Friday, February 21, 2014

“RESTORAN INDONESIA PARIS” Dan “KETIKA BUNG (KARNO) Di ENDE”

Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 17 Februari 2014
----------------------------------

RESTORAN INDONESIA PARIS” Dan “KETIKA BUNG (KARNO) Di ENDE”

* * *

Sahabatku, Chalik Hamid, mendatangi aku dan membisikkan sesuatu padaku pada akhir acara menonton dua film Indonesia: Restaurant Indonesia (film dokumenter) dan film cerita (2 jam 10 menit) -- “Ketika Bung di Ende”.

Yang hadir 94 orang, Pak Isa”, kata Chalik Hamid sambil tersenyum.

Suatu kegiatan budaya menonton film Indonesia yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Persaudaraan Indonesia di Nederland, di gedung sekolah Schakel, Diemen, hari Minggu, 16 Februari 2014, itu berakhir dengan sukses. Ruangan pertemuan Schakel itu penuh, Sementara hadirin ada yang tidak dapat tempat duduk. Kegiatan yang disela makan lontong-sayur, bakso Indonesia, lemper dan martabak itu berakhir dengan masing-masing membawa kesan mendalam sekitar kesadaran kebangsaan Indonesia. Hadirin punya kesan mendalam Minggu kemarin itu.

Seperti dinyatakan oleh Ketua Perhimpunan Persaudaraan Indonesia di Nederland, SUNGKONO, pada penutupan acara, dua film yang dipertunjukkan hari ini baik sekali. Dalam mempertahankan dan memupuk semangat dan jiwa kepedulian kita terhadap Tanah Air dan Bangsa.

Dalam mengkhayati ajaran Bung Karno: JAS MERAH -- JANGAN SEKALI-KALI MELUPAKAN SEJARAH!

* * *

FILM DOKUMENTER “RESATURANT INDONESIA”
Baik sebelum maupun setelah menjabat sebagai presiden, Gus Dur beberapa kali mengunjungi Restaurant Indonesia, Paris. Ketika datang ke Paris, Presiden Abdurrahman Wahid memerintahkan duta besar RI untuk mengundang semua anggota koperasi Restoran Indonesia ke KBRI. Bagian Kebudayaan KBRI di Paris pernah mengatakan: Restoran Indonesia adalah duta Indonesia di Paris”.

    Betapa tidak terharu dan bertambah kokoh semangat kita, menyaksikan dokumenter sekitar Restaurant Indonesia, Paris. Para warga Indonesia yang paspornya sewenang-wenang dicabut oleh penguasa militer Indonesia ketika itu (1965/66), karena mereka menolak mengutuk Presiden Sukarno, namun dengan semangat berdikari membangun restaurant Indonesia di Paris agar kawan-kawan senasib bisa mempertahankan hidup di negeri asing tanpa bersandar pada bantuan negeri. Dan yang lebih mengharukan lagi, ialah bahwa kawan-kawan baik muda dan tua, yang berprofesi sebagai jurnalis, dokter, insinyur, aktivis ormas, pakar mupun yang mahasiswa, tetap mempertahankan semangat kepedulian dengan Tanah Air dan Bangsa, dengan menjadikan Restaurant Indonesia, sebagai tempat kegiatan kebudayaan Indonesia.
    Tanpa mempedulikan intrik dan fitnah dari fihak KBRI Orba ketika itu yang melarang masyarakat Indonesia dan tamu-tamu dari Indonesia mengunjungi Resturant Indonesia.

* * *

Yang lebih mengesankan lagi ialah film yang kedua:
Ketika Bung di Ende.”
Dalam penjelasannya Persaudaran menyampaikan a.l sbb: Lewat film ini kita dibawa mengikuti Bung Karno dan Ibu Inggit ketika beliau berdua pada
Januari 1934 dibuang oleh pemerintah Belanda ke Ende di Flores. Bung Karno selama di pembuangan,meskipun selalu diikuti oleh polisi kolonial, berusaha bergaul dengan rakyat setempat. Beliau berusaha memahami fikiran hidup mereka dan secara pandai mengajar mereka apa arti kata MERDEKA.

Beradanya Bung Karno di Ende telah membantu meningkatkan kesedaran politik rakyat di Ende. Mereka diantaranya membantu Bung Karno beliau berkomunikasi dengan kawan-kawan beliau di Jawa.

Film feature ini bisa di download sendiri di:
6 dec. 2013 - Geüpload door Egy Massadiah
Cuplikan Film Ketika Bung di Ende yang diproduseri oleh Egy Massadiah.Pemain Baim Wong ...

* * *

Sedikitnya ada tiga hal dalam film “Ketika Bung Di Ende” yang mungkin kurang atau belum disoroti, atau, bahkan tidak cukup diangkat, dalam mengisahkan periode pembuangan Bung Karno ke Ende. Yaitu ketika Bung Karno menjelang disengat sakit malaria yang akut.

Beliau ketika itu semacam bersemedi, memikirkan situasi dalam pembuangan dan nasib haridepan tanah air tercinta. Pemikiran beliau menunjukkan semangat dan jiwa revolusioner Bung Karno tak tunduk di bawah penindasan, penahanan dan pembuangan. Tetap yakin bahwa perjuangan berlangsung terus.

Perhatikan kata-kata Bung Karno di bawah ini:

Aku memandang lautan dengan hempasan gelombangnya yang besar berirama memukul pantai. Dan aku tak henti-hentinya berpikir bagaimana lautan tidak pernah bisa diam.

Memang ada pasang naik dan pasang surut, tapi ia terus bergulung secara abadi. Itu sama dengan Revolusi kami, pikirku. Revolusi kami tidak akan pernah berhenti. Revolkusi kami, seperti juga lautan, adalah hasil ciptaan Tuhan, satu-satunya Maha Penyebab dan juga Maha Pencipta. (Buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, Cindy Adams – halaman 164. -- Edisi Indonesia, 2007.

* * *
Kemudian bagaimana Bung Karno yang semula percaya pda TAHAYUL, belakangan membebaskan jiwa dan fikirannya dari kungkungan tahayul tsb.

Di Flores aku juga membersihkan diri dari segala tahayul. Selalu aku percaya akan adanya hari baik dan hari buruk, aku persaya pada jimat yang membawa berkah dan jimat yabng memiliki pengaruh jahat . . . . .

Baiklah aku mempercayainya.
Tidak lama kemudian aku dibuang ke Flores. Aku tidak begitu lagi percaya padanya. Inilah yang membuat aku berniat membuang kepercayaan yang picik ini.Dan aku mengatakan kepada diriku, “Bukankah engkau sudah melihat betapa jahatnya tahayul ini, sehingga engkau tidak mau makan di piring yang retak, karena engkau percaya bahwa hal yang mengerikan akan menimpamu kalau engkau melakukannya”. . .. . . … Dengn terbebasnya aku dari tahayul, tidakkah aku harus berterima kasih kepada Flores? (Ibid – halaman 162).

* * *

Suatu ketika seorang simpatisan Bung Karno di Flores menganjurkan Bung Karno melarikan diri dari Flores. Dia, seorang stoker kapal, bersama kawan-kawannya akan mengatur sedemikian rupa agar berhasil rencana lolos dari Flores. Sehingga Bung Karno bisa langsung memimpin perjuangan di tengah-tengah masyarakat yang luas. Simpatisan stoker itu menganjurkan agar Bung Karno beekerja secara rahasia.

Ini jawab Bung Karno pada simpatisannya Sang Stoker itu:
Kalau aku kabur, itu hanya kulakukan agar bisa berjuang kembali untuk kemerdekaan. Tapi begitu aku melakukan hal itu, akan akan ditangkap lagi dan dibuang kembali. Jadi tidak ada gunanya.

Tidak dapatkah Bung Karno berjuang secara rahasia?” (tanya simpatisan)

Ini bukan cara Bung Karno. Aku dianggap sebagai lambang dari perjuangan kemerdekaan. Dengan tetap tinggal di sini, rakyat dapat menilai, bagaimana pemimpin mereka juga menderita untuk cita-cita. Aku telah berpikir tentang godaan untuk kabur dan mempertimbangkan buruk-baiknya.

Agaknya lebiuh baik bagi Sukarno untuk tetap menjdi lambang dari pengorbanan menuju cita-cita”. (Ibid, halaman 158).

* * *

Jalannya perkembangan selanjutnya adalah seperti yang diprediksi oleh Bung Karno.

SUKARNO TETAP MENJADI LAMBANG DARI PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA !!

* * *










No comments: