Kolom
IBRAHIM
            ISA
Kemis,
          30 Januari 2014-----------------------------
GUGATAN
SERIUS
            Kepada
"AKADEMI
            JAKARTA (AJ)” – Sekitar PENGHARGAAN UTK PENULIS MARTIN
            ALEIDA
*
          * *
Belum
          lama salah seorang sahabatku ada yang berkomentar . . .
          “Rupanya
          protes-protes sekitar 'kasus nama Martin Aleida dicoret oleh
          “Akademi
          Jakarta” sebagai calon untuk menerima Penghargaan Akademi
          Jakarta',
          . . . . akhirnya sampai disitu saja”. Keliru! Sahabatku itu
          salah
          tafsir. Kasus ulah kesewenang-wenangan “Akademi Jakarta” yang
          diketuai oleh sejarawan Prof DR Taufik Abdullah, tidak
          berakhir
          sampai disitu saja.
* * * 
    
Mana
          bisa, soal begitu serius dan gawat akan dlupakan begitu saja .
          ..,
          apalagi oleh para seniman dan budayawan yang berhasrat
          menegakkan
          kebenaran dan keadilan . . .. !!
Bagaimana
          mungkin di periode meningkatnya kebangkitan kesadaran
          masyarakat
          kita, teristimewa kaum mudanya, baik yang jurnalias, sejarawan
          atau
          aktivis HAM, Reformasi dan Demokrasi, – – – tindakan
          sewenang-wenang, otoriter serta munafik dari fihak “Akademi
          Jakarta”, bisa dibiarkan berlalu begitu saja. Masalahnya
          terlalu
          serius. 
    
Soalnya,
          bukan sekadar menyangkut kebijakan pengurus “Akademi Jakarta”,
          yang menganggap sepi keputusan Dewan Juri, yang notabene
          dibentuk
          sendiri oleh “AJ”. Bukan sekadar masalah siapa yang lebih
          berhak
          memutuskan siapa dari penulis-penulis Indonesia, yang berhak
          memperoleh Penghargaan Akademi Jakarta 2013. Masalahnya
          menyangkut
          KJUJURAN DAN KEADILAN! Masalahnya menyangkut masalah visi
            dan misi
          yang mendorong dibentuknya “Akademi Jakarta”. Kebijakan “AJ”
          ternyata bukan mendorong perkembangqan kehidupan kebudayaan –
          – –
          Tetapi sebaliknya, menimbulkan kericuhan dan perpecahan. Maka
          kebijakan “AJ” itu tidak bisa lain harus “diurus” . . . harus
          dijerniahkan dan “diselesaikan”, demi pembinaan kehidupan
          budaya
          yang sehat dan subur!
*
          * *
Seperti
          tulis seorang pembaca di “FB”: (Sahala Napoitulu II)
          “Kesewenang-wenangan dan pembodohan yg telah dilakukan oleh
            Akademi Jakarta memang harus dilawan!!”
Pendapat
            lainnya (Wijaya Herlambang) : "Baik sentimen
            personal
            maupun ideologis yang membayangi keputusan pembatalan
            penghargaan
            kepada bang Martin itu memang harus dibongkar dan dihapus
            dari
            tradisi feodal AJ itu.
Pendapat
satu
          lagi lebih tegas dan radikal (Adi Mulyana): “Ganti Rezim,
            ganti sistim!” Suatu
            tuntutan
            agar “Akadami Jakarta” dibubarkan!!
* * *
Menyadari
            keseriusan kasus kesewenang-wenangan pengurus “Akademi
            Jakarta”,
            seperti yang dinyatakan oleh ketuanya Prof DR Taudik
            Abdullah kepada
            pers, Dewan
              Juri Penghargaan Akademi Jakarta 2013, telah
              mengumumkan Surat
              Terbuka Kepada Pengurus “Akademi Jakarta”.
          
Berikut isi lengkap surat terbuka kepada AJ tersebut:
Berikut isi lengkap surat terbuka kepada AJ tersebut:
* * *
            
Surat Terbuka Dewan Juri Penghargaan Akademi Jakarta 2013 kepada Akademi Jakarta
Jakarta, 29 Januari 2014
            
Kepada Yth.
Ketua dan seluruh Anggota Akademi Jakarta
Perihal: Tuntutan pengembalian wewenang juri
            
Kami merasa prihatin membaca pernyataan Ketua Akademi Jakarta (AJ), Prof. Dr. Taufik Abdullah, di beberapa koran internet: Kewenangan juri hanya memberi masukan kepada AJ. Mereka sebagai fungsi kontrol agar anggota AJ tidak memilih teman sendiri. Keputusan tetap pada kami. Suatu pernyataan yang pada zaman Armijn Pane dan Sutan Takdirpertengahan 30-andisebut sebagai celotehanhocus-pocus. Nampaknya memang tak ada kaitan apa pun antara pencapaian gelar akademis seseorang dengan perilakunya terutama bila menyangkut perihal kewenangan alias kekuasaan. Suatu gejala umum yang melanda Indonesia dewasa ini.
            
Ketika Mochtar Lubis memprotes pemberian Hadiah Magsaysay kepada Pramoedya Ananta Toer, 1995, Ajip Rosidi memperlihatkan sikap seorang budayawan: mampu bersikap objektif meski terhadap kedua belah pihakTaufiq dan Pramia memiliki sentimen tersendiri. Ia mempertanyakan apa hak Taufiq Ismail dan yang lain-lain 24 oranguntuk ikut-ikutan protes kepada Panitia Hadiah Magsaysay.
          
Menurut pendapatku setiap panitia hadiah apa pun juga punya hak untuk menetapkan siapa yang dianggapnya pantas untuk menerima hadiah. Merka niscaya mempunyai kritria yang mereka jadikan pegangan ketika menetapkan siapa yang akan diberi hadiah tersebut. Dan setiap keputusan juri hadiah bukankah tak bisa diganggu gugat?(Memoar Ajip Rosidi 70 tahun, Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam Dalam Kenangan, h.1070). Ia menambahkan: Mengapa (Taufiq, Mochtar, dan lain-lain) tidak mau memaafkan (Pram) padahal menurut ajaran Islam, Allah dan Rasulullah selalu menganjurkan agar memberi maaf?(h.1071).
          
Dalam tulisan pamungkas untuk memoar tersebut, Tanya Jawab Diri Sendiri, ia menandaskan lagi pandangan Islamnya. +: Menurutmu apa yang penting dalam berIslam? : Melaksanakan keadilan (h.1223). Tentu saja agar berlaku adil, kita harus jujur, artinya kita harus menilai orang lain seperti kita menilai diri kita sendiri. Keadilan dan kejujuran adalah dua hal yang tidak boleh dipisahkan. (h.1224).
          
Alhasil semua sudah sangat jelas. Tindakan AJ merampas kewenangan juri adalah pelanggaran kode etik dan penyalahgunaan kekuasaan. Maka, AJ harus mengembalikan hak dan wewenang berikut keputusan dewan juri, yaitu: penerima Penghargaan Akademi Jakarta 2013 adalah Martin Aleida!
          
Yang terakhir tapi bukan yang terburuk, kami menghaturkan selamat ulang tahun ke-76 kepada Ajip Rosidi, semoga mendapatkan pencerahan dan kekuatan untuk mewujudkan fatwa-fatwanya sendiri bagi diri sendiri. Sebagai seorang Islam aku berpegang pada hadis bahwa ketika menghadapi kiamat sekalipun, kita harus menanamkan apa pun walau sebiji sesawi. (h.1220). Amin.
          
Hormat kami,
          
Dewan Juri Penghargaan Akademi Jakarta 2013
Sri Astari Rasjid (Ketua)
Leila S. Chudori (Anggota)
Ardjuna Hutagalung (Anggota)
Marselli Sumarno (Anggota)
Surat Terbuka Dewan Juri Penghargaan Akademi Jakarta 2013 kepada Akademi Jakarta
Jakarta, 29 Januari 2014
Kepada Yth.
Ketua dan seluruh Anggota Akademi Jakarta
Perihal: Tuntutan pengembalian wewenang juri
Kami merasa prihatin membaca pernyataan Ketua Akademi Jakarta (AJ), Prof. Dr. Taufik Abdullah, di beberapa koran internet: Kewenangan juri hanya memberi masukan kepada AJ. Mereka sebagai fungsi kontrol agar anggota AJ tidak memilih teman sendiri. Keputusan tetap pada kami. Suatu pernyataan yang pada zaman Armijn Pane dan Sutan Takdirpertengahan 30-andisebut sebagai celotehanhocus-pocus. Nampaknya memang tak ada kaitan apa pun antara pencapaian gelar akademis seseorang dengan perilakunya terutama bila menyangkut perihal kewenangan alias kekuasaan. Suatu gejala umum yang melanda Indonesia dewasa ini.
Ketika Mochtar Lubis memprotes pemberian Hadiah Magsaysay kepada Pramoedya Ananta Toer, 1995, Ajip Rosidi memperlihatkan sikap seorang budayawan: mampu bersikap objektif meski terhadap kedua belah pihakTaufiq dan Pramia memiliki sentimen tersendiri. Ia mempertanyakan apa hak Taufiq Ismail dan yang lain-lain 24 oranguntuk ikut-ikutan protes kepada Panitia Hadiah Magsaysay.
Menurut pendapatku setiap panitia hadiah apa pun juga punya hak untuk menetapkan siapa yang dianggapnya pantas untuk menerima hadiah. Merka niscaya mempunyai kritria yang mereka jadikan pegangan ketika menetapkan siapa yang akan diberi hadiah tersebut. Dan setiap keputusan juri hadiah bukankah tak bisa diganggu gugat?(Memoar Ajip Rosidi 70 tahun, Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam Dalam Kenangan, h.1070). Ia menambahkan: Mengapa (Taufiq, Mochtar, dan lain-lain) tidak mau memaafkan (Pram) padahal menurut ajaran Islam, Allah dan Rasulullah selalu menganjurkan agar memberi maaf?(h.1071).
Dalam tulisan pamungkas untuk memoar tersebut, Tanya Jawab Diri Sendiri, ia menandaskan lagi pandangan Islamnya. +: Menurutmu apa yang penting dalam berIslam? : Melaksanakan keadilan (h.1223). Tentu saja agar berlaku adil, kita harus jujur, artinya kita harus menilai orang lain seperti kita menilai diri kita sendiri. Keadilan dan kejujuran adalah dua hal yang tidak boleh dipisahkan. (h.1224).
Alhasil semua sudah sangat jelas. Tindakan AJ merampas kewenangan juri adalah pelanggaran kode etik dan penyalahgunaan kekuasaan. Maka, AJ harus mengembalikan hak dan wewenang berikut keputusan dewan juri, yaitu: penerima Penghargaan Akademi Jakarta 2013 adalah Martin Aleida!
Yang terakhir tapi bukan yang terburuk, kami menghaturkan selamat ulang tahun ke-76 kepada Ajip Rosidi, semoga mendapatkan pencerahan dan kekuatan untuk mewujudkan fatwa-fatwanya sendiri bagi diri sendiri. Sebagai seorang Islam aku berpegang pada hadis bahwa ketika menghadapi kiamat sekalipun, kita harus menanamkan apa pun walau sebiji sesawi. (h.1220). Amin.
Hormat kami,
Dewan Juri Penghargaan Akademi Jakarta 2013
Sri Astari Rasjid (Ketua)
Leila S. Chudori (Anggota)
Ardjuna Hutagalung (Anggota)
Marselli Sumarno (Anggota)
            * * *
            
              
            
Mengantar siarab Surat Terbuka, wartawan Tempo Dian Yuliastuti Ratnanig Asih, menulis penjelasan, dengan judul:
Penghargaan Akademi Jakarta Menuai Kisruh sbb:
            
            
            
            
              
            
              
            
            
              
            
          
Mengantar siarab Surat Terbuka, wartawan Tempo Dian Yuliastuti Ratnanig Asih, menulis penjelasan, dengan judul:
Penghargaan Akademi Jakarta Menuai Kisruh sbb:
Akademi Jakarta memberikan penghargaan
                  kepada seniman tari I Gusti Kompiang Raka, 28 Desember
                  2013. Namun, pemberian penghargaan ini menimbulkan
                  polemik karena tim dewan juri yang ditugaskan memilih
                  dan menentukan pemenang sebetulnya mengajukan dua nama
                  pemenang, yakni Martin Aleida dan I Gusti Kompiang
                  Raka.
                  
Keputusan Akademi Jakarta ini juga dipertanyakan oleh beberapa seniman, salah satunya Dolorosa Sinaga. “Buat apa ada dewan juri kalau mereka tidak melaksanakannya. Mereka melanggar etika dan bertindak sewenang-wenang,” ujar pematung ini kepada Tempo, Kamis malam, 9 Januari 2014.
                  
Ketua Akademi Jakarta Taufik Abdullah menolak dikatakan sewenang-wenang. Menurut dia, kewenangan juri hanya memberi masukan kepada Akademi Jakarta. "Mereka sebagai fungsi kontrol agar anggota Akademi Jakarta tidak memilih teman sendiri. Keputusan tetap pada kami," ujar Taufik saat ditemui usai rapat di kantor Akademi Jakarta, Jumat, 10 Januari 2014.
                  
Kisruh pemberian penghargaan ini muncul setelah Akademi Jakarta yang diketuai sejarawan Taufik Abdullah menetapkan I Gusti Kompiang Raka sebagai satu-satunya peraih penghargaan. Mereka beralasan seniman Bali ini mempunyai prestasi yang lebih menonjol.
                  
“Kami mengacu pada alasan yang dikemukakan tim juri juga. Kompiang sudah melahirkan ribuan anak didik selama lebih dari 45 tahun berkarya,” ujar salah satu anggota Akademi Jakarta, Ajip Rosidi. Prestasi Kompiang, kata Ajip, lebih meyakinkan.
                  
Keputusan Akademi Jakarta membuat dewan juri mengajukan protes. Tetapi protes itu tidak digubris sehingga mereka memilih mundur sebagai juri dan tidak terlibat dalam pemberian penghargaan itu. Dengan demikian, keputusan pemenang merupakan pilihan Akademi Jakarta, bukan pilihan juri.
                  
Ketua tim juri, Sri Astari Rasjid mengatakan juri diberi mandat untuk memilih pemenang, bukan calon pemenang. Dia menilai Akademi Jakarta menerabas kewenangan juri. “Kami memberi dua nama yang menjadi juara, bukan untuk dipilih salah satu oleh Akademi Jakarta,” kata Astari, Kamis, 9 Januari 2014.
                  
Astari menjelaskan awalnya tim juri memutuskan nama Martin Aleida, tetapi dalam rapat terakhir, anggota Akademi Jakarta Toeti Heraty mengatakan pemenang bisa lebih dari satu. Beberapa tahun lalu, Akademi Jakarta juga pernah memilih dua pemenang. Akhirnya mereka sepakat menambah satu nama lagi, yakni I Gusti Kompiang Raka. Namun, setelah diajukan kepada Akademi Jakarta, nama Martin ditolak.
                  
Meskipun sudah diprotes, Akademi Jakarta tetap memutuskan satu nama, Kompiang Raka. Menurut tim juri, jika Akademi Jakarta menginginkan satu nama, maka tim juri meminta dikembalikan pada keputusan awal mereka yakni Martin Aleida. “Kami tidak diajak berdiskusi, padahal, kan, bisa kalau dibahas lagi,” ujarnya.
                  
Dalam surat balasan atas protes juri tertanggal 28 Desember 2013, Akademi Jakarta mengapresiasi kerja juri dan berkukuh tidak akan mengubah keputusannya. Mereka menilai Kompiang lebih layak menerima penghargaan dibanding Martin.
                  
Menanggapi pembatalan penganugerahan penghargaan kepadanya, Martin menganggap itu tak lepas dari politisasi kebudayaan. Menurutnya, hal ini terkait dengan aktivitas masa lalunya dan sikap Ajip yang membencinya.
                  
Namun tudingan itu dibantah oleh Ayip Rosidi: “Tidak ada alasan kanan kiri bagi saya yang penting kerjanya bener. Dia pernah jadi anggota Dewann Kesenian Jakarta atas uisul saya”, ujarnya.
Keputusan Akademi Jakarta ini juga dipertanyakan oleh beberapa seniman, salah satunya Dolorosa Sinaga. “Buat apa ada dewan juri kalau mereka tidak melaksanakannya. Mereka melanggar etika dan bertindak sewenang-wenang,” ujar pematung ini kepada Tempo, Kamis malam, 9 Januari 2014.
Ketua Akademi Jakarta Taufik Abdullah menolak dikatakan sewenang-wenang. Menurut dia, kewenangan juri hanya memberi masukan kepada Akademi Jakarta. "Mereka sebagai fungsi kontrol agar anggota Akademi Jakarta tidak memilih teman sendiri. Keputusan tetap pada kami," ujar Taufik saat ditemui usai rapat di kantor Akademi Jakarta, Jumat, 10 Januari 2014.
Kisruh pemberian penghargaan ini muncul setelah Akademi Jakarta yang diketuai sejarawan Taufik Abdullah menetapkan I Gusti Kompiang Raka sebagai satu-satunya peraih penghargaan. Mereka beralasan seniman Bali ini mempunyai prestasi yang lebih menonjol.
“Kami mengacu pada alasan yang dikemukakan tim juri juga. Kompiang sudah melahirkan ribuan anak didik selama lebih dari 45 tahun berkarya,” ujar salah satu anggota Akademi Jakarta, Ajip Rosidi. Prestasi Kompiang, kata Ajip, lebih meyakinkan.
Keputusan Akademi Jakarta membuat dewan juri mengajukan protes. Tetapi protes itu tidak digubris sehingga mereka memilih mundur sebagai juri dan tidak terlibat dalam pemberian penghargaan itu. Dengan demikian, keputusan pemenang merupakan pilihan Akademi Jakarta, bukan pilihan juri.
Ketua tim juri, Sri Astari Rasjid mengatakan juri diberi mandat untuk memilih pemenang, bukan calon pemenang. Dia menilai Akademi Jakarta menerabas kewenangan juri. “Kami memberi dua nama yang menjadi juara, bukan untuk dipilih salah satu oleh Akademi Jakarta,” kata Astari, Kamis, 9 Januari 2014.
Astari menjelaskan awalnya tim juri memutuskan nama Martin Aleida, tetapi dalam rapat terakhir, anggota Akademi Jakarta Toeti Heraty mengatakan pemenang bisa lebih dari satu. Beberapa tahun lalu, Akademi Jakarta juga pernah memilih dua pemenang. Akhirnya mereka sepakat menambah satu nama lagi, yakni I Gusti Kompiang Raka. Namun, setelah diajukan kepada Akademi Jakarta, nama Martin ditolak.
Meskipun sudah diprotes, Akademi Jakarta tetap memutuskan satu nama, Kompiang Raka. Menurut tim juri, jika Akademi Jakarta menginginkan satu nama, maka tim juri meminta dikembalikan pada keputusan awal mereka yakni Martin Aleida. “Kami tidak diajak berdiskusi, padahal, kan, bisa kalau dibahas lagi,” ujarnya.
Dalam surat balasan atas protes juri tertanggal 28 Desember 2013, Akademi Jakarta mengapresiasi kerja juri dan berkukuh tidak akan mengubah keputusannya. Mereka menilai Kompiang lebih layak menerima penghargaan dibanding Martin.
Menanggapi pembatalan penganugerahan penghargaan kepadanya, Martin menganggap itu tak lepas dari politisasi kebudayaan. Menurutnya, hal ini terkait dengan aktivitas masa lalunya dan sikap Ajip yang membencinya.
Namun tudingan itu dibantah oleh Ayip Rosidi: “Tidak ada alasan kanan kiri bagi saya yang penting kerjanya bener. Dia pernah jadi anggota Dewann Kesenian Jakarta atas uisul saya”, ujarnya.
* * *

No comments:
Post a Comment