Kolom
IBRAHIM
          ISA
Rabu, 30 Oktober 2013
---------------------------------
        
PENYINTAS KORBAN PEMBANTAIAN MASAL 1965 MENGALAMI TEROR LAGI --
        
    
Rabu, 30 Oktober 2013
---------------------------------
PENYINTAS KORBAN PEMBANTAIAN MASAL 1965 MENGALAMI TEROR LAGI --
SUATU TIKAMAN BELATI
          TERHADAP USAHA REKONSILIASI
"Sampai
            kapan kekosongan moral ini akan dibiarkan?" "Mata
          Dunia Mengawasi!" -- 
    
(Joshua Oppenheimer)
* * *
            
Suatu tindakan teror, kekerasan jahanam terhadap PENYINTAS KORBAN PEMBANTIAN MASAL 1965 terjadi lagi. Peristiwa itu berlangsung di Wisma Santidharma Godean, Sleman, Yogyakarta pada Minggu 27 Oktober 2013 pukul 11.00 WIB.
Suatu tindakan teror, kekerasan jahanam terhadap PENYINTAS KORBAN PEMBANTIAN MASAL 1965 terjadi lagi. Peristiwa itu berlangsung di Wisma Santidharma Godean, Sleman, Yogyakarta pada Minggu 27 Oktober 2013 pukul 11.00 WIB.
Pelakunya bertanda
            pengenal yang sama dengan pelaku-pelaku pembantaian masalah
            1965. Dalih untuk melakukan teror dan kekerasan yang
            diajukan, juga sama dengan dalih kampanye besar-besaran
            pembantaian masal 1965/66/67 yang dilakukan oleh klik
            militer di bawah komando Jendral Suharto. 
            
Bila aparat keamanan dari negara ini, yang dikepalai oleh seorang Presiden yang dipilih langsung dan berjanji akan menegakkan hukum di negara ini, . . . . . TIDAK BERBUAT APA-APA, hanya lamis-lamis bibir saja. . . .
            
Maka, janji yang diutarakan Presiden SBY untuk direalisasinya KEBENARAN DAN RESKONSILIASI NASIONAL, . . . . hanyalah JANJI-JANJI KOSONG BELAKA, Yang dimaksudkan untuk menina-bobokkan dan menipu rakyat semata.
            
Di bawah ini dimuat sebagian catatan sekitar DIALOG INTER-AKTIF YANG BERLANGSUNG DI "FACEBOOK" beberapa hari ini.
Yang mengutuk perbuatan teror dan biadab para pelaku dari Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) , serta tuntutan kepada pemerintah, kepada setiap aparat keamanan negeri untuk bertindak terhadap praktek kekerasan melanggar hukum, DAN BERAKSI menjadi HAKIM SENDIRI.
        
      
Bila aparat keamanan dari negara ini, yang dikepalai oleh seorang Presiden yang dipilih langsung dan berjanji akan menegakkan hukum di negara ini, . . . . . TIDAK BERBUAT APA-APA, hanya lamis-lamis bibir saja. . . .
Maka, janji yang diutarakan Presiden SBY untuk direalisasinya KEBENARAN DAN RESKONSILIASI NASIONAL, . . . . hanyalah JANJI-JANJI KOSONG BELAKA, Yang dimaksudkan untuk menina-bobokkan dan menipu rakyat semata.
Di bawah ini dimuat sebagian catatan sekitar DIALOG INTER-AKTIF YANG BERLANGSUNG DI "FACEBOOK" beberapa hari ini.
Yang mengutuk perbuatan teror dan biadab para pelaku dari Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) , serta tuntutan kepada pemerintah, kepada setiap aparat keamanan negeri untuk bertindak terhadap praktek kekerasan melanggar hukum, DAN BERAKSI menjadi HAKIM SENDIRI.
* * *
IRINA
DAYASIH
          - KELUARGA TRAGEDI '65
Berkat
dukungan
        banyak pihak, baik LSM, aktivis, teman-teman di Komnas HAM,
        LPSK, media, kawan baru, sahabat dekat maupun jauh yang
        mencintai
        keadilan dan perdamaian, kami, saya dan kawan-kawan yang dua
        hari
        lalu menghadapi aksi anarkis para preman bayaran, pagi tadi
        telah
        tiba di rumah dengan selamat dan sehat. 
    
Terima
kasih
        banyak yang tak terhingga untuk semua perhatian, simpati,
        bantuan, dukungan dan solidaritas kawan-kawan semua. 
    
Maaf
jika
        ada sms, telpon ataupun pesan pesan-pesan lain yang terlewat tak
        terjawab, dan maaf juga jika saya tidak bisa memberikan
        keterangan
        satu per satu kepada kawan-kawan. Intinya, sampai detik-detik
        terakhir bernegosisasi dengan aparat keparat kemarin, kami tetap
        menolak membatalkan pertemuan dan membubarkan diri. Tapi 15
        menit
        kemudian, aparat datang lagi bersama tim yang lebih besar dan
        diiringi puluhan massa. 
    
Di
bawah
        tekanan dan ancaman mereka, kami kemudian terpaksa memilih
        "mengalah". Sudah mengalah pun, lima orang tak bersalah
        tetap menjadi korban: Seorang Bapak 62 tahun, jatuh tersungkur
        dipukul tengkuknya; anaknya yang memboncengkannya pecah bibirnya
        dan
        lebam mukanya; satu kawan lain memar dan merah matanya; satunya
        lagi
        lebam pelipis kirinya, dan yang terakhir keningnya ditendang
        dengan
        sepatu lars. 
    
Sampai
sekarang
        ia masih merasa pusing dan susah mengunyah makanan. Hormat
        kami setinggi-tingginya untuk para korban luka dan kawan-kawan
        peserta pertemuan yang menyatakan tak akan takut dan jera dalam
        memperjuangkan hak-haknya dari segala bentuk ancaman, tekanan,
        kekerasan maupun diskrimasi. Salam pembebasan untuk kita semua!
*
        * *
Bonnie Triyana -
          Sejarawan, Pemimpin Majalah HISTORIA
Acara
          mbak Irina Dayasih di Yogyakarta dibubarkan Forum Anti Komunis
          Indonesia (FAKI) pimpinan Burhan Kampak. Padahal tema acaranya
          soal
          pupuk organik. Kurang piknik itu si Burhan.... 
Jadi inget pas riset di Purwodadi dulu. Ketemu narsum, namanya Pak Rakim. Dia mantri di RSUD Grobogan. Tahun 1965 ditangkap, dibuang ke Pulau Buru. Di pulau itu dia jadi petugas kesehatan. Pulang dari Buru tahun 1979, Pak Rakim banyak bantu warga Grobogan. Buka praktek mantri kecil-kecilan, sekadar bantu-bantu warga dan syukur-syukur bisa dapatin imbalan.
          
*
          
Karena pasien semakin ramai, tentara mulai curiga. Katanya Pak Rakim mau bikin partai komunis bangkit. Koramil stop prakteknya Pak Rakim dengan tuduhan mengumpulkan orang untuk membangkitkan PKI.
Emang banyak yang kurang piknik ini orang Indonesia.... Ampuunn...
        
*
Jadi inget pas riset di Purwodadi dulu. Ketemu narsum, namanya Pak Rakim. Dia mantri di RSUD Grobogan. Tahun 1965 ditangkap, dibuang ke Pulau Buru. Di pulau itu dia jadi petugas kesehatan. Pulang dari Buru tahun 1979, Pak Rakim banyak bantu warga Grobogan. Buka praktek mantri kecil-kecilan, sekadar bantu-bantu warga dan syukur-syukur bisa dapatin imbalan.
*
Karena pasien semakin ramai, tentara mulai curiga. Katanya Pak Rakim mau bikin partai komunis bangkit. Koramil stop prakteknya Pak Rakim dengan tuduhan mengumpulkan orang untuk membangkitkan PKI.
Emang banyak yang kurang piknik ini orang Indonesia.... Ampuunn...
*
Democracy
meant
        all men were to be heard, and a decision was taken together as
        a people. Majority rule was a foreign notion. A minority was not
        to
        be crushed by a majority. - Nelson Mandela, "Long Walk To
        Freedom", hlm. 29.
Si
Burhan 
        mengancam akan membunuh keluarga eks PKI. Ini ancaman
        serius. 
Kalau polisi mendiamkan, ini negara emang udah bodong!!
Kalau polisi mendiamkan, ini negara emang udah bodong!!
*
        * *
Astaman Hasibuan -
          Keluarga Tragedi '65
Adegan
yang
        sungguh dramatis ini bukan adegan film fiksi. Ini adalah apa
        yang sedang benar-benar terjadi, baru saja, di Indonesia. 
    
Para
pembunuh
        massal masih terus menyelenggarakan pertunjukkan teror dan
        ancamannya dengan efektif serta masih bisa memamerkan impunitas
        yang
        mereka nikmati. 
    
Bahwa
mereka
        tak tersentuh hukum. Dan negara kembali gagal melindungi hak
        mereka yang telah dirundung penindasan selama ini; negara gagal
        menegakkan keadilan. 
    
Sejak
puluhan
        tahun silam.
*
        * *
JOSHUA
OPPENHEIMER
        
    
<
Produsen
          Film Dokumenter "THE ACT O F KILLING">
        
Pernyataan saya tentang Pembubaran Paksa dan Kekerasan oleh Front Anti-Komunis Indonesia 27/10/2013 di Yogyakarta:
        
Pada hari Minggu lalu sekelompok orang yang telah dimiskinkan berpuluh tahun berusaha memperbaiki hidupnya, dengan bertemu, berkumpul, berbagi cerita, juga belajar membuat pupuk dengan tenaganya sendiri karena negara tak membantu kehidupan mereka, dan karena justru negaralah yang membuat mereka miskin. Mereka adalah keluarga korban dan penyintas pembantaian massal 1965. Di manakah negara bagi mereka?
        
Pada hari yang sama, seorang jagal yang puluhan tahun lalu turut serta mempermiskin mereka lewat pembantaian massal mengumpulkan orang-orang agar mereka tak bisa berkumpul. Orang ini dan anak buahnya adalah Front Anti-Komunis Indonesia dan mereka leluasa memukuli serta memaksa pertemuan bubar tanpa dicegah oleh negara. Di manakah negara?
        
Adegan yang sungguh dramatis ini bukan adegan film fiksi. Ini adalah apa yang sedang benar-benar terjadi, baru saja, di Indonesia. Para pembunuh massal masih terus menyelenggarakan pertunjukkan teror dan ancamannya dengan efektif serta masih bisa memamerkan impunitas yang mereka nikmati. Bahwa mereka tak tersentuh hukum. Dan negara kembali gagal melindungi hak mereka yang telah dirundung penindasan selama ini; negara gagal menegakkan keadilan. Sejak puluhan tahun silam.
        
Ada satu pertanyaan penting bagi mereka yang peduli dengan persoalan Hak Azazi Manusia yang harus diajukan dalam kasus ini, dan juga banyak kasus lain sepanjang sejarah suram pelanggaran Hak Azazi Manusia di Indonesia: sekalipun polisi mengetahui rencana penyerangan terhadap pertemuan tersebut, mengapa bukannya melindungi para peserta, tetapi polisi justru membiarkan penyerangan itu terjadi, sehingga beberapa peserta mengalami cedera?
        
Kami tahu negara, Presiden Republik Indonesia, dan aparat penegak hukum memerlukan kebesaran hati dan keberanian luar biasa untuk memulai rekonsiliasi dan penegakan keadilan atas pelanggaran HAM berat 1965 dengan meminta maaf. Sampai negara punya kebesaran hati dan keberanian itu, ini adalah sebuah ujian kecil. Apakah kejahatan akan terus dibiarkan? Akankah kita melihat kewenangan negara digunakan sebagaimana mestinya: untuk melindungi hak azasi warga negara Indonesia? Akankah impunitas puluhan tahun diteruskan dan dipelihara?
        
Sampai kapan kekosongan moral ini akan dibiarkan?
        
Akan tiba waktunya semua yang berwenang dan punya kekuasaan ditimbang keputusan dan perbuatannya dalam sejarah.
        
Mata dunia mengawasi.
Pernyataan saya tentang Pembubaran Paksa dan Kekerasan oleh Front Anti-Komunis Indonesia 27/10/2013 di Yogyakarta:
Pada hari Minggu lalu sekelompok orang yang telah dimiskinkan berpuluh tahun berusaha memperbaiki hidupnya, dengan bertemu, berkumpul, berbagi cerita, juga belajar membuat pupuk dengan tenaganya sendiri karena negara tak membantu kehidupan mereka, dan karena justru negaralah yang membuat mereka miskin. Mereka adalah keluarga korban dan penyintas pembantaian massal 1965. Di manakah negara bagi mereka?
Pada hari yang sama, seorang jagal yang puluhan tahun lalu turut serta mempermiskin mereka lewat pembantaian massal mengumpulkan orang-orang agar mereka tak bisa berkumpul. Orang ini dan anak buahnya adalah Front Anti-Komunis Indonesia dan mereka leluasa memukuli serta memaksa pertemuan bubar tanpa dicegah oleh negara. Di manakah negara?
Adegan yang sungguh dramatis ini bukan adegan film fiksi. Ini adalah apa yang sedang benar-benar terjadi, baru saja, di Indonesia. Para pembunuh massal masih terus menyelenggarakan pertunjukkan teror dan ancamannya dengan efektif serta masih bisa memamerkan impunitas yang mereka nikmati. Bahwa mereka tak tersentuh hukum. Dan negara kembali gagal melindungi hak mereka yang telah dirundung penindasan selama ini; negara gagal menegakkan keadilan. Sejak puluhan tahun silam.
Ada satu pertanyaan penting bagi mereka yang peduli dengan persoalan Hak Azazi Manusia yang harus diajukan dalam kasus ini, dan juga banyak kasus lain sepanjang sejarah suram pelanggaran Hak Azazi Manusia di Indonesia: sekalipun polisi mengetahui rencana penyerangan terhadap pertemuan tersebut, mengapa bukannya melindungi para peserta, tetapi polisi justru membiarkan penyerangan itu terjadi, sehingga beberapa peserta mengalami cedera?
Kami tahu negara, Presiden Republik Indonesia, dan aparat penegak hukum memerlukan kebesaran hati dan keberanian luar biasa untuk memulai rekonsiliasi dan penegakan keadilan atas pelanggaran HAM berat 1965 dengan meminta maaf. Sampai negara punya kebesaran hati dan keberanian itu, ini adalah sebuah ujian kecil. Apakah kejahatan akan terus dibiarkan? Akankah kita melihat kewenangan negara digunakan sebagaimana mestinya: untuk melindungi hak azasi warga negara Indonesia? Akankah impunitas puluhan tahun diteruskan dan dipelihara?
Sampai kapan kekosongan moral ini akan dibiarkan?
Akan tiba waktunya semua yang berwenang dan punya kekuasaan ditimbang keputusan dan perbuatannya dalam sejarah.
Mata dunia mengawasi.

No comments:
Post a Comment