Thursday, April 4, 2013

*Kolom IBRAHIM ISA*
*Senin, 11 Maret 2013**
-----------------------*



*DR Aswi Warman Adam: *

*Pentingnya Arti REKONSILIASI *

**



Hari ini, *Hari Senin, 11 Maret 2013*, aku menerima e-mail kiriman sahabat-karibku, *Dr Asvi Warman Adam*. Isinya adalah sebuah *TINJAUAN * tentang buku yang baru terbit ditulis oleh *Nani Nurachman Sutoyo*, putri Jendral Sutoyo, yang dibunuh dalam Peristiwa G30S, 01 Oktober 1965. Tinjauan Dr Asvi Warman Adam tsb terbit pertama di Majalah Mingguan TEMPO, tanggal 11 Maret 2013.


Tanggal Sebelas Maret punya arti khusus di negeri kita. Karena pada hari itu keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret 1966 ("SUPERSEMAR") Presiden Sukarno, kepada Jendral Suharto.


Judul buku Nani Nurachman Sutoyo, adalah:


"*Kenangan Tak Terucap, Saya, Ayah dan Tragedi 1965".*


Aku belum memiliki buku Nani Nurachman Sutoyo tsb dan oleh karena itu belum ada kesempatan membacanya. Namun, dari Tinjauan yang dibuat oleh Dr Asvi Warman Adam, kita bisa mendapat gambaran tentang isi buku tsb.


Dalam tinjauannya itu Asvi Warman Adam menekankan tentang arti penting buku Nani N Sutoyo dalam memhami *PENTINGNYA ARTI REKONSILIASI.*


** * **


*DR ASVI WARMAN ADAM Meninjau Buku NANI NURACHMAN SUTOYO: *


"*KENANGAN TAK TERUCAP, SAYA , AYAH DAN TRAGEDI 1965"*

*(Penyunting Imelda Bachtiar), Jakarta: Penerbit Buku Kompas , 2013)*


** * **


*Tinjauan oleh Asvi Warman Adam: *


*TAK TERTINDAS OLEH SEJARAH*

Sejarah bisa berfungsi sebagai penindas. Sepanjang Orde Baru, versi tunggal Partai Komunisme Indonesia sebagai dalang Gerakan 30 September 1965 menjadi dalih untuk melakukan pembunuhan massal, penangkapan dan pemberian stigma kepada mereka yang (dianggap) terlibat peristiwa itu dan keluarganya. Pada masa berikutnya istilah PKI juga digunakan sebagai alat pemukul politis bagi mereka yang kritis terhadap pemerintah serta untuk kepentingan praktis pengambilalihan tanah dari para petani.


Pada era reformasi, sejarah juga berperan sebagai pembebas. Mereka yang menjadi korban rezim ini memiliki kesempatan untuk bersuara. Buku-buku berisi kesaksian serta film dokumenter dibuat, belum lagi program televisi yang mengungkapkan fakta sejarah yang tabu selama ini. Bagi korban, penceritaan tentang penderitaan yang mereka alami selama puluhan tahun merupakan semacam healing, mengobati rasa sakit batin. Konsep pelurusan sejarah yang memang secara ilmiah dapat diperdebatkan, mendapat tempat di hati para korban karena itu secara implisit menyatakan pada masa sebelumnya terjadi rekayasa sejarah dan pembisuan.


Menurut Saparinah Sadli, memoar ini satu-satunya yang memaknai tragedi 1965 dengan perspektif perempuan khususnya psikologi perempuan. Tentu pendekatan ini dapat dibandingkan dengan

buku yang ditulis dua perempuan anggota DPR yakni Riebka Tjiptaning (Aku Bangga Menjadi Anak PKI) dan Okki Asokawati (Jangan Menoleh Ke Belakang). Di luar buku ini, menarik juga

hubungan antara Nani yang berayahkan Mayor Jenderal Sutojo korban G30S dengan Okki Asokawati yang berayahkan AKBP Anwas, Wakil Komandan G30S yang ditahan

belasan tahun. Sempat tersendat, hubungan antara dosen dan mahasiswi psikologi UI itu akhirnya berjalan lancar setelah keduanya menyadari bahwa mereka sama-sama korban.


Korban perempuan cenderung mengalaminya secara khusus karena ketubuhannya yang berjenis kelamin perempuan atau karena peran sosialnya sebagai istri, ibu dan anggota masyarakat. Hal ini

yang menyebabkan dampak kekerasan itu dihayati dan disikapi perempuan secara berbeda. Sebagai seorang perempuan sekaligus seorang ibu, penulisnya mengajak melepaskan dari trauma masa lalu dan berkontempelasi secara berkelanjutan. Ia berkontribusi dengan menuturkan pengalamannya yang bermula dari diri sendiri tanpa menunggu uluran tangan dari luar, dengan memadukan analisis kritis (nalar Barat) dengan "rasa" (nilai Jawa/Timur).


Tragedi 1965 diawali dengan pembunuhan enam orang Jenderal dan seorang perwira di Jakarta, diikuti dengan sekitar 500.000 yang dianggap terlibat gerakan ini di Jawa/Bali dan daerah lain

di tanah air. Tentu saja persoalan "siapa lebih korban", apakah anak para Jenderal yang sudah diangkat menjadi Pahlawan Revolusi atau para korban golongan kiri serta keluarganya yang

jumlahnya jauh lebih banyak, menjadi tidak relevan jika berbicara tentang pengalaman individual.


Dalam sebuah makalahnya Nani mempertanyakan "bagaimana manusia bisa bertindak sekejam itu:

memorak-porandakan kehidupan suatu keluarga menjelang subuh ketika orang masih lelap tertidur tetapi kemudian dibangunkan untuk diculik dengan cara-cara yang tidak kesatria .... Apa arti kematian ini bagi saya sebagai anak-anak?" Rasa sakit dari penderitaan seseorang tidak dapat dibandingkan apalagi dipertukarkan dengan penderitaan orang lain. Tetapi hanya dapat ditemukan maknanya bila yang mengalami dapat memberi arti demikian bagi hidupnya.


Nani sendiri mengalami banyak hal dalam hidupnya. Ibu kandungnya meninggal saat ia berusia dua tahun, ayahnya ditembak tahun 1965, adiknya meninggal pada usia muda. Ia sendiri diagnosis menderita kanker payudara tahun 1995. Ia dioperasi 31 Mei 1995 dan kemudian melalui

serangkaian proses kemoterapi. Masa-masa mengalami sakit inilah yang dikatakannya sebagai masa transisi dalam kehidupannya. Melalui proses ini ia merasa "dilahirkan" kembali ke "kehidupan baru".


Dalam tahun 2000 berlangsung dua kali sarasehan tentang tragedi 1965. Di Kastil Arenberg, Universitas Katolik Leuven, Belgia, 23 September dan di Hotel Sari Pasifik, Jakarta, 13 Desember.

Keduanya dihadiri oleh para korban G30S dan juga Nani Sutojo. Bagi Nani Sutoyo, tahun 1980-an ketika berada di Amerika Serikat merupakan periode pengembangan wawasan yang relatif intens. Tetangga sebelah yang juga pemilik rumah yang disewanya adalah korban holocaust Perang

Dunia II. Dia bisa keluar dari kamp konsentrasi dan kehilangan suami serta anak laki-laki satu-satunya sambil menjalani sisa-sisa hidupnya dengan realita yang ada. Tato angka yang ada di lengannya menimbulkan kesan sebagai manusia yang hanyalah nomor tanpa nama.



"Apalah artinya yang saya alami dengan apa yang dia telah lalui? Di sini saya bisa menimba adanya makna di balik penderitaan. Ada suatu kekuatan di luar ketahanan fisik dan mental psikologis yang bisa membawa seseorang keluar dari perangkap-perangkap penderitaan. Orang dapat berkembang menjadi


diri pribadi yang utuh dari reruntuhan kemanusiaan tanpa perlu menampilkan sikap amarah dan dendam terhadap mereka yang membuatnya menderita, sekalipun amat sulit untuk melupakan semuanya." Nani merasa yakin bahwa "suatu hal yang mungkin untuk membangun diri kembali baik sebagai individu maupun sebagai kelompok bangsa sekalipun pada suatu saat yang lampau terjadi kekejaman dari suatu kelompok terhadap kelompok yang lain." Manusia tidak bebas, namun

ia bebas untuk menentukan sikap terhadap apa yang telah terberi bagi dirinya. Ia menolak ditindas oleh sejarah.


Faktor lain yang turut memiliki peran adalah pendidikan agama dan pengalaman spiritual. Pendidikan agama yang cenderung menekankan diri pada ritual dan aturan-aturan akidahnya, ternyata tidak cukup kuat tertanam untuk menopang daya lenting diri (self resilience) melalui masa-masa kritis itu. Bagi Nani sendiri, saat timbul rasa putus asa dalam suasana terasing, selalu saja ada pribadi-pribadi manusia, hamba Allah yang baru dikenal, mengulur tangannya secara ikhlas membantu. Mereka memberikan secercah cahaya serta mengarahkannya untuk keluar dari terowongan kegelapan hidup.


Gambaran kehidupan spiritual sejati adalah merasakan kehadiran dan jejak-jejak Tuhan dalam kegalauan jiwa di antara reruntuhan dan kemiskinan empati banyak orang yang kurang peduli. Bagamana menghadapi trauma, bagi Nani, tidak terlepas dari kedekatan hubungan dengan ayah. Sang ayah mendidiknya secara disiplin, tegas dan penuh perhatian. Ayahnya yang berlatar belakang polisi militer memberikan contoh tentang kesederhanaan hidup dan anti korupsi (ia menjadi anggota Operasi Budhi, operasi pembersihan di kalangan militer yang dipimpin Jenderal Nasution tahun 1960-an). Dari usia Nani yang sekarang hanya seperempatnya yang dilewati bersama ayah. Namun sejumput waktu itu menjadi mutiara pedomankehidupannya. Ditambah lagi dengan hasil

bacaan dari buku-buku yang sudah dimilikinya sejak kecil seperti karya Kartini dan Anne Frank. .


Menurut Nani Sutojo, "Untuk masa depan yang akan kita wariskan kepada anak dan cucu kita, kita harus segera memulai sebuah rekonsiliasi". Konsisten dengan sikapnya itu, walaupun sedang mendampingi suami yang menjadi Duta Besar RI di Kamboja, ia bolak-balik antara Phnom Penh-Jakarta untuk mengikuti proses pemilihan anggota KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsilasi). Ia lolos sampai fase terakhir walaupun tidak kunjung dipilih oleh Presiden. Undang-Undang KKR itu sendiri dirubuhkan dengan ultra petita oleh Mahkamah Konstitusi yang dipimpin Jimly Assiddhiqie.


Nani merasa sangat lega ketika MK mengabulkan judicial review yang membolehkan para korban 1965 itu memiliki hak untuk dipilih dalam pemilihan umum. Ia malah heran ketika ada yang protes tatkala dimuat di koran foto Amelia Yani bersalaman dengan Ilham Aidit. Nani sendiri bersama dengan kakaknya Letnan Jenderal (pur) Agus Widjojo merupakan pendiri FSAB (Forum Silaturahmi Anak Bangsa) yang menjadi wahana rekonsiliasi antara generasi muda yang orang tua mereka dulu pernah bermusuhan. Semboyan mereka adalah hentikan konflik dan jangan wariskan konflik kepada generasi selanjutnya. Pada forum FSAB Nani sering mengatakan "Selama ini kita menjadi bangsa yang kalah karena takut menatap bayangan sendiri dan tidak berani menyelesaikan masalah".


Ketika diadakan konferensi "Indonesia and the Wordl and the World 1959-1969, Januari 2011, di Jakarta yang membicarakan aspek internasionao G30S, terdapat demonstrasi yang menentang. Nani heran, masih ada saja kelompok yang takut berlebihan pada berbagai hal yang dikaitkan dengan PKI. Nani mencoba instrospeksi: /"Ingatan kita dibatasi dengan monumen Lubang Buaya dengan hanya mengingat satu hal, namun melupakan yang lain, proses mengingat dan menyelesaikan trauma tidak akan selesai. Inilah yang selalu terjadi dalam sejarah kelam di Indonesia." /Pergulatan panjang Nani Nurachman Sutojo patut dibaca oleh masyarakat Indonesia yang menginginkan penyelesaian masa lalu secara bermartabat dan berkeadilan. (Dr Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI).


* * *









No comments: