Kolom
IBRAHIM
            ISA
Selasa,
          11 Februari 2014-----------------------------------
"KENAPA
            DISKUSI BUKU TAN MALAKA 
    
DIGANGGU
ORMAS
            DI SURABAYA ?”
*
            * *
Pertanyaan
          diatas: “Kenapa Diskusi Buku Tan Malaka Diganggu di Surbaya” –
          aslinya adalah dari Penerbit Buku Ultimus, Bandung yang bisa
          dibaca
          di FaceBook, dan disiarkan di bawah sebagai lampiran --
          berbunyi
          sbb: 
    
“Kenapa
            sampai hari ini masih terjadi diskusi buku Tan Malaka
            diganggu ormas
            di Surabaya?”
Jawaban atas pertanyaan tsb
            diatas kiranya bisa diperoleh, bila dibaca
            sebuah berita yang “cespleng”. Disiarkan di
            FaceBook
            oleh “NB”. 
    
Bocoran “Wikileaks” membuka, --
            sesuatu yang sesungguhnya bukan rahasia
            lagi. Bahwa 'mendanai FPI, adalah tradisi aparat
            keamanan
            negeri Indonesia – Polri dan BIN. Kali ini dalam dokumen
            terbarunya “Wikileaks” memaparkan
            hubungan antara polisi dengan ormas Front Pembela Islam
            (FPI). Mantan
            Kapolri yang kini menjadi Kepala BIN, Jenderal (Purn)
            Sutanto, adalah
            tokoh yang telah mendanai FPI. Selanjutnya '"Yahya Asagaf,
            seorang pejabat senior BIN mengatakan, Sutanto yang saat itu
            menjadi
            Kapolri menganggap FPI bermanfaat sebagai ‘attack
            dog’,”
          
    
Dinyatakan
            . . . Pendanaan dari Sutanto itu diberikan sebelum serangan
            yang
            dilakukan FPI ke Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta,
            Februari
            2006 silam.
            
Saat pejabat kedutaan AS menanyakan manfaat FPI memainkan peran ‘attack dog’ itu, karena sebenarnya polisi sudah cukup menakutkan bagi masyarakat, Yahya menjelaskan bahwa FPI digunakan sebagai ‘alat’ oleh polisi, agar petugas keamanan itu tidak menerima kritik terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia. Disebutkan juga bahwa mendanai FPI adalah sudah tradisi di lingkungan Polri dan BIN.
Saat pejabat kedutaan AS menanyakan manfaat FPI memainkan peran ‘attack dog’ itu, karena sebenarnya polisi sudah cukup menakutkan bagi masyarakat, Yahya menjelaskan bahwa FPI digunakan sebagai ‘alat’ oleh polisi, agar petugas keamanan itu tidak menerima kritik terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia. Disebutkan juga bahwa mendanai FPI adalah sudah tradisi di lingkungan Polri dan BIN.
Logikanya
            . . . Yang “main” di belakang layar dalam peristiwa
            pelarangan
            bedah-buku Tan Malaka, dalangnya
            adalah POLRI dan BI. FPI semata-mata dijadikan alat saja.
            Oleh
            karena itu tidak mengherankan ketika orang-orang FPI
            mendatangi
            alamat yang direncanakan jadi tempat bedah-buku Prof Dr
            Harry Poeze, TAN MALAKA, GERAKAN KIRI, Dan REVOLUSI
            INDONESIA – Edisi
            Indonesia, di
                  C20 Library, Jalan Dr Cipto, Surabaya, untuk
                  membubarkan pertemuan,
                  aparat Kepolisian yang hadir di tempat tenang-tenang
                  saja.. Tujuan
                  mereka sudah tercapai. Pertemuan
SUDAH
                  DIBUBARKAN POLISI.,
Logika
                  lainnya, ialah, …. Polri yang tugasnya sesungguhnya
                  harus waspada
                  sebagai alat negara pelindung hukum, membela negara
                  hukum . .. malah
                  menggerowoti bahkan mensabot penegakkan negara hukum
                  Indonesia.
* * *
Penulis
                  Harry Poeze menjelaskan . .bahwa buku 'Tan Malaka,
                  Gerakan Kiri, dan
                  Revolusi Indonesia Jilid 4, menceritakan perjuangan
                  Tan Malaka
                  mempertahankan Republik Indonesia.
Buku
                  ini menceritakan babak terakhir perjalanan hidup Tan
                  Malaka, sejak
                  September 1948-Desember 1949. Dalam setiap pertemuan
                  maupun pamflet
                  yang dia tulis selama di Jawa Timur, Tan Malaka
                  menuangkan gagasannya
                  akan cita-cita Merdeka 100 Persen. 
    
Jadi,
                  tudingan bahwa Tan Malaka berjuang untuk kelompoknya
                  tidaklah benar.
                  Tan Malaka berjuang memberikan pijakan bagi bangsa. --
                  ( Lihat -- Ari
                  Purwanto – (Tribunenewa.com)
* * *
Politik,
                  sikap dan pendirian aparat keamanan: PORI dan BNI
                  menjadi jelas: Ini
                  bisa dilihat dari pertanyaan Ketua Bagian Amar Ma'ruf
                  Nahi Mungkar
                  FPI Jawa Timur, KH Dhofir (Aktual,co – 08-02-'14). Ia
                  menjelaskan
                  bahwa “diskusi Tan Malaka bisa mengancam kekacauan.”
                  Selanjutnya KH Dhofir: “Tan Malaka, adalah sosok
                  komunis. Meskipun
                  dikatakan pejuang, tetapi Tan Malaka hanya
                  memperjuangkan orang-orang
                  komunis” 
"Bukankah
                  Tap MPR RI tentang pelarangan aktivitas partai komunis
                  masih berlaku
                  di Indonesia?" tanya KH Dhofir.
* * *
Sehubungan
                  dengan TAP MPRS No XXV, 1966, penulis Ari Purwanto
                  menuturkan a.l sbb:
Soal
                pencabutan TAP MPRS XXV Tahun 1966, alangkah baiknya
                jika membaca
                ulang alur pikir Gus Dur. Gus Dur mengusulkan pencabutan
                karena
                dianggapnya telah usang alias out of date.
Dari
                media massa sedikitnya dapat diketahui tiga alasan
                objektif Gus Dur.
              Pertama,
                bahwa konsep Marxisme telah dipelajari terbuka di
                lingkungan
                perguruan tinggi.Kedua,
                era komunis telah berakhir seiring berakhirnya negara
                Uni Sofiet di
                ujung babak perang dingin.
Ketiga,
                dendam sejarah masa lalu harus disingkirkan demi menata
                kehidupan
                Indonesia yang lebih baik ke depan.
Humanisme
                Gus Dur adalah alasan paling jelas mengapa ia
                melontarkan gagasan
                pencabutan TAP MPRS XXV/1966. (Ari Purwanto)
* * *
Masaalah
                pembubaran atau larangan bedah-buku karya penulis
                Belanda Prof Dr
                Harry Poeze, berjudul TAN
                  MALAKA,
                  GERAKAN KIRI, Dan REVOLUSI INDONESIA, Jilid IV, telah
                  mengundang
                  PENERBT ULTIMUS mengeluarkan pengunuman bedah buku
                  baru 
    
yang
                  isinya akan memberikan tambahan jawaban terhadap
                  pertanyaan yang
                  diajukan. 
    
Di
                  bawah ini selengkapnya siaran Penerbit Ultimus,
                  Bandung: 
    
*
          * *
Lampiran:
BUKU
ULTIMUS
            – 07 FEB 2014
Kenapa sampai hari ini masih terjadi diskusi
              buku Tan Malaka diganggu ormas di Surabaya?
            
Temukan nanti jawabannya di sini:
            
Peluncuran / Diskusi Buku:
Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film.
Penulis: Wijaya Herlambang, Penerbit: MarjinKiri, 2013.
            
Hari Minggu, 2 Maret 2014, pukul 15.00-18.00 WIB
Gedung Indonesia Menggugat, Jl. Perintis Kemerdekaan 5, Bandung
            
Pembicara:
1. Wijaya Herlambaqng, PhD. (University of Queensland, penulis buku ini)
2. Martin Saryajaya (Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013, penulis beberapa buku filsafat)
Moderator: Zaky Yamani (Ketua AJI Bandung)
            
Nantikan info lebih lengkapnya...
            
Sedikit keterangan buku ini:
Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan FilmWijaya HerlambangISBN 978-979-1260-26-8334 + xiv hlm.; 14 x 20,3 cm.Rp 72.000,-
            
“Saat moralitas dibangun di atas kuburan massal dan diamankan melalui teror serta kebohongan, kehampaan moral tak syak lagi terjadi. Wijaya Herlambang dengan cemerlang menganalisa perkembangan historis dan dinamika diskursif dari kehampaan ini, menguak gagasan-gagasan yang membuat kebohongan tampak benar.”— Joshua Oppenheimer, sutradara film dokumenter The Act of Killing
            
Orde Baru sukses dalam memelintir sejarah kiri di Indonesia untuk mencitrakannya sebagai ideologi iblis yang menjadi ancaman terbesar bagi negara. Terbukti, jauh sesudah Orde Baru jatuh, anti-komunisme tetap bercokol kuat dalam masyarakat Indonesia. Buku ini menjelajahi kembali faktor-faktor yang membentuk dan memelihara ideologi anti-komunis itu, bukan saja sebagai hasil dari kampanye politik, melainkan juga hasil dari agresi kebudayaan, terutama melalui pembenaran atas kekerasan yang dialami oleh anggota dan simpatisan komunis pada 1965-1966.
            
Buku ini menganalisis upaya pemerintah Orde Baru beserta agen-agen kebudayaannya dalam memanfaatkan produk-produk budaya untuk melegitimasi pembantaian 1965-1966. Dengan bukti-bukti empiris ditunjukkan bahwa intervensi langsung CIA kepada para penulis dan budayawan liberal Indonesia untuk membentuk ideologi anti-komunisme bukanlah isapan jempol belaka. Siapa saja penulis yang terlibat? Bagaimana metodenya?
            
Sebagai tambahan, buku ini juga menganalisis perlawanan kelompok-kelompok kebudayaan Indonesia kontemporer terhadap warisan anti-komunisme Orde Baru itu. Deikian Penerbit Ultimus, Bandung.
Temukan nanti jawabannya di sini:
Peluncuran / Diskusi Buku:
Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film.
Penulis: Wijaya Herlambang, Penerbit: MarjinKiri, 2013.
Hari Minggu, 2 Maret 2014, pukul 15.00-18.00 WIB
Gedung Indonesia Menggugat, Jl. Perintis Kemerdekaan 5, Bandung
Pembicara:
1. Wijaya Herlambaqng, PhD. (University of Queensland, penulis buku ini)
2. Martin Saryajaya (Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013, penulis beberapa buku filsafat)
Moderator: Zaky Yamani (Ketua AJI Bandung)
Nantikan info lebih lengkapnya...
Sedikit keterangan buku ini:
Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan FilmWijaya HerlambangISBN 978-979-1260-26-8334 + xiv hlm.; 14 x 20,3 cm.Rp 72.000,-
“Saat moralitas dibangun di atas kuburan massal dan diamankan melalui teror serta kebohongan, kehampaan moral tak syak lagi terjadi. Wijaya Herlambang dengan cemerlang menganalisa perkembangan historis dan dinamika diskursif dari kehampaan ini, menguak gagasan-gagasan yang membuat kebohongan tampak benar.”— Joshua Oppenheimer, sutradara film dokumenter The Act of Killing
Orde Baru sukses dalam memelintir sejarah kiri di Indonesia untuk mencitrakannya sebagai ideologi iblis yang menjadi ancaman terbesar bagi negara. Terbukti, jauh sesudah Orde Baru jatuh, anti-komunisme tetap bercokol kuat dalam masyarakat Indonesia. Buku ini menjelajahi kembali faktor-faktor yang membentuk dan memelihara ideologi anti-komunis itu, bukan saja sebagai hasil dari kampanye politik, melainkan juga hasil dari agresi kebudayaan, terutama melalui pembenaran atas kekerasan yang dialami oleh anggota dan simpatisan komunis pada 1965-1966.
Buku ini menganalisis upaya pemerintah Orde Baru beserta agen-agen kebudayaannya dalam memanfaatkan produk-produk budaya untuk melegitimasi pembantaian 1965-1966. Dengan bukti-bukti empiris ditunjukkan bahwa intervensi langsung CIA kepada para penulis dan budayawan liberal Indonesia untuk membentuk ideologi anti-komunisme bukanlah isapan jempol belaka. Siapa saja penulis yang terlibat? Bagaimana metodenya?
Sebagai tambahan, buku ini juga menganalisis perlawanan kelompok-kelompok kebudayaan Indonesia kontemporer terhadap warisan anti-komunisme Orde Baru itu. Deikian Penerbit Ultimus, Bandung.
* * *

No comments:
Post a Comment