*Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 15 November 2012
-----------------------*
*MULAI SAJA DENGAN KASUS YANG BISA DITANGANI *
*
SEMAKIN DITUNDA-TUNDA SEMAKIN BERKURANG PERHATIAN MASYARAKAT*
* * *
Gugatan dan kritik terhadap sikap Kejaksaan Agung, yang dengan
pelbagai dalih telah mengembalikan Laporan Rekomendasi KomnasHAM
sekitar pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat negara,
dalam peristiwa pembantaian masal 1965 terhadap warga yang tidak
bersalah, --- telah diajukan oleh banyak para korban Peristiwa
Pelanggarn Ham Berat, dan sementara aktivis HAM lainnya di negeri
kita. Berita gugatan terhadap Kejaksaan Agung tsb. antara lain
diajukan oleh Bedjo Untung, Ketua Yayayasan Penelitian Korban
Peristiwa 1965.
Menarik, bahwa VOA, The Voice of America, sebuah stasiun pemancar radio Amerika, suatu lembaga negara AS, juga ikut menyiarkan berita tsb (lihat lampiran). Ini seirama dengan berita-berita di mancanegarqa yang mengungkap bahwa kalangan HAM mancanegara mengeritik sikap pemerintah Indonesia yang dianggap tidak toleran terhadap sementara minoritas yang menganut aliran agama yang berlainan dengan faham mainstream.
Gugatan dan kritik terhadap Kejaksaan Agung mendapat tanggapan pula dari dr *Coen Holzappel, Ketua Stichting WERTHEIM*. Dr Coen mengingatkan agar kasus pelanggaran HAM berat oleh aparat negara ini, jangan sampai dibiarkan berlarut-larut. Karena, hal itu bisa mengakibatkan perhatian masyarakat berkurang terhadap kasus pelanggaran HAM berat itu.
Ia menyarakan agar para juris yang mampu dan berani , untuk tampil memelopori mengajukan kasus ini ke pengadilan. Yaitu kasus-kasus yang sudah bisa ditangani.
* * *
Berikut ini response Dr Coen, yang ditulisnya di Facebook hari ini, dalam bahasa Belanda. Kita mengucapkan terimakasih atas perhatian Dr Coen Holtzappel, terhadap masalah HAM di Indonesia.
Dr Coen Holstzappel menyatakan sbb: ***(Terjemahanbebas)
*"Bahwa keterangan para saksi tidak disumpah (negeri), bukan berarti bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan. Baik menyangkut perkara pengadilan atau yang lepas dari itu. *
*Sementara perkara dimana para saksi telah meninggal, atau tidak bersedia memberikan kesaksian di pengadilan, juga bisa dipublikasi di media maupun di internet. *
Betapapun Kejaksaan Agung telah menerima dan melihat kasus-kasus yang telah dilaporkan untuk dinilai kemungkinan dibawanya ke sidang pengadilan.
*
Juris-juris yang baik dan berani bisa memainkan peranan memeloporinya. *
Maka perkara ini akan menjadi kasus yang berjalan dan bertahan untuk ditindaklanjuti. Dengan demikian akan menjadi perkara yang akan berlangsung lama. Bersamaan dengan itu, merupakan kelemahan dari Laporan KomnasHam tsb.
Makin lama diajukannya ke pengadilan, akan semakin sedikit saksi yang tinggal. Dan dengan itu semakin kecil perhatian masyarakat.
*Maka jangan lupa Yang Terpenting yaitu : *
*MULAI SAJADENGAN KASUS YANG BISA DITANGANI!!!
*
* * *
*DR COEN HOLTZAPPEL, 15 november 2012. *
Dat getuigenverklaringen niet beëdigd zijn, wil nog niet zeggen dat dat niet alsnog kan, het zij in een rechtszaak hetzij los daarvan.
Bepaalde zaken waarvan de getuigen inmiddels overleden zijn dan wel, niet in een rechtzaak willen getuigen, kunnen ook publiek gemaakt worden in de media en op internet. Het hoofdparket heeft in ieder geval de gerapporteerde gevallen bekeken op de mogelijkheden tot berechting.
Goeie juristen zouden nu een voorloper rol kunnen spelen. Dit wordt een zaak van aanpakken en volhouden, dus lange termijn. Dit is tegelijk ook de zwakte van het KOM nas HAM rapport.
Hoe langer je wacht met aanklagen, hoe minder getuigen overblijven, hoe minder publieke aandacht er is. C.H.
Ben het belangrijkste vergeten: Beginnen met de zaken die wel te behandelen zijn!!!!!!!!!!!! C.H. *
Lampiran
------------
*BERITA PENTING DARI VOA (Voice of America)****
---------------------------------------------------------------------
KORBAN PERISTIWA 1965 MENGGUGAT KEJAKSAAN AGUNG*
*
*
Kali ini VOA menyajikan pendengarnya dengan berita yang penting sekali.*
Silakan baca sampai selesai:
* * *
Korban Peristiwa 1965-1966 Kecewa dengan Kejaksaan Agung*
Para korban peristiwa 1965-1966 merasa kecewa karena Kejaksaan Agung
mengembalikan berkas kasus peristiwa tersebut kepada Komnas HAM.
12.11.2012
JAKARTA --- Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) Bejo Untung kepada VOA mengatakan para korban peristiwa 1965--1966 kecewa karena Kejaksaan Agung mengembalikan berkas pelanggaran hak asasi manusia pada peristiwa tersebut kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Juli lalu Komnas HAM mengumumkan hasil penyelidikannya dengan menyatakan bahwa penghukuman secara sistematis pada mereka yang diduga sebagai anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah peristiwa 1965/1966 merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Kejaksaan Agung mengembalikan berkas itu pekan lalu seraya meminta
Komnas HAM melengkapi berkas kasus pelanggaran HAM berat 1965-1966 dan penembakan misterius (Petrus) tahun 1982-1985. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Andhi Nirwanto mengatakan mereka kesulitan menyelidiki peristiwa yang sudah terjadi puluhan tahun silam itu.
Bejo mengatakan YPKP sudah memprediksi adanya pengembalian berkas kasus 1965-1966 itu. Menurutnya, hal itu membuktikkan adanya ketidakseriusan
dari pemerintah dalam pengungkapan kasus itu.
"Saya khawatir ada intervensi politik dari kekuatan lama dalam kasus
ini. Sehingga mereka mengulur-ulur supaya kasus 65-66 tidak tuntas,"
ujar Bejo, mantan anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) yang
pernah mendekam di penjara selama hampir sembilan tahun lamanya semasa
rejim Soeharto atas tuduhan keterlibatan dengan Partai Komunis Indonesia
(PKI) dan kudeta yang gagal pada 30 September 1965.
Bejo memastikan laporan penyelidikan Komnas HAM terkait peristiwa
1965-1966 sudah sangatlah lengkap, sehingga agak aneh menurutnya jika
Kejaksaan Agung menilai ada yang perlu dilengkapi dalam laporan itu.
"Sepanjang yang saya pelajari, laporan Komnas HAMitu sangatlah lengkap,
karena sudah mencakup segala persoalan dan kasus kekerasan selama
rentang 65-66 mulai dari Sumatra Utara hingga Ambon. Dan itu sampelnya
sudah sangat jelas, ada keterlibatan militer di dalam aksi kekerasan,"
ujarnya.
"Dan semua kawan-kawan yang diperiksa oleh tim investigasi Komnas HAM,
mengemukakan apa adanya. Temasuk komandan Kodam, Kodim, dan Koramil, itu sangat-sangat jelas tertulis dalam surat pembebasan kami, itu kan bisa
di lacak. Jadi apa lagi? Apa lagi kelengkapannya? saya khawatir ini hanya akal-akalan Kejaksaan Agung."
Ketua tim ad hoc penyelidikan kasus pelanggaran HAM Berat peristiwa
1965-1966 yang juga anggota Komisioner Komnas HAM, Nur Kholis, kepada
VOA mengatakan, tim tersebut akan berupaya melengkapi beberapa catatan
perbaikkan dari pihak Kejaksaan.
"Jaksa Agung memberikan catatan dan juga menyampaikan beberapa hal yang
harus dilengkapi oleh Komnas HAM. Diantaranya adalah kekurangan saksi,
pertanyaan terhadap terduga pelaku, kemudian juga kelengkapan teknis
yuridis seperti apakah penyelidik dan saksi disumpah. Oleh karena itu
tim akan melakukan rapat, kemudian mulai mengerjakan hal-hal yang
dianggap kurang dalam 30 hari kedepan," ujar Nur Kholis.
Komnas HAM dalam laporannya menyebutkan ada bukti telah terjadi sembilan
kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat dalam
peristiwa 1965-1966. Sembilan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan itu
diantaranya adalah pembunuhan, pengusiran atau pemindahan penduduk
secara paksa, atau pelanggaran kebebasan fisik berupa, penyiksaan,
perkosaan, dan penghilangan orang secara paksa.
Kesimpulan ini diperoleh Komnas HAM setelah meminta keterangan dari 349
saksi hidup yang terdiri atas korban, pelaku, ataupun saksi yang melihat
secara langsung peristiwa itu. Jumlah korban saat itu diperkirakan
500.000 hingga tiga juta jiwa.
Komnas HAM juga merekomendasikan kepada Kejaksaan Agung atas kasus
penembakan misterius yang terjadi tahun 1982-1985 untuk ditindaklanjuti.
* * *
Kemis, 15 November 2012
-----------------------*
*MULAI SAJA DENGAN KASUS YANG BISA DITANGANI *
*
SEMAKIN DITUNDA-TUNDA SEMAKIN BERKURANG PERHATIAN MASYARAKAT*
* * *
Gugatan dan kritik terhadap sikap Kejaksaan Agung, yang dengan
pelbagai dalih telah mengembalikan Laporan Rekomendasi KomnasHAM
sekitar pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat negara,
dalam peristiwa pembantaian masal 1965 terhadap warga yang tidak
bersalah, --- telah diajukan oleh banyak para korban Peristiwa
Pelanggarn Ham Berat, dan sementara aktivis HAM lainnya di negeri
kita. Berita gugatan terhadap Kejaksaan Agung tsb. antara lain
diajukan oleh Bedjo Untung, Ketua Yayayasan Penelitian Korban
Peristiwa 1965.
Menarik, bahwa VOA, The Voice of America, sebuah stasiun pemancar radio Amerika, suatu lembaga negara AS, juga ikut menyiarkan berita tsb (lihat lampiran). Ini seirama dengan berita-berita di mancanegarqa yang mengungkap bahwa kalangan HAM mancanegara mengeritik sikap pemerintah Indonesia yang dianggap tidak toleran terhadap sementara minoritas yang menganut aliran agama yang berlainan dengan faham mainstream.
Gugatan dan kritik terhadap Kejaksaan Agung mendapat tanggapan pula dari dr *Coen Holzappel, Ketua Stichting WERTHEIM*. Dr Coen mengingatkan agar kasus pelanggaran HAM berat oleh aparat negara ini, jangan sampai dibiarkan berlarut-larut. Karena, hal itu bisa mengakibatkan perhatian masyarakat berkurang terhadap kasus pelanggaran HAM berat itu.
Ia menyarakan agar para juris yang mampu dan berani , untuk tampil memelopori mengajukan kasus ini ke pengadilan. Yaitu kasus-kasus yang sudah bisa ditangani.
* * *
Berikut ini response Dr Coen, yang ditulisnya di Facebook hari ini, dalam bahasa Belanda. Kita mengucapkan terimakasih atas perhatian Dr Coen Holtzappel, terhadap masalah HAM di Indonesia.
Dr Coen Holstzappel menyatakan sbb: ***(Terjemahanbebas)
*"Bahwa keterangan para saksi tidak disumpah (negeri), bukan berarti bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan. Baik menyangkut perkara pengadilan atau yang lepas dari itu. *
*Sementara perkara dimana para saksi telah meninggal, atau tidak bersedia memberikan kesaksian di pengadilan, juga bisa dipublikasi di media maupun di internet. *
Betapapun Kejaksaan Agung telah menerima dan melihat kasus-kasus yang telah dilaporkan untuk dinilai kemungkinan dibawanya ke sidang pengadilan.
*
Juris-juris yang baik dan berani bisa memainkan peranan memeloporinya. *
Maka perkara ini akan menjadi kasus yang berjalan dan bertahan untuk ditindaklanjuti. Dengan demikian akan menjadi perkara yang akan berlangsung lama. Bersamaan dengan itu, merupakan kelemahan dari Laporan KomnasHam tsb.
Makin lama diajukannya ke pengadilan, akan semakin sedikit saksi yang tinggal. Dan dengan itu semakin kecil perhatian masyarakat.
*Maka jangan lupa Yang Terpenting yaitu : *
*MULAI SAJADENGAN KASUS YANG BISA DITANGANI!!!
*
* * *
*DR COEN HOLTZAPPEL, 15 november 2012. *
Dat getuigenverklaringen niet beëdigd zijn, wil nog niet zeggen dat dat niet alsnog kan, het zij in een rechtszaak hetzij los daarvan.
Bepaalde zaken waarvan de getuigen inmiddels overleden zijn dan wel, niet in een rechtzaak willen getuigen, kunnen ook publiek gemaakt worden in de media en op internet. Het hoofdparket heeft in ieder geval de gerapporteerde gevallen bekeken op de mogelijkheden tot berechting.
Goeie juristen zouden nu een voorloper rol kunnen spelen. Dit wordt een zaak van aanpakken en volhouden, dus lange termijn. Dit is tegelijk ook de zwakte van het KOM nas HAM rapport.
Hoe langer je wacht met aanklagen, hoe minder getuigen overblijven, hoe minder publieke aandacht er is. C.H.
Ben het belangrijkste vergeten: Beginnen met de zaken die wel te behandelen zijn!!!!!!!!!!!! C.H. *
Lampiran
------------
*BERITA PENTING DARI VOA (Voice of America)****
---------------------------------------------------------------------
KORBAN PERISTIWA 1965 MENGGUGAT KEJAKSAAN AGUNG*
*
*
Kali ini VOA menyajikan pendengarnya dengan berita yang penting sekali.*
Silakan baca sampai selesai:
* * *
Korban Peristiwa 1965-1966 Kecewa dengan Kejaksaan Agung*
Para korban peristiwa 1965-1966 merasa kecewa karena Kejaksaan Agung
mengembalikan berkas kasus peristiwa tersebut kepada Komnas HAM.
12.11.2012
JAKARTA --- Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) Bejo Untung kepada VOA mengatakan para korban peristiwa 1965--1966 kecewa karena Kejaksaan Agung mengembalikan berkas pelanggaran hak asasi manusia pada peristiwa tersebut kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Juli lalu Komnas HAM mengumumkan hasil penyelidikannya dengan menyatakan bahwa penghukuman secara sistematis pada mereka yang diduga sebagai anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah peristiwa 1965/1966 merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Kejaksaan Agung mengembalikan berkas itu pekan lalu seraya meminta
Komnas HAM melengkapi berkas kasus pelanggaran HAM berat 1965-1966 dan penembakan misterius (Petrus) tahun 1982-1985. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Andhi Nirwanto mengatakan mereka kesulitan menyelidiki peristiwa yang sudah terjadi puluhan tahun silam itu.
Bejo mengatakan YPKP sudah memprediksi adanya pengembalian berkas kasus 1965-1966 itu. Menurutnya, hal itu membuktikkan adanya ketidakseriusan
dari pemerintah dalam pengungkapan kasus itu.
"Saya khawatir ada intervensi politik dari kekuatan lama dalam kasus
ini. Sehingga mereka mengulur-ulur supaya kasus 65-66 tidak tuntas,"
ujar Bejo, mantan anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) yang
pernah mendekam di penjara selama hampir sembilan tahun lamanya semasa
rejim Soeharto atas tuduhan keterlibatan dengan Partai Komunis Indonesia
(PKI) dan kudeta yang gagal pada 30 September 1965.
Bejo memastikan laporan penyelidikan Komnas HAM terkait peristiwa
1965-1966 sudah sangatlah lengkap, sehingga agak aneh menurutnya jika
Kejaksaan Agung menilai ada yang perlu dilengkapi dalam laporan itu.
"Sepanjang yang saya pelajari, laporan Komnas HAMitu sangatlah lengkap,
karena sudah mencakup segala persoalan dan kasus kekerasan selama
rentang 65-66 mulai dari Sumatra Utara hingga Ambon. Dan itu sampelnya
sudah sangat jelas, ada keterlibatan militer di dalam aksi kekerasan,"
ujarnya.
"Dan semua kawan-kawan yang diperiksa oleh tim investigasi Komnas HAM,
mengemukakan apa adanya. Temasuk komandan Kodam, Kodim, dan Koramil, itu sangat-sangat jelas tertulis dalam surat pembebasan kami, itu kan bisa
di lacak. Jadi apa lagi? Apa lagi kelengkapannya? saya khawatir ini hanya akal-akalan Kejaksaan Agung."
Ketua tim ad hoc penyelidikan kasus pelanggaran HAM Berat peristiwa
1965-1966 yang juga anggota Komisioner Komnas HAM, Nur Kholis, kepada
VOA mengatakan, tim tersebut akan berupaya melengkapi beberapa catatan
perbaikkan dari pihak Kejaksaan.
"Jaksa Agung memberikan catatan dan juga menyampaikan beberapa hal yang
harus dilengkapi oleh Komnas HAM. Diantaranya adalah kekurangan saksi,
pertanyaan terhadap terduga pelaku, kemudian juga kelengkapan teknis
yuridis seperti apakah penyelidik dan saksi disumpah. Oleh karena itu
tim akan melakukan rapat, kemudian mulai mengerjakan hal-hal yang
dianggap kurang dalam 30 hari kedepan," ujar Nur Kholis.
Komnas HAM dalam laporannya menyebutkan ada bukti telah terjadi sembilan
kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat dalam
peristiwa 1965-1966. Sembilan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan itu
diantaranya adalah pembunuhan, pengusiran atau pemindahan penduduk
secara paksa, atau pelanggaran kebebasan fisik berupa, penyiksaan,
perkosaan, dan penghilangan orang secara paksa.
Kesimpulan ini diperoleh Komnas HAM setelah meminta keterangan dari 349
saksi hidup yang terdiri atas korban, pelaku, ataupun saksi yang melihat
secara langsung peristiwa itu. Jumlah korban saat itu diperkirakan
500.000 hingga tiga juta jiwa.
Komnas HAM juga merekomendasikan kepada Kejaksaan Agung atas kasus
penembakan misterius yang terjadi tahun 1982-1985 untuk ditindaklanjuti.
* * *
No comments:
Post a Comment