Friday, November 29, 2013

Diskusi Interaktif Sekitar Artikel Peneliti Senior Lipi Aswi Warman Adam "Sarwo Edie Belum Hero" . . . .


Kolom IBRAHIM ISA
Minggu, 24 November 2013
---------------------------------------

Diskusi Interaktif Sekitar Artikel Peneliti Senior Lipi Aswi Warman Adam
"Sarwo Edie Belum Hero"  . . . .

Mantan Dubes SALIM SAID  Vs Jurnalis Kawakan ABOEPRIADI SANTOSO

*    *    *

Betul seperti ditulis oleh Salim Said, sejak jatuhya Orde Baru dan Indonesia memasuki era Reformasi dan Demokratisasi,  "
Di Indonesia, misalnya, baru setelah Orde Baru berakhir kita dengan bebas bisa bicara tentang apa yang sebenarnya terjadi di sputar 1 Oktober 1965 dan aftermath-nya. Kebebasan berpendapat yang muncul di Indonesia sejak berakhirnya Orde Baru juga membuka kesempatan siapa saja untuk berbicara apa saja tentang apa saja".

Selain pendapat-pendapat Salim Said dan Aboeprijadi Santoso, sebagai tambahan dimuat juga respons dari Prof Magnis Sujseno, sbb"


Dengan hormat,
Entah bagaimana peran Sarwo Edhie dalam masaker 1965 dan 66, serta dalam "act free of choice" rakyat Papua 1969, mengangkat orang yang sedemikian berfungsi sentral dan dengan gembira di tengah-tengah salah satu kejahatan kemanusiaan paling besar di bagian kedua abad ke-20 akan amat sangat memalukan bagi bangsa Indonesia.
Franz Magnis-Suseno

*    *    *

Maka kali ini dimuat sebagai kolom dibawah ini diskusi interaktif   di "Facebook" yang dimulai dan sedang berlangsung antara mantan Dubes Prof. Salim Said dengan jurnalis kawakan Aboeprijadi Santoso. 
Responsku sekitar artikel Aswi Adam yang dimuat di s.k. Tempo tsb, telah kutuangkan dalam Kolom MENYAMBUJT TULISAN ASWI WARMAN ADAM. Dalam kolom tsb dikutip sikap Aswi Adam, a.l. sbb:

Harap perhatikan ini!: --- Bila benar-benar kita bertujuan menegakkan negara ini sebagai NEGARA HUKUM YANG BERBUDAYA DAN BERADAB --- ada satu hal fundamental yang perlu dicamkan yang dikemukakan oleh Peneliti Dr Aswi Warman Adam dalam artikelnya yaitu:
Karena pasukannya terbatas, Sarwo melatih kemiliteran para pemuda dua atau tiga hari, selanjutnya “mereka kami lepaskan untuk menumpas komunis sampai ke akar-akarnya”. Sarwo tidak ragu-ragu mengeluarkan perintah tembak kepada mereka yang melawan termasuk kepada penduduk yang memprotes penembakan seperti yang terjadi di Solo.
    "Pembunuhan massal yang terjadi pasca G30S tahun 1965 itu memakan korban yang bervariasi dari 78.000 sampai 3 juta jiwa. Jumlah 500.000 jiwa dianggap sebagian pengamat sebagai hitungan yang moderat walau sesungguhnya itu tercatat sebagai pembantaian yang terbesar dalam sejarah Indonesia. Persoalannya, siapa yang bertanggungjawab terhadap tragedi nasional tersebut ? Soekarno jelas tidak karena ia tidak memegang kekuasaan lagi dalam bidang keamanan sungguhpun secara formalitas masih menjadi Presiden. Kalau begitu apakah Soeharto atau Sarwo Edhie?

"Ini sebetulnya yang harus diungkap dalam pengadilan HAM ad hoc mengenai kasus 1965. Laporan lengkap mengenai pelanggaran HAM Berat 1965 itu telah diserahkan oleh Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung. Tentu laporan ini menjadi pertimbangan untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc. Namun oleh Kejaksaan Agung berkas itu dikembalikan kepada Komnas HAM untuk dilengkapi. Ini sudah terjadi berulang kali. Kalau pengadilan HAM ad hoc itu belum terlaksana tentu belum bisa diputuskan apakah Soeharto atau Sarwo Edhi atau Jenderal lainnya dinyatakan bersalah atau tidak.
*    *    *



Prof Salim Said:
Kalau sdr Tosi membaca dengan tenang komentar saya niscaya dia akan menemukan bahwa saya  belum sampai secara jelas menyalahkan satu atau dua orang  sebagai penanggungjawab tunggal pembantaian 1965-1966. Saya ingin mengatakan bahwa kita belum mendapatkan seluruh data yang memungkinkan kita menjatuhkan putusan yang akurat. Semua ini karena saya merasa soal Gestapu dan pembantaian masih terlalu rumit untuk membuat kita dengan cepat bisa mengambil keputusan.

Di Indonesia, misalnya, baru setelah Orde Baru berakhir kita dengan bebas bisa bicara tentang apa yang sebenarnya terjadi di sputar 1 Oktober 1965 dan aftermath-nya. Kebebasan berpendapat yang muncul di Indonesia sejak berakhirnya Orde Baru juga membuka kesempatan siapa saja untuk berbicara apa saja tentang apa saja. Kalau kita ingin tahu kebenaran, maka kita harus berhati-hati dalam menafis banjir informasi tersebut. Apakah betul Sarwo Edhie pernah berkata dia membunuh  tiga juta orang waktu itu, sebagai diumumkan oleh Permadi SH? Kenal sarwo selama  sekitar 30 tahun, saya ragu Almarhum pernah mengucapkan hal demikian. Tapi ucapan Permadi itu sudah dianggap bukti dan terus diulang-ulangi.

Saya tidak mengkambinghitamkan Sukarno. Saya cuma ingin mengatakan bahwa secara legal Sukarno masih Presiden ketika terjadi pembantaian. Dia sudah tidak berdaya? Jika demikian halnya mengapa dia tidak mundur? Dengan tetap bertahan sebagai Presiden hingga berhasil "disingkirkan" oleh militer, Sukarno tidak bisa menghindar dari tanggungjawab.

Dalam buku terbaru saya Dari Gestapu ke Reformasi
saya mencoba menggambarkan faktor apa saja yang bermain di sekitar tragedi Gestapu dan aftermathnya. Singkatnya saya ingin mengatakan bahwa soalnya tidak sederhana dan masih diperlukan waktu untuk sampai pada kesimpulan  tentang apa sebenarnya persisnya terjadi, dan siapa saja pelaku-pelakunya.

Ketika saya masih muda dahulu, saya menghadapi soal Gestapu dan PKI sebagai seorang aktivis. Kini setelah beruntung mendapatkan training akademik dan dianugerahi usia panjang oleh Allah, saya menghadapi  kontroversi masa lalu lebih sebagai seorang skolar, seorang academician.

 Nah, kalau sdr Abuprijadi membaca komentar saya dengan kepala dingin tanpa kemarahan, saya yakin, sebagai orang cerdas, dia akan sepakat dengan jalan pikiran saya.

*    *    *

ABOEPRIJADI SANTOSO:
2013/11/23

Diskusi dgn Bung Salim ini selalu menarik, bahkan justru pada saat kami sering sekali berpandangan bertolakbelakang. Oleh karena itu, menanggapi komentarnya ttg Sarwo Edhie dan Benny Moerdani, dgn hormat, tetap saya bisa katakan bahwa komentar Bung Salim diatas itu absurd.

Kita cukup membuka sejumlah buku hasil penelitian yg serius utk mengetahui, bahkan publik awam pun mahfum, bhw Sukarno sejak 1 Okt 1965 hingga 11 Maret hanyalah sebuah kekuasaan yg makin buyar, hanya tersisa formalitas di tengah bangunan kuasa yg rontok – in disarray. Pada saat bersamaan ada sejumlah powers-that-be lebih nyata berkuasa, dan memanfaatkan kekuasaannya utk membantai sesama warga sebangsa – mereka inilah yg bertanggungjawab.

Tetapi – nah disini absurditasnya - Bung Salim yth lebih suka mengkambinghitamkan Sukarno ketimbang menuding Soeharto dan Sarwo Edhie padahal Sarwo mengakui dirinya memimpin orkes pembantaian.  

Sarwo mengakuinya, bagaimana dgn Soeharto? 

Sejauh diketahui, Soeharto tidak pernah berbicara secara publik ttg pembantaian, tetapi tidak sulit utk membaca cara nalar, cara berpikir-nya ttg kesewenangan suatu penguasa yg menurutnya boleh dilakukan terhadap warga sebangsa. Pada awal 1970an Soeharto belum memdudukkan dirinya sbg Raja Jawa, karena itu masih suka berbicara dgn terbuka dan lantang di muka wartawan.

Inilah yg dikatakan Soeharto di depan Presiden Prancis Georges Pompidoe ttg persekusi massal di Indonesia sejak pertengahan 1960an. Silahkan klik dan dengarkan (Btw, disitu sungguh kasihan betapa malu Menlu Adam Malik sbg diplomat mendampingi Kepala Negara yg tidak paham ttg tata hidup negara hukum yg beradab):


Terima kasih atas perhatian, yth Bung Salim

Tabik hangat
AS



No comments: