Friday, November 15, 2013

I. Buku Baru Prof Salim Said . . . . * * * II. Angan-angan Jendral Pangkostrad Mau KEMBALI Ke “DWIFUNGSI-ABRI”

olom IBRAHIM ISA
Rabu, 06 November 2013
---------------------------------


I. Buku Baru Prof Salim Said . . . .

* * *
II. Angan-angan Jendral Pangkostrad Mau KEMBALI Ke “DWIFUNGSI-ABRI”

* * *

I.
Senin 04 November 2013 y.l , ketika membuka kotak e-mail–masuk, kudapati Undangan dari Prof Salim Said. Undangan itu untuk hadir pada peluncuran bukunya terbaru "DARI GESTAPU KE REFORMASI, Serangkaian Kesaksian" (Sebagai pertanda syukur masuknya usia beliau ke 70-tahun). Selamat Ultah Ke-70 sahabatku!

Sudah kujawab: Banyak terima kasih. Ingin hadir. Tapi . . . Maklumlah untuk ke Jakarta, harus pesan ticket, yang waktu ini harganya sekitar Euro 700,- untuk perjalanan Amsterdam-Jakarta return-ticket. Itu termasuk murah. Mau naik KLM atau Garuda yang langsung - - - paling tidak harus membayar Euro 1000.

Aku sampaikan harapan sukses dengan peluncuran bukunya. Yang akan dilangsungkan pada tanggal 10 November yad, di Royal Ballroom, Hotel Royal Kuningan, Jakarta Selatan. Selamat dengan peluncuran buku Anda, Pak Salim Said.

    * *

    Pada judul bukumya penulis menggunakan nama "Gestapu" untuk "G30S". Ini adalah nama yang diberikan oleh fihak militer. Untuk tujuan mensenafaskannya dengan “Gestapo”, suatu organisasi teror rezim Jerman Hitler. Begitulah maka militer memberikan penamaan "Gestapu" untuk "G30S". . . .
    Masih bisa ditemukan catatannya, bersangkutan dengan penggunaan nama "Gestapu". Ketika beliau masih sempat bersuara, meskipun Jendral Suharto sudah menguasai Jaskarta, --- Presiden Sukarno sudah “mengkoreksinya”. Presiden Sukarno menamakan gerakan itu “Gestok”, “Gerakan Satu Oktober”. Sedangkan pelakunya, sekelompok perwira TNI, menamakan aksi mereka “Gerakan 30 September”.
    Kemudian rezim Orde Baru menamakan “G30S” itu “G30S/PKI”. Pada periode pemerintahan Presiden Megawati, istilah itu dikembalikan ke nama asal mulanya, yaitu “G30S”. Tetapi kemudian di bawah tekanan pendukung rezim Orba yang sudah tumbang itu, dikembalikan lagi ke penamaan “G30S/PKI”. Sesuai dengan penamaan yang diberikan oleh Orba.

Dalam bukunya yang baru, Prof Salim Said, kembali ke penamaan fihak militer 47 tahun yang lalu, yaitu “Gestapu”.

Mengapa? “Why”? . . . “A good question”, kata orang Inggris. Kiranya mencerminkan, bahwa mengenai”G30S”, mengenai “apa” dan “bagaimananya” . . terdapat sejumlah intepretasi, varian dan analisis. Yang dianggap tahu betul seperti Jendral Suharto (karena Kolonel Latif menginfokannya kepada Suharto beberapa jam sebelum gerakan itu dimulai) sudah tiada. Presiden Sukarno yang juga dianggap tahu sekitar “G30S”, juga sudah meninggal dunia. Andaikata Presiden Sukarno dibawa ke sidang Mahmilub oleh fihak militer, pasti beliau dapat menjelaskan sekitar “G30S” dan peranan Suharto mendongkel posisinya dari jabatan presiden RI. Ketua PKI, DN Aidit juga dianggap tahu, bahkan dianggap “dalang” “G30S”.

Tapi DN Aidit pada akhir 1965 dieksekusi secara ekstra judusial. Aidit dituduh mendalangi “G30S”, tetapi samasekali tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan, apalagi membela diri . . . . untuk Aidit, dan pimpinan top PKI seperti Lukman, Nyoto, Ir Sakirman (kecuali Sudisman yang diMahmilubkan), tidak pernah ada pengadilan apapun. Fihak militer dibawah Jendral Suharto sudah menghakiminya sendiri!

* * *

II.

Juga hari ini kubaca sebuah berita yang bersangkutan dengan tokoh militer. Yang kuterima dari sahabatku Said Salim. Beritanya berjudul: "TNI TAK PUAS Dengan DEMOKRASI?"

Tidak ada maksud menghubung-hubungkan buku Prof Salim Said dengan ucapan Panglima Kostrad yang menyatakan ketidak-puasannya dengan jalannya demokrasi di Indonesia. Kebetulan saja pada hari yang sama aku menerima undangan Prof Salim Said, dalam kumpulan “news items” yang biasa dikirimkannya, ada berita tentang pernyataan Panglima Kostrad tsb.

* * *

Penulis/jurnalis Sigit Wibowo dalam komentarnya mengenai pernyataan Pangkonstrad itu, menulis bahwa "Mengembalikan ke masa Orde Baru membahayakan keutuhan bangsa dan negara. Sigit menganggap bahwa sang Jendral ingin kembali ke masa Orde Baru.

Tulis Sigit lanjut: "Pernyataan Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad) Letjen TNI Gatot Nurmantyo amat mengejutkan karena ia mengungkapkan keraguannya terhadap pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Intinya, ia menilai demokrasi di Indonesia telah salah arah.


* * *


Kesimpulan Sigit: TNI, terutama angkatan darat yang sangat berkuasa di era Orde Baru sejak era Reformasi diputuskan untuk menjadi tentara profesional sehingga setiap pernyataan politik dari petinggi TNI secara terbuka akan mengundang protes keras. Pernyataan petinggi TNI merupakan ancaman bagi demokrasi yang sedang dibangun masyarakat sipil.
Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bahrain menyatakan rakyat Indonesia harus mewaspadai setiap upaya menyeret institusi TNI ke dalam kancah politik seperti era Orde Baru oleh para petinggi TNI itu sendiri.
TNI telah diputuskan rakyat Indonesia menjadi tentara profesional dan tidak boleh masuk ke kancah politik,” kata Bahrain. TNI merupakan alat rakyat Indonesia sehingga tidak berhak mengklaim dan menyuarakan kepentingan rakyat Indonesia.
Masih banyak para petinggi TNI yang tampaknya rindu mengembalikan Indonesia ke zaman Orde Baru di mana pemerintahan otoriter Soeharto berkuasa ditopang dengan lars sepatu tentara.
TNI, terutama AD saat itu seperti dewa yang tak tersentuh dan berdiri di atas kepentingan rakyat selaku pemegang kedaulatan di RI. Zaman sudah berubah dan pemerintah otoriter yang ditopang militer sudah tidak laku di berbagai belahan dunia karena menimbulkan pelangaran hak asasi manusia dan represif.

Perhatikan!!! Ucapan Jendral Pangkostrad, Letjen Gatot Nurmantyo itu, dinyatakan dimuka pertemuan dengan Pemuda Pancasila. Suatu organisasi pemuda yang di Medan ketika itu, dikepalai oleh Anwar Congo, si jagal pembantai ribuan orang tak bersalah yang anggota PKI, dituduh PKI, simpatisan PKI dan pendukung Presiden Sukarno . Pernyataan Pangkostrad tsb merupakan intimidasi terhadap golongan yang dianggapnya menjadi penyebab dari situasi pemberlakuan demokrasi di Indonesia yang dikatakannya sudah salah arah.
Tidak kebetulan bahwa ucapan Pangkostad itu dinyatakan dimuka suatu organisasi pemuda yang tidak segan-segan menggunakan kekersan dan teror untuk mencapai tujuannya.


