Friday, November 15, 2013

PENYINTAS KORBAN PEMBANTAIAN MASAL 1965 MENGALAMI TEROR LAGI --

Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 30 Oktober 2013
---------------------------------


PENYINTAS KORBAN PEMBANTAIAN MASAL 1965 MENGALAMI TEROR LAGI --


SUATU TIKAMAN BELATI TERHADAP USAHA REKONSILIASI

"Sampai kapan kekosongan moral ini akan dibiarkan?" "Mata Dunia Mengawasi!" --
(Joshua Oppenheimer)
    * * *

    Suatu tindakan teror, kekerasan jahanam terhadap PENYINTAS KORBAN PEMBANTIAN MASAL 1965 terjadi lagi. Peristiwa itu
    berlangsung di Wisma Santidharma Godean, Sleman, Yogyakarta pada Minggu 27 Oktober 2013 pukul 11.00 WIB.

    Pelakunya bertanda pengenal yang sama dengan pelaku-pelaku pembantaian masalah 1965. Dalih untuk melakukan teror dan kekerasan yang diajukan, juga sama dengan dalih kampanye besar-besaran pembantaian masal 1965/66/67 yang dilakukan oleh klik militer di bawah komando Jendral Suharto.

    Bila aparat keamanan dari negara ini, yang dikepalai oleh seorang Presiden yang dipilih langsung dan berjanji akan menegakkan hukum di negara ini, . . . . .
    TIDAK BERBUAT APA-APA, hanya lamis-lamis bibir saja. . . .

    Maka, janji yang diutarakan Presiden SBY untuk direalisasinya KEBENARAN DAN RESKONSILIASI NASIONAL, . . . . hanyalah JANJI-JANJI KOSONG BELAKA, Yang dimaksudkan untuk menina-bobokkan dan menipu rakyat semata.

    Di bawah ini dimuat sebagian catatan sekitar DIALOG INTER-AKTIF YANG BERLANGSUNG DI "FACEBOOK" beberapa hari ini.
    Yang mengutuk perbuatan teror dan biadab para pelaku dari Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) , serta tuntutan kepada pemerintah, kepada setiap aparat keamanan negeri untuk bertindak terhadap praktek kekerasan melanggar hukum, DAN BERAKSI menjadi HAKIM SENDIRI.


    * * *
IRINA DAYASIH - KELUARGA TRAGEDI '65
Berkat dukungan banyak pihak, baik LSM, aktivis, teman-teman di Komnas HAM, LPSK, media, kawan baru, sahabat dekat maupun jauh yang mencintai keadilan dan perdamaian, kami, saya dan kawan-kawan yang dua hari lalu menghadapi aksi anarkis para preman bayaran, pagi tadi telah tiba di rumah dengan selamat dan sehat.

Terima kasih banyak yang tak terhingga untuk semua perhatian, simpati, bantuan, dukungan dan solidaritas kawan-kawan semua.

Maaf jika ada sms, telpon ataupun pesan pesan-pesan lain yang terlewat tak terjawab, dan maaf juga jika saya tidak bisa memberikan keterangan satu per satu kepada kawan-kawan. Intinya, sampai detik-detik terakhir bernegosisasi dengan aparat keparat kemarin, kami tetap menolak membatalkan pertemuan dan membubarkan diri. Tapi 15 menit kemudian, aparat datang lagi bersama tim yang lebih besar dan diiringi puluhan massa.

Di bawah tekanan dan ancaman mereka, kami kemudian terpaksa memilih "mengalah". Sudah mengalah pun, lima orang tak bersalah tetap menjadi korban: Seorang Bapak 62 tahun, jatuh tersungkur dipukul tengkuknya; anaknya yang memboncengkannya pecah bibirnya dan lebam mukanya; satu kawan lain memar dan merah matanya; satunya lagi lebam pelipis kirinya, dan yang terakhir keningnya ditendang dengan sepatu lars.

Sampai sekarang ia masih merasa pusing dan susah mengunyah makanan. Hormat kami setinggi-tingginya untuk para korban luka dan kawan-kawan peserta pertemuan yang menyatakan tak akan takut dan jera dalam memperjuangkan hak-haknya dari segala bentuk ancaman, tekanan, kekerasan maupun diskrimasi. Salam pembebasan untuk kita semua!

* * *

Bonnie Triyana - Sejarawan, Pemimpin Majalah HISTORIA
Acara mbak Irina Dayasih di Yogyakarta dibubarkan Forum Anti Komunis Indonesia (FAKI) pimpinan Burhan Kampak. Padahal tema acaranya soal pupuk organik. Kurang piknik itu si Burhan....
Jadi inget pas riset di Purwodadi dulu. Ketemu narsum, namanya Pak Rakim. Dia mantri di RSUD Grobogan. Tahun 1965 ditangkap, dibuang ke Pulau Buru. Di pulau itu dia jadi petugas kesehatan. Pulang dari Buru tahun 1979, Pak Rakim banyak bantu warga Grobogan. Buka praktek mantri kecil-kecilan, sekadar bantu-bantu warga dan syukur-syukur bisa dapatin imbalan.

*

Karena pasien semakin ramai, tentara mulai curiga. Katanya Pak Rakim mau bikin partai komunis bangkit. Koramil stop prakteknya Pak Rakim dengan tuduhan mengumpulkan orang untuk membangkitkan PKI.
Emang banyak yang kurang piknik ini orang Indonesia.... Ampuunn...


*
Democracy meant all men were to be heard, and a decision was taken together as a people. Majority rule was a foreign notion. A minority was not to be crushed by a majority. - Nelson Mandela, "Long Walk To Freedom", hlm. 29.
Si Burhan  mengancam akan membunuh keluarga eks PKI. Ini ancaman serius.
Kalau polisi mendiamkan, ini negara emang udah bodong!!


* * *

Astaman Hasibuan - Keluarga Tragedi '65
Adegan yang sungguh dramatis ini bukan adegan film fiksi. Ini adalah apa yang sedang benar-benar terjadi, baru saja, di Indonesia.

Para pembunuh massal masih terus menyelenggarakan pertunjukkan teror dan ancamannya dengan efektif serta masih bisa memamerkan impunitas yang mereka nikmati.

Bahwa mereka tak tersentuh hukum. Dan negara kembali gagal melindungi hak mereka yang telah dirundung penindasan selama ini; negara gagal menegakkan keadilan.

Sejak puluhan tahun silam.

* * *

JOSHUA OPPENHEIMER
< Produsen Film Dokumenter "THE ACT O F KILLING">

Pernyataan saya tentang Pembubaran Paksa dan Kekerasan oleh Front Anti-Komunis Indonesia 27/10/2013 di Yogyakarta:

Pada hari Minggu lalu sekelompok orang yang telah dimiskinkan berpuluh tahun berusaha memperbaiki hidupnya, dengan bertemu, berkumpul, berbagi cerita, juga belajar membuat pupuk dengan tenaganya sendiri karena negara tak membantu kehidupan mereka, dan karena justru negaralah yang membuat mereka miskin. Mereka adalah keluarga korban dan penyintas pembantaian massal 1965. Di manakah negara bagi mereka?

Pada hari yang sama, seorang jagal yang puluhan tahun lalu turut serta mempermiskin mereka lewat pembantaian massal mengumpulkan orang-orang agar mereka tak bisa berkumpul. Orang ini dan anak buahnya adalah Front Anti-Komunis Indonesia dan mereka leluasa memukuli serta memaksa pertemuan bubar tanpa dicegah oleh negara. Di manakah negara?

Adegan yang sungguh dramatis ini bukan adegan film fiksi. Ini adalah apa yang sedang benar-benar terjadi, baru saja, di Indonesia. Para pembunuh massal masih terus menyelenggarakan pertunjukkan teror dan ancamannya dengan efektif serta masih bisa memamerkan impunitas yang mereka nikmati. Bahwa mereka tak tersentuh hukum. Dan negara kembali gagal melindungi hak mereka yang telah dirundung penindasan selama ini; negara gagal menegakkan keadilan. Sejak puluhan tahun silam.

Ada satu pertanyaan penting bagi mereka yang peduli dengan persoalan Hak Azazi Manusia yang harus diajukan dalam kasus ini, dan juga banyak kasus lain sepanjang sejarah suram pelanggaran Hak Azazi Manusia di Indonesia: sekalipun polisi mengetahui rencana penyerangan terhadap pertemuan tersebut, mengapa bukannya melindungi para peserta, tetapi polisi justru membiarkan penyerangan itu terjadi, sehingga beberapa peserta mengalami cedera?

Kami tahu negara, Presiden Republik Indonesia, dan aparat penegak hukum memerlukan kebesaran hati dan keberanian luar biasa untuk memulai rekonsiliasi dan penegakan keadilan atas pelanggaran HAM berat 1965 dengan meminta maaf. Sampai negara punya kebesaran hati dan keberanian itu, ini adalah sebuah ujian kecil. Apakah kejahatan akan terus dibiarkan? Akankah kita melihat kewenangan negara digunakan sebagaimana mestinya: untuk melindungi hak azasi warga negara Indonesia? Akankah impunitas puluhan tahun diteruskan dan dipelihara?

Sampai kapan kekosongan moral ini akan dibiarkan?

Akan tiba waktunya semua yang berwenang dan punya kekuasaan ditimbang keputusan dan perbuatannya dalam sejarah.

Mata dunia mengawasi.

* * *

No comments: