Kolom
IBRAHIM
ISA
Minggu, 10 November 2013------------------------------------
KAWANKU
.
. . . SYARKAWI MANAP Dan Karya-karya Sastranya . . . .
*
* *
Namun, tak peduli
didiskriminasi dan dikucilkan oleh penguasa, banyak sahabatku
penyintas, tetap dan terus saja ambil bagian dalam berbagai
kegiatan sosial demi orang-banyak. Masing-masing menurut
kemampuan dan syarat yang ada. Mereka itu adalah kekayaan
bangsa, kekayaan kami, kekayaan kita. Yang dihancurkan oleh Orde
Baru dan disia-siakan! Demikian perasaanku selama ini. Demikian
pula kenyataannya.
Sebagian besar yang “nyantol”
di luarnegeri, “yang terhalang pulang” (menurut istilah Gus Dur)
-- penyebabnya adalah tindakan sewenang-wenang rezim Orde Baru.
Kami-kami ini adalah warga-negara Indonesia yang tetap setia
pada Republik Indonesia. Paspor kami dicabut karena menolak
mengutuk Presiden Sukarno. Kami dengan lantang menolak
digulingkannya Presiden Sukarno dan menentang didirikannya rezim
militer Suharto di Indonesia.
Atas tuduhan PKI, pro PKI, dan
pendukung Presiden Sukarno; terlibat dengan “G30S” ---
Serta-merta paspor kami dicabut. Status kami berubah menjadi
manusia-manusia yang “stateless”, “tak-bernegara”. Puluhan tahun
lamanya berkelana di berbagai negeri. Untung, . . . di dunia ini
masih ada negara-negara yang mau menerima dan melindungi
orang-orang yang di negerinya sendiri dipersekusi, karena
menganut faham, fikiran dan pandangan yang berbeda dengan
politik penguasa. Politik negeri-negeri tsb yang menghormati
konvensi Jenewa, yang memberikan asil-politik (political asylum)
kepada “politcal refugees”, memungkinkan warga Indonesia yang
dicabut paspornya oleh rezim Orde Baru – bisa bermukim di
negeri-negeri itu, dilindungi hak-hak manusianya, bahkan menjadi
warga-negara negeri yang bersangkutan.
Demikiianlah,
latar
belakangnya, mengapa sahabatku SYARKAWI MANAP, dewasa ini
bermukim di Swedia dan diterima menjadi warga-negara Swedia.
*
* *
Mengapa aku khusus menulis
tentang Syarkawi Manap? Ini sebabnya ---.
Meskipun puluhan tahun Syarkawi
Manap tidak bisa pulang, menjadi sasaran persekusi rezim Orde
Baru, terpaksa minta perlindungan politik dari pemerintah
Kerajaan Swedia . . . TAPI HATI SANUBARINYA, SEMANGATNYA
TETAP adalah hati sanubari ORANG INDONESIA! Yang mencintai
tanah air dan bangsa Indonesia. Yang peduli akan hari depan
rakyat dan negeri Indonesia.
Dalam keadaan gundah tak bisa
pulang, ia tidak putus asa dan pasrah. Tetapi memanfaatkan
waktunya untuk berbuat sesuatu yang berguna bagi generasi
Indonesia kini dan mendatang.
Syarkawi menulis . . . . dan
menulis. Ia menulis CERPEN. Keistimewaan karya sastranya memang
u n i k . . Cerpennya, bisa dibilang merupakan catatan
perjalanan. Bisa juga dibilang suatu “kenang-kenangan”. Bedanya
dengan kebanyakan cerita penulis lainnya, ialah . . . . .
TRANSPARANSINYA. KELUGUIANNYA. Cerpen Syarkawi di satu segi
seperti suatu cerita wisata. Tetapi mengandung isi yang
mencerminkan “perjalanan hidupnya”. Bukan fiksi. Yang
dituturkannya itu, itulah yang sesungguhnya terjadi.
Cerpen Syarkawi bisa juga
dilihat sebagai suatu “statement politik”. Sebagai protes keras
terhadap kekejaman dan kebiadaban rezim Ordew Baru.
Sementara cerita lainnya ada
yang mengisahkan keindahan alam dan pemandangan tanah air
Indonesia dan kampung halamannya di Sumatra Selatan.
Diceriterakannya secar rinci, sehingga menimbulkan rasa amat
rindu pada pembacanya yang sudah lama menainggalkan tanah air.
Ada satu hal lagi yang perlu
diangkat. Bicara tentang cerpen Syarkawi. Pembaca jadi kagum
melihat keberaniannya. Tanpa tedeng aling-aling mengisahkan
siapa dia. Menonjol sekali keterus-terangan dan keterbukannya.
Di satu fihak diceriterakannya bahwa ia pernah siswa Akademi
Ilmu Sosial Aliarcham yang rektornya adalah Sucipto Azhar
Munandar. Akademi Ilmu Sosial Aliarcham umum dikenal sebagai
satu-satunya lembaga pendidikan Indonesia, yang mengajarkan ilmu
Marxisme.
Cerita Syarkawi tentang
pengenalan dan pergaulannya dengan orang-orang PKI serta
sementara pemimpinnya, bagaimana ketika ia berkunjung ke kantor
CCPKI di Jalan Kramat Raya 81, Jakarta, . . . . semua itu
merupakan kisah non-fiksi. Syarkawi Manap dengan tegas dan jelas
menulis – – – – - Inilah aku, . . . . orang Indonesia yang
menganut faham revolusioner, yang hidup dan kegiatannya sejak
masa mudanya dilakukan dengan penuh keyakinan demi pembebasan
negeri dan rakyat Indonesia.
Dikisahkannya juga
pengalamannya “bekerja” di kalangan Tentara Rakyat Birma. Yang
ketika itu sedang melakukan perang terhadap rezim reaksioner
militer Birma.
Sungguh unik pengalaman dan
watak penulis satu ini.
* * *
Sebagian besar dari orang-orang
seperti Syarkwi Manap itu, adalah, mahasiswa-mahasiswa “mahid”
(mahasiswa ikatan dinas). Sebagaian lagi sedang mengemban tugas
negeri dan bangsa. Ada yang diplomat. Ada juga yang sedang
bertugas mewakili Indonesia di luarnegeri, dsb. . . Semua
orang-orang baik. Tidak sedikit dari mereka itu yang dulunya
adalah pejuang-pejuang kemerdekaan, baik di zaman kolonial,
maupun di periode perang kemerdekaan melawan Inggris dan
Belanda.
* * *
SYARKAWI MANAP, kawanku
ini, adalah warga Indonesia yang di periode kepresidenan
Sukarno, ditugaskan belajar ke luar negeri. Seusai studi akan
kembali ke Indonesia untuk menyumbangkan darma bhaktinya bagi
tanah air dan bangsa.
Syarkawi Manap, adalah kawanku
yang unik, dalam hubungan dengan aku. Bukan semata-mata karena
kami memang berasal kampung halaman dari Sumatra. Bukan itu
saja. Syarkawi suka menulis. Sama, aku juga suka menulis.
Sesekali kami cakap-cakap,
bertukara fikiran, lewat komunikasi tilpun.
“Bung Manap”, kataku kepadanya:
“Begitu tulisan Bung muncul di internet aku segera membacanya.
“Bung pandai bercerita dengan
gaya khas, . . . sederhana, terkadang jenaka, tidak membosankan,
énak dibaca dan (ini penting) selalu ada “message” yang hendak
disampaikan”.
Berikut ini dikutip salah satu
dari kumpulan cerpen Syarkawi Manap, yang sarat dengan “message”
(suatu pesan), suatu “political statement”, mengenai salah satu
episode di masa permulaan Orba. Bagaimana tentara melakukan
persekusi terhdap golongn Kiri dan melakukan genosida. Cerita
Syarkawi ini bukan fiksi. Melalui ceritanya Syarkawi
mengungkap kekejaman militer dalam periode penegakkan Orba. Orde
Baru. Di segi lainnya, menunjukkan bagaimana cara seorang mantan
kepala desa (Sarun) memberlakukan semacam “rekonsiliasi”, yang
menurut cerita Syarkawi adalah satu cara bagi pelaku untuk
“Menebus Dosa”.
MENEBUS DOSA
*
* *
“Menebus Dosa”,
Oleh Syarkawi Manap.
Tahun
1964,
Syahroni yang panggilan sehari-harinya Sarun itu baru berusia
24 tahun. Tahun itu atas hasil musyawarah penduduk desa, dia
diangkat menjadi Kepala Desa Lubuk Petai. Biasanya kepala desa
dipilih melalui pemilihan secara demokratis oleh seluruh warga
yang sudah pantas memilih berdasarkan usia. Tapi naiknya
Syahroni menjadi kepala desa bukan melalui pemilihan
sebagimana biasanya, tapi cukup dengan diadakannya musyawarah
penduduk, yang dilaksnaakan sessudah sembahyang Jumat.
Sarun
sudah
memangku jabatan kepala desa selama 1 tahun 5 bulan ketika
terjadi Peristiwa G30S di Jakarta, yang sebagai akibatnya
mendatangkan guncangan sampai ke desa-desa. Guncangan akibat
Peristiwa G30S sampai ke Desa Lubuk Petai, satu desa yang
ditempati oleh orang-orang dari suku Melayu yang penduduknya
tidak lebih dari 63 kepala keluarga itu.
Sejak
terjadi
apa yang dinamakan orang Peristiwa G30S sampai akhir tahun
1965, Sarun sebagai kepala desa maupun penduduk desa yang
dipimpinnya tidak merasakan apa-apa akibat dari peristiwa yang
terjadi di ibu kota itu. Namun berbagai berita yang menakutkan
yang terjadi di berbagai pelosok tanah air sudah mereka
dengar, karena salah satu keluarga yaitu keluarga Manan di
desa itu memiliki radio. Dengan mendengarkan siaran radio di
rumah Manan itulah penduduk Desa Lubuk Petai mengerti bahwa
tanah air yang selama ini tenang-tenang saja sedang dilanda
pertumpahan darah.
Sarun
kaget
ketika pada suatu hari di bulan Maret 1966 dia mendapat
perintah supaya menunjukkan siapa-siapa dari penduduk desanya
yang terlibat G30S. Padahal sepanjang yang diketahuinya, tidak
ada warga desanya yang menetahui sesuangguhnya G30S, apalagi
yang terlibat dalam peristiwa itu. Tetapi kemudian dia tetap
diminta supaya mencari siapa-siapa anggota PKI di desa yang
dipimpinnya. Permintan atasan ini juga sulit dilaksanakan
karena sepanjang yang diketahuinya tidak ada didesa ini yang
resmi menyatakan diri sebagai anggota PKI. Yang ada hanyalah
beberapa orang yang menjadi anggota organisasi tani yang
bernama Barisan Tani Indonesia (BTI). Tapi karena permintaan
ini datangnua dari militer maka Sarun harus melaksanakannya
supaya bisa menyelamatkan diri sendiri dan juga demi
menyelamatkan keluarga serta kerabatnya.
Dalam
usaha
mencari orang-orang yang dinyatakan PKI itu, maka disamping
sudah menemukan beberapa orang anggota BTI yang dinyatakan
berafiliasi kepada PKI, juga perlu dicari kembali siapa-siapa
yang ikut serta memilih PKI dalam pemiihan umum tahun 1955
dulu. Di sini Sarun bisa bertanya dulu pada orang tuanya
sendiri. Pak Muchsin, yang sudah menjadi pemuka desa jauh
sebelum Indonesia menjadi negara merdeka dan sudah ambil
bagian aktif dalam menylenggarakan pemilu tahun 1955 itu
dikampung halamannya sendiri.
Dari
orang
tuanya itulah diketahui bahwa di Desa Lubuk Petai sebagaimana
desa-desa tetangga lainnya cukup banyak warga desa yang
memilih PKI, sekalipun pemilih PKI tidak sebanyak pemilih
partai lainnya.
Untuk
memenuhi
tuntutan dari tentara yang datang dari Koramil dalam mencari
orang-orang yang dinyatkan PKI itulah,maka Sarun disamping
menunjukkan beberapa orang anggota BTI, juga menunjukkan siapa
saja yang ikut memilih PKI dalam pemilihan umum 11 tahun yang
lalu itu.
Hasil
yang
bisa didapaatkan dan ditunjukkannya kepada tentara dari
Koramil sebanyak 9 orng yang dinyatakan angggota atau pengikut
PKI. Sembilan orang yang ditangkap dari Desa Lubuk Petai itu
kemudin dikumpulkan dengan hasil penangkapan dari desa-desa
tetangga lainnya. Kepada teman-teman dekatnya, Sarun dengan
nada sedih mengatakan, “Sembilan orang penduduk desa kita ini
telah mati di tanganku”.
Ketika
meneriterakan
semua kejadian yang dialaminya sendiri, Sarun lama merenung
dan kelihatan menyesal. Tapi dia tidak tahu apa yang harus
disesalkan karena segala yang telah terjadi dilakukannya dalam
keadaan terpaksa, bukan atas kehendaknya sendiri.
Disebut-sebutnya lagi nama-nama yang sudah ditunjukkannya
kepada tentara yang memaksanya. Diantaranya ada teman
sekelasnya sendiri sewaktu dia masih duduk dibangku Sekolah
Rakyat, ada seorang pedagang kecil tetangga dekatnya, ada
seorang tukang suntik yang pernah mengobatinya, pendeknya
semua yang sudah menjadi korban sudah dikenalnya dengan baik.
Sarun
merasa
lebih pahit lagi, ketika dia mengingat-ingat bahwa semua warga
desanya yang tertangkap bersama warga desa lainnya itu,
dimasukkan secara berdesak-desak ke dalam gerbong kereta api
pengangkut karet alam yang pengap dan kekurangan udara. Dari
mereka yang dimasukkan ke dalam gerbong kereta pengangkut
karet itu, hanya beberapa orang saja yang masih hidup sampai
ke tujuan, yaitu kamp konsentrasi Pulau Kemarau yang
terletak ditengah-tengah sungai Musi. Sedangkan sebagian besar
lainnya sudah mati di dalam gerbong itu juga. Para tahanan
yang masih bisa sampai ke Pulau Kemarau, satupun tidak ada yag
pulang, semua hilang tanpa jejak.
Setelah
memasuki
usia lanjut dan dalam suasana reformasi, maka atas
inisiatifnya sendiri, Sarun menyerahkan sebagaian dari tanah
warisan dari orang tuanya kepada penduduk desa untuk dijadikan
tempat membangun sekolah bagi anak-anak desa. Kepada penduduk
desa Sarun menyatakan bahwa penyerahan tanah untuk pembangunan
sekolah itu, adalah bentuk “penebus dosa” atas segala
kesalahannya yang sudah dilakukannya selama dia menjadi kepala
desa di masa yang sudah lampau.
Sampai
sekarang
Sarun bersama istrinya yang kelihatan sudah jauh lebih tua
dari dirinya itu, masih bertempat tinggal di rumah lamanya
yang terletak di depan sekolah Desa Lubuk Petai.
* * *
Sejak 2007, Syarkawi Manap
telah menerbitkan tiga buah buku kumpulan cerpennya.
Masing-masing berjudul: “Di Pengasingan”(2007); “Kisah
Perjalanan” (2009) dan tahun ini (2013), “Mengenang Gubuk Reyot
Dan Cerita-Cerita Lainnya”. Semua diterbitkan oleh Penerbit
buku-buku progresif: UILTIMUS, Bandung.
Dalam jangka waktu 6 tahun
sejak 2007, Syarkawi telah menulis tiga jilid buku kumpulan
cerita-cerita pendeknya. Sungguh produktif . . . Dan, karena
Syarkawi terus menulis, bisa diharapkan masih akan terbit lagi
kumpulan ceritera pendeknya.
* * *
No comments:
Post a Comment