Thursday, April 4, 2013

Kolom IBRAHIM ISA
Minggu, 17 Maret 2013
---------------------

< 1 >

NOVEL LAKSMI PAMUNTJAK  *AMBA*  

Meningkatnya Kesedaran Berbangsa

*    *    *

Meningkatnya "kesedaran sejarah", "sense of history", oleh berbagai
analisis di kemukakan a.l tercermin dalam kasus-kasus pencerahan berikut
ini: Terbitnya novel terbaru sastrawan muda *Laksmi Pamuntjak*, berjudul "Amba". Kita berhadapan dengan Sastrawan Generasi Muda LAKSMI
PAMUNTJAK yang bukan saja memiliki KESADARAN SEJARAH, SENSE OF HISTORY
DAN AWARENESS MENGENAI SEJARAH .... tapi juga gairah dan militan.*


* * *
 
*AMBA"- Novel Baru Laksmi PAMUNTJAK -- < Paperback, 496
pages *Published October 2012 *Memasuki Cetakan Ketiga>mengisahkan
Amba dan Bhisma dengan latar belakang sejarah kekerasan tahun 1965: Amba
anak sulung seorang guru di Kadipura, Jawa Tengah meninggalkan kotanya,
belajar sastra Inggris di UGM dan bertunangan dengan Salwa Munir,
seorang dosen ilmu pendidikan yang mencintainya.


Pada suatu hari di Kediri, ia bertemu dengan Bhisma Rashad, seorang
dokter muda lulusan Universitas Leipzig yang bekerja di sebuah rumah
sakit. Percintaan mereka yang intens terputus mendadak di tahun 1965, di
tengah ketegangan dan kekerasan politik setelah Peristiwa G30S di Kediri
dan Yogya.Bhisma tiba-tiba hilang---ketika Amba hamil.


Beberapa tahun kemudian, setelah Amba menikah dengan seorang peneliti
keturunan Jerman, datang kabar bahwa Bhisma meninggal. Ia meninggal di
Pulau Buru. Rupanya selama itu, sejak sebuah bentrokan di Yogya, Bhisma,
dijebloskan dalam tahanan di Jawa, dan sejak akhir 1971 dibuang ke pulau
itu, bersama 7000 orang yang dituduh 'komunis' oleh pemerintahan Suharto.

Amba, yang tak pernah berhenti mencintainya, datang ke pulau itu dengan ditemani seorang bekas tapol, seorang lelaki Ambon. Ia berhasil
menemukan surat-surat Bhisma yang selama bertahun-tahun ditulisnya untuk
dia---tetapi tak pernah dikirimkan, hanya disimpan di bawah sebatang pohon.

Dari surat-surat yang selama bertahun-tahun disembunyikan ini terungkap
bukan saja kenangan kuat Bhisma tentang Amba, tetapi juga tentang
pelbagai peristiwa---yang kejam dan yang mengharukan---dalam kehidupan
para tahanan di kamp Pulau Buru.

* * *

Untuk menulis karyanya Laksmi Pamuntjak mengadakan penelitian
bertahun-tahun dan puluhan interview dan kunjungan ke Pulau Buru, Laksmi
menampilkan sejarah Indonesia yang bengis, tetapi justru dengan
manusia-manusia yang mencintai. Dalam sepucuk suratnya kepada ayahnya
Amba menulis:

Adalah Bapak yang menunjukkan bagaimana Centhini sirna pada malam
pengantin... Adalah Bapak yang mengajariku untuk tidak mewarnai duniaku
hanya Hitam dan Putih, juga untuk tidak serta-merta menilai dan
menghakimi. Hitam adalah warna cahaya. Sirna adalah pertanda kelahiran kembali.(less) <-www -published="" .goodreads.com="" 2012.="" 496="" book="" br="" october="" page="" paperback="">

Menurut penulisnya, "AMBA" Ingin Mempilkan Sejarah Tentang Orang-Orang
Biasa Yang Dilindas Arus Kekerasan di Indonesia.
AMBA adalah sebuah kisah tentang sejarah kekerasan di Indonesia. Yang terjadi
setelah Orba mengirim ribuan tahanan politik ke Buru. Pulau itu berubah:
bukan komunisme tapi hamparan sawah. Dataran Waeapo yang dulu adalah
tempat "permukiman" para tapol, kini menjadi lumbung padi Maluku.

Lebih dari tiga dekade, orde baru mencekoki para pelajar tentang bahaya
laten Komunisme. Hasilnya? Tidak melulu prasangka, meski tentu saja
masih banyak orang Indonesia yang membaca 65 dengan kacamata Orba.

Laksmi Pamuntjak, lahir pada tahun 1971, ketika tahanan politik atau
tapol golongan ketiga tiba di pulau Buru. Dia lahir pada masa ketika
anak-anak diajari mendaras versi sejarah 1965-1966 yang ditulis oleh
sang pemenang: orde baru. Tragedi yang oleh dunia disebut sebagai salah
satu pembantaian massal paling biadab di abad-20.

Bertahun-tahun, generasi saya hidup dengan versi sejarah yang sepihak
dan normalisasi kejahatan. Begitu terus -- hingga bohong dan bungkam
menjadi bagian dari watak kehidupan di Indonesia," kata Laksmi Pamuntjak
kepada /Deutsche Welle.

" Saya hanya ingin mencipta ulang sejarah dengan huruf s kecil, tentang
kisah-kisah manusia biasa yang tidak tercatat. Tentang mereka yang tidak
terlibat, tapi hidupnya berubah dilimbur arus sejarah," kata Laksmi.

* * *

Agar pembaca memperoleh gambaran yang lebih lagi, silakan menelusuri dan
mengkhayati novel penting Laksmi Pamuntjak "Amba", silakan baca sendiri
wawancara penulisnya, Laksmi Pamuntjak dengan Radio Jerman DEUTCHE WELLE:
*The Jakarta Globe*/*tahun 2009 menunjukkan bahwa lebih dari
separuh mahasiswa Jakarta, sama sekali tak pernah mendengar tentang
adanya pembantaian massal 1965-1966.*

*Jadi,**Bagi saya, lebih banyak orang yang mengangkat tema 65 semakin
baik!*

* * *

*MENGAPA MENULIS TENTANG 1965 -- *

*Laksmi: MENGAPA TIDAK?*  

 
*Deutsche Welle:* 
Mengapa anda menulis tentang 1965? 
 
*Laksmi Pamuntjak:* 
Mengapa TIDAK? Sekarang, hampir 48 tahun setelah tragedi itu, kita
melihat kemunduran. 13 tahun setelah (Presiden-red) Gus Dur secara
terbuka meminta maaf kepada para korban, dan Komnas HAM mengumumkan
hasil investigasi tentang tragedi ini, sejumlah ulama NU malah menolak
minta maaf dan meminta Presiden mengikuti jejak mereka. Menko Polkam
Djoko Suyanto menolak hasil investigasi dan bersikukuh bahwa apa yang
dilakukan militer pada waktu itu 'benar' karena apa yang mereka lakukan
adalah memburu "sang musuh negara." Sementara rekonsiliasi masih jauh
dari angan -- generasi penerus akan semakin berjarak dari 65 dan
berpikir tindakan seperti itu, human rights violations yang disponsori
negara, sah dilakukan, karena toh itu sebuah tugas negara. Belum lagi,
Survey The Jakarta Globe tahun 2009 menunjukkan bahwa lebih dari separuh
mahasiswa Jakarta, sama sekali tak pernah mendengar tentang adanya
pembantaian massal 1965-1966. Jadi, bagi saya, lebih banyak orang yang
mengangkat tema 65 semakin baik!/
 
*Deutsche Welle: *Kenapa anda tertarik untuk menulis cerita tentang
pulau Buru?
 
*Laksmi Pamuntjak:*
 
Tugas novel bukan untuk mengoreksi sejarah. Yang jelas bukan untuk
mengoreksi sejarah atau menafsirkan siapa yang bertanggungjawab atas
pembantaian massal 65. Ketika menjalin persahabatan dengan eks tapol,
saya melihat sejarah bukanlah sebuah narasi besar politik, atau Sejarah
dengan S besar, tapi sejarah adalah kisah-kisah manusia biasa yang tidak
tercatat. Novel membuka kemungkinan untuk menampung ruang-ruang kecil
yang sering luput dari Sejarah. Saya merasa terpanggil untuk memanggil
ulang ingatan kolektif, bagaimana memahami sejarah kelam di mana saudara
dan tetangga saling membunuh. Masa ketika yang menguasai adalah praduga,
amarah, dendam dan kebencian. Ketika mendengar kisah (tapol-red) Buru
saya terharu, karena seiring derita, ketakutan, putus asa dan rasa
sakit, masih ada humor. Kadang-kadang di antara mereka ada rasa syukur
atas sebentuk kebaikan atau keindahan yang tak terduga-duga, sesuatu
yang menolak dari dendam dan kebencian. Apa yang saya lakukan dengan
berbagai bahan dan kenangan yang dibagi secara murah hati oleh mereka
yang telah mengalami Buru adalah dengan mendengarkan mereka. Mencoba
menyelami seperti apa rasanya diam dibungkam, memendam perasaan begitu
lama. All the silences around you. Itu juga bagian dari duka itu
sendiri. Sumber utama saya adalah Amarzan Loebis (wartawan senior TEMPO
dan eks tapol-red) yang dikirim ke pulau Buru pada November 71. Juga
kepada Hersri Setiawan dan Kresno Saroso, sebagai orang-orang yang pada
siapa selain Pram, saya berhutang budi./
 
*Deutsche Welle: *Ketika pertama datang ke pulau Buru, apa yang anda
lihat?
 
*Laksmi Pamuntjak:*
 
Saya kaget, karena saya membayangkan begitu banyak hal menyeramkan.
Tetapi ketika sampai di sana yang ada adalah padi di mana-mana.
Kesuburan yang merupakan buah kerja keras dan keringat eks tapol yang
membuka lahan dan menjadikan Buru sebagai mini Jawa. Tak ada lagi sisa
Tefaat (Tempat Pemanfaatan istilah yang dipakai untuk pemukiman
tapol-red), kecuali sebuah gedung kesenian yang kalau tidak diberi
konteks bahwa ini bagian dari era itu, maka kita samasekali tidak
mengerti nilai sejarahnya./
*Deutsche Welle: *Dari karakter para tapol yang anda pelajari, apakah
anda melihat para survivor ini berhasil ditundukkan oleh kekuasaan lewat
pulau Buru?
 *Laksmi Pamuntjak:*/
 
Saya melihat ada perbedaan dari masing-masing survivor. Ada yang merasa
bahwa mereka menang dengan tidak bersedia tunduk kepada kekuasaan dan
mempertahankan harga diri dengan mengadakan berbagai ritual sendiri
seperti mengubur surat-surat di dalam tabung bambu dan menyembunyikannya
di bawah pohon. Mereka punya cara sendiri untuk melawan. Tapi ada hal
menarik yang diungkapkan bekas Asbintal (Asisten Pembinaan Daerah
Militer-red) yang juga bekas Kepala Pengawal di Tefaat Buru yang dikenal
baik, berpikiran terbuka, dan sering membawa majalah TIME atau TEMPO
bagi para tapol. Kami kebetulan bertemu, saat dia ingin mengadakan
semacam reuni dengan eks tapol yang tetap tinggal di Buru. Asbintal itu
bercerita, saat reuni, tiba-tiba para eks tapol ini berbaris dan body
languagenya seperti orang-orang yang dikuasai. Padahal Asbintal ini,
dulunya bukan simbol dari kekuasaaan yang paling buruk di pulau
Buru...apalagi kini konteksnya berbeda karena para eks tapol ini
sekarang manusia bebas dan setara (dengan Asbintal-red), jadi the power
game-nya sudah berubah. Tapi body language para eks tapol begitu kental,
seperti lapis kulit kedua. Mereka kembali ke insting-insting lama. Jadi
sulit mengatakan apakah para survivor Buru ini menang atau kalah. Saya
selalu menyadari, bahwa saya menulis tentang sebuah masa lalu yang bukan
merupakan "masa lalu" saya. Apapun empati yang tercakup dalam novel, tak
pernah akan bisa mereplikasi penuh emosi yang terkandung dalam
pengalaman para survivor.

/*Deutsche Welle: *Saat membaca AMBA saya membayangkan Zulfikar adalah
Amarzan Loebis. Apakah karakter dalam novel ini terinspirasi dari
orang-orang dekat anda?
 
*Laksmi Pamuntjak:*
 
Secara tipe mungkin ya. Misalnya saya selalu bisa membayangkan dengan
mudah siapa orang yang senang membaca seperti karakter Bhisma (yang di
dalam novel adalah kekasih AMBA-red). Orang-orang yang selalu mengalami
dilema dan tidak pernah bisa berpihak. Tidak pernah belonging. Dia
selalu berada di tengah-tengah dan selalu gelisah mengenai ide-ide dan
kenyataan di depan batang hidungya. Tapi di antara karakter yang paling
kental memang Zulfikar.
 
*Deutsche Welle: *Menurut anda, apa yang membedakan anda dengan
Pramoedya Ananta Toer dalam melihat tragedi 65?
 
*Laksmi Pamuntjak:* 
Sulit ya... karena dia (Pram-red) terlibat. Sementara saya bisa menulis
AMBA justru karena berjarak, dan menggunakan pengalaman orang seperti
Pram sebagai titik tolak untuk memahami 65. Ego atau ke-Aku-an saya
tidak besar, karena (AMBA-red) tidak datang dari sudut pandang saya
sendiri. Soal style beda, karena dasarnya saya punya tempramen puitis.
Saya juga selalu suka apa yang tidak hitam putih, yang selalu di
tengah-tengah, yang remang-remang. Mungkin itu juga yang membuat saya
menulis tentang 65, karena itu adalah episode sejarah kita yang
remang-remang tapi selalu dihitam-putihkan. (Sumber : DEUTSCHE WELLE)/


* * *

< 2 >

*NOVEL LEILA S. CHUDORI " P U L A N G "

Terbitnya novel oleh *Leila S. CHUDORI*, berjudul "PULANG".

juga meupakan indikasi meningkatnya 'kesadaran sejarah".Mengapa?

Karena penulis Leila S, Chudori, (tutur sutradara *Riri Riza a.l)

*adalah sebuah karya yang merupakan salah satu tantangan besar karena menceritakan tahun-tahun bersejarah di Indonesia. "Ini sebuah tantangan menceritakan sebuah era sejarah Indonesia tahun 1965 dan 1998. Dan pada saat yang sama juga menceritakan tentang keluarga," .

 
Novel Pulang, -- menceritakan tentang Dimas Suryo, seorang eksil
politik Indonesia bersama tiga sahabatnya yang terhalang balik ke
Indonesia setelah meletusnya peristiwa 30 September 1965. Paspor mereka
dicabut. Latar belakang novel ini pun berganti ke bulan Mei 1968 tentang
gerakan mahasiswa yang berkecamuk di Paris. Kemudian berlanjut ke Mei
1998 di Indonesia dan jatuhnya Presiden Indonesia yang sudah berkuasa
selama 32 tahun. Novel ///Pulang///mulai ditulis pada 2006-2012. Leila
dua kali ke Paris untuk mewawancarai eksel politik yang mendirikan
Restoran Indonesia dan mendapatkan buku-buku serta literatur untuk
menyangga novelnya itu./

*Novel "Pulang", Menggugah Ingatan tentang Indonesia*

Novel Pulang adalah paparan mengenai kesadaran orang-orang Indonesia
yang tidak dihitung masuk himpunan Indonesia semasa Orde Baru. Mereka
adalah orang yang terus-menerus berjuang menjadi orang Indonesia di
tengah penolakan rezim Soeharto. Adalah eksil politik Indonesia di
Paris. Mereka bertahan meski terbuang jauh di negeri orang, diburu dan
dicabut paspor Indonesia-nya karena dekat dengan orang-orang Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang berafiliasi dengan Partai Komunis
Indonesia. Di Paris, mereka tetap mencintai Indonesia, bertahan hidup
layak sambil memberi manfaat bagi Indonesia dengan mengelola Restoran
Tanah Air, sebuah restoran Rue Vaugirard di pinggir Paris. Restoran ini
menyediakan makanan dan kegiatan yang mempromosikan Indonesia.

Tokoh utama dalam novel Leila, bukan semata keinginan dikubur di Karet
yang dimiliki Dimas, melainkan juga mempertahankan dirinya sebagai orang
Indonesia dan memiliki wewenang untuk mewariskan Indonesia.

* * *

Kisah tokoh-tokoh yang dimuat di dalamnya memberikan pemahaman kepada
kita bahwa keindonesiaan merupakan sebuah ikhtiar yang intensional. Ia
tak ditentukan oleh tempat kelahiran atau penerimaan pemerintah.
Keindonesiaan tak hilang ketika kita meninggalkan wilayah Indonesia.

Pulang, adalah "...sebuah drama keluarga, persahabatan, cinta, dan
pengkhianatan berlatar belakang tiga peristiwa bersejarah: Indonesia 30
September 1965, Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998. Dan itu semua
tersaji dalam narasi yang tertata apik. Leila S. Chudori berhasil meramu
unsur-unsur naratif secara meyakinkan dalam novel ini. . . .

. . . . . Membaca novel yang tergolong tebal ini saya mendapat
kenikmatan sekaligus pekerjaan tambahan. Saya menikmati jalinan
naratifnya yang tertata rapi dan memberi penghayatan baru. Tapi efek
yang ditinggalkannya membuat saya memikirkan lagi keberadaan dan
identitas saya sebagai orang Indonesia. . . . Seperti masuk ke kenangan
pribadi sekaligus sejarah Indonesia mutakhir dan menemukan banyak ruang
kosong yang gelap di sana, juga ruang kusut. Kenangan itu menggugah
saya, bahkan menggugat, untuk membenahinya. Tapi novel ini juga membantu
kita menemukan apa yang mesti dibereskan dalam ingatan kolektif
Indonesia untuk dapat menjawab apa makna menjadi orang Indonesia, apa
makna menjadi Indonesia. ( dari a.l. Tuisan **Bagus Takwin, ***pengajar
di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, dalam Tempo.co,
JakartaSelasa, 18 Desember 2012 > *
 
*    *    *




No comments: