim otoriter itu. Orang yang menjadikan korupsi sebagai kultur yang menguasai segenap lapisan kehidupan politik dan ekonomi di Indonesia. Arti penting dari kekuatan juang ini ialah bahwa kekuatan ini punya keberanian untuk terang-terangan tampil dan bahwa adalah penting sekali bahwa kekuatan juang ini tidak berhenti di tengah jalan. Karena, tugas untuk mencapai keadilan, hak kebebasan pribadi dan mempertahankan martabat manusia merupakan usaha seumur . Itu berlaku dimana saja dan dalam situasi yang bagaimanapun.

Saya merasa bangga menerima Wertheim Award ini, pertama-tama karena saya punya hubungan pribadi dengan Profesor Wertheim yang saya amat hormati dan kagumi otoritasnya dan kepribadian yang bermartabat sebagai manusia, sarjana dan sahabat.



Sejak saya keluar dari penjara dan berjumpa dengan beliau dalam tahun 1977 di Wageningen, saya memelihara komunikasi terus menerus dengan beliau sampai waktu beliau meninggal dunia.Yang saya maksud dengan hubungan pribadi ialah, bahwa adalah Profesof Wertheim yang mendampingi saya dan memberikan bimbingan, saran dan nasihat pada saat saya mengedit karya-karya Tetralogi Pramudya Ananta Toer. Dari hubungan yang intensif ini, menjadi jelas bagi saya bahwa simpati Profesor Wertheim tidak terbatas pada Hasta Mitra. Lebih dari itu. Bahwa beliau adalah sahabat sejati Indonesia, tanpa motif lain apapun. Profesor Wertheim adalah seorang warganegara Belanda yang tanpa syarat menyokong perjuangan kemerdekaan Indonesia. Teristimewa emansipasi rakyat kecil yang tertindas. Menyadari sikapnya yang sungguh-sungguh dan konsisten dalam membela rakyat kecil yang tertindas, saya bertanya-tanya apakah pemberian Award hari ini bukan merupakan suatu peristiwa yang terbalik. Bukankah akan lebih tepat bahwa rakyat Indonesia, yang memberikan penghargaan setinggi-tingginya dan rasa terima kasihnya kepada Profesor WimWertheim yang secara kongkrit memberikan sumbangsihnya kepada perjuangan kemerdekaan dan emansipasi rakyat Indonesia? Dengan mengutip konsep politik BungKarno, Profesor Wertheim mreupakan elemen dari the new emerging forces in the midst of the old established fotrces yang ada di dalam masyarakat Belanda seperti halnya di dalam masyarakat Indonesia.

Bagi saya, Wim Wertheim adalah Mutatulinya abad ke-20, yang patut memperoleh penghargaan kita. Patut kita menundukkan kepala memberikan penghormatan kepada beliau, serta menyatakan terima kasih mendalam untuk sumbangsihnya yang tak terkira kepada rakyat Indonesia.

Para tamu.

Menutup 'acceptance speech' saya yang pendek ini, saya ingin bertukar pengalaman dengan sahabat-sahabat saya di negeri Belanda dalam masalah pekerjaan politik sehubungan dengan hak bagi individu untuk kebebasan menulis dan kebebasan untuk menyatakan pendapatnya sendiri. Yang ingin saya kemukakan di sini ialah pengalaman di Indonesia, meskipun secara pokok perjuangan untuk demokrasi dan hak-manusia dimana-mana wataknya universil. Karena kekuatan reaksioner, kekuatan otoriterisme sipil dan militer menganggap sepi martabat manusia, merusak emansipasi dan kemerdekaan individu. Ini sama saja dimana-mana di dunia ini.

Point pertama yang ingin saya kemukakan disini ialah, bahwa dalam berkonfrontasi dengan kekuasaan otoriter dan represif – yang diwakili oleh pemerintah atau oleh elemen-elemen fanatik dalam masyarakat – kia samasekali tidak boleh berilusi, seakan-akan kekuatan reaksioner itu akan menunjukkan pengertian, apalagi, toleran terhadap prinsip-prinsip demokratis yang kita perjuangkan.

Dengan ini saya ingin jelaskan bahwa sikap kompromis dalam bentuk seperti menyesuaikan diri , atau dengan lain kata, melakukan sensor-sendiri, tidak akan memperlemah kekuasaan represif atau otoriter. Sebaliknya, hal itu akan menimbulkan sikap yang lebih keras. Karena kekuatan represif tidak akan punya sikap baik untuk memahami prinsip-prinsip demokrasi. Self-censorship yang dilakukan oleh mereka-mereka yang merasa terancam, berarti kemenangan bagi kekuatan reaksioner yang represif. Self-censorship sama bahayanya dengan sensor aktif yang dilakukan oleh penguasa. Itu akan merupakan hasil besar bagi penguasa tanpa perlu mengotorkan tangan mereka sendiri.

Pengalaman lainnya yang ingin saya sampaikan ialah, jangan jemu-jemu, apalagi samasekali berhenti ditengah jalan dalam perjuangan untuk prinsip-prinsip demokrasi yang merupakan milik sah kita.

Menjadi lelah, lalu bosan, hilang harapan, takut, inilah hal-hal yang diharapkan oleh penguasa otoriter dari orang atau kelompok yang mereka ingin tindas. Melakukan perlawanan berhadap-hadapan terhadap kekuatan otoriter yang bisa melakukan kekejaman memang bukanlah permainan untuk jadi pahlawan. Adalah wajar bahwa bila kita dicengkam oleh rasa takut, tetapi merasa takut, menjadi lelah, menjadi bosan dan hilang harapan, justru itulah yang jangan kita berikan kepada orang-orang penguasa itu.

Kita tau dan kita dapat berkeyakinan bahwa kita tidak sendirian dalam perjuangan mempertahankan hak-hak manusia. Jutaan rakyat berbaris bersama kita di seluruh dunia. Tetapi dalam praktek melaksanakan perjuangan untuk mencapai tujuan itu, kita masing-masing harus memikul tanggungjawab sendiri. Kebersamaan dengan rakyat lain yang sejalan dengan kita dan sama pendiriannya dengan kita, akan berakhir dengan kemenangan berasma. Tetapi, untuk memenangkan kemerdekaan dan martabat manusia selalu pertama-tama merupakan perjuangan bagi setiap individu kita masing-masing.

Kami di Indonesia masih harus melalui jalan panjang untuk mencapai hak-hak manusia, jangan lagi dikatakan mencapai keadilan dan bahkan kemakmuran untuk seluruh rakyat. Saya samasekali tidak berilusi, bahwa perubahan politik siginifikan akan tercapai selama kekuatan sosial-politik yang bertanggujawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan selama lebih dari tigapuluhtahun masih berkuasa dan termasuk ikut menentukan jalannya politik Indonesia dewasa ini. Tak ada jalan pintas. Dan tak ada jalan lain untuk menghentikan kewenang-wenangan selain seperti apa yang dinyatakan dengan indah oleh Wiji Thukul, seorang seniman rakyat, pemenang Wertheim Award 1999:

HANYA ADA SATU JALAN: LAWAN!

Jangan berhenti, bahkan sejenakpun, dalam perjuangan melawan ketidakadilan.

Saya ingin sekali lagi menyatakan rasa terima kasih yang mendalam kepada semua anggota Pengurus Wertheim Foundation memberikan kepada saya Wertheim Award.

Saya menerimanya atas nama teman-teman sepekerjaan di Hasta Mitra, dan pemuda-pemuda dan mahasiswa, yang dengan sadar dan berani mempertahankan dan berjuang untuk hak-hak manusia, untuk hak-hak setiap individu untuk kebebasan menulis dan menyatakan pendapat. * * *



*)

Ibrahim Isa adalah publisis

Sekretaris The Wertheim Foundation

Amsterdam.

* * *

No comments: