Kolom
IBRAHIM
ISA
Senin,
17 Februari 2014----------------------------------
“RESTORAN INDONESIA
PARIS” Dan “KETIKA BUNG (KARNO) Di ENDE”
*
* *
Sahabatku,
Chalik
Hamid, mendatangi aku dan membisikkan sesuatu padaku pada
akhir acara menonton dua film Indonesia:
Restaurant Indonesia (film
dokumenter) dan
film
cerita (2 jam 10 menit) -- “Ketika Bung di Ende”.
“Yang
hadir 94 orang, Pak Isa”, kata Chalik Hamid sambil tersenyum.
Suatu
kegiatan budaya menonton film Indonesia yang diselenggarakan
oleh
Perhimpunan Persaudaraan Indonesia di Nederland, di gedung
sekolah
Schakel, Diemen, hari Minggu, 16 Februari 2014, itu berakhir
dengan
sukses. Ruangan pertemuan Schakel itu penuh, Sementara hadirin
ada
yang tidak dapat tempat duduk. Kegiatan yang disela makan
lontong-sayur, bakso Indonesia, lemper dan martabak itu
berakhir
dengan masing-masing membawa kesan mendalam sekitar kesadaran
kebangsaan Indonesia. Hadirin punya kesan mendalam Minggu
kemarin
itu.
Seperti
dinyatakan oleh Ketua Perhimpunan Persaudaraan Indonesia di
Nederland, SUNGKONO, pada penutupan acara, dua film yang dipertunjukkan
hari ini baik
sekali. Dalam mempertahankan dan memupuk semangat dan jiwa
kepedulian kita terhadap Tanah Air dan Bangsa.
Dalam
mengkhayati ajaran Bung Karno: JAS MERAH -- JANGAN SEKALI-KALI
MELUPAKAN SEJARAH!
* * *
FILM
DOKUMENTER
“RESATURANT INDONESIA”
Baik
sebelum maupun
setelah
menjabat sebagai presiden, Gus Dur beberapa kali mengunjungi
Restaurant Indonesia, Paris. Ketika datang ke Paris, Presiden
Abdurrahman Wahid memerintahkan duta besar RI untuk mengundang
semua
anggota koperasi Restoran Indonesia ke KBRI. Bagian Kebudayaan
KBRI
di Paris pernah mengatakan: “Restoran
Indonesia adalah duta Indonesia di Paris”.
Betapa tidak
terharu dan bertambah kokoh semangat kita, menyaksikan
dokumenter sekitar Restaurant Indonesia, Paris. Para warga
Indonesia yang paspornya sewenang-wenang dicabut oleh
penguasa militer Indonesia ketika itu (1965/66), karena
mereka menolak mengutuk Presiden Sukarno, namun dengan
semangat berdikari membangun restaurant Indonesia di Paris
agar kawan-kawan senasib bisa mempertahankan hidup di negeri
asing tanpa bersandar pada bantuan negeri. Dan yang lebih
mengharukan lagi, ialah bahwa kawan-kawan baik muda dan tua,
yang berprofesi sebagai jurnalis, dokter, insinyur, aktivis
ormas, pakar mupun yang mahasiswa, tetap mempertahankan
semangat kepedulian dengan Tanah Air dan Bangsa, dengan
menjadikan Restaurant Indonesia, sebagai tempat kegiatan
kebudayaan Indonesia.
Tanpa mempedulikan
intrik dan fitnah dari fihak KBRI Orba ketika itu yang
melarang masyarakat Indonesia dan tamu-tamu dari Indonesia
mengunjungi Resturant Indonesia.
* * *
Yang
lebih mengesankan lagi ialah film yang kedua:
“Ketika
Bung di Ende.”
Dalam penjelasannya
Persaudaran menyampaikan a.l sbb: Lewat film ini kita dibawa
mengikuti Bung Karno dan Ibu Inggit ketika beliau berdua pada
Januari 1934 dibuang oleh
pemerintah Belanda ke Ende di Flores. Bung Karno selama di
pembuangan,meskipun selalu diikuti oleh polisi kolonial,
berusaha
bergaul dengan rakyat setempat. Beliau berusaha memahami fikiran
hidup mereka dan secara pandai mengajar mereka apa arti kata
MERDEKA.
Beradanya Bung Karno di
Ende
telah membantu meningkatkan kesedaran politik rakyat di Ende.
Mereka
diantaranya membantu Bung Karno beliau berkomunikasi dengan
kawan-kawan beliau di Jawa.
Film
feature ini bisa di download sendiri di:
6
dec. 2013 - Geüpload door Egy Massadiah
Cuplikan
Film
Ketika
Bung di Ende
yang diproduseri oleh Egy Massadiah.Pemain Baim Wong ...
*
* *
Sedikitnya
ada tiga hal dalam film “Ketika Bung Di Ende”
yang mungkin kurang atau belum disoroti, atau, bahkan tidak
cukup
diangkat, dalam mengisahkan periode pembuangan Bung Karno ke
Ende.
Yaitu ketika Bung Karno menjelang disengat sakit malaria yang
akut.
Beliau
ketika itu semacam bersemedi, memikirkan situasi dalam
pembuangan dan
nasib haridepan tanah air tercinta. Pemikiran beliau
menunjukkan
semangat dan jiwa revolusioner Bung Karno tak tunduk di bawah
penindasan, penahanan dan pembuangan. Tetap yakin bahwa
perjuangan
berlangsung terus.
Perhatikan kata-kata Bung Karno di bawah ini:
“Aku
memandang lautan dengan hempasan gelombangnya yang besar
berirama
memukul pantai. Dan aku tak henti-hentinya berpikir
bagaimana lautan
tidak pernah bisa diam.
Memang
ada pasang naik dan pasang surut, tapi ia terus bergulung
secara
abadi. Itu sama dengan Revolusi kami, pikirku. Revolusi kami
tidak
akan pernah berhenti. Revolkusi kami, seperti juga lautan,
adalah
hasil ciptaan Tuhan, satu-satunya Maha Penyebab dan juga
Maha
Pencipta. (Buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia”,
Cindy Adams – halaman 164. -- Edisi Indonesia, 2007.
* * *
Kemudian
bagaimana Bung Karno yang semula percaya pda TAHAYUL,
belakangan
membebaskan jiwa dan fikirannya dari kungkungan tahayul tsb.
“Di
Flores aku juga membersihkan diri dari segala tahayul.
Selalu aku
percaya akan adanya hari baik dan hari buruk, aku persaya
pada jimat
yang membawa berkah dan jimat yabng memiliki pengaruh jahat
. . . . .
“Baiklah
aku mempercayainya.
Tidak
lama kemudian aku dibuang ke Flores. Aku tidak begitu lagi
percaya
padanya. Inilah yang membuat aku berniat membuang
kepercayaan yang
picik ini.Dan aku mengatakan kepada diriku, “Bukankah engkau
sudah
melihat betapa jahatnya tahayul ini, sehingga engkau tidak
mau makan
di piring yang retak, karena engkau percaya bahwa hal yang
mengerikan
akan menimpamu kalau engkau melakukannya”. . .. . . … Dengn
terbebasnya aku dari tahayul, tidakkah aku harus berterima
kasih
kepada Flores? (Ibid – halaman 162).
* * *
Suatu
ketika seorang simpatisan Bung Karno di Flores menganjurkan
Bung
Karno melarikan diri dari Flores. Dia, seorang stoker kapal,
bersama
kawan-kawannya akan mengatur sedemikian rupa agar berhasil
rencana
lolos dari Flores. Sehingga Bung Karno bisa langsung
memimpin
perjuangan di tengah-tengah masyarakat yang luas. Simpatisan
stoker
itu menganjurkan agar Bung Karno beekerja secara rahasia.
Ini
jawab Bung Karno pada simpatisannya Sang Stoker itu:
“Kalau
aku kabur, itu hanya kulakukan agar bisa berjuang kembali
untuk
kemerdekaan. Tapi begitu aku melakukan hal itu, akan akan
ditangkap
lagi dan dibuang kembali. Jadi tidak ada gunanya.
“Tidak
dapatkah Bung Karno berjuang secara rahasia?” (tanya
simpatisan)
“Ini
bukan cara Bung Karno. Aku dianggap sebagai lambang dari
perjuangan
kemerdekaan. Dengan tetap tinggal di sini, rakyat dapat
menilai,
bagaimana pemimpin mereka juga menderita untuk cita-cita.
Aku telah
berpikir tentang godaan untuk kabur dan mempertimbangkan
buruk-baiknya.
Agaknya
lebiuh
baik bagi Sukarno untuk tetap menjdi lambang dari
pengorbanan
menuju cita-cita”. (Ibid, halaman 158).
* * *
Jalannya
perkembangan selanjutnya adalah seperti yang diprediksi oleh
Bung
Karno.
SUKARNO
TETAP MENJADI LAMBANG DARI PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA !!
* * *
No comments:
Post a Comment