Friday, November 29, 2013

MENYAMBUT TULISAN DR ASWI WARMAN ADAM - "SARWO EDHIE BELUM HERO"

Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 22 November 2013
-------------------------------------


MENYAMBUT TULISAN DR ASWI WARMAN ADAM - "SARWO EDHIE BELUM HERO"

Ungkapan diatas "Sarwo Edhie Belum Hero", adalah judul tulisan sahabatku Dr Aswi Warman Adam. Artikel tsb dimuat hari ini di koran Tempo. Satu copy dikirimkannya pagi ini kepadaku. Terima kasih Pak Aswi!

Dr Aswi Warman Adam, seorang Peneliti Senior LIPI - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengedepankan sebuah julukan untik Sarwo Edhie, "belum hero". Ini menegaskan bahwa Dr Aswi Adam adalah seorang sejarawan dan ilmuwan. Tidak apriori. Tetapi mengajukan fakta-fakta, memberikan argumentasi dan pelbagai opini sebagai reaksi masyarakat, menganalisis kemudian menyerahkan kepada pembaca untuk menarik kesimpulan sendiri.


* * *


Dari kasus “apakah Sarwo Edhie bisa diputuskan oleh pemerintah menjadi pahlawan nasional apa tidak, ada beberapa hal yang disoroti oleh Aswi Warman Adam.

Pertama: Biasanya bila pemerintah setuju pengangkatan seseorang jadi pahlawan nasional, hal itu langsung dilakukan. Dalam kasus "Sarwo Edhie jadi pahlawan", tidak demikian. Mengapa?

Kedua: Yang menyebarluaskan (yang dikatakan) "persetujuan pemerintah" tsb., -- adalah Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo. Sarwo Edhie adalah ayah kandung mantan Kepala Staf TNI AD Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo dan Ibu Negara Ani Yudhoyono. Sedangkan yang memutuskan Sarwo Edhie jadi pahlawan termasuk menantunya sendiri. Jadi bukan sebuah lembaga negara yang merilis berita "Sarwo Edhie (akan) jadi pahlawan". Maka timbullah kesan buruk, bahwa keputusan seseorang jadi pahlawan, rupanya "urusan keluarga penguasa" semata-mata. Sungguh berbau feodalisme!!

Ketiga
: Dikatakan bahwa Presiden yang akan menyematkan gelar pahlawan itu ke dada (barangkali) salah seorang keluarga Sarwo Edhie, yang bisa jadi itu adalah putra Sarwo Edhie atau bisa juga Ibu Ani SBY. Karena Sarwo Edhie sudah almarhum. Lebih anéh lagi, . . . pada waktu penyematan gelar pahlawan kepada Sarwo Edhie, nanti, . . . . SBY sudah bukan lagi Presiden RI. Yang menjabat Presiden RI, bisa jadi adalah . . . Jokowi, bisa juga . . . God knows who . . . .!!?? Jadi tampak kehendak untuk mem-"fait-accompli"-kan keputusan kenegaraan
yang begitu penting, kepada Presiden RI yang masih harus dipilih . . . .!! Masyaallah . . . apakah sudah begitu amburadulnya ketatanegaraan kita ini?

Keempat: Timbullah opini di masyarakat: Penyebarluasan berita sekitar “Sarwo Edhi akan jadi pahlawan”, yang dilakukan oleh salah seorang keluarganya, adalah semata-mata sebagai "proefballon", semacam “jajak pendapat”. Untuk mengukur seberapa jauh reaksi masyarakat bila seorang "Sarwo Edhie" diputuskan jadi pahlawan. Tujuan tersembunyi adalah untuk membangun suatu "public opinion". Disini terdapat kesamaan dengan dirilisnya beberapa waktu yang lalu tentang kemungkinan "Suharto jadi pahlawan nasional".


* * *


Andaikata, ini andai-kata . . . benar-benar terjadi, bahwa bersama Sarwo Adhie nanti juga Suharto akan dinobatkan jadi pahlawan nasional, maka, maka . . . ada baiknya difikirkan secara serius --
RAKYAT MELAKUKAN PENDAULATAN ! -- MEMPROKLAMASIKAN KEMBALI REPUBLIK INDONESIA. Karena institusi negara RI yang sekarang ini sudah menjadi suatu kekuasaan "angkara murka, nepotis, dan ketiadaaan kemanusiaan.”

Kelima: Suatu perkembangan yang mungkin tidak diduga sebelumnya oleh para pendukung isu "Sarwo Edhie jadi pahlawan", . . . Aswi Adam mengemukakan tentang beredarnya sebuah Petisi, diprakarsai oleh SOE TJEN MARCHING, salah seorang korban Peristiwa 1965.


Petisi tsb sudah didukung oleh 5000 tandatangan dan masih akan bertambah terus. Petisi MENOLAK PRAKARSA MENJADIKAN SARWO EDHIE PAHLAWAN. Dalam petisi yang bertajuk "Don't Make Sarwo Edhie A Hero" tsb, Marching menulis bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Sarwo Edhie hanya akan menambah tumpukan ketidakadilan terhadap korban peristiwa 1965 dan keluarga mereka".

    * * *

    Harap perhatikan ini!: ---

    Bila benar-benar kita bertujuan menegakkan negara ini sebagai NEGARA HUKUM YANG BERBUDAYA DAN BERADAB --- ada satu hal fundamental yang perlu dicamkan yang dikemukakan oleh Peneliti Dr Aswi Warman Adam dalam artikelnya yaitu:
Karena pasukannya terbatas, Sarwo melatih kemiliteran para pemuda dua atau tiga hari, selanjutnya “mereka kami lepaskan untuk menumpas komunis sampai ke akar-akarnya”. Sarwo tidak ragu-ragu mengeluarkan perintah tembak kepada mereka yang melawan termasuk kepada penduduk yang memprotes penembakan seperti yang terjadi di Solo.
    "Pembunuhan massal yang terjadi pasca G30S tahun 1965 itu memakan korban yang bervariasi dari 78.000 sampai 3 juta jiwa. Jumlah 500.000 jiwa dianggap sebagian pengamat sebagai hitungan yang moderat walau sesungguhnya itu tercatat sebagai pembantaian yang terbesar dalam sejarah Indonesia. Persoalannya, siapa yang bertanggungjawab terhadap tragedi nasional tersebut ? Soekarno jelas tidak karena ia tidak memegang kekuasaan lagi dalam bidang keamanan sungguhpun secara formalitas masih menjadi Presiden. Kalau begitu apakah Soeharto atau Sarwo Edhie?

"Ini sebetulnya yang harus diungkap dalam pengadilan HAM ad hoc mengenai kasus 1965. Laporan lengkap mengenai pelanggaran HAM Berat 1965 itu telah diserahkan oleh Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung. Tentu laporan ini menjadi pertimbangan untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc. Namun oleh Kejaksaan Agung berkas itu dikembalikan kepada Komnas HAM untuk dilengkapi. Ini sudah terjadi berulang kali. Kalau pengadilan HAM ad hoc itu belum terlaksana tentu belum bisa diputuskan apakah Soeharto atau Sarwo Edhi atau Jenderal lainnya dinyatakan bersalah atau tidak.

* * *

Sialakan baca dengan seksama:

SARWO EDHIE BELUM HERO
Asvi Warman Adam

Akhir pekan lalu, Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo mengatakan pemerintah telah menyetujui usulan gelar pahlawan nasional untuk Letjen TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo. Gelar pahlawan nasional kepada Sarwo Edhie itu akan disematkan pada 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sarwo Edhie adalah juga ayah kandung mantan Kepala Staf TNI AD Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo dan Ibu Negara Ani Yudhoyono.

Pernyataan itu janggal. Pertama, bila Presiden sudah menyetujui pengangkatan seorang tokoh menjadi pahlawan nasional, maka hal itu langsung dilaksanakan menjelang tanggal 10 November. Pada tahun 2013 hanya diangkat tiga orang pahlawan nasional, tidak termasuk Sarwo Edhie. Kedua, pada bulan November 2014 Susilo Bambang Yudoyono tidak lagi menjadi Presiden karena sudah selesai dua periode.

Berita itu mendapat reaksi negatif di tengah masyarakat. Soe Tjen Marching, seorang perempuan Indonesia yang tinggal di London menggelar petisi di internet yang sudah didukung oleh 5000 tanda tangan. Dalam petisi yang bertajuk “Don’t Make Sarwo Edhie a Hero” tersebut, Marching menulis bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Sarwo Edhie hanya akan menambah tumpukan ketidakadilan terhadap korban peristiwa 1965 dan keluarga mereka.

Pelaksana lapangan
Sarwo Edhie adalah komandan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) yang ditugasi untuk melumpuhkan perlawanan G30S di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Pasukan yang dipimpin Sarwo Edhi memasuki Semarang tanggal 19 Oktober 1965, selanjutnya ke Magelang dan Yogyakarta. Dalam rapat umum di Boyolali, Sarwo Edhi bertanya, ”Siapa mau dipotong kepalanya, saya bayar lima ribu.” Tidak ada jawaban, Sarwo menambah bayaran ”Siapa yang mau dipotong kepalanya, saya bayar seratus ribu.” Sang komandan kemudian menukas, ”Dibayar seratus ribu saja tidak ada yang mau dipotong kepalanya, dan agar kepala saudara-saudara tidak dipotong dengan gratis, maka PKI harus dilawan“.


Karena pasukannya terbatas, Sarwo melatih kemiliteran para pemuda dua atau tiga hari, selanjutnya “mereka kami lepaskan untuk menumpas komunis sampai ke akar-akarnya”. Sarwo tidak ragu-ragu mengeluarkan perintah tembak kepada mereka yang melawan termasuk kepada penduduk yang memprotes penembakan seperti yang terjadi di Solo.


Pembunuhan massal yang terjadi pasca G30S tahun 1965 itu memakan korban yang bervariasi dari 78.000 sampai 3 juta jiwa. Jumlah 500.000 jiwa dianggap sebagian pengamat sebagai hitungan yang moderat walau sesungguhnya itu tercatat sebagai pembantaian yang terbesar dalam sejarah Indonesia. Persoalannya, siapa yang bertanggungjawab terhadap tragedi nasional tersebut ? Soekarno jelas tidak karena ia tidak memegang kekuasaan lagi dalam bidang keamanan sungguhpun secara formalitas masih menjadi Presiden. Kalau begitu apakah Soeharto atau Sarwo Edhi ?
Ini sebetulnya yang harus diungkap dalam pengadilan HAM ad hoc mengenai kasus 1965. Laporan lengkap mengenai pelanggaran HAM Berat 1965 itu telah diserahkan oleh Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung. Tentu laporan ini menjadi pertimbangan untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc. Namun oleh Kejaksaan Agung berkas itu dikembalikan kepada Komnas HAM untuk dilengkapi. Ini sudah terjadi berulang kali. Kalau pengadilan HAM ad hoc itu belum terlaksana tentu belum bisa diputuskan apakah Soeharto atau Sarwo Edhi atau Jenderal lainnya dinyatakan bersalah atau tidak.


Gelar pahlawan nasional tidak bisa dicabut. Begitu diberikan gelar itu diberikan akan melekat selamanya. Oleh sebab itu penganugerahan harus mementingkan prinsip kehati-hatian. Sangat ironis bila seseorang sudah diangkat pahlawan ternyata di kemudian hari diputuskan pengadilan sebagai pelanggar HAM Berat. Oleh sebab itu selama kasus ini belum tuntas di pengadilan HAM, maka pengusulan gelar pahlawan nasional untuk Sarwo Edhie sebaiknya ditunda.


Yang agak aneh juga pencalonan Sarwo Edhie lolos dari seleksi Kementerian Sosial. Padahal di sana terdapat tim 13 yang terdiri dari banyak sejarawan. Apakah mereka tidak membaca laporan khusus majalah Tempo tanggal 7 November 2011 tentang Sarwo Edhie. Di situ juga diungkap berbagai hal tentang sang Jenderal yang kemudian juga dipinggirkan oleh penguasa rezim Orde Baru. Ada aspek yang sampai hari ini setahu saya belum pernah dibantah atau ditanggapi oleh pihak keluarga yakni hubungan asmara antara Sarwo Edhie dengan janda pahlawan revolusi di Yogyakarta. Walaupun masalah ini sangat manusiawi karena bisa saja menimpa semua orang, namun seyogianya seorang pahlawan nasional bebas dari “cacat” semacam ini. Sebetulnya aspek ini dapat menjadi pertimbangan bagi tim seleksi di Kementerian Sosial untuk tidak meloloskan Sarwo Edhie.

(Dr Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI)

* * *



No comments: