Kolom IBRAHIM ISA
Minggu, 24 November 2013
---------------------------------------
Diskusi Interaktif Sekitar Artikel Peneliti Senior Lipi Aswi Warman Adam
"Sarwo Edie Belum Hero" . . . .
Mantan Dubes SALIM SAID Vs Jurnalis Kawakan ABOEPRIADI SANTOSO
* * *
Betul seperti ditulis oleh Salim Said, sejak jatuhya Orde Baru dan Indonesia memasuki era Reformasi dan Demokratisasi, "Di Indonesia, misalnya, baru setelah Orde Baru berakhir kita dengan bebas bisa bicara tentang apa yang sebenarnya terjadi di sputar 1 Oktober 1965 dan aftermath-nya. Kebebasan berpendapat yang muncul di Indonesia sejak berakhirnya Orde Baru juga membuka kesempatan siapa saja untuk berbicara apa saja tentang apa saja".
* * *
Maka kali ini dimuat sebagai kolom dibawah ini diskusi interaktif yang dimulai dan sedang berlangsung antara mantan Dubes Pro. Salim Said dengan
jurnalis kawakan Aboeprijadi Santoso. Responsku sekitar artikel Aswi Adam yang dimuat di s.k. Tempo tsb, telah kutuangkan dalam Kolom MENYAMBUJT TULISAN ASWI WARMAN ADAM.
Kalau sdr Tosi membaca dengan tenang komentar saya niscaya dia akan menemukan bahwa saya belum sampai secara jelas menyalahkan satu atau dua orang sebagai penanggungjawab tunggal pembantaian 1965-1966. Saya ingin mengatakan bahwa kita belum mendapatkan seluruh data yang memungkinkan kita menjatuhkan putusan yang akurat. Semua ini karena saya merasa soal Gestapu dan pembantaian masih terlalu rumit untuk membuat kita dengan cepat bisa mengambil keputusan.
Di Indonesia, misalnya, baru setelah Orde Baru berakhir kita dengan bebas bisa bicara tentang apa yang sebenarnya terjadi di sputar 1 Oktober 1965 dan aftermath-nya. Kebebasan berpendapat yang muncul di Indonesia sejak berakhirnya Orde Baru juga membuka kesempatan siapa saja untuk berbicara apa saja tentang apa saja. Kalau kita ingin tahu kebenaran, maka kita harus berhati-hati dalam menafis banjir informasi tersebut. Apakah betul Sarwo Edhie pernah berkata dia membunuh tiga juta orang waktu itu, sebagai diumumkan oleh Permadi SH? Kenal sarwo selama sekitar 30 tahun, saya ragu Almarhum pernah mengucapkan hal demikian. Tapi ucapan Permadi itu sudah dianggap bukti dan terus diulang-ulangi.
Saya tidak mengkambinghitamkan Sukarno. Saya cuma
ingin mengatakan bahwa secara legal Sukarno masih Presiden
ketika terjadi pembantaian. Dia sudah tidak berdaya? Jika
demikian halnya mengapa dia tidak mundur? Dengan tetap
bertahan sebagai Presiden hingga berhasil "disingkirkan" oleh
militer, Sukarno tidak bisa menghindar dari tanggungjawab.Minggu, 24 November 2013
---------------------------------------
Diskusi Interaktif Sekitar Artikel Peneliti Senior Lipi Aswi Warman Adam
"Sarwo Edie Belum Hero" . . . .
Mantan Dubes SALIM SAID Vs Jurnalis Kawakan ABOEPRIADI SANTOSO
* * *
Betul seperti ditulis oleh Salim Said, sejak jatuhya Orde Baru dan Indonesia memasuki era Reformasi dan Demokratisasi, "Di Indonesia, misalnya, baru setelah Orde Baru berakhir kita dengan bebas bisa bicara tentang apa yang sebenarnya terjadi di sputar 1 Oktober 1965 dan aftermath-nya. Kebebasan berpendapat yang muncul di Indonesia sejak berakhirnya Orde Baru juga membuka kesempatan siapa saja untuk berbicara apa saja tentang apa saja".
* * *
Maka kali ini dimuat sebagai kolom dibawah ini diskusi interaktif yang dimulai dan sedang berlangsung antara mantan Dubes Pro. Salim Said dengan
jurnalis kawakan Aboeprijadi Santoso. Responsku sekitar artikel Aswi Adam yang dimuat di s.k. Tempo tsb, telah kutuangkan dalam Kolom MENYAMBUJT TULISAN ASWI WARMAN ADAM.
Kalau sdr Tosi membaca dengan tenang komentar saya niscaya dia akan menemukan bahwa saya belum sampai secara jelas menyalahkan satu atau dua orang sebagai penanggungjawab tunggal pembantaian 1965-1966. Saya ingin mengatakan bahwa kita belum mendapatkan seluruh data yang memungkinkan kita menjatuhkan putusan yang akurat. Semua ini karena saya merasa soal Gestapu dan pembantaian masih terlalu rumit untuk membuat kita dengan cepat bisa mengambil keputusan.
Di Indonesia, misalnya, baru setelah Orde Baru berakhir kita dengan bebas bisa bicara tentang apa yang sebenarnya terjadi di sputar 1 Oktober 1965 dan aftermath-nya. Kebebasan berpendapat yang muncul di Indonesia sejak berakhirnya Orde Baru juga membuka kesempatan siapa saja untuk berbicara apa saja tentang apa saja. Kalau kita ingin tahu kebenaran, maka kita harus berhati-hati dalam menafis banjir informasi tersebut. Apakah betul Sarwo Edhie pernah berkata dia membunuh tiga juta orang waktu itu, sebagai diumumkan oleh Permadi SH? Kenal sarwo selama sekitar 30 tahun, saya ragu Almarhum pernah mengucapkan hal demikian. Tapi ucapan Permadi itu sudah dianggap bukti dan terus diulang-ulangi.
saya mencoba menggambarkan faktor apa saja
yang bermain di sekitar tragedi Gestapu dan aftermathnya.
Singkatnya saya ingin mengatakan bahwa soalnya tidak
sederhana dan masih diperlukan waktu untuk sampai pada
kesimpulan tentang apa sebenarnya persisnya terjadi, dan
siapa saja pelaku-pelakunya.
Ketika saya masih muda dahulu, saya
menghadapi soal Gestapu dan PKI sebagai seorang aktivis.
Kini setelah beruntung mendapatkan training akademik dan
dianugerahi usia panjang oleh Allah, saya menghadapi
kontroversi masa lalu lebih sebagai seorang skolar, seorang
academician.
Nah, kalau sdr Abuprijadi membaca komentar
saya dengan kepala dingin tanpa kemarahan, saya yakin,
sebagai orang cerdas, dia akan sepakat dengan jalan pikiran saya.
* * *
ABOEPRIJADI SANTOSO:
* * *
ABOEPRIJADI SANTOSO:
Diskusi dgn Bung Salim ini selalu menarik, bahkan justru pada saat kami sering sekali berpandangan bertolakbelakang. Oleh karena itu, menanggapi komentarnya ttg Sarwo Edhie dan Benny Moerdani, dgn hormat, tetap saya bisa katakan bahwa komentar Bung Salim diatas itu absurd.
Kita cukup membuka sejumlah buku hasil penelitian yg serius utk mengetahui, bahkan publik awam pun mahfum, bhw Sukarno sejak 1 Okt 1965 hingga 11 Maret hanyalah sebuah kekuasaan yg makin buyar, hanya tersisa formalitas di tengah bangunan kuasa yg rontok – in disarray. Pada saat bersamaan ada sejumlah powers-that-be lebih nyata berkuasa, dan memanfaatkan kekuasaannya utk membantai sesama warga sebangsa – mereka inilah yg bertanggungjawab.
Tetapi – nah disini absurditasnya - Bung Salim yth lebih suka mengkambinghitamkan Sukarno ketimbang menuding Soeharto dan Sarwo Edhie padahal Sarwo mengakui dirinya memimpin orkes pembantaian.
Sarwo mengakuinya, bagaimana dgn Soeharto?
Sejauh diketahui, Soeharto tidak pernah berbicara secara publik ttg pembantaian, tetapi tidak sulit utk membaca cara nalar, cara berpikir-nya ttg kesewenangan suatu penguasa yg menurutnya boleh dilakukan terhadap warga sebangsa. Pada awal 1970an Soeharto belum memdudukkan dirinya sbg Raja Jawa, karena itu masih suka berbicara dgn terbuka dan lantang di muka wartawan.
Inilah yg dikatakan Soeharto di depan Presiden Prancis Georges Pompidoe ttg persekusi massal di Indonesia sejak pertengahan 1960an. Silahkan klik dan dengarkan (Btw, disitu sungguh kasihan betapa malu Menlu Adam Malik sbg diplomat mendampingi Kepala Negara yg tidak paham ttg tata hidup negara hukum yg beradab):
Terima kasih atas perhatian, yth Bung Salim
Tabik hangatAS
No comments:
Post a Comment