Kolom
          IBRAHIM ISA
Rabu, 26 Februari 2014
-------------------------------
      
BUKU JUSUF WANANDI – “Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998”, Diluncurkan 20/2/2014
Rabu, 26 Februari 2014
-------------------------------
BUKU JUSUF WANANDI – “Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998”, Diluncurkan 20/2/2014
Dan
Tanggapan
              Prof . Dr. Salim Said, dan, Prof Dr John Roosa,
          
      
      
    
* * *
Buku Jusuf Wanandi
          (buku yang sudah lebih dulu diterbitkan di Singapur), yaitu –
        
    
“Menyibak
              Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998”,
          
    
Diluncurkan di
            Jakarta pada tanggal 20/2/2014, paling tidak telah
            mengundang dua
            tanggapan menarik. 
    
Satu dari Prof.
            Dr. Salimn Said, doktor ilmu politik dan gurubesar pada
            sejumlah
            perguruan tinggi Indonesia, dan mantan dubes RI di Praha
            (2004-2008).
          
    
Satunya
            tanggapan
            oleh sejarawan Prof Dr John Roosa.
* * *
Sementara pakar
            sejarah menyatakan sbb: 
    
Menulis sejarah
            atau suatu peristiwa, seperti apa isinya, itu tergantung
            pada
            dimana penulisnya berdiri. Tempat berdirinya itu menentukan
            apa yang
            ia bisa dan ingin lihat. Yang ditulisnya adalah apa yang
            menjadi perhatiannya. 
    
Tanggapan Salim
            Said dan John Roosa berbeda besar. Menunjukkan apa yang
            menjadi
            perhatian utama masing-masing.
Prof. Dr Salim
            Said yang di waktu y.l “dekat sekali” dengan aktivis-aktivis
            mahasiswa dan para jendral yang anti-PKI dan anti-Presiden
            Sukarno,
            para periode sejak G30S, memberikan komentar a.l. Sbb: 
    
..”buku
ini
              penting, amat berguna bagi kita yang berminat pada politik
              dan
              sejarah modern Indonesia, ditulis dengan baik dan karena
              itu enak
              dibaca.
Lalu,
.
              . 
    
“Buku
              ini juga mengungkap sejarah politik Soeharto yang dengan
              instink
              politik dan ketrampilan yang canggih bukan saja bisa
              menyingkarkan
              Presiden pertama Republik Indonesia dengan cara yang amat
              canggih,
              tapi juga bisa berkuasa selama 32 tahun dan dengan saksama
              menyingkiran semua musuh-musuh politiknya. Patut dicatat,
              Soeharto
              adalah manusia  terlama  yang berkuasa di atas bumi
              Indonesia sejak wilayah ini diciptakan Allah. Juga jika
              dibanding
              dengan semua Gubernur Jenderal Belanda, para Raja  dan
              para
              Sultan sejak ratusan tahun sebelumnya. Demikian a.l
              tanggapan Salin
              Said.
*
              * *
Prof
                Dr John Roosa, sejarawan dan gurubesar mengungkapkan
                tanggapannya
                a.l. Sbb:
Komentar
diatas
              dimaksudkan untuk memperkenalkan siapa Jusuf Wanandi. 
    
Di
tahun
              2000-an, seorang mantan aktivis PMKRI yang kemudian
              menjadi
              penyair dan jurnalis, dalam suatu perjalanan bersama ke
              Paris, pernah
              mengungkapkan padaku. Bahwa ia menyaksikan dan mengalami
              bagaimana
              PMKRI bersama gereja Katolik dan aktivis Partai Katolik,
              pada periode
              itu, dengan aktif melatih pemuda-pemuda untuk persiapan
              kampanye
              pembasmian dan pembantaian anggota-anggota PKI dan yang
              ianggap PKI
              serta pendukung Presiden Sukarno. Yang dipertanyakan
              sekarang ini:
              Apakah dalam bukunya itu Jusuf Wanandi bicara kongkrit
              tentang
              keterlibatan PMKRI , Partai Katolik dan Gereja Katolik
              dalam
              pelanggaran HAM terbesar di Indonesia.>
Masih
pendapat
              John Roosa:(Terjemahan bebas) . . .“Meskipun
            penulisnya bersedia mengakui penyesalannya, sulit utk
            menyimpulkan
            bersimpati terhadapnya. Bertahu-tahun lamanya ia bekerja di
            sisi yang
            gelap, membantu kediktatoran Suharto melakukan berbagai
            kejahatan,
            dan ia tetap saja bangga atas pekerjaannya sebagai
            anak-didik yang
            dilindungi dari pejabat intel tipuan-kotor yag paling
            menjkijikkan,
            Ali Murtopo. Catatan inside-nya mengenai penentu dari
            berbagai
            pembantaian sering bersifat pengabdian pribadi dan tidak
            akurat.
“Pembantaian
            masal
            yang dimulai rezim pada permulaan 1965-1966 merupakan suatu
            'kesalahan besar'. Tidak seperi kawan sebayanya di Orde
            Baru, yang
            membisu mengenai pembunuhan-pembunuhan atau membenarkan hal
            itu,
            Wanandi setidak-tidaknya mau melihat ada sesuatu yang salah:
            Kita
            tidak bisa melegimitasi, mengabaikannya, atau melupakan
            tindakan-tindakan itu'. Ia bahkan berseru untuk diadakannya
            investigasi lengkap yang bisa “mengungkap” – suatu
            penggunaan
            kata yang dipilih baik dengan bantuan pembukaan kuburan
            masal --
            'kebenaran mengenai kejadian tragis itu'. 
    
 .
              . “Namun, bagaimana ia bisa mengatakan pembantaian
              terhadap para
              tahanan yang tak bersenjata dan tak berdaya itu sebagai,
              'suatu
              kesalahan', dan bukan sebagai suatu kejahatan? Ia bisa
              berbuat
              seperti yang ia tidak minta kita melakukannya. Ia
              melewatkannya
              begitu saja. Ia menjelaskannya dengan sebuah dongeng yang
              menimpakan
              kesalahan pda Sukarno. Katanya Bung Karno salah karena
              tidak segera
              melarang PKI pad awal Oktober. Rakyat 'telah bertindak
              aendiri', di
              beberapa daerah tentara 'mengambil inisiatif'. Cerita yang
              menyalahkan-Presiden ini telah diceriterakan lebih dulu.
              Notosusanto
              dan Saleh menghindangkannya di varian mereka yang terkenal
              mengenai Gerakan 30 September: 'masyarakat' , yang
              menununtut PKI dihukum,
              mengamuk ketika Sukarno mencoba 'melindungi partai'
              (maksudnya PKI,
              I.I.). Cerita seperti itu adalah omong-kosong. Suharto dan
              klknya,
              perwira-perwira tentara, menjegal Sukarno dan berindak
              malakukan apa
              yang sudah mereka rencanakan. Mereka bisa saja menggunakan
              larangan
              Presdien untuk melegitimasi serangan-serangan pembunuhan
              mereka,
              seperti halnyua mereka menggunakan Supersemar untuk
              melegitimasi kup
              Maret 1966 yang mereka lakukan. 
    
LAMPIRAN-LAMPIRAN:Teman-teman Yth,
Kemarin
siang
        (20 Feb) ada peluncuran buku Jusuf Wanandi (CSIS) di Jakarta.
        Saya mendapat kehormatan ikut membahas buku itu pada acara
        tersebut.
        Bersama ini saya lampirkan makalah yang saya sampaikan pada
        acara
        tersebut. Kalau ada di antara Anda yang sempat mengomentari
        makalah
        terlampir, saya tenatu senang sekali. 
    
Bung
        Salim.
SALIM SAID:
Tentang
            Buku Jusuf Wanandi “Menyibak Tabir Orde Baru ”. Beberapa
            komentar
            singkat pada peluncuran buku 20 Februari 2014 di
          CSIS,
          Jakarta.
Kalau
            waktu yang dialokasikan kepada saya untuk
              mengomentari buku ini singkat, maka yang wajib saya
              katakan, buku ini
              penting, amat berguna bagi kita yang berminat pada politik
              dan
              sejarah modern Indonesia, ditulis dengan baik dan karena
              itu enak
              dibaca.
Ini
adalah
        buku tentang politik dan perpolitikan Indonesia pada
        tahun-tahun terakhir Orde Lama, jatuhnya Presiden Soekarno,
        hancurnya
        Partai Komunis Indonesia (PKI), naiknya Jenderal Soeharto,
        mapannya
        kontrol rezim Orde Baru hingga jatuhnya rezim Soeharto yang
        selama
        bertahun-tahun memanfaatkan ABRI, Korpri (Korps Pegawai Negeri
        Indonesia) dan Golkar sebagai alat kekuasaannya.
Harus
saya
        tekankan, buku ini menjadi menarik karena penulisnya, Jusuf
        Wanandi, terlibat langsung dalam bagian-bagian penting politik
        dan
        perpolitikan masa itu. Ini adalah sebuah memoar politik  penulis
        yang juga sejarah politik Indonesia sekitar setengah abad
        terakhir.
Ini
juga
        sebuah buku tentang CSIS (Centre for Strategic and International
        Studies),  riwayatnya, perannya yang amat penting pengaruhnya
        dalam mendukung – bahkan acap kali malah menentukan—arah
        kekuasaan Soeharto pada awal dan bagian terpenting masa
        berkuasanya.
        Juga tentang ketegangan CSIS dengan kelompok kritis terhadap
        Orde
        Baru. CSIS adalah lembaga think tank pertama di Indonesia dalam
        sejarah intelektual serta sejarah politik negeri ini. Tapi  dari
        penuturan Jusuf Wanandi, CSIS juga sebuah lembaga  yang berperan
        sebagai lembaga lobby politik yang untuk waktu cukup lama
        berfungsi
        amat efektif.
Buku
ini
            juga mengungkap  sejarah politik Soeharto yang dengan
            instink politik dan ketrampilan yang canggih bukan saja bisa
            menyingkarkan Presiden pertama Republik Indonesia dengan
            cara yang
            amat canggih, tapi juga bisa berkuasa selama 32 tahun dan
            dengan
            saksama menyingkiran semua musuh-musuh politiknya. Patut
            dicatat,
            Soeharto adalah manusia  terlama  yang berkuasa di atas
            bumi Indonesia sejak wilayah ini diciptakan Allah. Juga jika
            dibanding dengan semua Gubernur Jenderal Belanda, para Raja 
            dan
            para Sultan sejak ratusan tahun sebelumnya.
Soeharto
            berangkat dari Kostrad.
Nasib
Soeharto
        mengalami pasang naik bermula ketika secara mendadak
        sejumlah Jenderal, para pimpinan Angkatan Darat, dibantai oleh
        gerakan para perwira  yang dikendalikan Partai Komunis Indonesia
        (PKI) pada subuh satu Oktober 1965. “Calon”  Presiden kedua
        R.I. memegang jabatan Panglima Kostrad waktu itu.
Berbeda
dengan
        Kostrad zaman sekarang yang  mempunyai pasukan 
        sebanyak dua divisi tempur, pasukan yang dipimpin Soeharto waktu
        itu
        berada di berbagai Komando militer (KODAM) yang baru akan
        dikerahkan
        ke bawah kontrol Kostrad jika ada tugas khusus dari pimpinan
        Angkatan
        Darat. Maka tidak mengherankan jika ketika tiba-tiba muncul pada
        satu
        Oktober pagi sebagai Panglima yang berani melawan usaha kudeta
        Gestapu, orang bertanya-tanya: Soeharto Who? Dengan kondisi
        itulah,
        Soeharto tampil dan dalam waktu dua tahun dia telah berhasil
        menjadi
        Presiden kedua Republik Indonesia.
Siapa
Soeharto?
          Pertanyaan inilah yang – antara lain — dijawab oleh
          Jusuf Wanandi. 
    
Dari
posisinya
        yang amat dekat kepada Soeharto dan lingkungannya di
        sekitar Kostrad dan kemudian kantor kepresidenan, Wanandi
        menjelaskan
        siapa Soeharto. Pengamatan dan interaksi Wanandi dengan
        Soeharto,
        membawanya pada kesimpulan, Pangkostrad itu bukan Jenderal yang
        fobia
        komunis. Dan PKI jelas tahu dia bukan bagian dari lingkungan
        Panglima
        Angkatan Darat, Letnan TNI Jenderal Achmad Yani. Di mata PKI,
        bahkan
        di mata Presiden Soekarno, Yani dan kelompokmya di Markas Besar
        Angkatan Darat (MBAD) adalah orang-orang  “keras kepala”
         yang anti Komunis dan anti Nasakom. Bukti dari sikap PKI itu
        adalah terjadinya dua kali kunjungan Kolonel Latif kepada
        Soeharto di
        rumah kediaman Pangkostrad dan di Rumah Sakit Angkatan Darat
        (RSPAD)
        beberapa jam sebelum operasi Gestapu dilancarkan.
Apa
yang
        dipercakapkan Latif dan Soeharto pada kedua pertemuan tersebut
        diungkapkan sendiri oleh keduanya. Di kediaman Soeharto, menurut
        cerita sang Pangkostrad, Latif melaporkan adanya Dewan Jenderal
        yang
        akan menyingkirkan Soekarno, sang Presiden. Pada pertemuan di
        RSPAD,
        karena keterbatasan waktu, tidak banyak yang mereka bicarakan.
        Meski
        ada dugaan Latif melaporkan operasi akan segera dimulai
        “mengambil”
        para Jenderal yang sebelumnya secara publik sudah dikampanyekan
        Soekarno sebagai “tidak loyal” kepada Pemimpin Besar Revolusi. 
    
Menurut
rencananya,
        para Jenderal yang dituduh sebagai anggota Dewan Jenderal
        tersebut akan diambil untuk dihadapkan kepada Presiden Sukarno.
        Di
        depan Sukarno para Jenderal dari MBAD akan  didaulat 
        disingkiran dari MBAD  dan posisi mereka  diberikan kepada
        Jenderal yang mudah diatur oleh Sukarno. Latif berharap (menurut
        pengakuannya pada Mahkamah Militer yang mengadilinya di Bandung)
        Jenderal Soeharto yang akan naik menggantikan  Pangad Jenderal
        Yani. 
    
Kita
tidak
        mempunyai informasi apakah harapan Kolonel Latif tersebut
        disampaikan kepada Soeharto pada pertemuan di RSPAD malam itu.
        Yang
        kita semua  ketahui kemudian, pada pagi esoknya para Jenderal
        terbunuh, Soeharto mengamuk, orang-orang PKI kemudian banyak
        yang
        terbunuh di samping sejumlah besar dipenjarakan. Termasuk Latif.
        Siapa yang harus bertanggungjawab terhadap pembunuhan massal
          di
          banyak tempat itu? 
    
Menurut
Wanandi,
            baik Soeharto maupun Sukarno, sampai batas tertentu, harus
            iku bertanggungjawab. Tapi Sukarno pertama-tama yang harus
            bertanggungjawab. Waktu itu dia masih Presiden. Soeharto,
            menurut
            Wanandi, seharusnya berusaha meyakinkan Soekarno meredakan
            ketegangan
            dan histeri massa yang menyebabkan pembunuhan massal itu.
Menurut
ceritanya
        sendiri, beberapa kali Soeharto  meminta PKI
        dibubarkan, tapi Sukarno berkeras dan selalu berusaha meminta
        massa
        tenang sembari menunggu komando Pemimpin Besar Revolusi.
        Histeria
        yang nyaris merata, ketakutan kepada PKI yang sudah
        dipersepsikan
        sanggup dan telah melakukan pembunuhan keji dan sadis, hanya
        menyebabkan seruan dan himbauan Sukarno ikut tertiup angin
        menjauh
        dari masyarakat yang “histeris”. Pembunuhan berlanjut hingga
        yang
        harus dibunuh nyaris sudah habis. Menurut Wanandi, yang memicu
        terjadinya pembantaian adalah karena tidak adanya otoritas yang
        berwibawa mencegah dan menghentikannya. Di Jawa Tengah dan Jawa
        Timur
        pembantaian merupakan kelanjutan berdarah dari ketegangan yang
        sudah
        berlangsung lama, antara lain sebagai akibat aksi sepihak PKI
        dan
        Barisan Tani Indonesia (BTI). Tidak disebutkan Wanandi trauma
        Peristiwa Madiun 1948 yang sebenarnya juga menjadi salah satu
        akar
        pembantaian tersebut. Seperti diketahui Gestapu terjadi hanya 17
        tahun setelah Pristiwa Madiun.
Masih
tentang
        siapa Soeharto, Jusuf Wanandi mengungkapkan pengalamannya
        mendampingi  pemimpin tertinggi Indonesia yang baru itu. 
        Ternyata  acuan sejarahnya terbatas pada sejarah kerajaan Jawa .
        Berbeda dengan Sukarno sebelumnya, dunia gagasan Soeharto
        berputar
        dan hanya berakar pada budaya Jawa, termasuk gagasan kekuasaan 
        Jawa yang diketahuinya kebanyakan dari pengalaman dan cerita
        wayang.
        Sukarno sejak muda membaca luas tentang berbagai gagasan
        politik,
        ideologi dan sejarah dunia. Bagi seorang Soeharto yang memulai
        karir
        militernya sebagai pada  tentara Hindia Belanda (Knil), wacana
        dan sejarah gagasan yang setiap hari menjadi “suguhan” Soekarno
        lewat sejumlah pidatonya yang bagaikan tidak kunjung habis itu,
        adalah barang asing.  
    
Dengan
latar
        belakang seperti itulah kita harus mengerti peran CSIS dan
        Jusuf Wanandi, Harry Tjan dan teman-temannya terhadap Soeharto
        dan
        periode awal pemerintahan Orde Baru. CSIS berdiri pada saat dan
        waktu
        yang tepat.Mereka yang mendirikan CSIS sudah bergiat di zaman
        Orde
        Lama ketika mereka menghadapi PKI. Di sana para pastor Jesuit
        ikut
        memainkan peran penting. Salah seorang di antaranya adalah Pater
        Beek. Sayang dalam buku Wanandi ini peran Beek sama sekali tidak
        muncul secara semestinya.
Kelompok
politik
        cum intelektual yang paling siap pada awal sejarah
        Orde Baru adalah kelompok yang kemudian berumah dalam CSIS. Para
        Jenderal yang mendadak berkuasa itu memerlukan  sejumlah gagasan
        bagi mengelola negara. Hanya CSIS waktu itu yang siap. Pada CSIS
        itulah bertemu kepentingan politik kelompok Katolik tertentu,
        kekuatan politik sekuler, peranakan Tionghoa tertentu, Ali
        Murtopo,
        Sujono Humardani dan Soeharto sebagai konsumen berbagai gagasan
        dari
        lembaga tersebut. 
    
Buku
ini
        menjelaskan secara gamblang peran besar CSIS waktu itu, dan
         peran pribadi Jusuf Wanandi serta Harry Tjan Silalahi. Itu
        terjadi pada periode Soeharto masih “perawan” dalam dunia
        politik. Yang sejak awal dipunyai mantan Pangkostrad itu
        terutama
        hanya instink politik yang  hebat dan kemampuan taktis yang
        prima serta ramalan seorang guru tentang hari depan Soeharto
        sebagai
        orang yang akan punya peran penting dan kuasa besar. Sebagai
        seorang
        yang pada dasarnya cerdas, Soeharto cepat belajar. Menurut
        cerita
        banyak orang, kalau pada tahun-tahun  pertama masa berkuasnya
        dia mencatat ketika para teknokrat menjelaskan kebijakan yang
        harus
        diputuskan,  sekian tahun kemudian para Professor – dikenal
        sebagai Berkely Mafia —yang mencatat jika Soeharto menguraikan
        pikiran dan rencananya. Kalau pada awal masa berkuasanya
        Soeharto
        mendengarkan secara saksama  taklimat yang diberikan Jusuf
        Wanandi dan Harry Tjan Silalahi, di kemudian hari CSIS dan para
        pendukungnya (Ali Murtopo dan L.B. Moerdani) dicampakkan begitu
        saja
        oleh Bapak Presiden. Soeharto merasa  sudah tahu semua.
        Pengalaman hidupnya sejak masa kecil mendidik dirinya tidak
        mudah
        tergantung pada siapa saja.  Juga tidak kepada ABRI, yang
        merupakan  modal kekuasaan utamanya pada awal kekuasaannya. Maka
        tidak sulit dimengerti jika CSIS juga dicampakkan akhirnya.
Belajar
dari
        pengalaman tragis Sukarno yang berkuasa tanpa dukungan solid
        satu partai (dan karena itu terpaksa bergantung pada PKI untuk
        “mengimbangi” Angkatan Darat), Soeharto memerlukan partai yang
        akan ditugaskannya menduduki kursi-kursi di parlemen untuk
        melegitimasi kekuasaan otoriternya. Karena itu dia menolak
        gagasan
        Wanandi dan teman-temannya yang merencanakan membuat partai yang
        betul-betul akan menjalankan peran sebagai penyalur aspirasi
        masyarakat, sekaligus pendukung pemerintah. Soeharto memilih
        Sekretariat bersama (Sekber) Golkar, merombaknya untuk kemudian
        mengontrolnya dengan menempatkan para Jenderal yang gampang
        dikendalikannya. 
    
Meski
tidak
        terlalu terlihat, sejak awal dan secara berangsur, Soeharto
        mempersiapkan Golkar tergantung padanya sembari secara perlahan
        menghindarkannya dari ketergantungan kepada ABRI. Hal ini dengan
        bagus digambarkan oleh Wanandi. Ujung dari kebijakan Soeharto
        ini
        adalah konflik Presiden dengan ABRI yang merasa makin dijauhkan
        dari
        kekuasaan. Konflik antara Soeharto dengan ABRI mulai  terbuka
        pada masa kepanglimaan L.B. Moerdani. Tapi jika diamati secara
        saksama akan terlihat, latar belakang konflik yang berhulu pada
        pristiwa  Malari.
 Jenderal
TNI
          Soemitro, Pangkopkamtib.
Pristiwa
Malari
        (Malapetaka Januari) 1974 memperhadapkan Ali Mutopo dan
        kelompoknya (CSIS dan Opsus) dengan Jenderal TNI Soemitro, sang
        Pangkopkamtib yang juga Wakil Panglima ABRI. Polarisasi di
        kalangan
        kekuasaan waktu itu sebenarnya merupakan konflik antara para
        Jenderal
        di lembaga-lembaga militer (dipersonifikasihan oleh Soemitro)
        dan
        Para jenderal politik di sekitar Soeharto, dengan Murtopo dan
        Sujono
        Humardani sebagai contoh spesialnya. Diperhatikan secara
        saksama,
        sesungguhnya waktu itu tidak ada di antara para Jenderal
        tersebut
        yang merupakan potensi ancaman terhadap pusat kekuasaan
        Soeharto.
        Kompetisi yang terjadi lebih kurang masih pada tingkat rebutan
        mendekati kuping Soeharto sang Raja. 
    
Kompetisi
 tak
        terkendali pada suatu saat, lalu meledak menjadi huru hara
        ketika Perdana Menteri Jepang sedang berkunjung ke Indonesia. Di
        mata
        Wanandi, demonstrasi demi demonstrasi mahasiswa masa itu adalah
        gerakan untuk menyerang Soeharto. Barangkali memang ada golongan
        mahasiswa dengan latar belakang politik tertentu yang berusaha
        memanfaatkan kesempatan dengan mendesak Soemitro menyingkirkan
        Soeharto. Tapi Soemitro dan kelompoknya, para tentara
        professional di
        Dephan dan Kopkamtib, belum punya rencanaa sejauh itu.
        Kesimpulan 
        Wanandi  mengenai adanya ancaman terhadap Soeharto barangkali
        lahir lebih dari ketakutan tokoh CSIS itu dan klompoknya yang
        cemas
        apa yang bakal terjadi pada mereka jika kelompok Soemitro
        berhasil
        menyingkirkan Ali Murtopo. Secara militer kelompok Soemitro
        memang
        lebih kuat. Tapi sebenarnya dan kenyataannya yang paling kuat
        dan
        akhirnya keluar sebagai pemenang adalah Soeharto juga. Sebagai
        akibat
        Malari, Soemitro pensiun dini dari ABRI dan Ali Murtopo secara
        berangsur dijauhkan  dari lingkungan istana kekuasaan Soeharto.
Khusus
tentang
        Soemitro, saya mendapat akses luas kepada mantan
        Pangkopkamtib yang berbadan subur itu setelah saya menyelesaikan
        pendidikan saya di Ohio. Karena disertasi saya mengenai peran
        politik
        TNI, saya sering berjumpa dengan Soemitro, selain dengan
        sejumlah
        Jenderal senior lainnya. Sejak  akhir tahun delapanpuluhan dan
        berlanjut ke tahun sembilanpuluhan. Dari berbagai diskusi dan
        wawancara, saya berkesimpulan Pak Mitro itu padasarnya politically
naïve.
          Tindakan- tindakannya dalam “konfrontasi” dengan
        Ali Murtopo adalah tindakan politik, suatu hal yang  tidak
        disadarinya. Dia punya rencana reformasi politik, perubahan
        politik,
        tapi tidak pernah menyadari bahwa setiap perubahan pasti
        menguntungkan satu pihak dan merugikan golongan lain. Baik Ali
        Murtopo, juga Soeharto akan dirugikan oleh agenda perubahan
        Soemitro.
        Kalau gagasan Soemitro berhasil dijalankan, kekuasaan tentara
        bertambah, Ali dan kelompoknya tersingkir, dan kontrol Soeharto
        secara perlahan akan berbagi dengan  Mabes ABRI. Untuk mencegah
        “ancaman” Soemitro itu,  Soeharto segera menyingkirkannya.
        Menarik untuk dicatat, gagasan Soemitro sebagian besar kelak
        menjadi
        garis perjuangan ABRI dalam menghadapi Soeharto, terutama sejak
        masa
        kepanglimaan L.B. Moerdani. Nasib Moerdani juga berakhir , lebih
        kurang sama, dengan  nasib  tragis yang menimpa Soemitro.
 L.B.
          Moerdani.
Bagaikan
sebuah
        pagelaran wayang kulit, ketika  “wayang” 
        Soemitro masuk kotak secara mendadak, ki Dalang mengeluarkan
         “wayang” Benny Moerdani dari kotak. Secara mendadak juga.
         Moerdani yang sedang bersiap-siap berangkat Ke Negeri Belanda  
        sebagai Duta Besar, secara mendadak ditarik dari Seoul ke
        Jakarta.
        Dengan kekuasaan besar yang diberikan Soeharto kepadanya,
        Moerdani
        tampil lebih berkuasa  dari Soemitro. Menurut Wanandi yang amat
        dekat dengan Moerdani, perwira komando itu (pangkat terakhir di
        RPKAD, mayor, Komandan Bataliyon) pada  dasarnya  lebih
        seorang  tentara dari pada politisi. Pada hal pengangkatan dan
        pekerjaannya sebagai pejabat intel sangat sarat politik. Tugas
        Moerdani bukan hanya menjaga keamanan pisik Soeharto dan
        keluarganya,
        tapi terutama kekuasaan dan kontrol Bapak Presiden atas negara.
      
    
Seperti
Soemitro
        sebelumnya, Moerdani juga kemudian mengembangkan visi
        politiknya  di dalam dan di sekitar kekuasaan Soeharto. Berada
        di sekitar Soeharto selama bertahun-tahun, Benny tiba pada
        kesimpulan, perkembangan pengelolaan negara dan politik yang
        dilakukan Soeharto sudah mencapai tingkat membahayakan negara.
         Gagasan Moerdani, kekuasaan harus dikembalikan kepada ABRI yang
        pada awal Orde Baru menaikkan Soeharto. Jalan pikiran Moerdani
        yang
        demikian tidak berbeda jauh dengan pendapat Soemitro sebelumnya.
        Seperti Soemitro, Moerdani juga disingkirkan Soeharto. Dengan
        kata
        lain, Moerdani juga mengulangi nasib tragis seniornya. 
    
Benny
cerdas,
        membaca banyak, berani dan punya pengalaman tempur yang
        nyaris tak tertandingkan di kalangan TNI.  Tapi kelemahannya
        sama dengan Soemitro, tidak canggih berpolitik. Moerdani tentara
        yang
        mumpuni dan  memulai karirnya di Jakarta -- setelah ditarik dari
        Korea Selatan -- sebagai loyalis tulen Soeharto. Tapi di
        kemudian
        hari, dia menderita  disillusi kepada sang Presiden yang
        bertahun-tahun diabdinya sepenuh hati. Seloyal apapun Moerdani,
        yang
        lebih penting bagi Soeharto adalah kekuasaannya. Kepada Wanandi,
         Ali
        Murtopo pernah mengungkapkan, Soeharto tidak pernah percaya
        seratus
        persen kepada siapa pun. Bapak Presiden itu juga , menurut
        Murtopo
        yang mengenalnya sejak lama di Semarang, enggan bergantung
        kepada
        hanya satu kelompok. Maka ketika gagasan dan gerak-gerik Benny
         sudah
        terlihat sebagai ancaman di mata Soeharto, dengan mudah Bapak
        Presiden mencampakkan sang loyalis, menggantikannya dengan
        kekuatan
        lain. Inilah cerita di balik apa yang umum dikenal kemudian
        sebagai
        “de-benny-sasi.”
Tanjung
            Priok dan Try Sutrisno dan L.B. Moerdani.
Dalam
kasus
        Tanjung Priok yang mengakibatkan banyak korban, sebagai
        Panglima Kodam Jakarta, Try Sutrisno, menurut Wanandi, adalah
        yang
        bersalah dan seharusnya bertanggung jawab. Tapi Moerdani
        melindungi
        Try karena demikianlah kehendak Soeharto. Perintah kepada
        Moerdani,
        karir Try jangan rusak oleh kasus Tanjung Priok. Soeharto
        mempersiapkan Try Sutrisno menjadi Pangab. Moerdani sendiri juga
        mengharapkan Try Sutrisno menjadi peminpin ABRI karena,  menurut
        Wanandi, Benny punya rencana mengendalikan Try dari belakang. 
    
Timur
Timor
          dan Moerdani.
Selama
ini
        pendapat umum di Indonesia terutama di kalangan militer senior,
        invasi pasukan gabungan  ABRI ke Timor Timur (Operasi Seroja)
        tujuh Desember 1975, adalah pekerjaan L.B. Moerdani sebagai
        Asisten
        Intel Mabes ABRI/Dephankam. Tapi menurut Wanandi penyerbuan
        besar-besaran bukan gaya Moerdani. Benny berlatar belakang
        intel, dan
        memang tidak bisa mengelak mengenai keterlibatannya. Tapi
        keputusan
        Operasi Seroja ditetapkan Dephankam/ABRI, bukan Moerdani. Kepala
        intel itu, menurut Wanandi, hanya merencanakan operasi intel
        dengan
        sekitar 300 pasukan yang akan bekerja sama dengan sejumlah
        pengunsi
        di perbatasan.
Pandangan
lain 
        mengenai Operasi Seroja diceritakan oleh Letjen TNI (purn)
        Sayidiman Suryohadiprodjo dalam pengantar buku Letjen TNI (Purn)
        Kiki
        Syahnakri. Timor Timur Untold Story.  Menurut Sayidiman,
        sebagai yang didengarnya dari  Jenderal TNI Maraden Panggabean,
        Pangab waktu itu, izin yang diberikan Presiden Soeharto kepada
        Moerdani sebagai pemimpin Operasi Seroja adalah operasi intel.
        Bagi
        Sayidiman, pada dasarnya satu operasi intelejen adalah tertutup
        (covert), bukan secara terbuka, bukan dengan penyerbuan oleh
        pasukan
        gabungan. Jadi, menurut Sayidiman lagi, melaksanakan operasi
        intelejen –seperti yang dilakukan Moerdani di Timor Timur --
        dengan
        cara operasi  militer konvensional, jelas sebuah keganjilan,
        bahkan  kesalahan.
Soeharto
dan
          Nasution.
Tidak
kurang
        menarik pendapat Jusuf Wanandi mengenai hubungan Jenderal
        Soeharto dengan Jenderal Nasution. Menurut Wanandi, ketegangan
        antara
        kedua pembesar tentara itu bersumber pada  sikap Nasution yang
        “tidak pernah memaafkan Soeharto mengambil jabatan Presiden.”
        Dengan kata lain, Wanandi  berkesimpulan Nasution berambisi
        menjadi pangganti Sukarno dan gagal karena Soeharto. Kesimpulan
        ini
        terutama bersumber pada pengamatan Wanandi terhadap sidang MPRS
        1968.
        MPRS waktu itu dipimpin Jenderal Nasution sebagai Ketua. Draf
        GBHN
        susunan Badan Pekerja MPRS yang dikontrol Nasution bersama
        dengan apa
        yang disebut Wanandi sebagai “golongan kanan,” berusaha
        mengganjal Soeharto dengan cara mempersulit hari depan
        kepresidenannya. Wanandi dan kelompoknya berhasil menggagalkan
        rencana Nasution tersebut.
Topik
draf
        dari Badan Pekerja MPRS tersebut sampai kini secara terbuka 
        belum pernah secara obyektif dibicarakan. Bahkan
        dokumen-dokumen 
        draf Badan Pekerja itu kononnya sudah hampir tidak bisa lagi
        ditemukan. Sekarang sulit secara obyektif menilai apakah
        Nasution
        masa itu memang menjalankan kebijakan yang akan berakhir pada
        terbukanya kesempatan bagi dirinya menjadi Presiden. 
    
Yang
kita
        tahu sejak awal keributan Gestapu, Nasution tidak pernah
        menunjukkan minat menjadi Presiden menggantikan Sukarno.
        Nasution
        malah mendorong dan mendukung Soeharto menghadapi Sukarno dan
        akhirnya menggantikan Presiden pertama R.I. tersebut. Nasution
        tahu
        bahwa dia bukan orang Jawa dan waktu itu hanya orang Jawa yang
        bisa
        menghadapi Sukarno.  Seandainya Nasution berambisi menggantikan
        Sukarno, dia tidak akan menolak tawaran Pangkostrad Soeharto
        agar
        Nasution, perwira paling senior dalam ABRI waktu itu, memimpin
        “perlawanan” terhadap Gestapu dan kemudian Sukarno. 
    
Selain
watak
        Nasution yang terkenal peragu, Sukarno memang mengarahkan
        serangannya kepada Nasution yang dipandangnya “otak” kekuatan
        anti Komunis di dalam Angkatan Darat. Jadi kalau Nasution yang
        tampil
        kedepan, dan bukan Soeharto, perjuangan melawan Sukarno akan
        menjadi
        lebih sulit.
Sebagai
seorang
        militer senior, Nasution juga  berpendapat, jangan
        sampai terjadi pergantian komandan pada saat operasi sedang
        berjalan.
        Ketika Nasution muncul di Kostrad dalam keadaan pincang dan kaki
        terkilir pada satu Oktober petang, Soeharto sudah memimpin
        operasi.
        Kebijakan  pertama Nasution, bantu Soeharto dan tolak 
        keputusan Sukarno mendudukkan Mayjen TNI Pranoto Rekso Samudro
        sebagai pejabat sementara Panglima Angkatan Darat.
Ketegangan 
awal
        Soekarno-Nasution muncul ketika kedua Jenderal berbeda dalam
        cara menyelesaikan Gestapu. Nasution berkehendak Sukarno
        diadili,
        sementara Soeharto ingin urusan dengan Sukarno diselesaikan
        dengan
        jalan politik dan diplomasi. Di kemudian hari, ketika Soeharto
        sudah
        menjadi Presiden, ketegangan di antara mereka bersumber pada
        tafsiran
        atas konsep keterlibatan politik militer.Tafsiran Nasution
        sangat
        legalistik, sementara Soeharto lebih politis dan opportunistik.
Sebagai
seorang
        ilmuwan politik yang mempelajari konsep dan sejarah peran
        politik tentara yang dicetuskan mula-mula oleh Nasution, saya
        berkesimpulan, Nasution cenderung lebih legalistik dari pada
        realistis. Pemikiran politik Nasution berkembang di masa pra
        Gestapu,
        ketika tentara hanya satu di antara  beberapa kekuatan politik
        di Indonesia. Pada masa pasca Gestapu, ketika militer (TNI-ABRI)
        sudah menjadi kekuatan politik tunggal, pemikiran Nasution tidak
        membahas perkembangan baru tersebut. Di sana Soeharto
        mengembangkan
        sendiri konsepnya sebagai militer (Seminar Angkatan Darat II)
        yang
        telah menjadi penguasa politik tunggal. Kritik Nasution terhadap
        Orde
        Baru dan terhadap Soeharto berputar di sekitar perbedaan
        tafsiran 
        terhadap konsep peran politik tentara tersebut. Dengan kata lain
        dan 
        secara singkat, harus  saya katakan, saya belum menemukan bukti
        untuk menerima kesimpulan Jusuf Wanandi bahwa “Nasution tidak
        pernah memaafkan Soeharto karena mengambil jabatan
        kepresidenan.”
Penutup.
Saya
ingin
          menutup komentar saya atas buku Jusuf Wanandi  yang kita
          bicarakan sekarang ini dengan mengulangi pernyataan awal saya.
          Ini
          buku amat penting. Salah satu yang membuat buku ini amat
          penting
          adalah terungkapnya sejumlah hal yang sayangnya  belum sempat
          secara saksama diuraikan penulis. Tapi ini lalu harus
          ditafsirkan,
          Jusuf Wanandi, sadar atau tidak, memberi tugas kepada para
          peneliti
          politik dan sejarah agar meneliti dan mengungkapkan hal-hal
          tersebut.
      
    
Berikut
ini
            beberapa pertanyaan menarik yang menantang para peneliti: 
    
Menyangkut
CSIS,
            pertanyaannya,  siapa yang meladeni siapa? Siapa yang
            paling berkepentingan memanfaatkan CSIS? Ali Mutopo yang
            punya ambisi
            kekuasaan dan memerlukan tanki pemikir? Kelompok-kelompok
            cendekiawan
            Katolik yang lebih memilih hijau tentara karena takut pada
            hijau
            Islam? Kelompok pebisnis Tionghoa perantauan yang memerlukan
            perlindungan kekuasaan? 
    
Penting
untuk
        diketahui, Jenderal Soemitro menyebut Ali Murtopo (sebagai
        pemimpin Opsus) sebagai tokoh yang mendirikan CSIS untuk
        kepentingan
        operasi politiknya.
Menyangkut
kepercayaan
        Wanandi,”Nasution tidak pernah memaafklan Soeharto
          karena mengambil jabatan Presiden,” perlu penelitian
        terhadap
        proses sidang MPRS 1968 serta dokumen-dokumen Badan Pekerja MPRS
        yang
        kabarnya sekarang sudah sulit ditemukan. Penelitian tersebut
        jangan
        sampai dipisahkan dari perkembangan hubungan Soeharto-Nasution
        sejak
        satu Oktober sore di Kostrad hingga naiknya mantan Pangkostrad
        itu
        menjadi Presiden kedua R.I.
Rapat
            para Jenderal pada tahun 1978 yang menunjukkan sikap kritis
            kepada
            kebijakan Soeharto. Momentum
          ini
          membuka kesempatan kepada Menteri Perindustrian, Jenderal
          Muhammad
          Jusuf, mempertontonkan kesetiaan dan pembelaannya kepada
          Presiden
          Soeharto.  Beberapa waktu kemudian Jusuf menjadi Panglima
          ABRI.
          Bagaimana sebenarnya jalannya rapat para Jenderal tersebut?
          Apa yang
          dibicarakan di sana?  Bisakah disimpulan Jenderal Jusuf (waktu
          itu sudah 14 tahun meninggalkan kegiatan militer aktif)
          menjadi
          Pangab karena pameran loyalitasnya tersebut, atau merupakan
          rencana
          lama Soeharto memberi “anugerah” kepada salah seorang yang
          berhasil mendapatkan dokumen Supersemar?
Peneliti
yang
        jeli masih akan menemukan lebih banyak lagi topik menarik untuk
        diteliti dari membaca buku Jusuf Wanandi ini.***
Salim
            Said, doktor
            ilmu politik lulusan Ohio
          State
          University, Ohio, USA , Guru
            Besar Ilmu
            politik pada Universitas
          Muhammadiah
          Malang (UMM), Universitas Pertahanan Indonesia (Unhan),
          Perguruan
          Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), dan pengajar
tetap
            pada  Sesko TNI, Sesko AD, Sesko AL.
        Menulis sejumlah buku
          mengenai peran politik TNI, Salim Said juga pernah ditugaskan
          Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menduduki kursi  Duta
            Besar Republik Indonesia untuk Republik Ceko (2006-2010).
          
* * *
* * *
JUSUF
WANANDI'S
          MEMOIR ALLOWS GLIMPSES INTO THE MINDSET OF SUHARTO-ERA
          OFFICIALDOM
John
          Roosa
At
times
        one comes close to feeling sorry for Pak Wanandi. So little in
        his life worked out as planned. The book, unlike so many je ne
        regrette rien autobiographies of Suharto-era officials, is
        filled
        with misgivings. He helped bring Suharto to power in 1965-66
          and
          then regretted that the general stayed in power for so long.
          He
          rebuilt Golkar in 1970-71 and was later disappointed to see
          the
          organisation become the tool of Suharto’s personal power. He
          led
          the international PR campaign justifying the 1975 invasion of
          East
          Timor but then lamented the army’s brutal counterinsurgency
          tactics.
As
a
        Chinese Indonesian, Wanandi particularly regrets the Suharto
        dictatorship’s blocking of his community’s access to government
        jobs. He changed his name from Lim Bian Kie in the spirit of
        assimilation only to be treated as part of a quasi-alien nation.
        Wanandi’s initial enthusiasm for the Suharto regime – with its
        promises of economic growth, political stability, and cultural
        tolerance – waned in the 1980s as its personalised, nepotistic,
        and
        racist character became entrenched.
Despite
the
        author’s readiness to profess regrets, it is difficult to
        summon up any sympathy for him. He laboured for years on the
          dark
          side, helping the Suharto dictatorship commit a variety of
          crimes,
          and he remains proud of his work as the protégé of one of its
          most
          loathsome dirty-tricks intelligence officers, Ali Moertopo.
          His
          insider accounts of the decision-making behind various
          massacres are
          often self-serving and inaccurate.
The
mass
        killing with which the regime began in 1965-66 was a ‘horrible
        mistake’. Unlike many of his New Order peers, who have either
        remained silent about the killing or offered full-throated
        justifications of it, Wanandi is at least willing to see
        something
        wrong: ‘We can never legitimise, gloss over, or forget those
          acts’. He even calls for investigations that can ‘bring up’ –
          a nicely chosen verb invoking excavations of mass graves –
          ‘the
          truths about those tragic events’.
Still,
how
          can he call the slaughter of unarmed, defenceless detainees ‘a
          mistake’ rather than a crime? He can by doing what he
        asks us
        not to do. He glosses over them. He explains them with a
        fanciful
        story that blames, of all people, Sukarno. Bung Karno is
        supposedly
        at fault for not immediately banning the PKI in early October.
        People
        ‘took matters into their own hands’; in some regions, the army
        ‘took the initiative’. This blame-the-president story has
            been told before. Notosusanto and Saleh presented it in
            their famous
            1967 tract on the September 30th Movement: ‘the public’,
            demanding the PKI be punished, ran amok when Sukarno tried
            ‘to
            protect the party’. The story is nonsense. Suharto and his
            clique
            of army officers sidelined Sukarno and proceeded to do what
            they had
            already planned to do. They would have used a presidential
            ban to
            legitimate their murderous assaults, just as they used his
            Supersemar
        to legitimate their March 1966 coup.
Wanandi
nearly
            concedes as much. He claims, with remarkable frankness, that
            the ‘killing campaign’ in Central Java ‘was led by Sarwo
            Edhie’, the RPKAD commander sent there to attack the PKI in
            mid-October. Wanandi unfairly casts him as the sole agent of
            extermination. He omits Suharto’s role. And he seems
            oblivious to
            the perversity of his depiction of Sarwo Edhie’s
            motivations: ‘He
            had a personal grudge against communists to avenge the death
            of
            Achmad Yani, his friend and patron.’ Tens of thousands of
            ordinary
            civilians in Central Java, people who had nothing to do with
            Yani’s
            murder at Lubang Buaya, had to be slaughtered because Sarwo
            Edhie
            wanted to avenge the death of his old buddy from Purworedjo?
            Was the
            current president’s father-in-law that pathological? Wanandi
            does
            not mention that the student movement in Jakarta, of which
            he was a
            prominent leader, feted Sarwo Edhie as a great war hero when
            he
            returned after the killing spree.
Wanandi’s
account
            shows how closely the student movement worked with the army.
            The students knew in early October that they were in no
            danger. The
            PKI put up no resistance as they rampaged through the
            streets,
            ransacking and burning houses, offices, and schools. But
            still they
            pretended as if they were brave heroes at war risking their
            lives.
            Wanandi notes in passing, without an expression of regret,
            that the
            students of the Indonesian Student Action Front (KAMI)
            forced people
            to join their demonstrations: ‘We would send civil defence
            (Hansip)
            personnel around to people’s houses, advising them that they
            would
            be regarded as PKI if they did not attend our meetings.’
Wanandi
doesn’t
            explain precisely how and why Ali Moertopo, whom he calls
            Pak Ali, recruited him. He mentions that he first met him at
            a
            Kostrad ‘seminar’ in 1963 at which army officers declared
            that
            China and the PKI were their main threats, not the Western
            imperialist powers that Sukarno identified. (With such views
            being
            expressed, it must have been a secret, invitees-only
            gathering.) It
            was a fateful meeting: ‘I was not to know then what a great
            influence he was to have over my life.’
His
account
        of Moertopo’s Opsus, the secret organisation inside
        Kostrad, to sabotage Konfrontasi, is as revealing as it is
        confusing.
        He claims Opsus began in mid-1965 during a meeting between
        Moertopo
        and Suharto (of Kostrad) and Yani, the army commander. But then
        he
        claims that Moertopo began contacting Des Alwi and other
        Socialist
        Party of Indonesia (PSI) figures, living abroad after their
        support
        for the failed 1957-58 rebellion, in September or October 1964.
        Perhaps the meeting with Yani was in mid-1964. He casually
            mentions, as if it was a routine matter, that Moertopo
            smuggled
            ‘rubber and other goods’ to generate money for Opsus and
            accumulated $17 million in banks in Singapore and Malaysia.
            Was the
            PKI’s term ‘capitalist bureaucrat’ (kabir) entirely
            inaccurate?
Moertopo
appears
        in this book as a clever servant of Suharto’s. In the film
        about an English manor, Gosford Park (2001), a servant explains
        that
        she has to anticipate, to know what the masters want ‘before
        they
        know it themselves’. Wanandi saw Moertopo’s ‘strength’ in his
        ability to anticipate: ‘He always felt he had to prepare the old
        man [Suharto] in advance, before events happened.’
Wanandi
joined
        Moertopo’s staff in 1967 just as the colonel became
        Suharto’s point man for Papua. For two years, starting in
        mid-1967,
        Wanandi was involved in the preparations for the holding of the
        Act
        of Free Choice in Papua. The strategy, according to him, was
        seduction. He brought in boatloads of tobacco and beer so that
        the
        Papuans would look kindly upon Indonesia. Wanandi does not
        discuss
        the coercive and deceitful tactics to win the vote, avoiding an
        engagement with the kind of documentation found in John
        Saltford’s
        2003 book The United Nations and the Indonesian Takeover of West
        Papua, 1962-1969: The Anatomy of Betrayal, and remains silent on
        the
        terrors that Indonesia has inflicted on the Papuans since 1969.
        (Much
        of the section on Papua has already appeared in an essay Wanandi
        published in Inside Indonesia in 2009.
The
‘success’
        in Papua emboldened Suharto’s men to attempt a
        similar strategy in East Timor. One of the longest
            sections of
            the book concerns Wanandi’s role in annexing East Timor in
            1974-75.
            He is desperate to clear his name, especially now that the
            country
            has won independence, two truth commissions have issued
            reports
            exposing the Indonesian military’s atrocities and some
            Australian
            embassy files referring to his role have been declassified.
He
insists
        that his strategy was again, merely seduction. Moertopo’s
        group started Operation Komodo in April 1974 for ’gathering
        intelligence and peddling pro-Indonesia propaganda‘ and training
        East Timorese to fight Fretilin on their own. They hoped to
        annex
        East Timor ‘through diplomatic means’ and then hold some kind of
        act of self-determination, after about seven years, once
        Indonesia
        had prepped the East Timorese so that they would vote the right
        way,
        as in Papua. The East Timorese would come to see that ‘the only
        logical path was to become part of Indonesia’.
As
his
        story goes, their strategy lost out as General Benny Moerdani,
        the military intelligence chief, started Operation Flamboyan in
        early
        1975, which sent Indonesian-trained East Timorese across the
        border
        to take the country by force. Then that operation lost ground to
        Operation Seroja in August 1975, when the military commander,
        Panggabean, proposed to use Indonesian troops to take East
        Timor. It
        was, Wanandi opines, a ‘stupid’ plan. Fretilin’s military
        victory and its declaration of independence in November provoked
        Suharto into opting for Panggabean’s plan. ‘The whole thing went
        haywire.’
While
depicting
        Moerdani and Panggabean as the villains, Wanandi
        unintentionally indicts himself. At no point did his Moertopo
        faction
        envision a genuine act of self-determination for the East
        Timorese.
        The plan from the start was to annex East Timor and the debate
        with
        the other factions was only over the method.
Once
the
        Indonesian troops launched a full-scale invasion in December,
        Wanandi made the diplomatic rounds: ‘It was a PR job, and not a
        nice one, because we didn’t agree with what was happening.’ He
        was in Washington DC coaching the people Indonesia sent to
        testify to
        the US Congress, explaining to them how they could not admit
        that the
        troops had ‘invaded’.
Wanandi
has
            the remarkable ability to acknowledge a crime and then blame
            the
            victims for it. He admits Indonesian troops shot and killed
            five
            foreign journalists in Balibo to eliminate witnesses to the
            invasion:
            ‘it could not be known that they were invading’. So here is
            a
            clear admission to a war crime: the deliberate murder of
            non-combatants. Then he blames the journalists themselves
            for putting
            themselves in a war zone: ‘They thought it would be a picnic
            and of
            course they were shot.’ Of course.
This
memoir
            allows us some glimpses into the depraved mindset of
            Suharto-era officialdom. Wanandi and his fellow Golkar
            leaders
            engineered electoral victories every five years by
            intimidating
            people. They sent civil defence personnel house-to-house to
            inform
            people that a vote against Golkar would be construed as a
            vote for
            the PKI. They organised a civil servants association as a
            ‘tool of
            Golkar to win elections’. They mobilised street toughs, the
            preman.
            Wanandi is proud of the electoral victories and is not
            troubled by
            the underhanded methods to achieve them. Pak Ali assigned
            him tasks
            and he completed them successfully. Asal bapak senang (as
            long as the
            boss is happy). Moertopo famously called commoners ‘a
            floating
            mass’; they had to be manipulated and directed because they
            were
            too stupid to think for themselves. Wanandi takes that
            premise for
            granted.
Moertopo
arranged
        the funding for Wanandi’s think-tank, CSIS, in 1971 by
        calling up various Chinese Indonesian businessmen, cukong (a
        term
        Wanandi euphemistically translates as ‘patron’), and asking for
        money: ‘that was all that was needed’. With CSIS, Wanandi styled
        himself as an intellectual and cultivated contacts with foreign
        academics, all the while serving as a Golkar boss and
        intelligence
        operative. CSIS was another seduction strategy, this time
        targeting
        foreigners who were influential in shaping international opinion
        about the Suharto regime. It was also a way to monitor and
        punish the
        recalcitrant ones, like Benedict Anderson. (Anderson has written
        about his run-ins with Wanandi in his 1996 article in the
        journal
        Indonesia, ‘Scholarship on Indonesia and Raison d’État’.)
Wanandi
would
        like readers to think he has a heart; that his work on the dark
        side has only left him streaked with grey and not dyed jet
        black. He
        recounts his lobbying in the 1970s to get political prisoners
        released and allow the Red Cross into East Timor. This work
        seems to
        have been greatly motivated by the need to placate foreign
        criticisms
        of the regime.
I
            was surprised to find Wanandi flattering my book about the
            September
            30th Movement ‘as the best explanation of who was behind the
            coup
            and why it failed’. The praise is accompanied by a silence
            on my
            condemnation of the army’s reaction to the movement. As is
            his
            habit, he blames the victims. The movement was ‘a terrible
            blunder
            that opened the floodgates to retribution’. The PKI was
            responsible
            for the violence against it. He invokes the old cliché: the
            atmosphere of the time was ‘kill or be killed’. That
specious
        depiction of the time conveniently exonerates the
        perpetrators who cowardly executed people who were already tied
        up
        and then made them disappear. As the recent film The Act of
        Killing
        (2012) reveals, the best way to dispel the perpetrators’ myths
        is
        to let them describe precisely what they did.
Wanandi
ends
        his book in Candide-like fashion, bereft of the optimism that
        animated his early enthusiasm for the Suharto regime, writing
        about
        his think-tank as the little garden he cultivates. By the end of
        the
        book I felt like going outside and cultivating a real garden as
        a
        relief from reliving the grey-on-grey nightmare of Suharto-era
        officialdom.
Jusuf
Wanandi,
          Shades of Grey: A Political Memoir of Modern Indonesia,
          1965-1998 (Singapore: Equinox, 2012).
John
            Roosa (jroosa@mail.ubc.ca)
            is Associate Professor of History at the University of
            British
            Columbia and author of Pretext for Mass Murder: The
            September 30th
            Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia (Madison:
            University
            of Wisconsin Press, 2006).