* * *


Pernyatan Pangkostrad tidak boleh dianggap sepi. Masyarakat harus tetap waspada terhadap kegiatan kekuatan retrogres yang ingin kembali diberlakukannya sistim kekuasaan negara menurut konsep DWIFUNGSI ABRI.
Situasi dewasa ini di Indonesia tidak menunjukkan bahwa kekuatan anti-demokrasi dan anti-reformasi berada dalam posisi yang unggul. Mereka bukan lagi suatu kekuatan yang tidak terkalahkan. Mereka sudah dikalahkan, dengan jatuhnya Presiden Suharto dan berakhirnya reizm Orde Baru. Dihapuskannya pemberlakuan konsep “Dwifungsi ABRI” (yang hakikatnya kekuasan ada ditangan militer). Mereka terpukul dengan ditegakkanya pandangan bahwa tugas kekuatan bersenjata negeri adalah membela negara terhadap musuh dari luar. Tentara dan Polisi tidak boleh lagi mencampuri urusan politik. Mereka sudah menderita kekalahan besar dengan ditrapkannya hak-hak demokrasi, seperti kebebasan pers, kebebasan berorgansasi dan pemilihan umum. Kekuatan demokrasi dan reformasi telah mencatat sukses tertentu. Keadaan imbangan kekuatan antara demokrasi dan militerisme ala Orde Baru, sejak 1998, sudah beralih ke keunggulan faham DEMOKRASI DAN HAM.


* * *


Mengikuti perkembangn belakangan ini, semakin jelas tampak bahwa masyarakat semakin luas menunutut agar dilakukan pengungkapan dan pelurusan terhadap pemelintiran sejarah oleh Orba, Teristimewa sekitar pelanggaran HAM berat di sekitar PERISTIWA 1965. Tampak pandangan militeris mereka “kepepet”. Mereka merasa “sesak” dengan suasana pemberlakuan hak-hak demokrasi, meskipun itu baru sebagian saja hak-hak demokrasi diberlakukan di negeri kita setelah bubarnya rezim otoriter Orde Baru,
Kongkritnya masyarakat menunutut pengungkapan, penjelasan dan pengakuan dari fihak pemerintah, sesuai dengan Laporan dan Rekomendasi KomnasHam 22 Juli 2012. Agar pemerintah mengakui, bahwa, sekitar Peristiwa 1965/66/67 telah terjadi pelanggaran HAM berat oleh aparat keamanan negara (militer dan polisi), sekitar pembantaian masal terhadap warga tak bersalah atas tuduhan PKI, anggota PKI, simpatisan PKI, dan pendukung Presiden Sukarno. Dan bahwa Rekomendasi KomnasHam tsb harus ditindak-lanjuti oleh badan yang berkewajiban untuk itu, yaitu Kejaksaan Agung.


Di segi pandangan manacanegara megenai Indonesia, Produser film berbangsa Amerika, Joshua Oppenheimer, telah menyajikan film dokumenter yang mengungkap kekejaman, kebiadaban dan kesewenang-wenangan pembunuhan masal di Indonesia berjudul “The Act of Killing”. Keistimewaan film dokumenter tsb ialah, bahwa ceritanya dituturkan dan dimainkan oleh para pelaku pembunuhan itu sendiri: Anwar Cong dan teman-teman preman lainnya di bawah naungan Pemuda Pancasila dan fihak militer. Film dokuemener “The Act of Killing”, telah lebih lanjut membuka mata dunia internasional mengenai genosida yang berlangsung di Indonesia sekitar 1965/66 dimana aparat kekuasaan negeri adalah pelakunya.
    Perkembangan berikutnya yang a.l menunjukkan semakin luasnya kesadaran tentang seriusnya pelanggaran HAM di Indonesia serta keharusan penguasa menanganinya, ialah kegiatan sbb:
    Dengan dipandu oleh Jakarta, dibawah pimpinan Prof Dr Baskara Wijaya, pada tanggal 30 Agustus 2013 y.l, sebuah “international tele-conference digelar di. Melbourne, Vanvouver, Kopenhagen dan London. Yang menjadi tema tele-conference itu adalah keadaan sejarah dan bagaimana menyingkapi Tragedi 1965.
* * *


Dalam pada itu bisa diikuti reaksi terhadap kekerasan preman di Yogyakarta yang bernama FAKI, Front Anti Komunis Indonesia, terhadap sejumlah keluarga korban 1965 dan keluarganya yang sedang melakukan diskusi mengenai perbaikan hidup mereka.
Ikuti pernyataan DIASPORA INDONESIA, sbb: -- Masyarakat Indonesia di Perantauan (Diaspora Indonesia) prihatin atas atas kekerasan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia terang-terangan terhadap keluarga dan korban tragedi politik 1965 saat acara pertemuan kelompok masyarakat korban 1965/66 yang terjadi pada tanggal 27 Oktober lalu di Godean Yogyakarta.

Dalam peristiwa kekerasan oleh Front Anti Komunis Indonesia FAKI
tersebut, kepolisian justru berpihak kepada para pelaku kekerasan yang selama ini menikmati impunitas untuk kekerasan-kekerasan serupa yang dilakukan sejak tahun 1965 itu. FAKI yang dengan kekerasan membubarkan pertemuan di Godean Yogyakarta itu, dibiarkan saja oleh kepolisian setempat.

“Diaspora Indonesia” meminta aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan hukum yang tegas kepada ketua dan anggota FAKI Yogyakarta yang telah melakukan tindakan dan ancaman kekerasan/pembunuhan atas dasar kebencian kepada kelompok lain. FAKI dinilai telah melakukan tindakan main hakim sendiri dan melanggar hak-hak asasi pihak lain untuk berkumpul dan bermusyawarah serta hak untuk mengembangkan kehidupan dan memperoleh penghidupan yang telah dirampas oleh Negara selama kurang lebih 50 tahun terakhir ini.



Kepolisian RI juga harus melaksanakan kewajibannya untuk melindungi dan mengayomi setiap warganegara tanpa pandang bulu dengan melaksanakan hak-hak asasi manusia sebagaimana yang dijamin oleh UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.



Peristiwa kekerasan di Godean Yogayakarta, jelas sekali mengugkap kekuatan yang sesungguhnya menggerowoti usaha menegakkan NEGAR HUKUM RI datang dari jurusan APARAT KEAMANAN NEGERI sendiri.

* * *

Dalam pada itu “Suara Islam Online”, Minggu 19 Mei 2013. menulis a.l

Dikatakannya, di era Pemerintahan SBY yang telah berlangsung selama 9 tahun ini, PKI mulai berani unjuk gigi dan bangkit kembali dari kuburnya, sementara 61 anggota DPR RI diindikasikan pro PKI seperti Ribka Tjiptaning dan Budiman Sudjatmiko dari PDIP. Bahkan inner-circle kekuasaan Presiden SBY sekarang banyak diisi para tokoh muda yang berlatar belakang Sosialis atau pro Komunis, seperti Andi Arif (Staf Khusus Presiden Bidang Bencana Alam), Heri Sembayong, Aam Sapulete dan sebagainya. Demikian Alfian Tanjung.

* * *

Kebagkitan kesedaran masyarakat luas mengenai hak-hak demokrasi dan HAM, sesungguhnya itulah yang dikatakan oleh para penentangnya bahwa PKI mulai berani unjuk gigi dan bangkit kembali dari kuburnya, Mereka simpulkannya sebagai bahaya demokrasi sudah salah arah, dan bahwa keadaan ini membahayakan Indonesia.

Kekuatan retrogres belakanngan ini tampak “gerah” dan merasa “kepepet”, maka mengadakan pameran “unjuk gigi”, degan melakukan sejumlah tindakan kekerasan dan dikeuluarkannya pernyataan seperti yang dilakukan oleh Pangkonstrad.

* * *








No comments: