Friday, November 29, 2013

DR ASVI W. ADAM SEKITAR TUDUHAN PROF SALIM SAID -- “KETERLIBATAN SUKARNO DNG G30S”




Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 28 November 2013
--------------------------------------

DR ASVI W. ADAM SEKITAR TUDUHAN PROF SALIM SAID -- “KETERLIBATAN SUKARNO DNG G30S”

* * *

Beberapa tahun yang lalu sejarawan berbangsa Canada, John Roosa, menulis buku studi dan analisis mengenai G30S dan Pembantaian Masal 1965, berjudul “Dalih Pembunuhan Masal – Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto di Indonesia. . . “ (Aslinya: . Pretext for Mass Murder - The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia).

Sebegitu jauh buku John Roosa tsb adalah yang mutkhir dan ditulis rapi berdokumentasi lengkap dengan argumentasi. Buku John Roosa tsb mengupas masalah-masalah, sbb:

  1. Pengungkapan dan penganalisaan G30S dan kelanjutannya
  2. Kampanye pembantaian masal” terhadap PKI dan Kiri,
  3. Penggulingan Presiden Sukarno dan
  4. Jendral Suharto menggantikan Sukarno sebagai presiden RI –
    Buku “Dalih Pembunuhan Masal . . . “ . . . . . sarat dengan bahan lama dan baru, demikian “beratnya” dan cukup meyakinkan pembaca – sehingga begitu terbit , Jaksa Agung RI kontan mengeluarkan larangan terhadap buku John Roosa tsb. Namun digugat melalui Mahkamah Konstitusi, -- larangan Jaksa Agung itu, batal (Keputusan MK 13 Oktober 2010) .
    Dengan demikian buku John Roosa itu “legal” beredar kembali di Indonesia.

* * *

Sampai saat ini masih belum tampak adanya suatu bahan studi baru yang mampu melegimitasi versi Orde Baru, bahwa G30S didalangi PKI dan atau Presiden Sukarno. Juga masih belum ada bahan baru yang meyakinkan bahwa Presiden Sukarno ada di belakang G30S … atau bertanggung-jawab atas pembantaian masal yang berlangsung di bawah regi Angkatan Darat di bawah Jendral Suharto.

    Juga buku Prof Salim Said, diluncurkan bertepatan dengan ultah ke-70 penulisnya bulan ini, yang mencoba menyeret Presiden Sukarno sebagai yang juga bertanggungjawab atas pembantaian masal warga tidak bersalah, sekitar 1965,'66, '67 – atas dasar, ketika itu Sukarno masih Presiden RI – (dan “kalau tidak mampu, mengapa tidak mundur saja” -- merupakan argumentasi yang dicari-cari dan amat lemah, tidak ada syarat untuk disebut sebagai suatu argumentasi!
    Wartawan Aboeprijadi Santoso menganggap “argumentasi” Salim Said itu “absurd”.

Kita kembali mengulang pertanyaan yang sering diajukan publik: MENGAPA ADA G30S? Pertanyaan tsb mendapat jawaban John Roosa, sebagai sejarawan profesional, sbb: G30S itu adalah dalih, adalah alasan-bikinan, untuk melegitim pembasmian kaum Kiri dan Komunisme, dan kelanjutannya merebut kekuasaan dengan menggulingkan Presiden Sukarno.

Tujuan sejalan adalah untuk memperoleh kepercayaan dan kemantapan dukungan Amerika. Karena Suharto dkk tahu betul kekuasaan mereka hanya bisa tegak dan berlangsung, jika itu didukung, dibiayai dan dipersenjatai AS.

* * *

Kemis 28 November aku menerima sebuah kopi artikel yang ditulis oleh Peneliti Senior LIPI, Dr Asvi Warman Adam, berjudul: CULIK DALAM SEJARAH INDONESIA, dimuat tanggal 27/11/'13 di koan Tempo.

Artikel Asvi Warman Adam memfokuskan pada “budaya culik”yang sudah berlangsung dalam perjuangan politik Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan. Tulis Aswi a.l :

Konsep culik pula yang melekat dalam benak Soeharto ketika berpidato tahun 1980 tentang rencana menculik seorang anggota MPR bila jumlahnya berimbang dalam proses pengubahan  dasar negara Pancasila. Penculikan terjadi menjelang tahun 1998, pada beberapa aktivis muda yang dilakukan tim “Mawar” Kopassus.  Dari tahun 1945 sampai era reformasi, penculikan ini selalu menjadi kasus yang tidak pernah dituntaskan karena itu berpotensi terulang kembali.  
Selanjutnya Aswi: --- “Bila dibaca buku John Rossa “Dalih Pembunuhan Massal”, maka gerakan 30 September itu tak lain gerakan penculikan terhadap beberapa orang jenderal yang akan dihadapkan kepada Presiden Soekarno. Hanya saja manuver ini dilakukan sangat ceroboh sehingga dalam waktu sekejap bisa dirontokkan.


Tibalah Aswi Warman Adam pada isi buku baru Salim Said:
Teori John Rossa ini dimanfaatkan Salim Said dalam buku terbarunya “Dari Gestapu sampai Reformasi”. Salim juga setuju dengan penculikan yang dilihatnya sudah terjadi sejak zaman “daulat” pasca 1945. Hanya saja pada kasus G30S, Salim Said menuduh Soekarno sebagai dalang peristiwa ini.  Ia menulis “gagasan awal yang kemudian muncul dalam bentuk Gestapu, bukan berasal dari Aidit, melainkan justeru berasal dari Soekarno sendiri. Pemimpin PKI itu hanya menumpang dengan memanfaatkan gagasan sang Presiden”. Mengapa demikian, Salim melanjutkan “Soekarno waktu itu memang sudah sangat kehilangan kepercayaan kepada Yani, di satu pihak, di pihak lain sang Presiden juga tidak cukup kuat dan yakin untuk begitu saja dengan normal menyingkirkan Panglima Angkatan Darat itu…Soekarno yang ingin tetap berkuasa sambil melindungi PKI (mempertahankan Nasakom), tidak melihat jalan lain, kecuali kembali kepada cara tradisional, daulat”. Rencana Soekarno itu bocor dan ditumpangi oleh PKI lewat Biro Chusus pimpinan Sjam.


* * *


Selanjutnya Dr Asvi Warman Adam menjelaskan bahwa tuduhan Salim Said tidak didukung oleh alasan dan argumen yang kuat.


Silakan baca lengkapnya artikel Dr Asvi Warman Adam, sbb:
Dimuat pada Koran Tempo, 27 November 2013
CULIK DALAM SEJARAH INDONESIA
Asvi Warman Adam
Penculikan para pemimpin sudah terjadi di negeri ini sejak Indonesia merdeka. Yang pertama diculik adalah menteri negara Oto Iskandar di Nata Desember 1945. Sekelompok pemuda membawanya ke pantai Mauk Tangerang dan membuang jenasahnya ke laut. Penculikan berikut menimpa Sjahrir dan Tan Malaka yang dilakukan kelompok yang berseberangan.
Konsep culik pula yang melekat dalam benak Soeharto ketika berpidato tahun 1980 tentang rencana menculik seorang anggota MPR bila jumlahnya berimbang dalam proses pengubahan  dasar negara Pancasila. Penculikan terjadi menjelang tahun 1998, pada beberapa aktivis muda yang dilakukan tim “Mawar” Kopassus.  Dari tahun 1945 sampai era reformasi, penculikan ini selalu menjadi kasus yang tidak pernah dituntaskan karena itu berpotensi terulang kembali.  
Bila dibaca buku John Rossa “Dalih Pembunuhan Massal”, maka gerakan 30 September itu tak lain gerakan penculikan terhadap beberapa orang jenderal yang akan dihadapkan kepada Presiden Soekarno. Hanya saja manuver ini dilakukan sangat ceroboh sehingga dalam waktu sekejap bisa dirontokkan.
Teori John Rossa ini dimanfaatkan Salim Said dalam buku terbarunya “Dari Gestapu sampai Reformasi”. Salim juga setuju dengan penculikan yang dilihatnya sudah terjadi sejak zaman “daulat” pasca 1945. Hanya saja pada kasus G30S, Salim Said menuduh Soekarno sebagai dalang peristiwa ini.  Ia menulis “gagasan awal yang kemudian muncul dalam bentuk Gestapu, bukan berasal dari Aidit, melainkan justeru berasal dari Soekarno sendiri. Pemimpin PKI itu hanya menumpang dengan memanfaatkan gagasan sang Presiden”. Mengapa demikian, Salim melanjutkan “Soekarno waktu itu memang sudah sangat kehilangan kepercayaan kepada Yani, di satu pihak, di pihak lain sang Presiden juga tidak cukup kuat dan yakin untuk begitu saja dengan normal menyingkirkan Panglima Angkatan Darat itu…Soekarno yang ingin tetap berkuasa sambil melindungi PKI (mempertahankan Nasakom), tidak melihat jalan lain, kecuali kembali kepada cara tradisional, daulat”. Rencana Soekarno itu bocor dan ditumpangi oleh PKI lewat Biro Chusus pimpinan Sjam.   
Ada dua alasan yang dikemukan Salim Said untuk mendukung argumennya. Pertama, perintah Soekarno kepada Letkol Untung tanggal 4 Agustus 1965 dan kedua pertemuan Biju Patnaik dengan Presiden Soekarno tanggal 30 September 1965. Saya melihat kelemahan kedua alasan itu. Pertama, tanggal 4 Agustus 1965 Soekarno mengalami stroke ringan. Apakah dalam kondisi seperti itu ia masih bisa mengeluarkan perintah ?  Lebih-lebih lagi, menurut Wakil Komandan Tjakrabirawa, Maulwi Saelan, tidak ada pertemuan antara Soekarno dengan Letkol Untung saat itu. Kedua, Biju Patnaik, industrialis dan pilot India yang pernah menerbangkan Bung Hatta ke India pada masa perang kemerdekaan, memang dekat dengan Bung Karno. Ia datang ke istana Merdeka jam 12 tengah malam. Ucapan Bung Karno, “kamu cepat-cepatlah pulang karena sebentar lagi saya akan menutup bandara” bisa saja dipahami sebagai omelan kepada seorang sahabat yang masih mau mengobrol terus saat tuan rumah sudah mengantuk. Disebutkan bahwa Patnaik bertemu Soekarno tanggal 30 September 1965 tengah malam di Istana. Jelas itu tidak benar, karena pada malam itu Soekarno tidur di rumah Dewi di Wisma Yaso. Alhasil, kisah Patnaik yang dituturkan kepada sejarawan AB Lapian beberapa puluh tahun setelah peristiwa itu terjadi, tidak akurat. Karena itu tidak bisa dijadikan bukti keterlibatan Soekarno dalam peristiwa G30S. 

(Dr Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI) 
  

No comments: