Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 26 Juni 2013----------------------------
BERUSAHA MEMAHAMI
TIONGKOK (4)
< Sekitar
Pertemuan di Utrecht Minggu, 23 Juni 2013 >
* * *
Namun,
hal
itu tak jadi rintangan bagi kurang lebih 50 sahabat-sahabat
Indonesia, yang datang ke Gedung Pertemuan – sebuah Buurthuis,
di St Ludgerusstraat 251, 3553 CW Utrecht. Diantara hadirin
tampak kawan-kawan Indonesia dari Swedia dan seorang dosen
sejarah Indonesia dari UGAM – Universitas Gajah Mada Yogyakarta
yang kebetulan sedang ada Holland.
Kawan-kawan
itu
datang atas undangan “Forum Diskusi”. Sebuah wadah diskusi yang
dikelola oleh Burhan, Anna dan Rini. Acara hari itu adalah
Informasi “Masalah Pemilu 2014”, disampaikan oleh Burhan. Lalu
“Oleh-oleh Kunjungan Bung Isa ke RRT”; dan info-info lainnya
dari kawan-kawan yang belum lama berkunjung ke Indonesia.
*
* *
TIONGKOK DEWASA INI:
Tiongkok dewasa ini, terutama 30
tahun belakangan ini setelah diberlakukannya kebijakan “Gaige
Kaifang”-- “Keterbukaan dan Reformasi”, telah menarik
perhatian banyak negeri. Terutama negeri-negeri Barat. Mereka
sekaligus menyatakan kekhawatiran mereka, jangan-jangan
Tiongkok akan menjadi sebuah negara “adi kuasa baru”, suatu
“super power” yang berambisi merajai dunia.
Tapi, dunia tahu, bahwa pernyataan
pemerintah dan praktek politik luarnegerinya selama ini,
---Tiongkok lebih menampilkan dirinya sebagai sebuah negeri
yang berusaha memajukan ekonomi negerinya dan memakmurkan
rakyatnya. Tiongkok menitik beratkan usahanya pada pembangunan
pertanian, industri, teknologi dn ilmunya. (Seperti yang
mereka katakan) mereka sedang membangun Sosialisme dengan
ciri-ciri Tiongkok. Membangun negeri dan kemakmuran bagi
rakyatnya. Bahwa Tioongkok dewasa ini berada pada tahap awal
Sosialisme. Bahwa Tiongkok di atas segala-galanya memerlukan
stabilitas negeri untuk merealisasi tujuannya tsb.
Untuk itu mereka berusaha ambil
bagian dalam menciptakan situasi internaional yang aman dan
stabil, bebas dari ketegangan dan bahaya perang. Situasi dunia
yang stabil bebas dari perang, adalah syarat utama bagi
Tiongkok untuk bisa dengan lebih intensif membngun negeri dan
kemakmuran rakyatnya. Menghadapi masalah-masalah yang muncul
dalam situasi internasional, Tiongkok tampak bersikap
LOW-PROFILE. Sesuai dengan pernyataan-pernyatan yang mereka
kemukakan selama ini.
* * *
Pertumbuhan dan perkembangan
ekonomi Tiongkok, yang menjadikannya kekuatan ekonomi nomor
dua setelah Amerika Serikat, -- merupakan daya tarik perhatian
dunia secara umum. Secara khusus, sebagai ilustrasi, juga
menjadi perhatian di kalangan generasi muda intelek Belanda,
yang baru tamat universitas. Setelah mengikuti perkembangan
Tiongkok sekarang. Di antara mereka, ada yang memilih kota
Shanghai, untuk memulai kariernya sebagai sarjana muda.
Baik kita ikuti apa yang dikatakan
oleh seorang sarjana muda Belanda, Philip Mann ( 25), sbb:
“Saya ingin sesuatu yang lain, dan
dengan dramatis ingin me – ”reset” (mengatur kembali) peri
kehidupan saya. Dibanding dengan Shanghai, Amsterdam itu
lamban dan menujemukan. Tetapi, bila Anda jalan-jalan di kota
Shanghai, Anda akan merasakan dinamikanya kota itu sebagai
sebuah metropol.” (“De Groene Amsterdammer”, 6 Juni 2013).
Anak muda Belanda itu memutuskan
untuk berangkat ke Shanghai dan bekerja di kota metropol yang
dianggapnya lebih dinamis dari dibandingkan dengan Amsterdam.
* * *
YANG DISAMPAIKAN I.
ISA Dalam Pertemuan Utrecht:
(Transkrip Yang
Disampaikan I. Isa Dlm Pertemuan Utrecht, dengan sedikit
pengeditan)
Kawan-kawan,
“Ketika
Bung
Burhan menanyakan kepada saya, apakah saya bersedia memberikan
kesan-kesan saya mengenai kunjungan ke Tiongkok baru-baru ini
--- timbul reaksi dalam fikiran, apakah saya bisa memberikan
kesan-kesan mengenai kunjungan Murti dan saya ke Tiongkok, yang
berlangsung, antara tanggal 26 Mei sampai 09 Juni 2013 Jadi dua
minggu. Mampukah saya memberikan kesan-kesan itu. Saya sudah
mulai menulis ( 3 artikel kolom bersambung). Kolom yang biasa
saya tulis secara reguler. Tapi masih merupakan kesan-kesan yg
belum mendalam. Berulang terfikir, . .. apa bisa saya memberikan
kesan-kesan itu. Sebab, Tiongkok dewasa ini memang adalah
suatu fenomena baru. Ia membikin, tak ada satu manusia atau
negeri, yang tidak heran dan kagum melihat perkembangan pesat
yang terjadi di Tiongkok.
Dalam
jangka
waktu kurang lebih 30 tahun, -- dari suatu negeri yang
terbelakang, dan tidak terkemuka samasekali di bidang
internasional ketika itu, -- Tiongkok telah berubah menjadi
negeri yang milik devisanya, adalah yang terbesar di dunia.
Dan
juga
yang telah membeli Satu Trilyun surat obligasi pemerintah
Amerika Serikat. Satu Trilyun Dollar . . . (interupsi dari
hadirin: satu koma satu trilyun dolar). Ya, angka yang
dikemukakan Johari itu lebih tepat. Johari mengikuti dengan
cermat berita-berita dari Tiongkok. Paling sedikit setiap
harinya dia siarkan di intenet 7 berita dari Tiongok.
*
* *
Pertumbuhan
dan
perkembangan begini cepat, siapa orang yang tidak kagum? Dan
tidak ada satu orangpun yang bisa menutup matanya. Cuma, --
kesan dan iterpretasinya berbeda-beda. Seorang akhli Tiongkok,
seorang pakar mengatakan bahwa mereka sendiri sebetulnya seperti
kata pepatah Tiongkok, berjalan menyeberangi sungai itu sambil
meraba-raba. Jadi melakukan eksperimen. Mempunyai sejumlah
kebijakan dan ide/ konsepsi, yang mereka sendiri tidak tahu
(bagaimana dalam prakteknya).
Sebelum
kami
meninggalkan Tiongkok pergi ke negeri Belanda, tahun 1986, saya
sempat berdiskusi dengan sementara kawan-kawan Tiongkok yang
saya anggap bertanggung-jawab dalam pemerintah dan partai
mereka. Saya bertanya terus terang, Apa yang akan kalian lakukan
(di Tiongkok) selanjutnya.
Mereka
bilang:
Kami ini bereksperimen!. Dan itu tidak bisa lain, Mau mencontoh
Uni Sovyet, ketika itu sudah hampir runtuh samasekali.
Negeri-negeri lainpun belum ada yang melaksanakan sosialisme,
sesuai ajaran Marx menurut mereka. Artinya mereka harus
memikirkannya sendiri. Mencari pemecahannya di Tiongkok sendiri,
bukan di tempat lain. |Jadi, kata Tiongkok, kami sendiri
bereksperimen. Berhasil apa tidak, kami sendiri belum tahu.
Yang
paling
penting ialah … dan ini yang memang disampaikan kepada kami
berkali-kali dalam pertemuan diskusi, Rakyat Tiongkok ini 1,3
milyar jumlahnya. Mereka setiap hari harus makan. Berpakaian dan
kesehatan mereka harus diurus, dsb, dsb. INI YANG PALING
UTAMA. Urusan ini di atas segala-galanya. Begitulah!
*
* *
Kemudian,
dalam
tahun 1998 kami sempat ke Tiongkok lagi. Ini dimungkinkan karena
hubungan baik dengan tuanrumah saya. Tuan-rumah kami itu namanya
dalam bahasa Tionghoa, adalah YOUXIE. Dalam bahasa Inggrisnya
“Chinese People's Association For Friendship With Foreign
Countries”, CPAFFC. Jadi dalam bahasa Indonesianya: “Perkumpulan
Rakyat Tiongkok Untuk Persahabatan Dengan Negeri-negeri Asing”.
Biasanya yang sering diundang, adalah bekas-bekas presiden,
menteri-menteri, mantan-mantan anggotqa parlemen, Congres dan
lain-lain tamu. Untuk membina persahabatan yang baik antara dua
negeri. Itulah tuan-rumah kami.
*
* *
Mengapa
saya
mengajukan fikiran untuk mengunjungi Tiongkok. Suatu waktu
saya menulis sebuah artikel tentang Indonesia. Artikel tsb saya
kirimkan kepada mereka, Kepada sebuah majalah yang diterbitkan
oleh badan ini. Nama majalah itu, “Voic of Friendship”, “Suara
Persahabatan”. Artikel saya itu dimuat oleh mereka. Sedangkan
Suharto ketika itu masih Presiden Indonesia. Saya fikir: Ini hal
yang baru. Artinya mereka masih ingat pada saya. Dari situ saya
bernani mengajukan fikiran. Saya bilang kepada mereka: --
Bagaimana kalau saya berkunjung ke Tiongkok?
Lama
belum
ada jawaban. Pada suatu hari datang jawaban: SILAKAN DATANG KE
TIONGKOK. KAMI MENYAMBUT! Dengan demikian kami berkunjung (lagi)
ke Tiongkok (setelah sepuluh tahun lamanya meninggalkan
Tiongkok). Ketika itu ada ide saya untuk membukukan
tulisan-tulisan saya mengenai Konferensi Asia-
Afrika Bandung (1955), Karena, saya rasa, masih banyak yang belum diungkap mengenai Konferensi AA tsb. Jadi, saya ingin berkunjung ke Tingkok. Karena saya tahu, mereka punya dokumentasi yang bagus mengenai Konferensi Bandung.
Afrika Bandung (1955), Karena, saya rasa, masih banyak yang belum diungkap mengenai Konferensi AA tsb. Jadi, saya ingin berkunjung ke Tingkok. Karena saya tahu, mereka punya dokumentasi yang bagus mengenai Konferensi Bandung.
Saya
ajukan
kepada teman-teman Tiongkok itu, bahwa saya ada ide hendak
meulis tentang Konferensi Asia-Afrika, Bandung. Mengenai Sepuluh
Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai yang dideklarasikan oleh
Koferensi Bandung. Jadi, itulah idenya mengapa mau berkunjung ke
Tiongkok ketika itu.
*
* *
Ketika
kami
tiba di Beijing tahun 1998 itu, kami sudah tidak kenal lagi kota
Beijing. Jangka waktu itu adalah antara 1986 ketika kami
meninggalkan Tiongkok, dan tahun 1998, ketika kami berkunjung
lagi ke Tiongkok. Kan itu meliput waktu 10 tahun lebih. Kalau
kami dilepas di tengah kota, sudah tidak tahun jalan. Karena
kota itu sudah jauh sekali berbeda dengan keadaannnya semula.
Nah, ketika kami baru-baru ini, tigabelas tahun kemudian,
berkunjung lagi ke Beijing, perubahaan yang berlangsung sudah
lebih besar lagi. Kami seolah-olah orang Udik betul yang dari
desa berkunjung ke sebuah kota. Apa yang kami lihat itu,
betul-betul sesuatu yang hebat!
Tapi,
ini
tentu apa yang tampak (dari luar). Bagaimana isinya, kita kan
belum tahu. Perubahan-perubahan dan kemajuan yang terjadi di
Tiongkok, bisa kita lihat di pers dunia. Hampir tiap minggu ada
artikel mengenai Tiongkok. Apalagi di Amerika. Dan saya kira di
juga begitu negeri-negeri lain, termasuk Indonesia. Jadi
terhadap gejala ini, kita tidak boleh menutup mata terhadapnya.
Dengan mengatakan, ah itu kan negeri lain. Atau alasan lainnya .
. . .. Tidak usahlah kita perhatikan. Kita tidak mungkin
mengambil sikap demikian itu.
*
* *
Baru-baru
ini
saya lihat sebuah berita di “de Volkskrant”. Kami langganan s.k.
Belanda “deVolkskrant”. Apa yang ditulis di situ? Sejumlah
perusahaan Tiongkok, mengadakan persetujuan kontrak dengan
Kotapraja London. Isinya apa? Mereka mau membangun CHINA TOWN di
London. Disana sudah ada China Town. Mereka mau bikin China Town
kedua. Ongkosnya lebih dari dua milyar dollar. Mereka membikin
proyek itu bukan untuk mendatangkan orang-orang Tiongkok untuk
tinggal di situ. Tidak! Mereka akan membuatnya menjadi salah
satu pusat finans (Tiongkok) di dunia. Direncanakan akan
menyebar ke seluruh Eropah. Dengan cara ini. Yaitu dengan cara
menciptakan sebuah “China Town”. Yang akan ditempati oleh
perwakilan-perwakilan perusahaan besar dan bank-bank besar dari
Tiongkok. Dan juga dari negeri-negeri lain. Supaya di tempat
itulah nanti, dengan mudah pelbagai fihak mengadakan
transaksi-transaksi. Ini kita tidak bisa bayangkan bagaimana
perkembangannya nanti.
Beberpa
hari
kemudian, ada berita lagi. Sebuah perusahaan pembuatan
kapal-kapal yacht, kapal pesiar Inggris, yang hampir bangkrut.
Perusahaan itu kemudian dibeli olehTiongkok. Beberapa minggu
sebelumnya di Amerika Serikat ada suatu perusahaan pemotongan
hewan yang terbesar, sekarang dibeli lagi olehTiongkok. Bukan
oleh perusahaan Tiongkok yang milik pemerintah saja, tetapi oleh
perusahaan-perusahaan swasta Tiongkok lainnya. Jadi ini
merupakan perkembangan yang terus saja.
*
* *
Kami
diundang
ke Universitas Komunikasi Tiongkok, dalam bahasa Inggris,
disebut “Communication University of China”. Baru berdiri
beberpa puluh tahun. Universitas ini melahirkan
wartawan-wartawan untuk media pers, kantor berita, radio, TV
dll. Dari situ dilahirkan jurnalis-jurnalis yang paling sedikit
tamatan S-2. Orang-orangnya cerdas-pandai dan muda-muda.
Mereka
bertanya:
Pak Isa dulu anggota Abri, ya? Abri? . . . Oh ya, pada periode
Revolusi Kemerdekaan Indonesia, saya menjadi anggota BKR, Badan
Keamanan Rakyat. Saya ambil bagian, ikut dalam Revolusi Agustus.
Menjadi anggota BKR. Mereka tahu juga informasi ini. Tapi,
dikiranya saya jadi anggpota Abri. Bukan Abri ketika itu, tetapi
Badan Keamanan Reakyat, BKR. Mereka itu ingin tahun visi saya
mengenai hubungan saya dengan Tiongkok.
*
* *
Perlu
dikemukakan
bahwa terjadinya diskusi di universias tsb, adalah a.l berkat
bantuannya Siauw Maylan, di situ namanya Xiaoqun. Dia adalah
kakaknya Maylie. Dia itu aktif sekali. Tahu, kami mau datang.
Dia segera menghubungi macam-macam fihak. Termasuk menghubungi
universitas.
Perlu
dielaskan
di sini bahwa yang utama mengatur kami adalah YOUXIE, tuanrumah
kami.
Salah
seorang
peserta dalam diskusi di situ, mengatakan sbb: ---- Menurut
saya, Pertumbuhan (ekonomi) Tiongkok, hampir kebablasan.
Kecepatannya itu terlalu besar. Dan ini menimbulkan konflik
antara sementara pejabat-pejabat pemerintah setempat dengan
penduduk, Karena tanah dimana tinggal penduduk itu mau digusur,
untuk memdirikan pabrik atau proyek lainnya. Dan itu sering
terjadi. Disamping itu pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang
begitu cepat itu, menimbulkan POLUSI.
Menurut
pembiocara
tsb, pertumbuhan ekonomi Tiongkok harus di-“SLOW DOWN”-kan. Saya
tanya: Harus “slow down”; lalu harus bagaimana. Dia bilang,
harus lebih memperhatikan yang langsung menyangkut
peri-kehidupan rakyat., Yaitu mengatasi POLUSI. Jadi polusi ini,
memang merupakan hal yang serius. Kita tahu juga, bahwa
pemerintah sudah berrencana menanganinya.
Dari
sini
saya lihat, adalah untuk pertama kalinya bagi saya, menghadiri
suatu pertemuan yang semi-publik (di Tiongkok), bahwa di situ
ada yang bicara secara terus terang terbuka. Dia bilang
perkembangan ekonomi negeri harus “slow down”. Jadi beda dengan
pemerintah. Pemerintah menyatakan harus mempertahankan
pertumbuhan dan perkembangan ekonomi menurut kecepatan yang
sekarang ini. Sambil menangani dampak (polusi) yang timbul dari
pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang pesat itu. Tetapi
pendapat tadi itu mengatakan: Harus slow-down. Dan memusatkan
usaha pada mengatasi polusi.
Satu lagi hal baru
yang saya saksikan. Adanya keberanian untuk mengemukakan
pendapat yang berbeda (dengan pemerintah).
*
* *
Kami
berkunjung
ke kota Shenzhen, yang termasuk “Special Economic Zone”. Artinya
“Daerah Ekonomi Istimewa”. Yang berlangsung disitu terutama
ekonomi kapitalis. Terbuka keluar dan terbuka kedalam. Memang
hebat. Saya pernah mengunjungi Shenzhen ketika masih di
Tiongkok. Ketika datang kembali ke Shenzhen baru-baru ini, saya
sudah tidak mengenal lagi kota itu. Sebuah kota kecil yang
tadinya berpenduduk 30.000 orang sudah berkembang menjadi kota
besar yang berpenduduk 10.000.000. Dengan perusahaan-perusahaan,
bank-bank, dan pabrik-pabrik perindustian yang luas, termasuk
pabrik container yang terbesar di Asia. Di situlah saya bertemu
dengan seorang kader (mendengar tuturnya dan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan). Dulunya ia ikut membina kota Shenzhen
ini, khususnya “Kota Huachiao Shenzhen”.
Dia
berani
mengemukakan pendapatnya secara terus-terang. Dia tidak
mengatakan bahwa apa yang dikatakannya itu hanya untuk saya
saja. Ia menegaskan bahwa dalam jangka waktu tiga puluh tahun
belakangan ini, setelah dilancarkan kebijakan keterbukaan dan
reform, Tiongkok mengalami pertumbuhan dan perkembangan
ekonomi yang luar biasa.
Tapi,
katanya,
tahulah Bung, perkembangan ekonomi luar biasa dan cepat itu,
berlangsung bukan tanpa risiko.
Risikonya,
dampak
negatifnya, menurut dia, ada tiga hal.
Pertama,
terjadinya kesenjangan sosial dalam masyarakat. Artinya terdapat
perbedaan besar antara yang miskin dan kaya. Yang kaya, kaya
luar biasa. Dan yang miskinpun sangat miskin. Meskipun, jika
dibanding antara yang miskin sekarang dengan yang miskin dulu,
yang miskin sekarang jauh lebih baik dari yang miskin dulu.
Artinya yang miskin sekarang ini, tidak semiskin 40 tahun yang
lalu. Tapi, tokh tetap miskin.
Kepada
salah
seorang kawan lama Tiongkok, saya tanya kesannya mengenai
pernyataan kawan Tiongkok tadi itu, bahwa dewasa ini terdapat
kesenjangan sosial yang besar antara yang miskin dengan yang
kaya. Seperti yang saya dengar baru-baru ini. Teman ini,
mengatakan: Ya betul! Ia membenarkan bahw kesenjangan sosial
antara yang miskin dengan yang kaya itu, luar biasa. Dia bilang,
kalau masalah ini tidak diurus dengan baik oleh pemerintah, ini
bahaya.
Sebab,
banyak
anggota Partai Komunis Tiongkok, yang sangat percaya kepada
Partai, bahwa PKT adalah Partai yang berhak memimpin, dan adalah
Partai yang paling baik, tapi sekarang ini kok begini jadinya.
Kawan tadi mengatakan, bahwa melihat keadaan demikian itu,
mereka jadi stres. Di dalam otaknya dia tidak bisa memecahkan
masalah ini. Ini problim-prblim yang ada.
Di
satu fihak kita lihat, negeri Tiongkok dengan kemajuannya yang
luar biasa. Yang semua itu mereka akui. Di sini baiknya.
Mereka mengakui kemajuan itu. Teman yang saya ajak bicara
ini, adalah berkat Chan CT. Kenal, ya, dengan Chan CT? Dia
(bersama istrinya) spesial datang dari Hongkong ke Shenzhen
untuk membantu saya. Dan Chan CT membantu saya dalam
penterjemahan dengan teman Tiongkok yang di Shenzhen itu.
Ya,
betul,
Chan CT itu, adalah adiknya Siauw Maylie. Terima kasih ya,
Maylie. Hebat sekali bantuannya! Saya bilang kepada Chan CT,
wah, -- susah-susah datang dari Hongkong ke Shenzhen untuk
menemui dan bantu kami. Aah, cuma dua jam saja kok, dari
Hongkong ke Shenzhen dengan kereta-api cepat, kata Chan CT.
*
* *
Dari
apa
yang dikemukakan kawan Tiongkok tadi, saya jadi ingat kembali
yang dikemukakan dalam diskusi di Beijing. Bahwa dalam situasi
ekonomi Tiongkok dewasa ini, yang telah meninbulkan pertumbuhan,
perkembngan dan kemajuan luar biasa. Tapi dia tunjukkan,
pertama, harus melakukan “slow down”.
Di
Shenzhen kawan tadi juga mengemukakan bahwa terdapat tiga hal
sebagai dampak perkembangan selama ini:
Pertama,
adanya perbedaan besar antara yang kaya dan yang miskin. Adanya
kenyataan tsb dibenarkan oleh orang biasa yang saya ajak bicara.
Saya
mengadakan
diskusi tidak hanya dengan pejabat-pejabat, para pemimpin Youxie
di Beijing , Shanghai, Nanchang dan Shenzhen, . . . tapi juga
dengan orang-orang biasa. Mereka saya tanyai pendapatnya dan
minta jawaban yang terus terang.
Saya
tidak
pernah mendengar jawaban yang mengatakan: Wah, situasi
Tiongkok ini sudah tidak beres! Tidak ada yang mengatakan
demikian. Semua bilang, situasi Tiongkok baik dan hebat . . .
tapi dampak negatif dari pertumbuhan dan perekembangan harus
diatasi. Kebetulan, . . . . bukan kebetulan, sejak tahun
2008, titik pusat usaha pemerintah Tiongkok adalah meratakan
kemakmuran. Khusus untuk meratakan kemakmuran di kalangan
rakyat. Artinya mengatasi situasi kesenjangan sosial yang ada.
Lalu,
yang kedua, apa yang dikatakan kawan tadi sebagai dampak
negatif. Yang kedua adalah munculnyya polusi. Yang juga
dikemukakan oleh teman dari univrsitas. Dia bilang polusi itu .
. . luar biasa. Coba Bung keluar kot Beijing atau Shanghai
sejauh 100 km. Bung akan temui sungai-sungai yang sudah kuning
warna airnya, atau merah dsb. Aliran-alrian kotor dari
pabrik-pabrik itu ke situ perginya. Katanya.
Ketiga:
Tidak tanggung-tanggung! Dia bilang k e b e j a t a n m o r a l
! Apa yang dia bilang. Nomor satu adalah KORUPSI.
Sampai-sampai ada yang bilang: Di Tiongkok ada ungkapan, Gejala
KADER TELANJANG. Atau pejabat telanjang. Pejabat-pejabat tsb,
istrinya, anaknya, kekayannya, Semua itu sudah dikirim keluar
(negeri). Jadi, dia sendiri, dia telanjang. Bagaimana dalam
bahasa Tionghoanya? Ya, dalam bahasa Tionghoanya disebut . . .
Luo Guan. Itu memcerminkan betapa hebatnya, korupsi itu.
Kemudian masalah kebiasaan yang meniru-niru kebiasaan dan cara
hidup Barat. Meskipun tidak terlalu menyolok, tetapi tokh . . .
. .
Sampai
ada
ungkapan sbb: Boleh dibilang tidak ada pejabat yang tidak korup!
Ucapan ini dikemekakan blak-blakan begitu. Yang bicara itu tidak
memesan kepada saya: Bung, ini untuk Bung saja. Tidak!. Jadi
saya lihat ada keberanian.
*
* *
Kalau
kita
periksa garis-garis kebijakan pemerintah, Pimpinannya, yaitu
Partai Komunis Tiongkok selalu mengajarkan kepada rakyatnya :
HARUS MEMBEBASKAN FIKIRAN! Mereka mengajukan semboyan : Bebaskan
fikiran, dan, gunakan otak sendiri, serta lakukan analisa
kongkrit atas situasi kongkrit; ------ kemudian MENCARI
KEBENARAN DARI KENYATAAN! Prisip-prinsip inilah yang selalu
mereka pegang. Membebaskan fikiran, termasuk disini melepaskan
diri dari kekhawatiran. Ketika berbicara mengenai masalah ini
atau itu,
(Bersambung)
*
* *
No comments:
Post a Comment