Rabu,
          06
          November 2013
---------------------------------
      
    
---------------------------------
I. Buku Baru Prof Salim Said . . . . 
    
* * *
II.
          Angan-angan Jendral Pangkostrad Mau KEMBALI Ke
          “DWIFUNGSI-ABRI”
        
      
* * *
* * *
I.
Senin 04 November 2013 y.l , ketika membuka kotak e-mail–masuk, kudapati Undangan dari Prof Salim Said. Undangan itu untuk hadir pada peluncuran bukunya terbaru "DARI GESTAPU KE REFORMASI, Serangkaian Kesaksian" (Sebagai pertanda syukur masuknya usia beliau ke 70-tahun). Selamat Ultah Ke-70 sahabatku!
        
Sudah kujawab: Banyak terima kasih. Ingin hadir. Tapi . . . Maklumlah untuk ke Jakarta, harus pesan ticket, yang waktu ini harganya sekitar Euro 700,- untuk perjalanan Amsterdam-Jakarta return-ticket. Itu termasuk murah. Mau naik KLM atau Garuda yang langsung - - - paling tidak harus membayar Euro 1000.
      
    
Senin 04 November 2013 y.l , ketika membuka kotak e-mail–masuk, kudapati Undangan dari Prof Salim Said. Undangan itu untuk hadir pada peluncuran bukunya terbaru "DARI GESTAPU KE REFORMASI, Serangkaian Kesaksian" (Sebagai pertanda syukur masuknya usia beliau ke 70-tahun). Selamat Ultah Ke-70 sahabatku!
Sudah kujawab: Banyak terima kasih. Ingin hadir. Tapi . . . Maklumlah untuk ke Jakarta, harus pesan ticket, yang waktu ini harganya sekitar Euro 700,- untuk perjalanan Amsterdam-Jakarta return-ticket. Itu termasuk murah. Mau naik KLM atau Garuda yang langsung - - - paling tidak harus membayar Euro 1000.
Aku
        sampaikan
        harapan sukses dengan peluncuran bukunya. Yang akan
        dilangsungkan
        pada tanggal 10 November yad, di Royal Ballroom, Hotel Royal
        Kuningan, Jakarta Selatan. Selamat dengan peluncuran buku Anda,
        Pak
        Salim Said.
* *
          
Pada judul bukumya penulis menggunakan nama "Gestapu" untuk "G30S". Ini adalah nama yang diberikan oleh fihak militer. Untuk tujuan mensenafaskannya dengan “Gestapo”, suatu organisasi teror rezim Jerman Hitler. Begitulah maka militer memberikan penamaan "Gestapu" untuk "G30S". . . .
Pada judul bukumya penulis menggunakan nama "Gestapu" untuk "G30S". Ini adalah nama yang diberikan oleh fihak militer. Untuk tujuan mensenafaskannya dengan “Gestapo”, suatu organisasi teror rezim Jerman Hitler. Begitulah maka militer memberikan penamaan "Gestapu" untuk "G30S". . . .
Masih
          bisa ditemukan catatannya, bersangkutan dengan penggunaan nama
          "Gestapu". Ketika beliau masih sempat bersuara, meskipun
          Jendral Suharto sudah menguasai Jaskarta, --- Presiden Sukarno
          sudah “mengkoreksinya”. Presiden Sukarno menamakan gerakan itu
          “Gestok”, “Gerakan Satu Oktober”. Sedangkan pelakunya,
          sekelompok perwira TNI, menamakan aksi mereka “Gerakan 30
            September”.
Kemudian
          rezim Orde Baru menamakan “G30S” itu “G30S/PKI”.
          Pada periode pemerintahan Presiden Megawati, istilah itu
          dikembalikan ke nama asal mulanya, yaitu “G30S”. Tetapi
          kemudian di bawah tekanan pendukung rezim Orba yang sudah
          tumbang itu, dikembalikan lagi ke penamaan “G30S/PKI”.
          Sesuai dengan penamaan yang diberikan oleh Orba.  
Dalam
        bukunya
        yang baru, Prof Salim Said, kembali ke penamaan fihak militer 47
        tahun yang lalu, yaitu “Gestapu”.
Mengapa?
        “Why”?
        . . . “A good question”, kata orang Inggris. Kiranya
        mencerminkan, bahwa mengenai”G30S”, mengenai “apa” dan
        “bagaimananya” . . terdapat sejumlah intepretasi, varian dan
        analisis. Yang dianggap tahu betul seperti Jendral Suharto
        (karena
        Kolonel Latif menginfokannya kepada Suharto beberapa jam sebelum
        gerakan itu dimulai) sudah tiada. Presiden Sukarno yang juga
        dianggap tahu sekitar “G30S”, juga sudah meninggal dunia.
        Andaikata Presiden Sukarno dibawa ke sidang Mahmilub oleh fihak
        militer, pasti beliau dapat menjelaskan sekitar “G30S” dan
        peranan Suharto mendongkel posisinya dari jabatan presiden RI.
        Ketua PKI, DN Aidit juga dianggap tahu, bahkan dianggap “dalang”
        “G30S”. 
    
Tapi DN
        Aidit
        pada akhir 1965 dieksekusi secara ekstra judusial. Aidit dituduh
        mendalangi “G30S”, tetapi samasekali tidak diberi kesempatan
        untuk menjelaskan, apalagi membela diri . . . . untuk Aidit, dan
        pimpinan top PKI seperti Lukman, Nyoto, Ir Sakirman (kecuali
        Sudisman
        yang diMahmilubkan), tidak pernah ada pengadilan apapun. Fihak
        militer dibawah Jendral Suharto sudah menghakiminya sendiri!
        
* * *
* * *
II.
        
Juga hari ini kubaca sebuah berita yang bersangkutan dengan tokoh militer. Yang kuterima dari sahabatku Said Salim. Beritanya berjudul: "TNI TAK PUAS Dengan DEMOKRASI?"
Juga hari ini kubaca sebuah berita yang bersangkutan dengan tokoh militer. Yang kuterima dari sahabatku Said Salim. Beritanya berjudul: "TNI TAK PUAS Dengan DEMOKRASI?"
Tidak
          ada maksud menghubung-hubungkan buku Prof Salim Said dengan
          ucapan
          Panglima Kostrad yang menyatakan ketidak-puasannya dengan
          jalannya
          demokrasi di Indonesia. Kebetulan saja pada hari yang sama aku
          menerima undangan Prof Salim Said, dalam kumpulan “news items”
          yang biasa dikirimkannya, ada berita tentang pernyataan
          Panglima
          Kostrad tsb.
* * *
        
Penulis/jurnalis Sigit Wibowo dalam komentarnya mengenai pernyataan Pangkonstrad itu, menulis bahwa "Mengembalikan ke masa Orde Baru membahayakan keutuhan bangsa dan negara. Sigit menganggap bahwa sang Jendral ingin kembali ke masa Orde Baru.
            
    
Penulis/jurnalis Sigit Wibowo dalam komentarnya mengenai pernyataan Pangkonstrad itu, menulis bahwa "Mengembalikan ke masa Orde Baru membahayakan keutuhan bangsa dan negara. Sigit menganggap bahwa sang Jendral ingin kembali ke masa Orde Baru.
Tulis
          Sigit lanjut: "Pernyataan Panglima Komando Strategi Angkatan
          Darat (Pangkostrad) Letjen TNI Gatot Nurmantyo amat
          mengejutkan
          karena ia
            mengungkapkan keraguannya terhadap pelaksanaan demokrasi di
            Indonesia. Intinya,
            ia menilai demokrasi di Indonesia telah salah arah.
* * *
Kesimpulan
            Sigit: TNI,
          terutama angkatan
          darat yang sangat berkuasa di era Orde Baru
            sejak era Reformasi diputuskan untuk menjadi tentara
            profesional
            sehingga setiap pernyataan politik dari petinggi TNI secara
            terbuka
            akan mengundang protes keras. Pernyataan petinggi TNI
            merupakan
            ancaman bagi demokrasi yang sedang dibangun masyarakat
            sipil. 
    
Direktur
Advokasi
          Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
          Bahrain menyatakan rakyat Indonesia harus mewaspadai
            setiap upaya
            menyeret institusi TNI ke dalam kancah politik seperti era
            Orde Baru
            oleh para petinggi TNI itu sendiri. 
    
“TNI
          telah diputuskan rakyat Indonesia menjadi tentara profesional
          dan
          tidak boleh masuk ke kancah politik,” kata Bahrain. TNI
          merupakan
          alat rakyat Indonesia sehingga tidak berhak mengklaim dan
          menyuarakan
          kepentingan rakyat Indonesia. 
    
Masih
          banyak para petinggi TNI yang tampaknya rindu mengembalikan
          Indonesia
          ke zaman Orde Baru di mana pemerintahan otoriter Soeharto
          berkuasa
          ditopang dengan lars sepatu tentara. 
    
TNI,
            terutama AD saat itu seperti dewa yang tak tersentuh dan
            berdiri di
            atas kepentingan rakyat selaku pemegang kedaulatan di RI.
            Zaman sudah
            berubah dan pemerintah otoriter yang ditopang militer sudah
            tidak
            laku di berbagai belahan dunia karena menimbulkan pelangaran
            hak
            asasi manusia dan represif. 
            
Perhatikan!!! Ucapan Jendral Pangkostrad, Letjen Gatot Nurmantyo itu, dinyatakan dimuka pertemuan dengan Pemuda Pancasila. Suatu organisasi pemuda yang di Medan ketika itu, dikepalai oleh Anwar Congo, si jagal pembantai ribuan orang tak bersalah yang anggota PKI, dituduh PKI, simpatisan PKI dan pendukung Presiden Sukarno . Pernyataan Pangkostrad tsb merupakan intimidasi terhadap golongan yang dianggapnya menjadi penyebab dari situasi pemberlakuan demokrasi di Indonesia yang dikatakannya sudah salah arah.
Perhatikan!!! Ucapan Jendral Pangkostrad, Letjen Gatot Nurmantyo itu, dinyatakan dimuka pertemuan dengan Pemuda Pancasila. Suatu organisasi pemuda yang di Medan ketika itu, dikepalai oleh Anwar Congo, si jagal pembantai ribuan orang tak bersalah yang anggota PKI, dituduh PKI, simpatisan PKI dan pendukung Presiden Sukarno . Pernyataan Pangkostrad tsb merupakan intimidasi terhadap golongan yang dianggapnya menjadi penyebab dari situasi pemberlakuan demokrasi di Indonesia yang dikatakannya sudah salah arah.
Tidak
          kebetulan bahwa ucapan Pangkostad itu dinyatakan dimuka suatu
          organisasi pemuda yang tidak segan-segan menggunakan kekersan
          dan
          teror untuk mencapai tujuannya. 
    
* * *
Pernyatan
            Pangkostrad tidak boleh dianggap sepi.
          Masyarakat harus tetap waspada terhadap kegiatan kekuatan
          retrogres
          yang ingin kembali diberlakukannya sistim kekuasaan negara
          menurut konsep DWIFUNGSI ABRI.
Situasi
            dewasa ini di Indonesia tidak menunjukkan bahwa kekuatan
            anti-demokrasi dan anti-reformasi berada dalam posisi yang
            unggul.
            Mereka bukan lagi suatu kekuatan yang tidak terkalahkan.
            Mereka sudah
            dikalahkan, dengan jatuhnya Presiden Suharto dan berakhirnya
            reizm
            Orde Baru. Dihapuskannya pemberlakuan konsep “Dwifungsi
            ABRI” (yang hakikatnya kekuasan ada ditangan militer).
            Mereka terpukul
            dengan ditegakkanya pandangan bahwa tugas kekuatan
            bersenjata negeri adalah membela negara terhadap musuh dari
            luar. Tentara dan
            Polisi tidak boleh lagi mencampuri urusan politik. Mereka
            sudah
            menderita kekalahan besar dengan ditrapkannya hak-hak
            demokrasi,
            seperti kebebasan pers, kebebasan berorgansasi dan pemilihan
            umum. Kekuatan demokrasi dan reformasi telah mencatat sukses
            tertentu.
            Keadaan imbangan kekuatan antara demokrasi dan militerisme
            ala Orde
            Baru, sejak 1998, sudah beralih ke keunggulan faham
            DEMOKRASI DAN
            HAM.
* * *
Mengikuti
          perkembangn belakangan ini, semakin jelas tampak bahwa
          masyarakat
          semakin luas menunutut agar dilakukan pengungkapan dan
          pelurusan
          terhadap pemelintiran sejarah oleh Orba, Teristimewa sekitar
          pelanggaran HAM berat di sekitar PERISTIWA 1965. Tampak
          pandangan
          militeris mereka “kepepet”. Mereka merasa “sesak” dengan
          suasana pemberlakuan hak-hak demokrasi, meskipun itu baru
          sebagian
          saja hak-hak demokrasi diberlakukan di negeri kita setelah
          bubarnya
          rezim otoriter Orde Baru,
Kongkritnya
          masyarakat menunutut pengungkapan, penjelasan dan pengakuan
          dari
          fihak pemerintah, sesuai dengan Laporan dan Rekomendasi
          KomnasHam 22
          Juli 2012. Agar pemerintah mengakui, bahwa, sekitar Peristiwa
          1965/66/67 telah terjadi pelanggaran HAM berat oleh aparat
          keamanan
          negara (militer dan polisi), sekitar pembantaian masal
          terhadap warga
          tak bersalah atas tuduhan PKI, anggota PKI, simpatisan PKI,
          dan
          pendukung Presiden Sukarno. Dan bahwa Rekomendasi KomnasHam
          tsb harus
          ditindak-lanjuti oleh badan yang berkewajiban untuk itu, yaitu
          Kejaksaan Agung.
Di
          segi pandangan manacanegara megenai Indonesia, Produser film
          berbangsa Amerika, Joshua Oppenheimer, telah menyajikan film
          dokumenter yang mengungkap kekejaman, kebiadaban dan
          kesewenang-wenangan pembunuhan masal di Indonesia berjudul
          “The
          Act of Killing”. Keistimewaan film dokumenter tsb ialah, bahwa
          ceritanya dituturkan dan dimainkan oleh para pelaku pembunuhan
          itu
          sendiri: Anwar
            Cong dan teman-teman preman lainnya di bawah naungan Pemuda
            Pancasila
            dan fihak militer. Film
dokuemener
          “The Act of Killing”, telah lebih lanjut membuka mata
          dunia internasional mengenai genosida yang berlangsung di
          Indonesia
          sekitar 1965/66 dimana aparat kekuasaan negeri adalah
          pelakunya. 
    
Perkembangan berikutnya yang a.l menunjukkan
            semakin luasnya kesadaran tentang seriusnya pelanggaran HAM
            di Indonesia serta keharusan penguasa menanganinya, ialah
            kegiatan sbb:  
Dengan dipandu oleh Jakarta, dibawah pimpinan
            Prof Dr Baskara Wijaya, pada tanggal 30 Agustus 2013 y.l,
            sebuah “international tele-conference digelar di. Melbourne,
            Vanvouver, Kopenhagen dan London. Yang menjadi tema
            tele-conference itu adalah keadaan sejarah dan bagaimana
            menyingkapi Tragedi 1965.
 * * *
 Dalam
          pada itu bisa diikuti reaksi terhadap kekerasan preman di
          Yogyakarta
          yang bernama FAKI, Front Anti Komunis Indonesia, terhadap
          sejumlah
          keluarga korban 1965 dan keluarganya yang sedang melakukan
          diskusi
          mengenai perbaikan hidup mereka.
 Ikuti
          pernyataan DIASPORA INDONESIA, sbb: -- Masyarakat
        Indonesia
        di Perantauan (Diaspora Indonesia) prihatin atas atas kekerasan
        dan
        pelanggaran hak-hak asasi manusia terang-terangan terhadap
        keluarga
        dan korban tragedi politik 1965 saat acara pertemuan kelompok
        masyarakat korban 1965/66 yang terjadi pada tanggal 27 Oktober
        lalu
        di Godean Yogyakarta.
        
Dalam peristiwa kekerasan oleh Front Anti Komunis Indonesia FAKI tersebut, kepolisian justru berpihak kepada para pelaku kekerasan yang selama ini menikmati impunitas untuk kekerasan-kekerasan serupa yang dilakukan sejak tahun 1965 itu. FAKI yang dengan kekerasan membubarkan pertemuan di Godean Yogyakarta itu, dibiarkan saja oleh kepolisian setempat.
        
