Friday, November 15, 2013

KAWANKU . . . . SYARKAWI MANAP Dan Karya-karya Sastranya . . . .

Kolom IBRAHIM ISA
Minggu, 10 November 2013
------------------------------------

KAWANKU . . . . SYARKAWI MANAP Dan Karya-karya Sastranya . . . .

* * *

Sahabat-sahabatku, . . . . kawan seperjuangan selama puluhan tahun, terdapat dimana-mana. Bertebaran di banyak negeri . . . Yang di tanah air,. . . . yang umurnya kurang lebih sebaya dengan aku, sudah banyak yang tiada. Sebagian besar telah dibunuh atau “hilang”. Jadi korban politik genosida rezim Orde Baru Suharto. Mereka yang “mujur”, yang tergolong “penyintas” (survivors), kebanyakan sudah lanjut umurnya.

Namun, tak peduli didiskriminasi dan dikucilkan oleh penguasa, banyak sahabatku penyintas, tetap dan terus saja ambil bagian dalam berbagai kegiatan sosial demi orang-banyak. Masing-masing menurut kemampuan dan syarat yang ada. Mereka itu adalah kekayaan bangsa, kekayaan kami, kekayaan kita. Yang dihancurkan oleh Orde Baru dan disia-siakan! Demikian perasaanku selama ini. Demikian pula kenyataannya.

Sebagian besar yang “nyantol” di luarnegeri, “yang terhalang pulang” (menurut istilah Gus Dur) -- penyebabnya adalah tindakan sewenang-wenang rezim Orde Baru. Kami-kami ini adalah warga-negara Indonesia yang tetap setia pada Republik Indonesia. Paspor kami dicabut karena menolak mengutuk Presiden Sukarno. Kami dengan lantang menolak digulingkannya Presiden Sukarno dan menentang didirikannya rezim militer Suharto di Indonesia.

Atas tuduhan PKI, pro PKI, dan pendukung Presiden Sukarno; terlibat dengan “G30S” --- Serta-merta paspor kami dicabut. Status kami berubah menjadi manusia-manusia yang “stateless”, “tak-bernegara”. Puluhan tahun lamanya berkelana di berbagai negeri. Untung, . . . di dunia ini masih ada negara-negara yang mau menerima dan melindungi orang-orang yang di negerinya sendiri dipersekusi, karena menganut faham, fikiran dan pandangan yang berbeda dengan politik penguasa. Politik negeri-negeri tsb yang menghormati konvensi Jenewa, yang memberikan asil-politik (political asylum) kepada “politcal refugees”, memungkinkan warga Indonesia yang dicabut paspornya oleh rezim Orde Baru – bisa bermukim di negeri-negeri itu, dilindungi hak-hak manusianya, bahkan menjadi warga-negara negeri yang bersangkutan.

Demikiianlah, latar belakangnya, mengapa sahabatku SYARKAWI MANAP, dewasa ini bermukim di Swedia dan diterima menjadi warga-negara Swedia.

* * *

Mengapa aku khusus menulis tentang Syarkawi Manap? Ini sebabnya ---.

Meskipun puluhan tahun Syarkawi Manap tidak bisa pulang, menjadi sasaran persekusi rezim Orde Baru, terpaksa minta perlindungan politik dari pemerintah Kerajaan Swedia . . . TAPI HATI SANUBARINYA, SEMANGATNYA TETAP adalah hati sanubari ORANG INDONESIA! Yang mencintai tanah air dan bangsa Indonesia. Yang peduli akan hari depan rakyat dan negeri Indonesia.

Dalam keadaan gundah tak bisa pulang, ia tidak putus asa dan pasrah. Tetapi memanfaatkan waktunya untuk berbuat sesuatu yang berguna bagi generasi Indonesia kini dan mendatang.

Syarkawi menulis . . . . dan menulis. Ia menulis CERPEN. Keistimewaan karya sastranya memang u n i k . . Cerpennya, bisa dibilang merupakan catatan perjalanan. Bisa juga dibilang suatu “kenang-kenangan”. Bedanya dengan kebanyakan cerita penulis lainnya, ialah . . . . . TRANSPARANSINYA. KELUGUIANNYA. Cerpen Syarkawi di satu segi seperti suatu cerita wisata. Tetapi mengandung isi yang mencerminkan “perjalanan hidupnya”. Bukan fiksi. Yang dituturkannya itu, itulah yang sesungguhnya terjadi.

Cerpen Syarkawi bisa juga dilihat sebagai suatu “statement politik”. Sebagai protes keras terhadap kekejaman dan kebiadaban rezim Ordew Baru.

Sementara cerita lainnya ada yang mengisahkan keindahan alam dan pemandangan tanah air Indonesia dan kampung halamannya di Sumatra Selatan. Diceriterakannya secar rinci, sehingga menimbulkan rasa amat rindu pada pembacanya yang sudah lama menainggalkan tanah air.

Ada satu hal lagi yang perlu diangkat. Bicara tentang cerpen Syarkawi. Pembaca jadi kagum melihat keberaniannya. Tanpa tedeng aling-aling mengisahkan siapa dia. Menonjol sekali keterus-terangan dan keterbukannya. Di satu fihak diceriterakannya bahwa ia pernah siswa Akademi Ilmu Sosial Aliarcham yang rektornya adalah Sucipto Azhar Munandar. Akademi Ilmu Sosial Aliarcham umum dikenal sebagai satu-satunya lembaga pendidikan Indonesia, yang mengajarkan ilmu Marxisme.

Cerita Syarkawi tentang pengenalan dan pergaulannya dengan orang-orang PKI serta sementara pemimpinnya, bagaimana ketika ia berkunjung ke kantor CCPKI di Jalan Kramat Raya 81, Jakarta, . . . . semua itu merupakan kisah non-fiksi. Syarkawi Manap dengan tegas dan jelas menulis – – – – - Inilah aku, . . . . orang Indonesia yang menganut faham revolusioner, yang hidup dan kegiatannya sejak masa mudanya dilakukan dengan penuh keyakinan demi pembebasan negeri dan rakyat Indonesia.

Dikisahkannya juga pengalamannya “bekerja” di kalangan Tentara Rakyat Birma. Yang ketika itu sedang melakukan perang terhadap rezim reaksioner militer Birma.

Sungguh unik pengalaman dan watak penulis satu ini.


* * *

Sebagian besar dari orang-orang seperti Syarkwi Manap itu, adalah, mahasiswa-mahasiswa “mahid” (mahasiswa ikatan dinas). Sebagaian lagi sedang mengemban tugas negeri dan bangsa. Ada yang diplomat. Ada juga yang sedang bertugas mewakili Indonesia di luarnegeri, dsb. . . Semua orang-orang baik. Tidak sedikit dari mereka itu yang dulunya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan, baik di zaman kolonial, maupun di periode perang kemerdekaan melawan Inggris dan Belanda.

* * *

SYARKAWI MANAP, kawanku ini, adalah warga Indonesia yang di periode kepresidenan Sukarno, ditugaskan belajar ke luar negeri. Seusai studi akan kembali ke Indonesia untuk menyumbangkan darma bhaktinya bagi tanah air dan bangsa.

Syarkawi Manap, adalah kawanku yang unik, dalam hubungan dengan aku. Bukan semata-mata karena kami memang berasal kampung halaman dari Sumatra. Bukan itu saja. Syarkawi suka menulis. Sama, aku juga suka menulis.

Sesekali kami cakap-cakap, bertukara fikiran, lewat komunikasi tilpun.

Bung Manap”, kataku kepadanya: “Begitu tulisan Bung muncul di internet aku segera membacanya.
Bung pandai bercerita dengan gaya khas, . . . sederhana, terkadang jenaka, tidak membosankan, énak dibaca dan (ini penting) selalu ada “message” yang hendak disampaikan”.

Berikut ini dikutip salah satu dari kumpulan cerpen Syarkawi Manap, yang sarat dengan “message” (suatu pesan), suatu “political statement”, mengenai salah satu episode di masa permulaan Orba. Bagaimana tentara melakukan persekusi terhdap golongn Kiri dan melakukan genosida. Cerita Syarkawi ini bukan fiksi. Melalui ceritanya Syarkawi mengungkap kekejaman militer dalam periode penegakkan Orba. Orde Baru. Di segi lainnya, menunjukkan bagaimana cara seorang mantan kepala desa (Sarun) memberlakukan semacam “rekonsiliasi”, yang menurut cerita Syarkawi adalah satu cara bagi pelaku untuk “Menebus Dosa”.

MENEBUS DOSA

* * *

Menebus Dosa”, Oleh Syarkawi Manap.

Tahun 1964, Syahroni yang panggilan sehari-harinya Sarun itu baru berusia 24 tahun. Tahun itu atas hasil musyawarah penduduk desa, dia diangkat menjadi Kepala Desa Lubuk Petai. Biasanya kepala desa dipilih melalui pemilihan secara demokratis oleh seluruh warga yang sudah pantas memilih berdasarkan usia. Tapi naiknya Syahroni menjadi kepala desa bukan melalui pemilihan sebagimana biasanya, tapi cukup dengan diadakannya musyawarah penduduk, yang dilaksnaakan sessudah sembahyang Jumat.

Sarun sudah memangku jabatan kepala desa selama 1 tahun 5 bulan ketika terjadi Peristiwa G30S di Jakarta, yang sebagai akibatnya mendatangkan guncangan sampai ke desa-desa. Guncangan akibat Peristiwa G30S sampai ke Desa Lubuk Petai, satu desa yang ditempati oleh orang-orang dari suku Melayu yang penduduknya tidak lebih dari 63 kepala keluarga itu.

Sejak terjadi apa yang dinamakan orang Peristiwa G30S sampai akhir tahun 1965, Sarun sebagai kepala desa maupun penduduk desa yang dipimpinnya tidak merasakan apa-apa akibat dari peristiwa yang terjadi di ibu kota itu. Namun berbagai berita yang menakutkan yang terjadi di berbagai pelosok tanah air sudah mereka dengar, karena salah satu keluarga yaitu keluarga Manan di desa itu memiliki radio. Dengan mendengarkan siaran radio di rumah Manan itulah penduduk Desa Lubuk Petai mengerti bahwa tanah air yang selama ini tenang-tenang saja sedang dilanda pertumpahan darah.

Sarun kaget ketika pada suatu hari di bulan Maret 1966 dia mendapat perintah supaya menunjukkan siapa-siapa dari penduduk desanya yang terlibat G30S. Padahal sepanjang yang diketahuinya, tidak ada warga desanya yang menetahui sesuangguhnya G30S, apalagi yang terlibat dalam peristiwa itu. Tetapi kemudian dia tetap diminta supaya mencari siapa-siapa anggota PKI di desa yang dipimpinnya. Permintan atasan ini juga sulit dilaksanakan karena sepanjang yang diketahuinya tidak ada didesa ini yang resmi menyatakan diri sebagai anggota PKI. Yang ada hanyalah beberapa orang yang menjadi anggota organisasi tani yang bernama Barisan Tani Indonesia (BTI). Tapi karena permintaan ini datangnua dari militer maka Sarun harus melaksanakannya supaya bisa menyelamatkan diri sendiri dan juga demi menyelamatkan keluarga serta kerabatnya.

Dalam usaha mencari orang-orang yang dinyatakan PKI itu, maka disamping sudah menemukan beberapa orang anggota BTI yang dinyatakan berafiliasi kepada PKI, juga perlu dicari kembali siapa-siapa yang ikut serta memilih PKI dalam pemiihan umum tahun 1955 dulu. Di sini Sarun bisa bertanya dulu pada orang tuanya sendiri. Pak Muchsin, yang sudah menjadi pemuka desa jauh sebelum Indonesia menjadi negara merdeka dan sudah ambil bagian aktif dalam menylenggarakan pemilu tahun 1955 itu dikampung halamannya sendiri.

Dari orang tuanya itulah diketahui bahwa di Desa Lubuk Petai sebagaimana desa-desa tetangga lainnya cukup banyak warga desa yang memilih PKI, sekalipun pemilih PKI tidak sebanyak pemilih partai lainnya.

Untuk memenuhi tuntutan dari tentara yang datang dari Koramil dalam mencari orang-orang yang dinyatkan PKI itulah,maka Sarun disamping menunjukkan beberapa orang anggota BTI, juga menunjukkan siapa saja yang ikut memilih PKI dalam pemilihan umum 11 tahun yang lalu itu.

Hasil yang bisa didapaatkan dan ditunjukkannya kepada tentara dari Koramil sebanyak 9 orng yang dinyatakan angggota atau pengikut PKI. Sembilan orang yang ditangkap dari Desa Lubuk Petai itu kemudin dikumpulkan dengan hasil penangkapan dari desa-desa tetangga lainnya. Kepada teman-teman dekatnya, Sarun dengan nada sedih mengatakan, “Sembilan orang penduduk desa kita ini telah mati di tanganku”.

Ketika meneriterakan semua kejadian yang dialaminya sendiri, Sarun lama merenung dan kelihatan menyesal. Tapi dia tidak tahu apa yang harus disesalkan karena segala yang telah terjadi dilakukannya dalam keadaan terpaksa, bukan atas kehendaknya sendiri. Disebut-sebutnya lagi nama-nama yang sudah ditunjukkannya kepada tentara yang memaksanya. Diantaranya ada teman sekelasnya sendiri sewaktu dia masih duduk dibangku Sekolah Rakyat, ada seorang pedagang kecil tetangga dekatnya, ada seorang tukang suntik yang pernah mengobatinya, pendeknya semua yang sudah menjadi korban sudah dikenalnya dengan baik.

Sarun merasa lebih pahit lagi, ketika dia mengingat-ingat bahwa semua warga desanya yang tertangkap bersama warga desa lainnya itu, dimasukkan secara berdesak-desak ke dalam gerbong kereta api pengangkut karet alam yang pengap dan kekurangan udara. Dari mereka yang dimasukkan ke dalam gerbong kereta pengangkut karet itu, hanya beberapa orang saja yang masih hidup sampai ke tujuan, yaitu kamp konsentrasi Pulau Kemarau yang terletak ditengah-tengah sungai Musi. Sedangkan sebagian besar lainnya sudah mati di dalam gerbong itu juga. Para tahanan yang masih bisa sampai ke Pulau Kemarau, satupun tidak ada yag pulang, semua hilang tanpa jejak.

Setelah memasuki usia lanjut dan dalam suasana reformasi, maka atas inisiatifnya sendiri, Sarun menyerahkan sebagaian dari tanah warisan dari orang tuanya kepada penduduk desa untuk dijadikan tempat membangun sekolah bagi anak-anak desa. Kepada penduduk desa Sarun menyatakan bahwa penyerahan tanah untuk pembangunan sekolah itu, adalah bentuk “penebus dosa” atas segala kesalahannya yang sudah dilakukannya selama dia menjadi kepala desa di masa yang sudah lampau.

Sampai sekarang Sarun bersama istrinya yang kelihatan sudah jauh lebih tua dari dirinya itu, masih bertempat tinggal di rumah lamanya yang terletak di depan sekolah Desa Lubuk Petai.

* * *

Sejak 2007, Syarkawi Manap telah menerbitkan tiga buah buku kumpulan cerpennya. Masing-masing berjudul: “Di Pengasingan”(2007); “Kisah Perjalanan” (2009) dan tahun ini (2013), “Mengenang Gubuk Reyot Dan Cerita-Cerita Lainnya”. Semua diterbitkan oleh Penerbit buku-buku progresif: UILTIMUS, Bandung.

Dalam jangka waktu 6 tahun sejak 2007, Syarkawi telah menulis tiga jilid buku kumpulan cerita-cerita pendeknya. Sungguh produktif . . . Dan, karena Syarkawi terus menulis, bisa diharapkan masih akan terbit lagi kumpulan ceritera pendeknya.

* * *




No comments: