Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 01 Juli 2013
----------------------------
KALA PERBUDAKAN DIHAPUSKAN BELANDA
Senin, 01 Juli 2013
----------------------------
KALA PERBUDAKAN DIHAPUSKAN BELANDA
Sebelum
memasuki
tema sekitar Hari Peringatan Dihapuskannya Perbudakan di Surinam
dan Antilen oleh Kerajaan Belanda, baik diawali cerita sedikit
mengenai cuaca kemarin. Nyambung dengan Hari Peringatan tsb.
*
* *
Cuaca
di
Holland belakangan ini, tidak pernah secerah hari Minggu
kemarin. Pagi-pagi memang angin yang bertiup sepoi-sepoi basa,
terasa agak sejuk. Dan Sang Surya tidak menampakkan dirinya.
Menjelang siangan sedikit, matahari mulai bersinar dengan
leluasa. Dan dimulailah hari Minggu cerah dan lumayan hangat
rasanya.
Murti
dan
aku dijemput putri sulung kami, Pratiwi bersama suaminya. Dan
bersama kami menuju lapangan tenis Hoofddorp. Mungkin kompleks
lapangan tenis di situ yang paling luas. Hari itu dilangsungkan
“kompetisi tenis” antara paduan orangtua dengan anak melawan
pasangan serupa lainnya. Cucu kami Anusha ( yang tinggal di
Hoofddorp), akan bertanding dengan berpatner dengan oomnya,
suami Pratiwi, melawan pasanagan putri dan bapaknya, warga
Belanda turunan Tionghoa. Itulah sebabnya hari Minggu itu,
pagi-pagi itu kami sudah hadir di lapangan tenis Hoofddorp.
Hari
itu
ada 26 pasang yang “bertanding”. Tentu, bukan pertndingan tenis
yang sungguhan. Main tenisnya sungguhan, tetapi pertandingan
itu, tampaknya untuk mengakhiri satu musim kursus olah-raga
tenis, yang dikelola oleh suatu lembaga olahraga anak-anak di
Hoofddorp..
Ketika
papasan
dengan seorang seorang anak laki-laki Belanda, aku bertanya:
Kamu akan bertanding? Ya, jawabnya dengan bangga. Siapa
partnermu? Nenek saya, jawabnya sambil senyum bangga.
*
* *
Sepanjang
siang
itu, kami “sibuk” nonton “pertandingan tenis”. Kebetulan di
samping kami duduk seorang wanita berkulit agak terang, bersama
putranya, yang berkulit Hitam. Rupanya warga Belanda asal
Surinam. Datang bapaknya, Hitam. Sang bapak berpakaian T-shirt,
dan di belakang tercetak huruf-huruf besar (dalam bahasa
Belanda) “Peringatan Ultah ke-140 Hapusnya Perbudakan di
Suriname dan Antilen” . Dan teks berikutnya, dalam bahasa
Surinam: “Keti Koti”. Artinya “Rantai-rantai Telah Dipatahkan”.
Ya,
kata
bapak tadi. Tahun lalu, diperingati hapusnya Perbudakan oleh
Kerajaan Belanda. Dan besok tanggal 1 Juli adalah hari Ultah
ke-150 Dihapuskannya Perbudakan di Surinam dan Antilen. T-shirt
ini sudah 10 tahun saya pakai, kata sang bapak tadi.
*
* *
Memang
beberapa
hari yang lalu aku baca di s.k De Volkskrant, sebuah wawancara
s.k tsb dengan putri seorang seniman kabaret Belanda asal
Surinam yang populer. Jürgen Raayman namanya. Raayman dan
putrinya aktif ambil bagian dalam persiapan pembagunan sebuah
musium sejarah perbudakan di Surinam.
Masih
nyantol
dalam ingatanku apa yang dikatakan putri Raayman dalam wawancara
itu. Putri Jürgen Raayman dengan tegas menandaskan, bahwa,
sampai sekarang, meski sudah 150 tahun sistim perbudakan
dihapuskan, tetapi “diskriminasi” terhadap warga Belanda yang
berkulit Hitam masih terus berlangsung. “Semakin terang warna
kulitmu, makin besar kemungkinan dapat kerja, dan kesempatan
lainnya”, katanya. Artinya makin Hitam kulitmu makin sedikit
kesempatan! Meskipun kau warga-negara Belanda.
*
* *
Jika
masalah
perbudakan dibicarakan dalam rangka sejarah Belanda menguasai
Siriname dan Anatilen, maka yang ditonjolkan ialah masalah
peranan dalam perdangangan budak. Belanda adalah negeri Barat
yang paling belakang yang menghapuskan sistim perbudakan.
Puluhan ribu budak-budak yang terdapat di Surinam ketika itu.
Resminya sistim perbudakan dihapuskan, tetapi dalam kenyataanya
para budak-budak itu harus tetap tinggal di
perkebunan-perkebunan gula milik tuan-tuan budak Belanda.
Katanya sebagai 'konpensasi' finansial untuk pemilik-pemilik
perkebunan berkulit Putih itu.
Meskipun
sistim
perbudakan telah dihapuskan oleh Kerajaan Belanda, namun, nasib
kehidupan dari mereka-merka, yang tadinya budak-budak itu, tetap
tidak berubah. Mereka tetap dalam posisi yang 'minder' dan
tegantung, terbanding orang-orang berkulit Putih. Seorang
psikolog, DeGruy, yang banyak menulis tentang masalah
perbudakan, menyatakan dalam bukunya (2005) berjudul “Post Traumatic Slave
Syndrome”, bahwa, perbudakan dan penindasan
rasistis yang berjangka panjang terhadap orang-orang
Afro-Amerika, itulah yang pada popkoknya menyebabkan
keterbelakangan mereka di dalam masyarakat. Ia melukiskannya
sebagai bentuk stres-post-traumtic yang diturunkan dari
generasi ke generasi.
Penulis lainnya, Glenn Helberg,
ketua Badan Musyawarah Orang-oang Belanda Caribia, menyatakan
bahwa, di belakang kolonialisme dan perbudakan terdapatg cara
berfikir 'minder' (rendah diri) dari orang-orang berkulit
Hitam. Di dalam gambarannya orang-orang H|itam itu buruk,
pemalas dan bodoh, agama mereka adalah suatu kepercyaan
belaka, dan dalam pandangan seksuil, mereka-mereka itu, adalah
seperti binatang buas. Begitulah terdapat didalam fikiran
(orang-orang kulitr Putih itu), meskipun tidak selalu
diutarakan kera-keras.
Selanjutnya Helberg: Dalam sistim
perbudakan terdapat inter-aksi yang terus menerus antara
tuan-tuan budak dengan para budak. Kulit Putih selalu yang
jadi tuan-besar. Jika kau lahir dalam situasi demikian itu,
maka itulah yang merupakan kenyataan bagimu. Orang-orang
berkulit Putih dalam pandangan-hidupmu adalah orang-orang yang
superiur (unggul). Pandangan itu selalu ada padamu, dan dengan
sendirinya kau meneruskan pandangan ini pada anak-anakmu.
Demikian Glenn Helberg.
Di sepanjang sejarah orang-orang
berkulit Hitam selalu yang menderita. Proses itu masih
berlangsung terus, tidak saja dari luar, tetapi juga dari
dalam. Dengan diboyongnya (diculiknya) mereka dari Afrika
struktur-pelindung hilang, yang di Surinam dan Curacao harus
dibangun kembali dari mula. Dalam proses selanjutnya, trauma
yang satu menimnpa trauma lainnya. Kultur semakin lama makin
menghilang. Selain itu para korban dari suatau trauma melalui
waktu tertentu, berubah menjadi pelaku. Di kalangan sementara
keluarga orang Hitam, kita bisa menyaksikan patron yang
dulunya dilakukan oleh orang-orang berkulit Putih. Yaitu
melakukan kekerasan fisik dan seksuil. Saling memandang rendah
yang lainnya. Orang-orang itu terkadang begitu terpenjara
dalam derita sebagai korban, -- sehingga mereka tidak sadar,
bahwa mereka juga telah menjadi pelaku . . . Demikian Glenn
Herberg.
* * *
Memandang ke sejarah perbudakan,
kita akan melihat bahwa pedagangan budak yang dilakukan
Belanda, dimulai pada permulaan abad ke-XVII. Kapal-kapal
Belanda mengangkut 600.000 budak-budak Afrika ke Barat. Diduga
sebanyak 14% dari jumlah itu mati dalam pelajaran. Kurang dari
separuh yang hidup sampai di jajahan-jajahan Belanda. Yang
selebihnya dilelang di pasar lelang budak. Budak-budak dari
Afrika itu dipaksa kerja dan diperas demi ekonomi ekspor gula
yang ditujukan terutama ke Eropah.
Seluruhnya ada 215.000 budak-budak
Afrika yang diangkut ke Suriname. Meski 6 koloni lainnya di
Nederlandse Antillen, bukan merupakan perkebunan yang tipikal,
di situ juga banyak budak-budak yang dipekerja-paksakan.
Misalnya di perkebunan dan pelabuhan. Seiring dengan itu
Curacao berkembang sebagai pasar-perantara untuk pasaran
perdagangangan budak ke Amerika Latin. Barulah ketika
perkebunan-perkebunan itu tidak lagi memberikan keuntungan,
baru ketika itu terdapat kemungkinan politik untuk
dihapusknnya sistim perbudakan.
Ketika “Keti Koti” (Rantai telah
dipatahkan) , di Suriname terdapat 33.000 orang Hitam yang
hidup di bawah sistim perbudakan.Di Antillen terdapat
kira-kira 12.000 budak-budak.
* * *
Zaman berubah, perkembangan
bergerak maju. Pada 1 Juli 2013 ini, diadakan hari peringatan
besar-besdaran. Peringatgan dilaksanakan a.l oleh St
Peringatan Perdagangan budak 2-13 di Amsterdam, dan di
beberapa tempat lainnya. Juga diadakan kegiaan kulturil,
edukatif dan ilmiah berkenaan dengan penghapusan sistim
pebudakan 150 tahun yang lalu.
Pada peringatan 1 Juli
hari ini dilakukan 21 tembakan meriam dimulai tepat pada jam
13.00 siang, di Pangkalan Marine Belanda, di Amsterdam.
Sorenya, -- Raja Willem
Alexander dan Ratu Maxima hadir di peringatan yang diadakan di
Oosterpark. Di tempat inilah pada peringatan serupa di tahun
2012, Ratu Beatrix meresmikan sebuah tugu peringatan nasional
mengenai Masa Perbudakan Masa Lampau, sebuah monumen yang
dirancang oleh seniman Surinam, Erwin de Vries. Monumen tsb
mengisahkan masa lampau, sekarang dan haridepan. Tugu Monumen
Nasional tsb merupakan tanda hormat pada kekuatan yang
ditunjukkan oleh kaum budak dalam perjuangan untuk kebebasannya.
* * *
Seratus lima puluh tahun berlalu Belanda telah melakukan kejahatan perdanganan budak dan memberlakukan sistim eksploitasi perbudakan dengan memboyong mereka dari Afrika Barat dan mempekerja-paksakan di Suriname dan Antillen.
Namun akhirnya mereka tiba pada kesadaran, tentang kejahatan yang dilakukan oleh Belanda terhadap budak-budak dari Afrika. Dan sambil mengadakan peringatan besar-besaran mengenangkan lembaran hitam dalam sejarahnya, muncul tuntutan agar pemerintah Belanda secara resmi minta maaf atas kejahatannya itu.
* * *
Pada titik ini, fikiran kita melambung ke Indonesia, dimana hampir setengah abad yag lalu (1965) klik militer di bawah Jendral Suharto dengan dukungan sementara kekuatan sipil dan religius, telah melancarkan suatu genosida terhadap warga yang tidak bersalah. Suatu genosida dan pelanggaran HAM berat yang telah menyebabkan korban kurang lebih 3 juta warga yang tidak bersalah.
Mantan Presiden Gus Dur telah menyatakan permintaan maaf atas keterlibatan Ansor dan Nahdatul Ulama dalam genosida tsb.
Realiskah bila mengharapkan, di Indonesia, berkat tuntutan kuat masyarakat, akan datang waktunya dimana orang yang paling bertanggung-jawab di negara Republik Indonesia, Presiden R.I, bersedia menyatakan permintaan maaf atas korban-korban yang timbul dalam Peristiwa 1965, akibat keterlibatan langsung aparat negara Repubik Indonesia?
* * *
No comments:
Post a Comment