“Diaspora Indonesia” meminta aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan hukum yang tegas kepada ketua dan anggota FAKI Yogyakarta yang telah melakukan tindakan dan ancaman kekerasan/pembunuhan atas dasar kebencian kepada kelompok lain. FAKI dinilai telah melakukan tindakan main hakim sendiri dan melanggar hak-hak asasi pihak lain untuk berkumpul dan bermusyawarah serta hak untuk mengembangkan kehidupan dan memperoleh penghidupan yang telah dirampas oleh Negara selama kurang lebih 50 tahun terakhir ini.
        
        
        
Kepolisian RI juga harus melaksanakan kewajibannya untuk melindungi dan mengayomi setiap warganegara tanpa pandang bulu dengan melaksanakan hak-hak asasi manusia sebagaimana yang dijamin oleh UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
        
      
      
    
Dalam peristiwa kekerasan oleh Front Anti Komunis Indonesia FAKI tersebut, kepolisian justru berpihak kepada para pelaku kekerasan yang selama ini menikmati impunitas untuk kekerasan-kekerasan serupa yang dilakukan sejak tahun 1965 itu. FAKI yang dengan kekerasan membubarkan pertemuan di Godean Yogyakarta itu, dibiarkan saja oleh kepolisian setempat.
“Diaspora Indonesia” meminta aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan hukum yang tegas kepada ketua dan anggota FAKI Yogyakarta yang telah melakukan tindakan dan ancaman kekerasan/pembunuhan atas dasar kebencian kepada kelompok lain. FAKI dinilai telah melakukan tindakan main hakim sendiri dan melanggar hak-hak asasi pihak lain untuk berkumpul dan bermusyawarah serta hak untuk mengembangkan kehidupan dan memperoleh penghidupan yang telah dirampas oleh Negara selama kurang lebih 50 tahun terakhir ini.
Kepolisian RI juga harus melaksanakan kewajibannya untuk melindungi dan mengayomi setiap warganegara tanpa pandang bulu dengan melaksanakan hak-hak asasi manusia sebagaimana yang dijamin oleh UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peristiwa kekerasan
          di
          Godean Yogayakarta, jelas sekali mengugkap kekuatan yang
          sesungguhnya
          menggerowoti usaha menegakkan NEGAR HUKUM RI datang dari
          jurusan
          APARAT KEAMANAN NEGERI sendiri.
* * *
Dalam pada itu “Suara
        Islam Online”, Minggu 19 Mei 2013. menulis a.l 
    
Dikatakannya, di era
        Pemerintahan SBY yang telah berlangsung selama 9 tahun ini, PKI
        mulai
        berani unjuk gigi dan bangkit kembali dari kuburnya, sementara
        61
        anggota DPR RI diindikasikan pro PKI seperti Ribka Tjiptaning
        dan
        Budiman Sudjatmiko dari PDIP. Bahkan inner-circle kekuasaan
        Presiden
        SBY sekarang banyak diisi para tokoh muda yang berlatar belakang
        Sosialis atau pro Komunis, seperti Andi Arif (Staf Khusus
        Presiden
        Bidang Bencana Alam), Heri Sembayong, Aam Sapulete dan
        sebagainya. Demikian Alfian Tanjung.
* * *
Kebagkitan kesedaran
          masyarakat luas mengenai hak-hak demokrasi dan HAM,
          sesungguhnya
          itulah yang dikatakan oleh para penentangnya bahwa PKI mulai
          berani
          unjuk gigi dan bangkit kembali dari kuburnya, Mereka
          simpulkannya
          sebagai bahaya demokrasi sudah salah arah, dan bahwa keadaan
          ini
          membahayakan Indonesia.
Kekuatan retrogres
        belakanngan ini tampak “gerah” dan merasa “kepepet”, maka
        mengadakan pameran “unjuk gigi”, degan melakukan sejumlah
        tindakan kekerasan dan dikeuluarkannya pernyataan seperti yang
        dilakukan oleh Pangkonstrad.
* * *
      
    

No comments:
Post a Comment