Tuesday, July 16, 2013

MELACAK PIMPINAN BANGSA YANG BERDEDIKASI DAN MENGABDI RAKYAT

Kolom IBRAHIM ISA

Jum'at, 12 Juli 2013
-----------------------------



-- MELACAK PIMPINAN BANGSA
YANG BERDEDIKASI DAN MENGABDI RAKYAT



-- PERCAYALAH BANGSA INI PUNYA POTENSI !



* * *



Ramainya pemberitaan, temu-wicara, “talkshows”, diskusi, dll -- sekitar tokoh kepemimpinan baru JOKO WIDODO, dan kemungkinan (besar) Jokowidodo akan terpilih jadi presiden RI hasil pemilihan presiden 2014, --- Situasi ini mengingatkan aku pada suatu “episode” dalam sejarah Tiongkok.



Waktu itu tokoh Kebudayaan Baru Tiongkok, sastrawan besar LU SHUN (25/9/1881 – 19/10/1936) , aktif berjuang dengan penanya untuk PERUBAHAN DI TIONGKOK:
Tiongkok di tahun 1930-an: Dijuluki sebagai “The sick man of Asia”, orang sakit dari Asia. Di dominasi negara-negara asing seperti Jepang, Inggris, Perancis, Jerman, dll . . Kerajaan Dinasti Qing sudah ditumbangkan dan Republik Tiongkok sudah berdiri. (1912). Tetapi secara hakiki Tiongkok masih Tiongkok feodal yang di dominasi kekuatan asing. Di dalam negeri tak terhitung sengketa dan konflik yang tak henti-hentinya antara pelbagai kekuatan ekonomi dan politik. Tuantanah- tuantanah besar, dan raja-raja perang yang saling berperang masih memegang kendali kekuasaan. . . . Rakyat masih dan semakin menderia!



Di kalangan masyarakat terdapat suasana putus harapan dan apatisme, Di lain fihak juga ada suasana MENANTIKAN SANG JENIUS, yang akan menyelamatkan Tiongkok. Kapan akan muncul sang juru selamat itu? Kepada Lu Shun problim ini juga diajukan. Apa jawab Lu Shun?
LU SHUN: Sang juru-selamat Tiongkok, sang Jenius, tidak akan muncul bila tak ada “lahan” yang mennjangnya. Jenius, juru-selamat hanya lahir dari bumi, dari lahan yang sesuai dengan misi itu, serta mampu menunjangnya. “Matangnya” lahan sebagai penunjang, syarat itulah yang terlebih dahulu harus tercipta . . . , barulah akan lahir “sang jenius” yang diharapkan.



Artinya: Masyarakat, rakyat . . . kekuatan itulah yang merupakan faktor penentu apakah akan muncul atau tidak, --- sang jenius, juru selamat yang akan menyelamatakan negeri!



* * *


Dalam beberapa hari ini -- Bisa diikuti sebuah diskusi, “TV Talkshow” yang diikuti oleh lima cendekiawan (istilah TV-RI Nasional) . Yaitu orang- orang yang dianggap terkemuka di bidang media, budaya dan kesarjanaan Indonesia. Sahabatku, pengelola Mailist “Temu Eropah”, Arif Harsana (Münster, Jerman), mengingatkan pembaca tentang siaran video yang ditayangkan di FaceBook (FB). Menurut Arif acara diskusi tsb “menarik untuk dicermati”.


Tema yang dipercakapkan adalah: JOKOWI sbg “SIMBOL PEMBARUAN KEPEMIMPINAN”. Arah diskusi menunjukkan bahwa sekarang ini sudah waktunya Jokowi diusung sebagai “capres” dalam Pempres 2014 nanti. Jokowi diangap 'tidak mungkin' menolak harapan rakyat itu. Jokowi dianggap sebagai pemimpin alternatif bagi rakyat. Rakyat sudah bosan dan muak dengan budaya korupsi, birokrasi, manipulasi, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh tidak sedikit elite politik, parpol dan pimpinan-pimpinan birokasi lainnya. Mereka-mereka itu, umumnya hanya bisa memberikan janji-jani belaka. Di belakang rakyat, melakukan korupsi dan kejahatan-kejahatan lainnya untuk ngeloni kekuasaan dan kedudukan, memperkaya diri, keluarga, konco-konco dan golonganya sendiri.


* * *


Sampai dimana evaluasi lima orsang tokoh kesarjanaan tsb “nyambung” dengan kenyataan, baik kiranya masing-masing telusuri fakta-faktanya. Bagaimana langgam memimpin dan pengabdian Jokowi pada rakyat selama menjabat walikota Solo, dan dalam beberapa bulan sebagai Gubernur Jakarta.


* * *


Sebelum terpilihnya Jokowi menjadi Gubernur Jakarta, pernah kuajukan pertanyaan (Kolom Ibrahim Isa, 24 Maret 2012), sbb: Mungkinkah. . . Ada pejabat yang . . “baik” . . Dikala Reformasi Macet . . Korupsi & Manipulasi . . . Membudaya?
Kolom tsb adalah sebuah respons terhadap tulisan sejarawan muda Wilson (19 Januari 2012) , berjudul “Jokowi dan Proyek Kekuasaaan Pro Rakyat”. Artikel Wilson merumuskan munculnya Jokowi sebagai “angin baru”.


Gebrakannya dalam membuat kebijakan yang pro-rakyat dan bersikap kritis terhadap modal asing, memberikan angin baru pada kekuasaan yang terus membusuk di negeri ini. Kekuasaan yang selama ini dipersonifikasikan dengan pro modal, korup, elitas dan oligarkis, dengan hadirnya Jokowi, kini dapat personifikasi sebagai aspiratif dan pro-rakyat”. Demikian Wilson.

Apa kata sejarawan muda Wilson:
“Pembelajaran – Fakta adanya pemerintahan dapat berpihak pada rakyat, merupakan angin sejuk di tengah kekuasaan yang korup dan elitis. Jokowi sudah meredifinisi kekuasaan menjadi pelayan dan mengabdi kepada kepentingan publik. Dengan gaya sederhananya ia membangun fungsi pengawasan, konsultatif dan kontrol atas pemerrintahannya, berdasarkan demokrasi langsung yang ia kembangkan, melalui turba dan konsultasi langsung publik.


“Jokowi membangunkan raksasa bisu yang bernama rakyat, dari pelaku pasif atas kekuasaan politik menjadi pemain aktif dalam proses penentuan kebijakan sebuah pemerintahan.Dengan cara ini, Jokowi menghancurkan sekat depolitisasi yang diciptakan orde baru, dan yang paling penting lagi, rakyat diberi harapan dan kapasitas untuk mengubah nasibnya dengan terlibat aktif dan langsung untuk mengawasi pemerintahan.

“Apa yang dilakukan Jokowi di Solo . . . . . *memberikan pondasi awal bagi rakyat untuk menyadari kekuatannya untuk mempengaruhi dan mengontrol kekuasaan, suatu tradisi yang dihilangkan sejak tahun 1965 oleh orde baru yang kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan pusat di Jakarta hingga sekarang... (cetak tebal dari I.I.)

“Gejala dan fenomena munculnya dan kiprahnya pejabat negeri, Walikota Solo Joko Widodo, dan sekarang ini sebagai Gubernur Jakarta, merupakan input baru dalam menganalisis perkembangan poitik Indonesia di periode REFORMASI yang sedang “jalan di tempat”. Demikian Wilson.

* * *

Maka menjadilah bahan pemikiran hal yang dipertanyakan dewasa ini: Apa ada pejabat yang baik? Yang berjuang "UNTUK RAKYAT", “DARI RAKYAT” Dan "DIPILIH OLEH RAKYAT" ??? . . . . Di zaman REFORMASI yang mandek dimana korupsi dan manupulasi di kalangan pejabat negeri dari paling atas sampai ke paling bawah, . . . berkembang membudaya?

Jawabnya tidak bisa lain: ADA . . . Tampilnya tokoh Jokowi dan sejumlah tokoh setempat lainnya hasil pemilihan, menunjukkan, bahwa di negeri kita sedang lahir suatu generasi tokoh dan pejabat yang berkehendak dan melakukan dalam tindakan sehari-hari MENGABDI PADA RAKYAT! Berbuat demi kepentingan rakyat!

* * *

Sekitar lahirnya generasi baru orang-orang Indonesia, apakah ia seorang pejabat atau atau aktivis masyarakat lainnya, dengan sendirinya jadi perhatian para pemerhati dan Indonesianis mancanegara. Keplosok mana saja Jokowi berkunjung, rakyat menyambutnya dengan hangat, media eletronik dan cetak mengelu-elukannya dan ia ditakuti oleh pegawai- pegawai birokrasi pemerintahan setempat yang pekerjaannya kurang beres,

Beberapa hari yang lalu kantor berita “Reuters” menyiarkan sebuah tulisan oleh Kamupriya Kapoor dan Andrew R.S. Maarshal, 02 Juni 2013, (diirilis oleh “The Jakarta Globe”). Berjudul “Presidency Beckons for Jakarta’s Rags-to-Riches Governor”. Terjemahan bebas: Jabtatan Presiden untuk Gubernur Jakarta, kota orang-orang kumuh dan kaya-raya.

Artikel tsb (Terjemahan bebas dari teks aslinya bahasa Inggris, I.I.) --antara lain mengemukakan: Joko < “Jokowi” > Widodo, Gubernur Jakarta, mungkin adalah demokrasinya Indonesia mendatang. Mengapa demikian? Ini alasannya”:

Pada suatu sore ia mengunjungi Tambora, sebuah daerah yang padat penduduknya terletak di Barat Jakarta, Dalam rangka inspeksi setelah berkobarnya kebakaran di kampung itu. Dalam beberapa menit saja, lorong-lorang di situ penuh sesak oleh penduduk yang menyambut kedatangannya. Ibu-ibu memeluknya, Priya-priya mencium tangannya. Anak-anak sekolah menyanyi berseru “Hidup Jokowi”. . . .

Tidak menghernakan ia tersenyum lebar. Sebagai seorang pemimin Jokowi populer luar biasa, di suatunegeri dimana skandal-demi-skandal telah mencoreng atau menggulingkan hampir semua politisi terkemuka, termasuk tokoh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan mereka-mereka yang berlonba-lomba benafsu menggantikannya dalam pemilihan mendatang. . . . .



Widodo, 51, adalah seorang mantan pengusaha mebel yang mendewasa di sebuah kampung di pinggir kali di Solo, sebuah kota yang tadinya merupakan kota yang makin merosot. Disitulah ia terpilih menjadi walikota di tahun 2005. Tujuh tahun berikutnya ia menanggulangi kriminalitas, menghidupkam kembali ekonomi setempat, dn memperoleh nama baik karena kepemimpinannya yang bersih , melakukan roda birokrasi pemerintahan dengan lancar, yang kemudian menjadikannya Gubernur Jakarta.



Rencana Joko Widodo untuk ibukota Jakarta malah lebih hebat lagi. Ia berjanji mengakhiri masalah banjir yang kronis, mengatasi kemacetan lalulintas yang bikin pusing kepala dan memberikan perumahan baru kepada lebih sejuta penduduk daerah kumuh. “Inspirasi saya adalah rakyat”, kata Jokowi kepada Reuters. “Saya kira kami bisa memecahkan masalah-masalah kami di sini”. Orang-orang Jakarta juga berfikiran sama. Resep Jokowi sederhana – kompeten, transparan, dan kemahiran bergaul dengan semua orng -- . Tapi mengapa resep ini tampaknya begitu revolusioner, merupakan suatu testamen, begitu korup dan asingnya kebanyakan politikus Indonesia. Di suatu negeri diman parpol dibedakan bukan karen politik yang mereka lakukan, tetapi oleh perorangannya. Widodo dengan mudah akan terpilih – bila ia memutuskan untuk itu. Tapi sekarang, kata dia, ia akan memutsatkan pada Jakarta.



Partainya, PDI-P, barangkali punya fikiran lain, Pemimpinnya adalah mantan presiden Megawati Sukarnoputri, putri dari pahlawan kemerdekaan Indonesia, Sukarno. “Megawati tidak mau tampil sebagi calon pada pemilihan tahun depan”, kata seorang pajabat partai senior, seorang kepercvayaan Megawati yang bicara asal pribadinya tidak diumumkan. “Kami belum mau mengumumkannya, . . tetapi jelas bahwa di dalam partai, semua berfikir mencalonkan Jokowi.”



Di satu fihak kepopuleran Jokowi, seperti dia itu, jarang terdapat di kialangan politisi Indonesia, namun jauh dari sesuatu yang unik. Ia hanyalah yang paling terkenal dari sekian banyak pemimpin yang populer dan pragamatis yang bisa merevolusionerkan cara bagaimana memberlakukan demokrasi yang muda usia di Indonesia.



BAIK, JAHAT Dan JELÉK
Para pemimpin ini adalah produk dari eksperimen de-sentralisasi selama sepuluh tahun belakangan ini – – – suatu proses yang banyak disalahkan jadi penyebb dari terciptanya elite-elite yang korup. “Perlu dimengeri oleh orang-orang Indonesia, yang telah lahir itu, bukan hanya Jokowi saja”, kata Marco Kusumawijaya, direktur sebuah think-tank studi urbanisasi Rujak. “Apa yang kita saksikan ialah munculnya sejumlah pemimpin tipe baru”. Banyak dari mereka itu bukan berasal dari birokrasi -- sumber yang biasa – tetapi dari profesi lain, kata Kholiq Arif, seorang walikota di Jawa Tengah, Wonosobo, yang berjasa merevitalisaswi kota itu. Dia tadinya seorang wartawan. Seorang Walikota lainnya, Herman Sutrisno dari Banjar, adalah seorang dokter, yang masih berpraktek, yang merupakan sebagian dari program perencanaannya.
Pemimpin-pemmpin daerah sering dapat perhatian dan dana dari pemerintah pusat, seperti Jokowi di Solo. Bantaeng dari Sulawesi Tengah ditarik ke pusat untuk suatu pilot-project program, setelah walikotanya, Nurdin Abdullah, memperbaiki pelayanan kesejahteraan kota.



Indonesia harus punya lebih banyak lagi pemimpin macam ini”, kata Tri Rismaharani, Walikota Surabaya, yang dihargai karena menhidupkan kembali kota terbesar kedua Indonesia. “Kami telah merdeka lebih dari 60 tahun seharusnya saat ini kami sudah lebih maju lagi. Kami memiliki kakayaan alam dan sumberdaya manusia, dan kami memerlukan pemimin-pemimpin yang memahami potensi ini”.



Tetapi untuk setiap mini-Jokowi terdapat pemimpin-pemimpin setempat yang telah menyalah-gunakan desentralisasi untuk menjalankan pemerintahan sewenang-wenang dan melakukan perampokan.



Syamsul Arifin sedang menjalani hukuman 6 tahun penjara, karena menggelapkan hampir Rp. 10 milyar ( $ 1 juta), ketika masih menjabat gubernur Sumatera Utara. Banten, sebuah provinsi yang dijabat oleh wanita pertama, Ratu Atut Chosiyah, nama itu sekarang identik dengan nepotisme. Suaminya, putranya, menantu perempuan semua menduduki pos-pos politik senior. Politisi lokal lainnya telah menciptakan unang-undang Islam yang mewajibkan wanita mengenakan jilbab, atau harus ditemani oleh anggota keluarga priya waktu keluar malam hari.



Cemerlang Tanpa Korupsi”
Bapaknya Joko Widodo adalah seorang supir truk., ibunya penjual bambu, dan ketika masih kanak-kanak ia tinggal di sebuah rumah gubuk di tepi Kali Solo. Kemudian bapaknya memasuki usaha kecil di bidang perkayuan, dan Widodo menempuh studi di Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Jokowi adalah yang pertama dari keluarga mereka yang bisa masuk universitas.



Saya mengajarnya suatu pelajaran berharga: orang miskin yang tidak mengerti nilai pendidikan akan tetap miskin. kata Jokowi ketika berkunjung ke Tambora, Jokowi tidak semata-mata menginspeksi rumah-rumah yang terbakar, tetapi juga memberikan cuma-cuma buku-buku dan tas sekolah kepada anak-anak. “Belajar! Belajar!” desaknya, ketika anak-anak itu mengantarnya sampai mobilnya berangkat.



* * *
Mengekspor kayu telah membuat Widodo menjadi seorang jutawan dan seorang usahawan Solo terkemuka. Tetapi adalah situasi kota Solo yang memburuk terus yang memancing Widodo terjun di bidang politik.
Gejolak yang terjadi ketika jatuhnya diktator Suharto, telah meruntuhkan rumah-rumah dan bisnis di Solo dan menghancurkan ekonominya. Kota Solo juga bekén kejelekannya tempat tinggal penganut Islam radikal imam Abu Bakar Bashir, yang dianggap pemimpin spirituil dari penyulut-penyulut bom yang telah membunuh lebih dari 200 orang di Bali di tahun 2002. “Para investor tidak percaya pada kota kami”, kata Widodo.
Berkampanye dengan semboyan “Cemerlang Tanpa Korupsi”, JokoWidodo menjadi walikota pertama yang dipilih dalam tahun 2005. Prestasi utamanya ialah membersihkan jalan-jalan raya kota Solo dan tempat-tempat umum, dengan memindahkan pedagang-pedagang liar ke tempat fasilitas baru. Ia melakukannya melalui insentiv yang didiskusikan dalam puluhan rapat dengan para pedagang (kaki lima) itu. Diskusi-dikusi itu sering dilakukan sambil makan siang atau malam.



Ia terus saja bebicara (dengan mereka) sampai ia meyakinkannya”, kata sahabat Widodo Mari Pangestu, ketika itu menjabat Menteri Perdagangan dan sekarang Menteri Parawisata dan Ekonomi Kreatif. “Ia (Jokowi) amat gigih – tidak memaksa. Bila ia yakin akan idenya ia akan selalu kembali padamu dan melakukannya”.
Setelah menghidupkan kembali pasar-tradisinol kota Solo, ia menarik bisnis baru dengan mendirikan warung-warung non-stop, yang memberikan kesempatan pada para investor menerobos korupsi dan birokrasi. Pejabat-pejabat korup dipecat.



Widodo dan wakilnya, ketika itu Hadi Rudyanto, juga memperbaiki perkampungan kumuh dan memberikan perawatan kesehatan. Ia juga mendorong maju turisme, dengan mempromosi Solo sebagai pusat budaya dan seni Jawa. Mereka berdua terpilih kembali di tahun 2001 oleh 90% suara pemilih. Widodo meninggalkan masa jabatan kedua sebagai walikota Solo, untuk ambil bagian dalam pemilihan gubernur Jakarta. Dan dengan mudah mengalahkan Fauzi Bowo yang menjabat gubernur kota Jakarta ketika itu.



* * *



Jokowi adalah bintang baru”, kata SBY kepada Reuters April y.l. “Suatu ketika ia akan menjadi calon presiden”. “Tetapi Widodo memerlukan lebih banyak waktu sebagai gubernur Jakarta untuk belajar bgaimana mengelola organisasi besar.”, tambah SBY.



Partai Demokrat SBY yang dilanda skandal korupsi tidak memberikan saingan yang kredibel. Jokowi tetap semakin populer dibanding calpres manapun yang sudah diumumkan. Aburizal Bakrie, milyarder pemimpin partai Golkar, tidak punya latar belakar dari miskin jadi kaya dan tidak punya kemampuan bergaul. Prabowo Subianto, calpres dari Gerindra, cemar karena pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Kopassus, yanag dulu dikomandoinya.



Namun,, PDI-P akan mengumumkan pencalonan Widodo selambat mungkin, kata seorang pejbata snior PDI-P. “Kalau kami mengumumkannya sekrang-sekarang ini, orang akan menjadikannya sasaran dan menggulingkannya mulai sekarang sampai tahun depan”.
Banyak pendukung masih berharap Jokowi akan bisa menang dalam tahun 2019. “Jakarta masih memelukannya”, kata Budi Adiputro, 26, salah seorang dari banyak jurnalis yang berkerumun sehari-hari di kantor Gubernur Jakarta.
Namun perencana Urbanisasi Marco Kusumawiojaya tidak khawatir. “Di negeri ini, yang sangat sedikit pemimpin yang baik, kita harus membiarkannya pergi setinggi semampunya”, katanya.”Kita tidak boleh mengeloninya untuk kita sendiri. Dan ia akan bisa mengurus dengan baik kota Jakarta, bahkan sebagai seorang presiden”. Demikian tulis dua orang pemerhati Indonesia, yang dikutip agak panjang -- (Reuters).



* * *



Sejarawan muda Wilson mengajukan alternatif, sbb: -- Negeri ini akan jauh lebih baik bila dipimpin dan dikelola oleh tokoh-tokoh pemimpin baru dan muda, yang dipercaya rakyat, merakyat, serta telah membuktikan dedikasinya demi rakyat. Lima orang dari kalangan kesarjanaan juga telah membeberkan pendapat mereka sekitar SIMBOL PEMBARUAN KEPEMIMPINAN.



Negeri ini mulai melahirkan orang-orang muda seperti itu. Mereka-mereka itu tumbuh dari masyarakat itu sendiri, umumnya bukan mantan pejabat, bukan oang-orang yang bergelimang korupsi dan berkongkalikong politik di pusat. Bukan orang yang didrop dari atas, atau menyandang kesenyawaan darah dengan para pendahu pemimpin pejuang-pejuang kemerdekaan nasional. Mereka-mereka itu antara lain seperti yang digambarkan dalam tulisan dua orang asing pengamat Indonesia, Kamupriya Kapoor dan Andrew R.S. Marshal, Mereka-mereka itu lahir dari daerah, dari bawah. Bersih dari kongkalikong politik di pusat.



Seyogianya, kepedulian masyarakat kita, dan para pemimpin yang prihatin dengan nasib bangsa ini, bertambah besar , ---- dalam mempersoalkan masalah bangsa dan mencari jalan keluar – – - seperti lima orang cendekiawan Indonesia tadi, . . . dan dua orang asing pengamat Indonesia.



PERCAYALAH!
BANGSA INI PUNYA POTENSI
UNTUK MEREBUT DI TANGANNYA SENDIRI --
HARI-DEPAN INDONESIA!



* * *









No comments: