Kolom
IBRAHIM
ISA
Minggu,
26 Januari 2014------------------------------
SIAPA PERBURUK
"CITRA" INDONESIA?
* * *
Baru-baru
ini
pemerintah Indonesia, melalui jubirnya, Teuku Faizasyah,
mengeluarkan tanggapan sekitar nominasi Oscar Award untuk
film
“Jagal”, “The Act of Killing” (Kompas, 24 Januari 2014).
Kalau tidak salah, tanggapan pemerintah SBY terhadap
film
dokumenter “The Act of Killing” (2012), adalah pernyataan
pertama kalinya. Khusus mengenai film “The Act of Killing”
tsb.
Tetapi
.
. . . mengenai peristiwa pelanggaran HAM terbesar (1965-66-67),
yang melatar belakangi film “The Act of Killing” – dimana
dalangnya adalah fihak militer yang sudah berkuasa ketika itu, belum
pernah
ada tanggapan pemerintah SBY.
Tanggapan
yang
ada adalah yang dinyatakan mantan Presiden Abdurrahman Wahid.
Beliau minta maaf atas keterlibatan pemuda-pemuda NU (Ansor)
dalam pembantaian orang-orang PKI dan Pemuda Rakyat. Sungguh
mengherankan
setelah wafatnya Gus Dur sementara petinggi NU mendesavuir
pernyataan minta maaf Gus Dur tsb.
*
* *
Ada
baiknya
yang berwewenang di Republik ini, berusaha sedikit mengkhayati
saran seorang sutradara asing, DANIEL ZIV –
produser film dokumenter Inbdonesia, “JALANAN”, mengenai
kehidupan seniman-seniman musik jalan Indonesia.
“ Apa reaksi pemerintah Indonesia? Bungkam. Tak diragukan para pejabat pemerintah telah melihat film itu. Tapi tidak berreaksi dimuka umum. “Bertentangan dengan message penting, yang mendasari film bahwa kebenaran sejarah harus ditegakkan demi keadilan -- pemerintah Indonesia tampaknya puas dengan bersikap membenamkan kepala mereka di dalam pasir. Ini sungguh amat memalukan.
“Yang memalukan sekitar genosida Indonesia 1965 bukan kenyataan bahwa para pelaku bebas dari hukum: – – – Siapa yang mengenal politik patronase Indonesia tahu, -- betapa tidak mungkinnya para 'jagal' 1965 itu akan bisa diinvestigasi dan diadili.
“Yang sungguh membikin marah -- dan ini yang lebih menyakitkan bagi para korban -- ialah, bahwa kejadian genosida 1965 tidak pernah diakui samasekali. Lebih gawat lagi – cerita resmi yang dijajakan pemerintah adalah dongeng kebohongan dan pemalsuan sejarah. ( Demikian a.l Daniel Ziv di “The Jakartas Post”, 15 Januai 2014)
*
* *
Sesungguhnya
dewasa
ini di masyarakat mancanegara sudah semakin banyak yang tahu
adanya, dan bisa melihat bertambahnya bahan-bahan kesaksian
langsung
oleh para korban, esay, novel, cerpen, informasi, tulisan, buku,
seminar dan film-film dokumenter, mengenai pelanggaran HAM
terbesar
yang terjadi di Indonesia (1965/66/67) . Bahwa dalam periode
itu,
terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap kaum Komunis dan
golongan
Kiri lainnya yang mendukung Presiden Sukarno. Masyarakat
nasional
maupun internasional berangsur-angsur menyadari bahwa di
Indonesia
telah terjadi “genosida” di sekitar penggulingan Presiden
Sukarno dan berdirinya rezim Orde Baru Presiden Suharto, pada
paro
kedua tahun 1960-an.
*
* *
Dalam
bulan April, 2003, sebuah delegasi korban 65 Indonesia yang
terdiri dari pelbagai organisasi korban HAM seperti PAKORBA di
bawah
pimpinan Dr Ciptaning dan Ir Setiadi, menghadiri sidang Komisi
Hak-Hak Azasi Manusia di Jenewa, Aku diminta ambil bagian dalam
Delegasi Indonesia itu. Kami bersama-sama menuju Jenewa dan
hadir
dalam sidang Komisi HAM PBB.
Dalam Delegasi Indonesia tsb terdapat utusan dari Pakorba (Paguyuban Korban Orde Baru). Mereka itu adalah: Dr. Ribka Ciptaning (Ketua), Ir Setiadi Reksoprodjo, dan Heru Atmodjo. Ini adalah untuk pertama kalinya selama 58 kali sidang Komisi Hak-Hak Azasi Manusia PBB, di Jenewa, bahwa masalah korban pelanggaran hak-hak azasi manusia (1965 - 1966), diajukan secara khusus. Bahwa untuk itu khusus datang ke Jenewa tokoh-tokoh yang menjadi korban pelanggaran hak-hak azasi manusia pada tahun-tahun 1965 - 1966. Para korban dari Orde Baru, seperti Dr. Ribka Ciptaning, Ir Setiadi Reksoprodjo dan Heru Atmodjo, adalah anggota-anggota Delegasi Indonesia yang khusus mengadjukan masalah pelanggaran hak-hak azasi manusia tahun-tahun 1965-1966.
Sepanjang
yang
diketahui, sidang-sidang Komisi HAM PBB di waktu yang lalu
itu,
tidak pernah menghasilkan suatu keputusan ataupun resolusi
yang
secara khusus mengurus masalah pelanggaran hak-hak azasi
manusia yang
paling serius dalam sejarah Indonesia. Sehingga timbullah
kesan
bahwa terhadap masalah korban pelanggaran hak-hak azasi manusia,
khususnya terhadap korban-korban 1965 – 1966 , digunakan ukuran
yang
berbeda dalam mempertimbangkan dan mengambil keputusan. Telah terjadi
keberatsebelahan, telah terjadi diskriminasi yang teramat serius
terhadap para korban pelanggaran hak-hak azasi manusia periode 1965-
1966.
berbeda dalam mempertimbangkan dan mengambil keputusan. Telah terjadi
keberatsebelahan, telah terjadi diskriminasi yang teramat serius
terhadap para korban pelanggaran hak-hak azasi manusia periode 1965-
1966.
Karena
Komisi
HAM PBB itu, anggpota-anggotanya adalah
pemerintah-pemnerintah, maka seruan dan tuntutan Delegsi
Indonesia
yang bukan pemerintah itu, sama sekali tidak mendapatkan
respon yang
sewajarnya.
Komisi
HAM
PBB juga mengambil sikap tutup-telinga, tutup-mata dan
tutup-mulut.
*
* *
Namun,
dunia berputar terus dan perjuangan sekitar HAM semakin meluas.
Khususnya perjuangan MELAWAN LUPA semakin meluas dan mendalam.
Berkat
kegiatan
dan perjuangan para korban, aktivis dan pendukung korban
1965, di Indonesia dan di luar negeri, yang berlangsung terus
tak
henti-hentinya, mengungkap kebenaran serta menuntut keadilan
…..., maka, bisa disaksikan adanya kemajuan ke arah posistif
kesadaran
nasional dan internasional sekitar Peristiwa 1965.
*
* *
Salah
satu
petunjuk semakin terungkapnya di masyarakat internasional
tentang pembantaian masal oleh fihak militer dan
pendukung-oendukungnya di kalangan parpol dan agama, adalah
munculnya film dokumenter “The Act of Killing” . Karya film
dokumenter
cemerlang oleh sutradara berbangsa Amerika, Joshua Oppenheimer
(2012).
Lebih
menonjol
lagi 'pen-sosialisasian” informasi mengenai “genosida
1965”, dan mengenai siapa-siapa pelaku-pelakunya, ialah
DINOMINASINYA film “The Act of Killing” untuk menerima HADIAH
PENGHARGAAN OSCAR (2013).
Siapa
saja
yang bersedia meliha yang ada dalam kehidupan yang nyata,
“CITRA BURUK” yang ada di mata dunia, BUKANLAH nama INDONESIA,
tetapi citra buruk mengenai suatu rezim militer Indonesia yang
menamakan dirinya ORDE BARU. Yang didirikan di atas
jutaan mayat,
korban dan penderitan warga tak bersalah. Citra buruk mengenai
rezim
Orde Baru itu timbul, karena memang apa yang mereka lakukan
lebih
dari “citra buruk”, tetapi suatu kekejaman, kejahatan
kemanusiaan, suatu perbuatan biadab yang tak ada taranya dalam
sejarah Indonesia.
Pemerintah
Indonesia
yang sekarang ini, PUN, akan semakin BURUK CITRANYA, bila
tetap mengambil sikap tutup-telinga, tutup-mata, dan tutup-mulut
terhadap PELANGGARAN HAM TERBESAR yang terjadi di Indoneia
sekitar
mula berdrinya rezim Orde Baru.
*
* *
Sampai
sekarang
pemerintah SBY m a s i h mengambil sikap tutup-telinga,
tutup-mata dan tutup-mulut terhadap kejahatan kemanusiaan yang
terjadi atas taggung jawab penguasa. Meskipu KomnasHam, sebuah
lembaga (dibentuk oleh pemerintah) yang tugasnya a.l menangani
masalah HAM,-- sudah mengeluarkan Rekomendasi KomnasHAM, 22 Juli
2012. Di situ KomnasHam mengungkap peristiwa pelanggaran HAM tsb
dimana terlibat aparat keamanan negeri. Kejaksaan Agung RI
menolak
Rekomendasi KomnasHam tsb untuk menangani masalah pelanggarn Ham
berat, sekitar Peristiwa 1965, dengan alasan
teknis/administratif
semata.
*
* *
Citra
buruk
rezim Orde Baru tidak akan bisa dihapuskan untuk
selama-lamanya., Kejadian itu sudah menjadi sejarah yang ditulis
dalam ribuan tulisan, dokumen dan buku. Saksi-saksi bidup korban
masih ada!
Juga
ada
kenyataan lainnya!
Para
pelaku
pembantaian masal 1965, ----- 'jagal'-'jagal' nya masih
hidup bebas leluasa di Indonesia. Seperti halnya Anwar Congo
dkk, anggota-anggota Pemuda Pancasila dll. Tidak hanya sampai di
situ.
Mereka-mereka itu masih punya pengaruh, masih punya banyak
sekali
uang, masih menguasai banyak media dan masih ikut berkuasa.
Kenyataan
ini diketahui betul oleh para korban dan simpatisan aktivis HAM.
Maka
masuk
diakal sutradara bagian Indonesianya, dan awak dari film “The
|Act of Killing”, tidak mau muncul. Menghindar dari ancaman dan
TEROR. Ini tercermin dari pernyataan salah seorang dari
sutradara
Indonesia. Ia menyatakan:
"Bagi
saya menghadiri Oscar sudah tidak mungkin lagi. Terlalu
banyak
publisitas dan tak
terlalu
aman bagi saya
untuk
diketahui secara terbuka sebagai salah seorang sutradara
film itu,"
kata sang sutradara kepada harian The
Independent.(Kompas.com –
26 Januari 2014).
*
* *
Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia pasca Orde Baru, adalah ---- hentikan sikap (pura-pura) LUPA terhadap pelanggaran HAM berat 1965. Akui pelanggaran HAM berat yang terjadi di sekitar Peristiwa 1965, laksanakan Rekomendasi KomnasHam ttg 22 Juli 2002, serta rehabilasi nama baik dan hak-kewarganegaraan dan politik para korban serta seluruh keluarganya yang selama ini masih menderita persekusi dan diskriminasi . .
Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia pasca Orde Baru, adalah ---- hentikan sikap (pura-pura) LUPA terhadap pelanggaran HAM berat 1965. Akui pelanggaran HAM berat yang terjadi di sekitar Peristiwa 1965, laksanakan Rekomendasi KomnasHam ttg 22 Juli 2002, serta rehabilasi nama baik dan hak-kewarganegaraan dan politik para korban serta seluruh keluarganya yang selama ini masih menderita persekusi dan diskriminasi . .
Ini
adalah
juga tugas besar mendesak Presiden Terpilih 2014. Mengungkap
kebenaran dan Melaksanakan Keadilan bagi para korban!!
*
* *
No comments:
Post a Comment