Wednesday, July 3, 2013

KALA PERBUDAKAN DIHAPUSKAN BELANDA

Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 01 Juli 2013
----------------------------

KALA PERBUDAKAN DIHAPUSKAN BELANDA
Sebelum memasuki tema sekitar Hari Peringatan Dihapuskannya Perbudakan di Surinam dan Antilen oleh Kerajaan Belanda, baik diawali cerita sedikit mengenai cuaca kemarin. Nyambung dengan Hari Peringatan tsb.

* * *

Cuaca di Holland belakangan ini, tidak pernah secerah hari Minggu kemarin. Pagi-pagi memang angin yang bertiup sepoi-sepoi basa, terasa agak sejuk. Dan Sang Surya tidak menampakkan dirinya. Menjelang siangan sedikit, matahari mulai bersinar dengan leluasa. Dan dimulailah hari Minggu cerah dan lumayan hangat rasanya.

Murti dan aku dijemput putri sulung kami, Pratiwi bersama suaminya. Dan bersama kami menuju lapangan tenis Hoofddorp. Mungkin kompleks lapangan tenis di situ yang paling luas. Hari itu dilangsungkan “kompetisi tenis” antara paduan orangtua dengan anak melawan pasangan serupa lainnya. Cucu kami Anusha ( yang tinggal di Hoofddorp), akan bertanding dengan berpatner dengan oomnya, suami Pratiwi, melawan pasanagan putri dan bapaknya, warga Belanda turunan Tionghoa. Itulah sebabnya hari Minggu itu, pagi-pagi itu kami sudah hadir di lapangan tenis Hoofddorp.

Hari itu ada 26 pasang yang “bertanding”. Tentu, bukan pertndingan tenis yang sungguhan. Main tenisnya sungguhan, tetapi pertandingan itu, tampaknya untuk mengakhiri satu musim kursus olah-raga tenis, yang dikelola oleh suatu lembaga olahraga anak-anak di Hoofddorp..

Ketika papasan dengan seorang seorang anak laki-laki Belanda, aku bertanya: Kamu akan bertanding? Ya, jawabnya dengan bangga. Siapa partnermu? Nenek saya, jawabnya sambil senyum bangga.

* * *

Sepanjang siang itu, kami “sibuk” nonton “pertandingan tenis”. Kebetulan di samping kami duduk seorang wanita berkulit agak terang, bersama putranya, yang berkulit Hitam. Rupanya warga Belanda asal Surinam. Datang bapaknya, Hitam. Sang bapak berpakaian T-shirt, dan di belakang tercetak huruf-huruf besar (dalam bahasa Belanda) “Peringatan Ultah ke-140 Hapusnya Perbudakan di Suriname dan Antilen” . Dan teks berikutnya, dalam bahasa Surinam: “Keti Koti”. Artinya “Rantai-rantai Telah Dipatahkan”.

Ya, kata bapak tadi. Tahun lalu, diperingati hapusnya Perbudakan oleh Kerajaan Belanda. Dan besok tanggal 1 Juli adalah hari Ultah ke-150 Dihapuskannya Perbudakan di Surinam dan Antilen. T-shirt ini sudah 10 tahun saya pakai, kata sang bapak tadi.

* * *

Memang beberapa hari yang lalu aku baca di s.k De Volkskrant, sebuah wawancara s.k tsb dengan putri seorang seniman kabaret Belanda asal Surinam yang populer. Jürgen Raayman namanya. Raayman dan putrinya aktif ambil bagian dalam persiapan pembagunan sebuah musium sejarah perbudakan di Surinam.

Masih nyantol dalam ingatanku apa yang dikatakan putri Raayman dalam wawancara itu. Putri Jürgen Raayman dengan tegas menandaskan, bahwa, sampai sekarang, meski sudah 150 tahun sistim perbudakan dihapuskan, tetapi “diskriminasi” terhadap warga Belanda yang berkulit Hitam masih terus berlangsung. “Semakin terang warna kulitmu, makin besar kemungkinan dapat kerja, dan kesempatan lainnya”, katanya. Artinya makin Hitam kulitmu makin sedikit kesempatan! Meskipun kau warga-negara Belanda.

* * *

Jika masalah perbudakan dibicarakan dalam rangka sejarah Belanda menguasai Siriname dan Anatilen, maka yang ditonjolkan ialah masalah peranan dalam perdangangan budak. Belanda adalah negeri Barat yang paling belakang yang menghapuskan sistim perbudakan. Puluhan ribu budak-budak yang terdapat di Surinam ketika itu. Resminya sistim perbudakan dihapuskan, tetapi dalam kenyataanya para budak-budak itu harus tetap tinggal di perkebunan-perkebunan gula milik tuan-tuan budak Belanda. Katanya sebagai 'konpensasi' finansial untuk pemilik-pemilik perkebunan berkulit Putih itu.

Meskipun sistim perbudakan telah dihapuskan oleh Kerajaan Belanda, namun, nasib kehidupan dari mereka-merka, yang tadinya budak-budak itu, tetap tidak berubah. Mereka tetap dalam posisi yang 'minder' dan tegantung, terbanding orang-orang berkulit Putih. Seorang psikolog, DeGruy, yang banyak menulis tentang masalah perbudakan, menyatakan dalam bukunya (2005) berjudul “Post Traumatic Slave Syndrome”, bahwa, perbudakan dan penindasan rasistis yang berjangka panjang terhadap orang-orang Afro-Amerika, itulah yang pada popkoknya menyebabkan keterbelakangan mereka di dalam masyarakat. Ia melukiskannya sebagai bentuk stres-post-traumtic yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Penulis lainnya, Glenn Helberg, ketua Badan Musyawarah Orang-oang Belanda Caribia, menyatakan bahwa, di belakang kolonialisme dan perbudakan terdapatg cara berfikir 'minder' (rendah diri) dari orang-orang berkulit Hitam. Di dalam gambarannya orang-orang H|itam itu buruk, pemalas dan bodoh, agama mereka adalah suatu kepercyaan belaka, dan dalam pandangan seksuil, mereka-mereka itu, adalah seperti binatang buas. Begitulah terdapat didalam fikiran (orang-orang kulitr Putih itu), meskipun tidak selalu diutarakan kera-keras.

Selanjutnya Helberg: Dalam sistim perbudakan terdapat inter-aksi yang terus menerus antara tuan-tuan budak dengan para budak. Kulit Putih selalu yang jadi tuan-besar. Jika kau lahir dalam situasi demikian itu, maka itulah yang merupakan kenyataan bagimu. Orang-orang berkulit Putih dalam pandangan-hidupmu adalah orang-orang yang superiur (unggul). Pandangan itu selalu ada padamu, dan dengan sendirinya kau meneruskan pandangan ini pada anak-anakmu. Demikian Glenn Helberg.

Di sepanjang sejarah orang-orang berkulit Hitam selalu yang menderita. Proses itu masih berlangsung terus, tidak saja dari luar, tetapi juga dari dalam. Dengan diboyongnya (diculiknya) mereka dari Afrika struktur-pelindung hilang, yang di Surinam dan Curacao harus dibangun kembali dari mula. Dalam proses selanjutnya, trauma yang satu menimnpa trauma lainnya. Kultur semakin lama makin menghilang. Selain itu para korban dari suatau trauma melalui waktu tertentu, berubah menjadi pelaku. Di kalangan sementara keluarga orang Hitam, kita bisa menyaksikan patron yang dulunya dilakukan oleh orang-orang berkulit Putih. Yaitu melakukan kekerasan fisik dan seksuil. Saling memandang rendah yang lainnya. Orang-orang itu terkadang begitu terpenjara dalam derita sebagai korban, -- sehingga mereka tidak sadar, bahwa mereka juga telah menjadi pelaku . . . Demikian Glenn Herberg.

* * *

Memandang ke sejarah perbudakan, kita akan melihat bahwa pedagangan budak yang dilakukan Belanda, dimulai pada permulaan abad ke-XVII. Kapal-kapal Belanda mengangkut 600.000 budak-budak Afrika ke Barat. Diduga sebanyak 14% dari jumlah itu mati dalam pelajaran. Kurang dari separuh yang hidup sampai di jajahan-jajahan Belanda. Yang selebihnya dilelang di pasar lelang budak. Budak-budak dari Afrika itu dipaksa kerja dan diperas demi ekonomi ekspor gula yang ditujukan terutama ke Eropah.

Seluruhnya ada 215.000 budak-budak Afrika yang diangkut ke Suriname. Meski 6 koloni lainnya di Nederlandse Antillen, bukan merupakan perkebunan yang tipikal, di situ juga banyak budak-budak yang dipekerja-paksakan. Misalnya di perkebunan dan pelabuhan. Seiring dengan itu Curacao berkembang sebagai pasar-perantara untuk pasaran perdagangangan budak ke Amerika Latin. Barulah ketika perkebunan-perkebunan itu tidak lagi memberikan keuntungan, baru ketika itu terdapat kemungkinan politik untuk dihapusknnya sistim perbudakan.

Ketika “Keti Koti” (Rantai telah dipatahkan) , di Suriname terdapat 33.000 orang Hitam yang hidup di bawah sistim perbudakan.Di Antillen terdapat kira-kira 12.000 budak-budak.

* * *

Zaman berubah, perkembangan bergerak maju. Pada 1 Juli 2013 ini, diadakan hari peringatan besar-besdaran. Peringatgan dilaksanakan a.l oleh St Peringatan Perdagangan budak 2-13 di Amsterdam, dan di beberapa tempat lainnya. Juga diadakan kegiaan kulturil, edukatif dan ilmiah berkenaan dengan penghapusan sistim pebudakan 150 tahun yang lalu.

Pada peringatan 1 Juli hari ini dilakukan 21 tembakan meriam dimulai tepat pada jam 13.00 siang, di Pangkalan Marine Belanda, di Amsterdam.

Sorenya, -- Raja Willem Alexander dan Ratu Maxima hadir di peringatan yang diadakan di Oosterpark. Di tempat inilah pada peringatan serupa di tahun 2012, Ratu Beatrix meresmikan sebuah tugu peringatan nasional mengenai Masa Perbudakan Masa Lampau, sebuah monumen yang dirancang oleh seniman Surinam, Erwin de Vries. Monumen tsb mengisahkan masa lampau, sekarang dan haridepan. Tugu Monumen Nasional tsb merupakan tanda hormat pada kekuatan yang ditunjukkan oleh kaum budak dalam perjuangan untuk kebebasannya.

* * *

Anggota Dewan Kotapradja, Wethouder Andree van Es, mengharapkan agar pada kesempatan peringatan ini, Kerajaan Belanda menyatakan secara resmi permintaan maaf, atas sitim perbudakan yang dilaksanakan Belanda terhadap bangsa Afrika.



Seratus lima puluh tahun berlalu Belanda telah melakukan kejahatan perdanganan budak dan memberlakukan sistim eksploitasi perbudakan dengan memboyong mereka dari Afrika Barat dan mempekerja-paksakan di Suriname dan Antillen.
Namun akhirnya mereka tiba pada kesadaran, tentang kejahatan yang dilakukan oleh Belanda terhadap budak-budak dari Afrika. Dan sambil mengadakan peringatan besar-besaran mengenangkan lembaran hitam dalam sejarahnya, muncul tuntutan agar pemerintah Belanda secara resmi minta maaf atas kejahatannya itu.



* * *



Pada titik ini, fikiran kita melambung ke Indonesia, dimana hampir setengah abad yag lalu (1965) klik militer di bawah Jendral Suharto dengan dukungan sementara kekuatan sipil dan religius, telah melancarkan suatu genosida terhadap warga yang tidak bersalah. Suatu genosida dan pelanggaran HAM berat yang telah menyebabkan korban kurang lebih 3 juta warga yang tidak bersalah.



Mantan Presiden Gus Dur telah menyatakan permintaan maaf atas keterlibatan Ansor dan Nahdatul Ulama dalam genosida tsb.



Realiskah bila mengharapkan, di Indonesia, berkat tuntutan kuat masyarakat, akan datang waktunya dimana orang yang paling bertanggung-jawab di negara Republik Indonesia, Presiden R.I, bersedia menyatakan permintaan maaf atas korban-korban yang timbul dalam Peristiwa 1965, akibat keterlibatan langsung aparat negara Repubik Indonesia?



* * *






No comments: