Wednesday, July 3, 2013

BERUSAHA MEMAHAMI TIONGKOK (4) < Sekitar Pertemuan di Utrecht Minggu, 23 Juni 2013 >

Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 26 Juni 2013
---------------------
-------
BERUSAHA MEMAHAMI TIONGKOK (4)
< Sekitar Pertemuan di Utrecht Minggu, 23 Juni 2013 >


*     *     *


Minggu yang lalu, 23 Juni 2013. Hari itu sepanjang pagi, hujan turun dengan derasnya. Bagaikan diguyur dari langit . . . Tak kunjung henti-hentinya !

Namun, hal itu tak jadi rintangan bagi kurang lebih 50 sahabat-sahabat Indonesia, yang datang ke Gedung Pertemuan – sebuah Buurthuis, di St Ludgerusstraat 251, 3553 CW Utrecht. Diantara hadirin tampak kawan-kawan Indonesia dari Swedia dan seorang dosen sejarah Indonesia dari UGAM – Universitas Gajah Mada Yogyakarta yang kebetulan sedang ada Holland.

Kawan-kawan itu datang atas undangan “Forum Diskusi”. Sebuah wadah diskusi yang dikelola oleh Burhan, Anna dan Rini. Acara hari itu adalah Informasi “Masalah Pemilu 2014”, disampaikan oleh Burhan. Lalu “Oleh-oleh Kunjungan Bung Isa ke RRT”; dan info-info lainnya dari kawan-kawan yang belum lama berkunjung ke Indonesia.

* * *

TIONGKOK DEWASA INI:
Tiongkok dewasa ini, terutama 30 tahun belakangan ini setelah diberlakukannya kebijakan “Gaige Kaifang”-- “Keterbukaan dan Reformasi”, telah menarik perhatian banyak negeri. Terutama negeri-negeri Barat. Mereka sekaligus menyatakan kekhawatiran mereka, jangan-jangan Tiongkok akan menjadi sebuah negara “adi kuasa baru”, suatu “super power” yang berambisi merajai dunia.

Tapi, dunia tahu, bahwa pernyataan pemerintah dan praktek politik luarnegerinya selama ini, ---Tiongkok lebih menampilkan dirinya sebagai sebuah negeri yang berusaha memajukan ekonomi negerinya dan memakmurkan rakyatnya. Tiongkok menitik beratkan usahanya pada pembangunan pertanian, industri, teknologi dn ilmunya. (Seperti yang mereka katakan) mereka sedang membangun Sosialisme dengan ciri-ciri Tiongkok. Membangun negeri dan kemakmuran bagi rakyatnya. Bahwa Tioongkok dewasa ini berada pada tahap awal Sosialisme. Bahwa Tiongkok di atas segala-galanya memerlukan stabilitas negeri untuk merealisasi tujuannya tsb.

Untuk itu mereka berusaha ambil bagian dalam menciptakan situasi internaional yang aman dan stabil, bebas dari ketegangan dan bahaya perang. Situasi dunia yang stabil bebas dari perang, adalah syarat utama bagi Tiongkok untuk bisa dengan lebih intensif membngun negeri dan kemakmuran rakyatnya. Menghadapi masalah-masalah yang muncul dalam situasi internasional, Tiongkok tampak bersikap LOW-PROFILE. Sesuai dengan pernyataan-pernyatan yang mereka kemukakan selama ini.

* * *

Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Tiongkok, yang menjadikannya kekuatan ekonomi nomor dua setelah Amerika Serikat, -- merupakan daya tarik perhatian dunia secara umum. Secara khusus, sebagai ilustrasi, juga menjadi perhatian di kalangan generasi muda intelek Belanda, yang baru tamat universitas. Setelah mengikuti perkembangan Tiongkok sekarang. Di antara mereka, ada yang memilih kota Shanghai, untuk memulai kariernya sebagai sarjana muda.

Baik kita ikuti apa yang dikatakan oleh seorang sarjana muda Belanda, Philip Mann ( 25), sbb:

Saya ingin sesuatu yang lain, dan dengan dramatis ingin me – ”reset” (mengatur kembali) peri kehidupan saya. Dibanding dengan Shanghai, Amsterdam itu lamban dan menujemukan. Tetapi, bila Anda jalan-jalan di kota Shanghai, Anda akan merasakan dinamikanya kota itu sebagai sebuah metropol.” (“De Groene Amsterdammer”, 6 Juni 2013).

Anak muda Belanda itu memutuskan untuk berangkat ke Shanghai dan bekerja di kota metropol yang dianggapnya lebih dinamis dari dibandingkan dengan Amsterdam.

* * *

YANG DISAMPAIKAN I. ISA Dalam Pertemuan Utrecht:
(Transkrip Yang Disampaikan I. Isa Dlm Pertemuan Utrecht, dengan sedikit pengeditan)
Kawan-kawan,

Ketika Bung Burhan menanyakan kepada saya, apakah saya bersedia memberikan kesan-kesan saya mengenai kunjungan ke Tiongkok baru-baru ini --- timbul reaksi dalam fikiran, apakah saya bisa memberikan kesan-kesan mengenai kunjungan Murti dan saya ke Tiongkok, yang berlangsung, antara tanggal 26 Mei sampai 09 Juni 2013 Jadi dua minggu. Mampukah saya memberikan kesan-kesan itu. Saya sudah mulai menulis ( 3 artikel kolom bersambung). Kolom yang biasa saya tulis secara reguler. Tapi masih merupakan kesan-kesan yg belum mendalam. Berulang terfikir, . .. apa bisa saya memberikan kesan-kesan itu. Sebab, Tiongkok dewasa ini memang adalah suatu fenomena baru. Ia membikin, tak ada satu manusia atau negeri, yang tidak heran dan kagum melihat perkembangan pesat yang terjadi di Tiongkok.

Dalam jangka waktu kurang lebih 30 tahun, -- dari suatu negeri yang terbelakang, dan tidak terkemuka samasekali di bidang internasional ketika itu, -- Tiongkok telah berubah menjadi negeri yang milik devisanya, adalah yang terbesar di dunia.

Dan juga yang telah membeli Satu Trilyun surat obligasi pemerintah Amerika Serikat. Satu Trilyun Dollar . . . (interupsi dari hadirin: satu koma satu trilyun dolar). Ya, angka yang dikemukakan Johari itu lebih tepat. Johari mengikuti dengan cermat berita-berita dari Tiongkok. Paling sedikit setiap harinya dia siarkan di intenet 7 berita dari Tiongok.

* * *

Pertumbuhan dan perkembangan begini cepat, siapa orang yang tidak kagum? Dan tidak ada satu orangpun yang bisa menutup matanya. Cuma, -- kesan dan iterpretasinya berbeda-beda. Seorang akhli Tiongkok, seorang pakar mengatakan bahwa mereka sendiri sebetulnya seperti kata pepatah Tiongkok, berjalan menyeberangi sungai itu sambil meraba-raba. Jadi melakukan eksperimen. Mempunyai sejumlah kebijakan dan ide/ konsepsi, yang mereka sendiri tidak tahu (bagaimana dalam prakteknya).

Sebelum kami meninggalkan Tiongkok pergi ke negeri Belanda, tahun 1986, saya sempat berdiskusi dengan sementara kawan-kawan Tiongkok yang saya anggap bertanggung-jawab dalam pemerintah dan partai mereka. Saya bertanya terus terang, Apa yang akan kalian lakukan (di Tiongkok) selanjutnya.

Mereka bilang: Kami ini bereksperimen!. Dan itu tidak bisa lain, Mau mencontoh Uni Sovyet, ketika itu sudah hampir runtuh samasekali. Negeri-negeri lainpun belum ada yang melaksanakan sosialisme, sesuai ajaran Marx menurut mereka. Artinya mereka harus memikirkannya sendiri. Mencari pemecahannya di Tiongkok sendiri, bukan di tempat lain. |Jadi, kata Tiongkok, kami sendiri bereksperimen. Berhasil apa tidak, kami sendiri belum tahu.

Yang paling penting ialah … dan ini yang memang disampaikan kepada kami berkali-kali dalam pertemuan diskusi, Rakyat Tiongkok ini 1,3 milyar jumlahnya. Mereka setiap hari harus makan. Berpakaian dan kesehatan mereka harus diurus, dsb, dsb. INI YANG PALING UTAMA. Urusan ini di atas segala-galanya. Begitulah!

* * *

Kemudian, dalam tahun 1998 kami sempat ke Tiongkok lagi. Ini dimungkinkan karena hubungan baik dengan tuanrumah saya. Tuan-rumah kami itu namanya dalam bahasa Tionghoa, adalah YOUXIE. Dalam bahasa Inggrisnya “Chinese People's Association For Friendship With Foreign Countries”, CPAFFC. Jadi dalam bahasa Indonesianya: “Perkumpulan Rakyat Tiongkok Untuk Persahabatan Dengan Negeri-negeri Asing”. Biasanya yang sering diundang, adalah bekas-bekas presiden, menteri-menteri, mantan-mantan anggotqa parlemen, Congres dan lain-lain tamu. Untuk membina persahabatan yang baik antara dua negeri. Itulah tuan-rumah kami.

* * *

Mengapa saya mengajukan fikiran untuk mengunjungi Tiongkok. Suatu waktu saya menulis sebuah artikel tentang Indonesia. Artikel tsb saya kirimkan kepada mereka, Kepada sebuah majalah yang diterbitkan oleh badan ini. Nama majalah itu, “Voic of Friendship”, “Suara Persahabatan”. Artikel saya itu dimuat oleh mereka. Sedangkan Suharto ketika itu masih Presiden Indonesia. Saya fikir: Ini hal yang baru. Artinya mereka masih ingat pada saya. Dari situ saya bernani mengajukan fikiran. Saya bilang kepada mereka: -- Bagaimana kalau saya berkunjung ke Tiongkok?

Lama belum ada jawaban. Pada suatu hari datang jawaban: SILAKAN DATANG KE TIONGKOK. KAMI MENYAMBUT! Dengan demikian kami berkunjung (lagi) ke Tiongkok (setelah sepuluh tahun lamanya meninggalkan Tiongkok). Ketika itu ada ide saya untuk membukukan tulisan-tulisan saya mengenai Konferensi Asia-
Afrika Bandung (1955), Karena, saya rasa, masih banyak yang belum diungkap mengenai Konferensi AA tsb. Jadi, saya ingin berkunjung ke Tingkok. Karena saya tahu, mereka punya dokumentasi yang bagus mengenai Konferensi Bandung.

Saya ajukan kepada teman-teman Tiongkok itu, bahwa saya ada ide hendak meulis tentang Konferensi Asia-Afrika, Bandung. Mengenai Sepuluh Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai yang dideklarasikan oleh Koferensi Bandung. Jadi, itulah idenya mengapa mau berkunjung ke Tiongkok ketika itu.

* * *

Ketika kami tiba di Beijing tahun 1998 itu, kami sudah tidak kenal lagi kota Beijing. Jangka waktu itu adalah antara 1986 ketika kami meninggalkan Tiongkok, dan tahun 1998, ketika kami berkunjung lagi ke Tiongkok. Kan itu meliput waktu 10 tahun lebih. Kalau kami dilepas di tengah kota, sudah tidak tahun jalan. Karena kota itu sudah jauh sekali berbeda dengan keadaannnya semula. Nah, ketika kami baru-baru ini, tigabelas tahun kemudian, berkunjung lagi ke Beijing, perubahaan yang berlangsung sudah lebih besar lagi. Kami seolah-olah orang Udik betul yang dari desa berkunjung ke sebuah kota. Apa yang kami lihat itu, betul-betul sesuatu yang hebat!

Tapi, ini tentu apa yang tampak (dari luar). Bagaimana isinya, kita kan belum tahu. Perubahan-perubahan dan kemajuan yang terjadi di Tiongkok, bisa kita lihat di pers dunia. Hampir tiap minggu ada artikel mengenai Tiongkok. Apalagi di Amerika. Dan saya kira di juga begitu negeri-negeri lain, termasuk Indonesia. Jadi terhadap gejala ini, kita tidak boleh menutup mata terhadapnya. Dengan mengatakan, ah itu kan negeri lain. Atau alasan lainnya . . . .. Tidak usahlah kita perhatikan. Kita tidak mungkin mengambil sikap demikian itu.

* * *

Baru-baru ini saya lihat sebuah berita di “de Volkskrant”. Kami langganan s.k. Belanda “deVolkskrant”. Apa yang ditulis di situ? Sejumlah perusahaan Tiongkok, mengadakan persetujuan kontrak dengan Kotapraja London. Isinya apa? Mereka mau membangun CHINA TOWN di London. Disana sudah ada China Town. Mereka mau bikin China Town kedua. Ongkosnya lebih dari dua milyar dollar. Mereka membikin proyek itu bukan untuk mendatangkan orang-orang Tiongkok untuk tinggal di situ. Tidak! Mereka akan membuatnya menjadi salah satu pusat finans (Tiongkok) di dunia. Direncanakan akan menyebar ke seluruh Eropah. Dengan cara ini. Yaitu dengan cara menciptakan sebuah “China Town”. Yang akan ditempati oleh perwakilan-perwakilan perusahaan besar dan bank-bank besar dari Tiongkok. Dan juga dari negeri-negeri lain. Supaya di tempat itulah nanti, dengan mudah pelbagai fihak mengadakan transaksi-transaksi. Ini kita tidak bisa bayangkan bagaimana perkembangannya nanti.

Beberpa hari kemudian, ada berita lagi. Sebuah perusahaan pembuatan kapal-kapal yacht, kapal pesiar Inggris, yang hampir bangkrut. Perusahaan itu kemudian dibeli olehTiongkok. Beberapa minggu sebelumnya di Amerika Serikat ada suatu perusahaan pemotongan hewan yang terbesar, sekarang dibeli lagi olehTiongkok. Bukan oleh perusahaan Tiongkok yang milik pemerintah saja, tetapi oleh perusahaan-perusahaan swasta Tiongkok lainnya. Jadi ini merupakan perkembangan yang terus saja.

* * *

Kami diundang ke Universitas Komunikasi Tiongkok, dalam bahasa Inggris, disebut “Communication University of China”. Baru berdiri beberpa puluh tahun. Universitas ini melahirkan wartawan-wartawan untuk media pers, kantor berita, radio, TV dll. Dari situ dilahirkan jurnalis-jurnalis yang paling sedikit tamatan S-2. Orang-orangnya cerdas-pandai dan muda-muda.

Mereka bertanya: Pak Isa dulu anggota Abri, ya? Abri? . . . Oh ya, pada periode Revolusi Kemerdekaan Indonesia, saya menjadi anggota BKR, Badan Keamanan Rakyat. Saya ambil bagian, ikut dalam Revolusi Agustus. Menjadi anggota BKR. Mereka tahu juga informasi ini. Tapi, dikiranya saya jadi anggpota Abri. Bukan Abri ketika itu, tetapi Badan Keamanan Reakyat, BKR. Mereka itu ingin tahun visi saya mengenai hubungan saya dengan Tiongkok.

* * *

Perlu dikemukakan bahwa terjadinya diskusi di universias tsb, adalah a.l berkat bantuannya Siauw Maylan, di situ namanya Xiaoqun. Dia adalah kakaknya Maylie. Dia itu aktif sekali. Tahu, kami mau datang. Dia segera menghubungi macam-macam fihak. Termasuk menghubungi universitas.

Perlu dielaskan di sini bahwa yang utama mengatur kami adalah YOUXIE, tuanrumah kami.

Salah seorang peserta dalam diskusi di situ, mengatakan sbb: ---- Menurut saya, Pertumbuhan (ekonomi) Tiongkok, hampir kebablasan. Kecepatannya itu terlalu besar. Dan ini menimbulkan konflik antara sementara pejabat-pejabat pemerintah setempat dengan penduduk, Karena tanah dimana tinggal penduduk itu mau digusur, untuk memdirikan pabrik atau proyek lainnya. Dan itu sering terjadi. Disamping itu pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang begitu cepat itu, menimbulkan POLUSI.

Menurut pembiocara tsb, pertumbuhan ekonomi Tiongkok harus di-“SLOW DOWN”-kan. Saya tanya: Harus “slow down”; lalu harus bagaimana. Dia bilang, harus lebih memperhatikan yang langsung menyangkut peri-kehidupan rakyat., Yaitu mengatasi POLUSI. Jadi polusi ini, memang merupakan hal yang serius. Kita tahu juga, bahwa pemerintah sudah berrencana menanganinya.

Dari sini saya lihat, adalah untuk pertama kalinya bagi saya, menghadiri suatu pertemuan yang semi-publik (di Tiongkok), bahwa di situ ada yang bicara secara terus terang terbuka. Dia bilang perkembangan ekonomi negeri harus “slow down”. Jadi beda dengan pemerintah. Pemerintah menyatakan harus mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi menurut kecepatan yang sekarang ini. Sambil menangani dampak (polusi) yang timbul dari pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang pesat itu. Tetapi pendapat tadi itu mengatakan: Harus slow-down. Dan memusatkan usaha pada mengatasi polusi.

Satu lagi hal baru yang saya saksikan. Adanya keberanian untuk mengemukakan pendapat yang berbeda (dengan pemerintah).

* * *

Kami berkunjung ke kota Shenzhen, yang termasuk “Special Economic Zone”. Artinya “Daerah Ekonomi Istimewa”. Yang berlangsung disitu terutama ekonomi kapitalis. Terbuka keluar dan terbuka kedalam. Memang hebat. Saya pernah mengunjungi Shenzhen ketika masih di Tiongkok. Ketika datang kembali ke Shenzhen baru-baru ini, saya sudah tidak mengenal lagi kota itu. Sebuah kota kecil yang tadinya berpenduduk 30.000 orang sudah berkembang menjadi kota besar yang berpenduduk 10.000.000. Dengan perusahaan-perusahaan, bank-bank, dan pabrik-pabrik perindustian yang luas, termasuk pabrik container yang terbesar di Asia. Di situlah saya bertemu dengan seorang kader (mendengar tuturnya dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan). Dulunya ia ikut membina kota Shenzhen ini, khususnya “Kota Huachiao Shenzhen”.

Dia berani mengemukakan pendapatnya secara terus-terang. Dia tidak mengatakan bahwa apa yang dikatakannya itu hanya untuk saya saja. Ia menegaskan bahwa dalam jangka waktu tiga puluh tahun belakangan ini, setelah dilancarkan kebijakan keterbukaan dan reform, Tiongkok mengalami pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang luar biasa.

Tapi, katanya, tahulah Bung, perkembangan ekonomi luar biasa dan cepat itu, berlangsung bukan tanpa risiko.

Risikonya, dampak negatifnya, menurut dia, ada tiga hal.
Pertama, terjadinya kesenjangan sosial dalam masyarakat. Artinya terdapat perbedaan besar antara yang miskin dan kaya. Yang kaya, kaya luar biasa. Dan yang miskinpun sangat miskin. Meskipun, jika dibanding antara yang miskin sekarang dengan yang miskin dulu, yang miskin sekarang jauh lebih baik dari yang miskin dulu. Artinya yang miskin sekarang ini, tidak semiskin 40 tahun yang lalu. Tapi, tokh tetap miskin.

Kepada salah seorang kawan lama Tiongkok, saya tanya kesannya mengenai pernyataan kawan Tiongkok tadi itu, bahwa dewasa ini terdapat kesenjangan sosial yang besar antara yang miskin dengan yang kaya. Seperti yang saya dengar baru-baru ini. Teman ini, mengatakan: Ya betul! Ia membenarkan bahw kesenjangan sosial antara yang miskin dengan yang kaya itu, luar biasa. Dia bilang, kalau masalah ini tidak diurus dengan baik oleh pemerintah, ini bahaya.

Sebab, banyak anggota Partai Komunis Tiongkok, yang sangat percaya kepada Partai, bahwa PKT adalah Partai yang berhak memimpin, dan adalah Partai yang paling baik, tapi sekarang ini kok begini jadinya. Kawan tadi mengatakan, bahwa melihat keadaan demikian itu, mereka jadi stres. Di dalam otaknya dia tidak bisa memecahkan masalah ini. Ini problim-prblim yang ada.

Di satu fihak kita lihat, negeri Tiongkok dengan kemajuannya yang luar biasa. Yang semua itu mereka akui. Di sini baiknya. Mereka mengakui kemajuan itu. Teman yang saya ajak bicara ini, adalah berkat Chan CT. Kenal, ya, dengan Chan CT? Dia (bersama istrinya) spesial datang dari Hongkong ke Shenzhen untuk membantu saya. Dan Chan CT membantu saya dalam penterjemahan dengan teman Tiongkok yang di Shenzhen itu.

Ya, betul, Chan CT itu, adalah adiknya Siauw Maylie. Terima kasih ya, Maylie. Hebat sekali bantuannya! Saya bilang kepada Chan CT, wah, -- susah-susah datang dari Hongkong ke Shenzhen untuk menemui dan bantu kami. Aah, cuma dua jam saja kok, dari Hongkong ke Shenzhen dengan kereta-api cepat, kata Chan CT.

* * *

Dari apa yang dikemukakan kawan Tiongkok tadi, saya jadi ingat kembali yang dikemukakan dalam diskusi di Beijing. Bahwa dalam situasi ekonomi Tiongkok dewasa ini, yang telah meninbulkan pertumbuhan, perkembngan dan kemajuan luar biasa. Tapi dia tunjukkan, pertama, harus melakukan “slow down”.

Di Shenzhen kawan tadi juga mengemukakan bahwa terdapat tiga hal sebagai dampak perkembangan selama ini:

Pertama, adanya perbedaan besar antara yang kaya dan yang miskin. Adanya kenyataan tsb dibenarkan oleh orang biasa yang saya ajak bicara.

Saya mengadakan diskusi tidak hanya dengan pejabat-pejabat, para pemimpin Youxie di Beijing , Shanghai, Nanchang dan Shenzhen, . . . tapi juga dengan orang-orang biasa. Mereka saya tanyai pendapatnya dan minta jawaban yang terus terang.

Saya tidak pernah mendengar jawaban yang mengatakan: Wah, situasi Tiongkok ini sudah tidak beres! Tidak ada yang mengatakan demikian. Semua bilang, situasi Tiongkok baik dan hebat . . . tapi dampak negatif dari pertumbuhan dan perekembangan harus diatasi. Kebetulan, . . . . bukan kebetulan, sejak tahun 2008, titik pusat usaha pemerintah Tiongkok adalah meratakan kemakmuran. Khusus untuk meratakan kemakmuran di kalangan rakyat. Artinya mengatasi situasi kesenjangan sosial yang ada.

Lalu, yang kedua, apa yang dikatakan kawan tadi sebagai dampak negatif. Yang kedua adalah munculnyya polusi. Yang juga dikemukakan oleh teman dari univrsitas. Dia bilang polusi itu . . . luar biasa. Coba Bung keluar kot Beijing atau Shanghai sejauh 100 km. Bung akan temui sungai-sungai yang sudah kuning warna airnya, atau merah dsb. Aliran-alrian kotor dari pabrik-pabrik itu ke situ perginya. Katanya.

Ketiga: Tidak tanggung-tanggung! Dia bilang k e b e j a t a n m o r a l ! Apa yang dia bilang. Nomor satu adalah KORUPSI. Sampai-sampai ada yang bilang: Di Tiongkok ada ungkapan, Gejala KADER TELANJANG. Atau pejabat telanjang. Pejabat-pejabat tsb, istrinya, anaknya, kekayannya, Semua itu sudah dikirim keluar (negeri). Jadi, dia sendiri, dia telanjang. Bagaimana dalam bahasa Tionghoanya? Ya, dalam bahasa Tionghoanya disebut . . . Luo Guan. Itu memcerminkan betapa hebatnya, korupsi itu. Kemudian masalah kebiasaan yang meniru-niru kebiasaan dan cara hidup Barat. Meskipun tidak terlalu menyolok, tetapi tokh . . . . .

Sampai ada ungkapan sbb: Boleh dibilang tidak ada pejabat yang tidak korup! Ucapan ini dikemekakan blak-blakan begitu. Yang bicara itu tidak memesan kepada saya: Bung, ini untuk Bung saja. Tidak!. Jadi saya lihat ada keberanian.

* * *

Kalau kita periksa garis-garis kebijakan pemerintah, Pimpinannya, yaitu Partai Komunis Tiongkok selalu mengajarkan kepada rakyatnya : HARUS MEMBEBASKAN FIKIRAN! Mereka mengajukan semboyan : Bebaskan fikiran, dan, gunakan otak sendiri, serta lakukan analisa kongkrit atas situasi kongkrit; ------ kemudian MENCARI KEBENARAN DARI KENYATAAN! Prisip-prinsip inilah yang selalu mereka pegang. Membebaskan fikiran, termasuk disini melepaskan diri dari kekhawatiran. Ketika berbicara mengenai masalah ini atau itu,

(Bersambung)
* * *




No comments: