Kolom IBRAHIM
ISA
Dalam buku terbaru saya Dari Gestapu ke Reformasi
2013/11/23
Minggu, 24 November 2013
---------------------------------------
Diskusi Interaktif Sekitar Artikel Peneliti Senior Lipi Aswi Warman Adam
"Sarwo Edie Belum Hero" . . . .
Mantan Dubes SALIM SAID Vs Jurnalis Kawakan ABOEPRIADI SANTOSO
* * *
Betul seperti ditulis oleh Salim Said, sejak jatuhya Orde Baru dan Indonesia memasuki era Reformasi dan Demokratisasi, "Di Indonesia, misalnya, baru setelah Orde Baru berakhir kita dengan bebas bisa bicara tentang apa yang sebenarnya terjadi di sputar 1 Oktober 1965 dan aftermath-nya. Kebebasan berpendapat yang muncul di Indonesia sejak berakhirnya Orde Baru juga membuka kesempatan siapa saja untuk berbicara apa saja tentang apa saja".
Selain pendapat-pendapat Salim Said dan Aboeprijadi Santoso, sebagai tambahan dimuat juga respons dari Prof Magnis Sujseno, sbb"
Dengan hormat,
* * *
Maka kali ini dimuat sebagai kolom dibawah ini diskusi interaktif di "Facebook" yang dimulai dan sedang berlangsung antara mantan Dubes Prof. Salim Said dengan jurnalis kawakan Aboeprijadi Santoso.
Responsku sekitar artikel Aswi Adam yang dimuat di s.k. Tempo tsb, telah kutuangkan dalam Kolom MENYAMBUJT TULISAN ASWI WARMAN ADAM. Dalam kolom tsb dikutip sikap Aswi Adam, a.l. sbb:
Harap perhatikan ini!: --- Bila benar-benar kita bertujuan menegakkan negara ini sebagai NEGARA HUKUM YANG BERBUDAYA DAN BERADAB --- ada satu hal fundamental yang perlu dicamkan yang dikemukakan oleh Peneliti Dr Aswi Warman Adam dalam artikelnya yaitu:
Prof Salim Said:
Kalau sdr Tosi membaca dengan tenang komentar saya niscaya dia akan menemukan bahwa saya belum sampai secara jelas menyalahkan satu atau dua orang sebagai penanggungjawab tunggal pembantaian 1965-1966. Saya ingin mengatakan bahwa kita belum mendapatkan seluruh data yang memungkinkan kita menjatuhkan putusan yang akurat. Semua ini karena saya merasa soal Gestapu dan pembantaian masih terlalu rumit untuk membuat kita dengan cepat bisa mengambil keputusan.
Di Indonesia, misalnya, baru setelah Orde Baru berakhir kita dengan bebas bisa bicara tentang apa yang sebenarnya terjadi di sputar 1 Oktober 1965 dan aftermath-nya. Kebebasan berpendapat yang muncul di Indonesia sejak berakhirnya Orde Baru juga membuka kesempatan siapa saja untuk berbicara apa saja tentang apa saja. Kalau kita ingin tahu kebenaran, maka kita harus berhati-hati dalam menafis banjir informasi tersebut. Apakah betul Sarwo Edhie pernah berkata dia membunuh tiga juta orang waktu itu, sebagai diumumkan oleh Permadi SH? Kenal sarwo selama sekitar 30 tahun, saya ragu Almarhum pernah mengucapkan hal demikian. Tapi ucapan Permadi itu sudah dianggap bukti dan terus diulang-ulangi.
Saya tidak mengkambinghitamkan Sukarno. Saya
cuma ingin mengatakan bahwa secara legal Sukarno masih
Presiden ketika terjadi pembantaian. Dia sudah tidak
berdaya? Jika demikian halnya mengapa dia tidak mundur?
Dengan tetap bertahan sebagai Presiden hingga berhasil
"disingkirkan" oleh militer, Sukarno tidak bisa menghindar
dari tanggungjawab.---------------------------------------
Diskusi Interaktif Sekitar Artikel Peneliti Senior Lipi Aswi Warman Adam
"Sarwo Edie Belum Hero" . . . .
Mantan Dubes SALIM SAID Vs Jurnalis Kawakan ABOEPRIADI SANTOSO
* * *
Betul seperti ditulis oleh Salim Said, sejak jatuhya Orde Baru dan Indonesia memasuki era Reformasi dan Demokratisasi, "Di Indonesia, misalnya, baru setelah Orde Baru berakhir kita dengan bebas bisa bicara tentang apa yang sebenarnya terjadi di sputar 1 Oktober 1965 dan aftermath-nya. Kebebasan berpendapat yang muncul di Indonesia sejak berakhirnya Orde Baru juga membuka kesempatan siapa saja untuk berbicara apa saja tentang apa saja".
Selain pendapat-pendapat Salim Said dan Aboeprijadi Santoso, sebagai tambahan dimuat juga respons dari Prof Magnis Sujseno, sbb"
Dengan hormat,
Entah bagaimana peran Sarwo Edhie dalam
masaker 1965 dan 66, serta dalam "act free of
choice" rakyat Papua 1969, mengangkat orang yang
sedemikian berfungsi sentral dan dengan gembira di
tengah-tengah salah satu kejahatan kemanusiaan
paling besar di bagian kedua abad ke-20 akan amat
sangat memalukan bagi bangsa Indonesia.
Franz Magnis-Suseno
* * *
Maka kali ini dimuat sebagai kolom dibawah ini diskusi interaktif di "Facebook" yang dimulai dan sedang berlangsung antara mantan Dubes Prof. Salim Said dengan jurnalis kawakan Aboeprijadi Santoso.
Responsku sekitar artikel Aswi Adam yang dimuat di s.k. Tempo tsb, telah kutuangkan dalam Kolom MENYAMBUJT TULISAN ASWI WARMAN ADAM. Dalam kolom tsb dikutip sikap Aswi Adam, a.l. sbb:
Harap perhatikan ini!: --- Bila benar-benar kita bertujuan menegakkan negara ini sebagai NEGARA HUKUM YANG BERBUDAYA DAN BERADAB --- ada satu hal fundamental yang perlu dicamkan yang dikemukakan oleh Peneliti Dr Aswi Warman Adam dalam artikelnya yaitu:
“Karena
pasukannya terbatas, Sarwo melatih kemiliteran
para pemuda dua atau tiga hari, selanjutnya
“mereka kami lepaskan untuk menumpas komunis
sampai ke akar-akarnya”. Sarwo tidak ragu-ragu
mengeluarkan perintah tembak kepada mereka yang
melawan termasuk kepada penduduk yang memprotes
penembakan seperti yang terjadi di Solo.
- "Pembunuhan massal yang terjadi
pasca G30S tahun 1965 itu memakan korban yang
bervariasi dari 78.000 sampai 3 juta jiwa. Jumlah
500.000 jiwa dianggap sebagian pengamat sebagai
hitungan yang moderat walau sesungguhnya itu
tercatat sebagai pembantaian yang terbesar dalam
sejarah Indonesia. Persoalannya, siapa yang
bertanggungjawab terhadap tragedi nasional
tersebut ? Soekarno jelas tidak karena ia tidak
memegang kekuasaan lagi dalam bidang keamanan
sungguhpun secara formalitas masih menjadi
Presiden. Kalau begitu apakah Soeharto atau Sarwo
Edhie?
"Ini
sebetulnya yang harus diungkap dalam pengadilan HAM
ad hoc mengenai kasus 1965. Laporan lengkap mengenai
pelanggaran HAM Berat 1965 itu telah diserahkan oleh
Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung. Tentu laporan ini
menjadi pertimbangan untuk membentuk pengadilan HAM
ad hoc. Namun oleh Kejaksaan Agung berkas itu
dikembalikan kepada Komnas HAM untuk dilengkapi. Ini
sudah terjadi berulang kali. Kalau pengadilan HAM ad
hoc itu belum terlaksana tentu belum bisa diputuskan
apakah Soeharto atau Sarwo Edhi atau Jenderal
lainnya dinyatakan bersalah atau tidak.
*
* *
Prof Salim Said:
Kalau sdr Tosi membaca dengan tenang komentar saya niscaya dia akan menemukan bahwa saya belum sampai secara jelas menyalahkan satu atau dua orang sebagai penanggungjawab tunggal pembantaian 1965-1966. Saya ingin mengatakan bahwa kita belum mendapatkan seluruh data yang memungkinkan kita menjatuhkan putusan yang akurat. Semua ini karena saya merasa soal Gestapu dan pembantaian masih terlalu rumit untuk membuat kita dengan cepat bisa mengambil keputusan.
Di Indonesia, misalnya, baru setelah Orde Baru berakhir kita dengan bebas bisa bicara tentang apa yang sebenarnya terjadi di sputar 1 Oktober 1965 dan aftermath-nya. Kebebasan berpendapat yang muncul di Indonesia sejak berakhirnya Orde Baru juga membuka kesempatan siapa saja untuk berbicara apa saja tentang apa saja. Kalau kita ingin tahu kebenaran, maka kita harus berhati-hati dalam menafis banjir informasi tersebut. Apakah betul Sarwo Edhie pernah berkata dia membunuh tiga juta orang waktu itu, sebagai diumumkan oleh Permadi SH? Kenal sarwo selama sekitar 30 tahun, saya ragu Almarhum pernah mengucapkan hal demikian. Tapi ucapan Permadi itu sudah dianggap bukti dan terus diulang-ulangi.
saya mencoba menggambarkan faktor apa saja
yang bermain di sekitar tragedi Gestapu dan aftermathnya.
Singkatnya saya ingin mengatakan bahwa soalnya tidak
sederhana dan masih diperlukan waktu untuk sampai pada
kesimpulan tentang apa sebenarnya persisnya terjadi, dan
siapa saja pelaku-pelakunya.
Ketika saya masih muda dahulu, saya
menghadapi soal Gestapu dan PKI sebagai seorang aktivis.
Kini setelah beruntung mendapatkan training akademik dan
dianugerahi usia panjang oleh Allah, saya menghadapi
kontroversi masa lalu lebih sebagai seorang skolar,
seorang academician.
Nah, kalau sdr Abuprijadi membaca
komentar saya dengan kepala dingin tanpa kemarahan, saya
yakin, sebagai orang cerdas, dia akan sepakat dengan
jalan pikiran saya.
* * *
ABOEPRIJADI SANTOSO:
* * *
ABOEPRIJADI SANTOSO:
Diskusi dgn Bung Salim ini selalu menarik, bahkan justru pada saat kami sering sekali berpandangan bertolakbelakang. Oleh karena itu, menanggapi komentarnya ttg Sarwo Edhie dan Benny Moerdani, dgn hormat, tetap saya bisa katakan bahwa komentar Bung Salim diatas itu absurd.
Kita cukup membuka sejumlah buku hasil penelitian yg serius utk mengetahui, bahkan publik awam pun mahfum, bhw Sukarno sejak 1 Okt 1965 hingga 11 Maret hanyalah sebuah kekuasaan yg makin buyar, hanya tersisa formalitas di tengah bangunan kuasa yg rontok – in disarray. Pada saat bersamaan ada sejumlah powers-that-be lebih nyata berkuasa, dan memanfaatkan kekuasaannya utk membantai sesama warga sebangsa – mereka inilah yg bertanggungjawab.
Tetapi – nah disini absurditasnya - Bung Salim yth lebih suka mengkambinghitamkan Sukarno ketimbang menuding Soeharto dan Sarwo Edhie padahal Sarwo mengakui dirinya memimpin orkes pembantaian.
Sarwo mengakuinya, bagaimana dgn Soeharto?
Sejauh diketahui, Soeharto tidak pernah berbicara secara publik ttg pembantaian, tetapi tidak sulit utk membaca cara nalar, cara berpikir-nya ttg kesewenangan suatu penguasa yg menurutnya boleh dilakukan terhadap warga sebangsa. Pada awal 1970an Soeharto belum memdudukkan dirinya sbg Raja Jawa, karena itu masih suka berbicara dgn terbuka dan lantang di muka wartawan.
Inilah yg dikatakan Soeharto di depan Presiden Prancis Georges Pompidoe ttg persekusi massal di Indonesia sejak pertengahan 1960an. Silahkan klik dan dengarkan (Btw, disitu sungguh kasihan betapa malu Menlu Adam Malik sbg diplomat mendampingi Kepala Negara yg tidak paham ttg tata hidup negara hukum yg beradab):
Terima kasih atas perhatian, yth Bung Salim
Tabik hangatAS
No comments:
Post a Comment