Tuesday, August 19, 2014

Kolom IBRAHIM ISA
Rabu Siang, 13 Agustus 2014
-------------------------------------

IN MEMORIAM IMAM SUDJONO

* * *

INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI RAJIUN . . .

Hari ini seorang sahabat lama, IMAM SUDJONO, meninggal dunia di Amsterdam setelah menderita sakit dalam waktu panjang. Semoga arwah Imam Sudjono diterima di Sisi Tuhan YME. Teriring doa dan harapan agar keluarga Imam Sudjono yang ditinggalkan , dengan tabah melewati hari-hari duka ini.

Kaum demokrat dan proresif Indonesia kehilangan seorang warga yang telah mencurahkan perhatian dan studinya untuk melakukan 'penulisan kembali sejarah Indonesia' yang dalam periode Orde Baru telah direkayasa dan dipalsukan.

* * *

Imam Sudjono telah tiada.
Namun, -- Kita akan selalu mengenang IMAM SUDJONO, sebagai seorang yang selalu hangat terhadap sesama kawan. Ia adalah salah seorang teladan, warga Indonesia pencinta TANAH AIR DAN BANGSA, --- Meskipun puluhan tahun terpaksa tinggal di luarnegei disebabkan oleh persekusi rezim Orde Baru. --- Perhatian dan semangat patriotisme progresif tetap bersemayam dalam tubuh, semangat dan jiwanya.

Pada tahun 2006, Imam Sudjono menerbitkan bukunya yang monumental berjudul – 'YANG BERLAWAN'

Menunjukkan bahwa Imam Sudjono tidak tinggal diam menghadapi pemutar balikkan sejarah oleh rezim otoriter Orde Baru. Bertahun-tahun lamanya Imam Sudjono mencurahkan perhatian, waktu dan studinya mempersiapkan buku bersejarah -- “YANG BERLAWAN.” Judul buku “YANG BERLAWAN” tidaklah kebetulan. Buku tsb merupakan manifestasi perlawanan Imam Sudjono terhadap pemalsuan sejarah oleh Orde Baru. Sekaligus merupakan usaha serius untuk melakukan penulisan kembali sejarah – MELEMPANGKAN APA YANG DIBENGKOKKAN OLEH ORDE BARU .


* * *

Di bawah ini dimuat sebuah resensi oleh *) Gugun El-Guyanie, pustakawan Kutub Yogyakarta tentang buku Imam Sudjono --- “YANG BERLAWAN”:

Judul Buku: Yang Berlawan,
Membongkar Tabir Pemalsuan Sejarah PKI
Membongkar Hegemoni Sejarah

* * *

Jurnalnet.com (Jogja): Sejarah bukanlah dewa yang tidak bisa lepas dari kesalahan atau bahkan pemalsuan atas kebenaran. Begitu pula sejarah PKI ketika rezim despotis Orde Baru mencengkeramkan kekuasaannya. Wajah suram, kebengisan, dan segala stereotip buruk disematkan pada salah satu gerakan politik tersebut. mencengkeramkan kekuasaannya.

Penguasa Orde Baru menyebutnya pengkhianat, pemberontak, antikemanusiaan dan atheis. Wajar jika image tersebut terbukti ampuh dijadikan sebagai alat untuk memberangus dan memusnahkan PKI dari bumi pertiwi. Tapi apakah benar bahwa organisasi politik yang bernama PKI melakukan tindakan sekejam itu?

Buku inilah yang memberi pandangan lain yang secara berani menentang arus hegemoni wacana Orde Baru. Kesaksian yang berbicara seiring perjalanan sejarah dengan terbuka, lugas, dan objektif.

Warna lain yang dihadirkan oleh buku ini adalah sejarah PKI yang selalu didominasi oleh warna-warna gelap, kini sisi lain yang mengungkap kontribusi, prestasi, dan peranan monumental kepada Republik tercinta ditampilkan. Sebagaimana organ gerakan politik lain semasanya, PKI juga banyak memberikan sumbangan berarti bagi kehidupan bangsa ini.

Kumpulan catatan Imam Sudjono, penulis buku ini, terpaksa hijrah ke negeri Belanda dan sejak tahun 1998 mulai menyusun karya ini. George Junus Aditjondro, dalam pengantarnya menyebut penulis sebagai seorang 'sejarawan amatir', yang dengan menulis buku ini, memenuhi panggilannya sebagai seorang cendekiawan, yang menurut Foucoult, bertugas membangkitkan pengetahuan-pengetahuan yang tertindas.

Juga S Mintardjo dalam pengantarnya yang mengungkapkan bagaimana lika-liku penulisan buku ini yang penuh jalan terjal. Penulisan buku ini merupakan tindak lanjut dari perbincangan bebas yang tidak terjadwal di antara sekelompok orang yang memiliki keprihatinan tentang sejarah Indonesia mengenai berbagai persoalan sejarah bangsa Indonesia .

Dalam Bab II yang menguraikan kebangkitan kembali PKI, pemberontakan rakyat pada tahun 1926-1927 mengalami kegagalan. Para pemimpin PKI terkemuka seperti Tan Malaka, Semaun, Darsono, Alimin, dan Musso masih bebas dan berada di luar Indonesia.

Tiga yang pertama sebelum pemberontakan meletus telah berada di luar negeri karena dibuang oleh pemerintah Hindia Belanda. Semaun dan Darsono tinggal di Moskow, sedangkan Tan Malaka mewakili Komintern untuk Timur Jauh di Manila.

Sementara itu, Alimin dan Musso setelah tidak berhasil pulang ke Indonesia untuk menyampaikan keputusan Komintern mengenai pemberontakan kembali ke Moskow. Setelah kekalahan pemberontakan, pada diri Tan Malaka, menurut Poeze, timbul kekecewaan terhadap Komintern. Oleh karena itu dengan diam-diam dan sangat rahasia, tanpa sepengetahuan Komintern, pada bulan Juni 1927 Tan Malaka mendirikan PARI di Bangkok dengan bantuan Djamaluddin Tamin (hlm 43).

Kemudian pada tahun 1920-an dan awal 30-an terdapat berbagai hal penting. Pada tanggal 23 Mei 1920 telah lahir PKI. Di dalam keterangan Azas (beginsel-verklaring) yang dikeluarkan oleh Hoofdbestiir Partai Komunis Indonesia (Weltevreden, 1924) dinyatakan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) bermaksud menghimpun kaum proletar dan kaum tani Indonesia dalam suatu perserikatan politik yang merdeka, dengan tidak memandang bangsa atau agama.

Dari sini telah tampak bahwa sejak lahirnya PKI melakukan perjuangan demi kepentingan seluruh bangsa Indonesia tanpa membedakan keyakinan agama. Bangsa Indonesia yang dimaksud dalam keterangan itu adalah semua suku bangsa, yang bertempat tinggal di seluruh wilayah jajahan Belanda. Tujuan berdirinya PKI dikatakan 'bagi rakyat pekerja untuk merebut kemerdekaannya'. Pada 1926 timbul pemberontakan rakyat Indonesia yang dipimpin oleh PKI dan bertujuan untuk menggulingkan dan mengusir kaum imperialis Belanda dan mendirikan kekuasaan rakyat Indonesia (hlm 61).

*) Gugun El-Guyanie, pustakawan Kutub Yogyakarta

* * *




No comments: