Kolom
IBRAHIM ISA
Jum'at, 22 November 2013
-------------------------------------
MENYAMBUT TULISAN DR ASWI WARMAN ADAM - "SARWO EDHIE BELUM HERO"
Ungkapan diatas "Sarwo Edhie Belum Hero", adalah judul tulisan sahabatku Dr Aswi Warman Adam. Artikel tsb dimuat hari ini di koran Tempo. Satu copy dikirimkannya pagi ini kepadaku. Terima kasih Pak Aswi!
Dr Aswi Warman Adam, seorang Peneliti Senior LIPI - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengedepankan sebuah julukan untik Sarwo Edhie, "belum hero". Ini menegaskan bahwa Dr Aswi Adam adalah seorang sejarawan dan ilmuwan. Tidak apriori. Tetapi mengajukan fakta-fakta, memberikan argumentasi dan pelbagai opini sebagai reaksi masyarakat, menganalisis kemudian menyerahkan kepada pembaca untuk menarik kesimpulan sendiri.
* * *
Dari kasus “apakah Sarwo Edhie bisa diputuskan oleh pemerintah menjadi pahlawan nasional apa tidak, ada beberapa hal yang disoroti oleh Aswi Warman Adam.
Pertama: Biasanya bila pemerintah setuju pengangkatan seseorang jadi pahlawan nasional, hal itu langsung dilakukan. Dalam kasus "Sarwo Edhie jadi pahlawan", tidak demikian. Mengapa?
Kedua: Yang menyebarluaskan (yang dikatakan) "persetujuan pemerintah" tsb., -- adalah Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo. Sarwo Edhie adalah ayah kandung mantan Kepala Staf TNI AD Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo dan Ibu Negara Ani Yudhoyono. Sedangkan yang memutuskan Sarwo Edhie jadi pahlawan termasuk menantunya sendiri. Jadi bukan sebuah lembaga negara yang merilis berita "Sarwo Edhie (akan) jadi pahlawan". Maka timbullah kesan buruk, bahwa keputusan seseorang jadi pahlawan, rupanya "urusan keluarga penguasa" semata-mata. Sungguh berbau feodalisme!!
Ketiga: Dikatakan bahwa Presiden yang akan menyematkan gelar pahlawan itu ke dada (barangkali) salah seorang keluarga Sarwo Edhie, yang bisa jadi itu adalah putra Sarwo Edhie atau bisa juga Ibu Ani SBY. Karena Sarwo Edhie sudah almarhum. Lebih anéh lagi, . . . pada waktu penyematan gelar pahlawan kepada Sarwo Edhie, nanti, . . . . SBY sudah bukan lagi Presiden RI. Yang menjabat Presiden RI, bisa jadi adalah . . . Jokowi, bisa juga . . . God knows who . . . .!!?? Jadi tampak kehendak untuk mem-"fait-accompli"-kan keputusan kenegaraan
yang begitu penting, kepada Presiden RI yang masih harus dipilih . . . .!! Masyaallah . . . apakah sudah begitu amburadulnya ketatanegaraan kita ini?
Keempat: Timbullah opini di masyarakat: Penyebarluasan berita sekitar “Sarwo Edhi akan jadi pahlawan”, yang dilakukan oleh salah seorang keluarganya, adalah semata-mata sebagai "proefballon", semacam “jajak pendapat”. Untuk mengukur seberapa jauh reaksi masyarakat bila seorang "Sarwo Edhie" diputuskan jadi pahlawan. Tujuan tersembunyi adalah untuk membangun suatu "public opinion". Disini terdapat kesamaan dengan dirilisnya beberapa waktu yang lalu tentang kemungkinan "Suharto jadi pahlawan nasional".
Jum'at, 22 November 2013
-------------------------------------
MENYAMBUT TULISAN DR ASWI WARMAN ADAM - "SARWO EDHIE BELUM HERO"
Ungkapan diatas "Sarwo Edhie Belum Hero", adalah judul tulisan sahabatku Dr Aswi Warman Adam. Artikel tsb dimuat hari ini di koran Tempo. Satu copy dikirimkannya pagi ini kepadaku. Terima kasih Pak Aswi!
Dr Aswi Warman Adam, seorang Peneliti Senior LIPI - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengedepankan sebuah julukan untik Sarwo Edhie, "belum hero". Ini menegaskan bahwa Dr Aswi Adam adalah seorang sejarawan dan ilmuwan. Tidak apriori. Tetapi mengajukan fakta-fakta, memberikan argumentasi dan pelbagai opini sebagai reaksi masyarakat, menganalisis kemudian menyerahkan kepada pembaca untuk menarik kesimpulan sendiri.
* * *
Dari kasus “apakah Sarwo Edhie bisa diputuskan oleh pemerintah menjadi pahlawan nasional apa tidak, ada beberapa hal yang disoroti oleh Aswi Warman Adam.
Pertama: Biasanya bila pemerintah setuju pengangkatan seseorang jadi pahlawan nasional, hal itu langsung dilakukan. Dalam kasus "Sarwo Edhie jadi pahlawan", tidak demikian. Mengapa?
Kedua: Yang menyebarluaskan (yang dikatakan) "persetujuan pemerintah" tsb., -- adalah Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo. Sarwo Edhie adalah ayah kandung mantan Kepala Staf TNI AD Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo dan Ibu Negara Ani Yudhoyono. Sedangkan yang memutuskan Sarwo Edhie jadi pahlawan termasuk menantunya sendiri. Jadi bukan sebuah lembaga negara yang merilis berita "Sarwo Edhie (akan) jadi pahlawan". Maka timbullah kesan buruk, bahwa keputusan seseorang jadi pahlawan, rupanya "urusan keluarga penguasa" semata-mata. Sungguh berbau feodalisme!!
Ketiga: Dikatakan bahwa Presiden yang akan menyematkan gelar pahlawan itu ke dada (barangkali) salah seorang keluarga Sarwo Edhie, yang bisa jadi itu adalah putra Sarwo Edhie atau bisa juga Ibu Ani SBY. Karena Sarwo Edhie sudah almarhum. Lebih anéh lagi, . . . pada waktu penyematan gelar pahlawan kepada Sarwo Edhie, nanti, . . . . SBY sudah bukan lagi Presiden RI. Yang menjabat Presiden RI, bisa jadi adalah . . . Jokowi, bisa juga . . . God knows who . . . .!!?? Jadi tampak kehendak untuk mem-"fait-accompli"-kan keputusan kenegaraan
yang begitu penting, kepada Presiden RI yang masih harus dipilih . . . .!! Masyaallah . . . apakah sudah begitu amburadulnya ketatanegaraan kita ini?
Keempat: Timbullah opini di masyarakat: Penyebarluasan berita sekitar “Sarwo Edhi akan jadi pahlawan”, yang dilakukan oleh salah seorang keluarganya, adalah semata-mata sebagai "proefballon", semacam “jajak pendapat”. Untuk mengukur seberapa jauh reaksi masyarakat bila seorang "Sarwo Edhie" diputuskan jadi pahlawan. Tujuan tersembunyi adalah untuk membangun suatu "public opinion". Disini terdapat kesamaan dengan dirilisnya beberapa waktu yang lalu tentang kemungkinan "Suharto jadi pahlawan nasional".
* * *
Andaikata,
ini
andai-kata . . . benar-benar terjadi, bahwa bersama Sarwo
Adhie nanti juga Suharto akan dinobatkan jadi pahlawan
nasional, maka, maka
. . . ada baiknya difikirkan secara serius --
RAKYAT MELAKUKAN
PENDAULATAN ! -- MEMPROKLAMASIKAN KEMBALI REPUBLIK INDONESIA.
Karena institusi negara RI yang sekarang ini sudah menjadi
suatu
kekuasaan "angkara murka, nepotis, dan ketiadaaan
kemanusiaan.”
Kelima: Suatu perkembangan yang mungkin tidak diduga sebelumnya oleh para pendukung isu "Sarwo Edhie jadi pahlawan", . . . Aswi Adam mengemukakan tentang beredarnya sebuah Petisi, diprakarsai oleh SOE TJEN MARCHING, salah seorang korban Peristiwa 1965.
Kelima: Suatu perkembangan yang mungkin tidak diduga sebelumnya oleh para pendukung isu "Sarwo Edhie jadi pahlawan", . . . Aswi Adam mengemukakan tentang beredarnya sebuah Petisi, diprakarsai oleh SOE TJEN MARCHING, salah seorang korban Peristiwa 1965.
Petisi tsb sudah
didukung oleh 5000 tandatangan dan masih akan bertambah
terus.
Petisi MENOLAK PRAKARSA MENJADIKAN SARWO EDHIE PAHLAWAN.
Dalam
petisi yang bertajuk "Don't Make Sarwo Edhie A Hero" tsb,
Marching menulis bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Sarwo
Edhie
hanya akan menambah tumpukan ketidakadilan terhadap korban
peristiwa
1965 dan keluarga mereka".
- * * *
Harap perhatikan ini!: ---
Bila benar-benar kita bertujuan menegakkan negara ini sebagai NEGARA HUKUM YANG BERBUDAYA DAN BERADAB --- ada satu hal fundamental yang perlu dicamkan yang dikemukakan oleh Peneliti Dr Aswi Warman Adam dalam artikelnya yaitu:
“Karena
pasukannya terbatas, Sarwo melatih kemiliteran para pemuda
dua atau
tiga hari, selanjutnya “mereka kami lepaskan untuk
menumpas komunis
sampai ke akar-akarnya”. Sarwo tidak ragu-ragu
mengeluarkan
perintah tembak kepada mereka yang melawan termasuk kepada
penduduk
yang memprotes penembakan seperti yang terjadi di Solo.
- "Pembunuhan massal yang terjadi pasca
G30S tahun 1965 itu memakan korban yang bervariasi dari
78.000 sampai 3 juta jiwa. Jumlah 500.000 jiwa dianggap
sebagian pengamat sebagai hitungan yang moderat walau
sesungguhnya itu tercatat sebagai pembantaian yang
terbesar dalam sejarah Indonesia. Persoalannya, siapa yang
bertanggungjawab terhadap tragedi nasional tersebut ?
Soekarno jelas tidak karena ia tidak memegang kekuasaan
lagi dalam bidang keamanan sungguhpun secara formalitas
masih menjadi Presiden. Kalau begitu apakah Soeharto atau
Sarwo Edhie?
"Ini
sebetulnya yang harus diungkap dalam pengadilan HAM ad hoc
mengenai
kasus 1965. Laporan lengkap mengenai pelanggaran HAM Berat
1965 itu
telah diserahkan oleh Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung.
Tentu
laporan ini menjadi pertimbangan untuk membentuk
pengadilan HAM ad
hoc. Namun oleh Kejaksaan Agung berkas itu dikembalikan
kepada
Komnas HAM untuk dilengkapi. Ini sudah
terjadi berulang
kali. Kalau pengadilan HAM ad hoc itu belum terlaksana
tentu belum
bisa diputuskan apakah Soeharto atau Sarwo Edhi atau
Jenderal lainnya
dinyatakan bersalah atau tidak.
*
* *
Sialakan
baca
dengan seksama:
SARWO EDHIE BELUM HERO
Asvi Warman Adam
Akhir
pekan lalu, Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo mengatakan
pemerintah telah menyetujui usulan gelar pahlawan nasional untuk
Letjen TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo. Gelar pahlawan nasional
kepada
Sarwo Edhie itu akan disematkan pada 2014 oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Sarwo Edhie adalah juga ayah kandung mantan
Kepala
Staf TNI AD Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo dan Ibu Negara
Ani
Yudhoyono.
Pernyataan itu janggal. Pertama, bila Presiden
sudah
menyetujui pengangkatan seorang tokoh menjadi pahlawan nasional,
maka
hal itu langsung dilaksanakan menjelang tanggal 10 November.
Pada
tahun 2013 hanya diangkat tiga orang pahlawan nasional, tidak
termasuk Sarwo Edhie. Kedua, pada bulan November 2014 Susilo
Bambang
Yudoyono tidak lagi menjadi Presiden karena sudah selesai dua
periode.
Berita itu mendapat reaksi negatif di tengah
masyarakat.
Soe Tjen Marching, seorang perempuan Indonesia yang tinggal di
London
menggelar petisi di internet yang sudah didukung oleh 5000 tanda
tangan. Dalam petisi yang bertajuk “Don’t Make Sarwo Edhie a
Hero” tersebut, Marching menulis bahwa pemberian gelar
pahlawan
kepada Sarwo Edhie hanya akan menambah tumpukan ketidakadilan
terhadap korban peristiwa 1965 dan keluarga mereka.
Pelaksana
lapangan
Sarwo
Edhie adalah komandan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan
Darat)
yang ditugasi untuk melumpuhkan perlawanan G30S di Jawa Tengah,
Jawa
Timur dan Bali. Pasukan yang dipimpin Sarwo Edhi memasuki
Semarang
tanggal 19 Oktober 1965, selanjutnya ke Magelang dan Yogyakarta.
Dalam rapat umum di Boyolali, Sarwo Edhi bertanya, ”Siapa mau
dipotong kepalanya, saya bayar lima ribu.” Tidak ada jawaban,
Sarwo
menambah bayaran ”Siapa yang mau dipotong kepalanya, saya bayar
seratus ribu.” Sang komandan kemudian menukas, ”Dibayar seratus
ribu saja tidak ada yang mau dipotong kepalanya, dan agar kepala
saudara-saudara tidak dipotong dengan gratis, maka PKI harus
dilawan“.
Karena
pasukannya terbatas, Sarwo melatih kemiliteran para pemuda dua
atau
tiga hari, selanjutnya “mereka kami lepaskan untuk menumpas
komunis
sampai ke akar-akarnya”. Sarwo tidak ragu-ragu mengeluarkan
perintah tembak kepada mereka yang melawan termasuk kepada
penduduk
yang memprotes penembakan seperti yang terjadi di Solo.
Pembunuhan
massal yang terjadi pasca G30S tahun 1965 itu memakan korban
yang
bervariasi dari 78.000 sampai 3 juta jiwa. Jumlah 500.000 jiwa
dianggap sebagian pengamat sebagai hitungan yang moderat walau
sesungguhnya itu tercatat sebagai pembantaian yang terbesar
dalam
sejarah Indonesia. Persoalannya, siapa yang bertanggungjawab
terhadap
tragedi nasional tersebut ? Soekarno jelas tidak karena ia tidak
memegang kekuasaan lagi dalam bidang keamanan sungguhpun secara
formalitas masih menjadi Presiden. Kalau begitu apakah Soeharto
atau
Sarwo Edhi ?
Ini
sebetulnya yang harus diungkap dalam pengadilan HAM ad hoc
mengenai
kasus 1965. Laporan lengkap mengenai pelanggaran HAM Berat 1965
itu
telah diserahkan oleh Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung. Tentu
laporan ini menjadi pertimbangan untuk membentuk pengadilan HAM
ad
hoc. Namun oleh Kejaksaan Agung berkas itu dikembalikan kepada
Komnas
HAM untuk dilengkapi. Ini sudah terjadi berulang kali. Kalau
pengadilan HAM ad hoc itu belum terlaksana tentu belum bisa
diputuskan apakah Soeharto atau Sarwo Edhi atau Jenderal lainnya
dinyatakan bersalah atau tidak.
Gelar
pahlawan nasional tidak bisa dicabut. Begitu diberikan gelar itu
diberikan akan melekat selamanya. Oleh sebab itu penganugerahan
harus
mementingkan prinsip kehati-hatian. Sangat ironis bila seseorang
sudah diangkat pahlawan ternyata di kemudian hari diputuskan
pengadilan sebagai pelanggar HAM Berat. Oleh sebab itu selama
kasus
ini belum tuntas di pengadilan HAM, maka pengusulan gelar
pahlawan
nasional untuk Sarwo Edhie sebaiknya ditunda.
Yang
agak aneh juga pencalonan Sarwo Edhie lolos dari seleksi
Kementerian
Sosial. Padahal di sana terdapat tim 13 yang terdiri dari banyak
sejarawan. Apakah mereka tidak membaca laporan khusus majalah
Tempo
tanggal 7 November 2011 tentang Sarwo Edhie. Di situ juga
diungkap
berbagai hal tentang sang Jenderal yang kemudian juga
dipinggirkan
oleh penguasa rezim Orde Baru. Ada aspek yang sampai hari ini
setahu
saya belum pernah dibantah atau ditanggapi oleh pihak keluarga
yakni
hubungan asmara antara Sarwo Edhie dengan janda pahlawan
revolusi di
Yogyakarta. Walaupun masalah ini sangat manusiawi karena bisa
saja
menimpa semua orang, namun seyogianya seorang pahlawan nasional
bebas
dari “cacat” semacam ini. Sebetulnya aspek ini dapat menjadi
pertimbangan bagi tim seleksi di Kementerian Sosial untuk tidak
meloloskan Sarwo Edhie.
(Dr
Asvi
Warman Adam, sejarawan LIPI)
* * *
No comments:
Post a Comment