Saturday, February 15, 2014

"KENAPA DISKUSI BUKU TAN MALAKA DIGANGGU ORMAS DI SURABAYA ?”

Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 11 Februari 2014
-----------------------------------
"KENAPA DISKUSI BUKU TAN MALAKA
DIGANGGU ORMAS DI SURABAYA ?”

* * *

Pertanyaan diatas: “Kenapa Diskusi Buku Tan Malaka Diganggu di Surbaya” – aslinya adalah dari Penerbit Buku Ultimus, Bandung yang bisa dibaca di FaceBook, dan disiarkan di bawah sebagai lampiran -- berbunyi sbb:

Kenapa sampai hari ini masih terjadi diskusi buku Tan Malaka diganggu ormas di Surabaya?”

Jawaban atas pertanyaan tsb diatas kiranya bisa diperoleh, bila dibaca sebuah berita yang “cespleng”. Disiarkan di FaceBook oleh “NB”.

Bocoran “Wikileaks” membuka, -- sesuatu yang sesungguhnya bukan rahasia lagi. Bahwa 'mendanai FPI, adalah tradisi aparat keamanan negeri Indonesia – Polri dan BIN. Kali ini dalam dokumen terbarunya “Wikileaks” memaparkan hubungan antara polisi dengan ormas Front Pembela Islam (FPI). Mantan Kapolri yang kini menjadi Kepala BIN, Jenderal (Purn) Sutanto, adalah tokoh yang telah mendanai FPI. Selanjutnya '"Yahya Asagaf, seorang pejabat senior BIN mengatakan, Sutanto yang saat itu menjadi Kapolri menganggap FPI bermanfaat sebagai ‘attack dog’,”

Dinyatakan . . . Pendanaan dari Sutanto itu diberikan sebelum serangan yang dilakukan FPI ke Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Februari 2006 silam.

Saat pejabat kedutaan AS menanyakan manfaat FPI memainkan peran ‘attack dog’ itu, karena sebenarnya polisi sudah cukup menakutkan bagi masyarakat, Yahya menjelaskan bahwa
FPI digunakan sebagai ‘alat’ oleh polisi, agar petugas keamanan itu tidak menerima kritik terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia. Disebutkan juga bahwa mendanai FPI adalah sudah tradisi di lingkungan Polri dan BIN.

Logikanya . . . Yang “main” di belakang layar dalam peristiwa pelarangan bedah-buku Tan Malaka, dalangnya adalah POLRI dan BI. FPI semata-mata dijadikan alat saja. Oleh karena itu tidak mengherankan ketika orang-orang FPI mendatangi alamat yang direncanakan jadi tempat bedah-buku Prof Dr Harry Poeze, TAN MALAKA, GERAKAN KIRI, Dan REVOLUSI INDONESIA – Edisi Indonesia, di C20 Library, Jalan Dr Cipto, Surabaya, untuk membubarkan pertemuan, aparat Kepolisian yang hadir di tempat tenang-tenang saja.. Tujuan mereka sudah tercapai. Pertemuan SUDAH DIBUBARKAN POLISI.,

Logika lainnya, ialah, …. Polri yang tugasnya sesungguhnya harus waspada sebagai alat negara pelindung hukum, membela negara hukum . .. malah menggerowoti bahkan mensabot penegakkan negara hukum Indonesia.

* * *

Penulis Harry Poeze menjelaskan . .bahwa buku 'Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4, menceritakan perjuangan Tan Malaka mempertahankan Republik Indonesia.

Buku ini menceritakan babak terakhir perjalanan hidup Tan Malaka, sejak September 1948-Desember 1949. Dalam setiap pertemuan maupun pamflet yang dia tulis selama di Jawa Timur, Tan Malaka menuangkan gagasannya akan cita-cita Merdeka 100 Persen.

Jadi, tudingan bahwa Tan Malaka berjuang untuk kelompoknya tidaklah benar. Tan Malaka berjuang memberikan pijakan bagi bangsa. -- ( Lihat -- Ari Purwanto – (Tribunenewa.com)



* * *

Politik, sikap dan pendirian aparat keamanan: PORI dan BNI menjadi jelas: Ini bisa dilihat dari pertanyaan Ketua Bagian Amar Ma'ruf Nahi Mungkar FPI Jawa Timur, KH Dhofir (Aktual,co – 08-02-'14). Ia menjelaskan bahwa “diskusi Tan Malaka bisa mengancam kekacauan.” Selanjutnya KH Dhofir: “Tan Malaka, adalah sosok komunis. Meskipun dikatakan pejuang, tetapi Tan Malaka hanya memperjuangkan orang-orang komunis” 

"Bukankah Tap MPR RI tentang pelarangan aktivitas partai komunis masih berlaku di Indonesia?" tanya KH Dhofir.

* * *

Sehubungan dengan TAP MPRS No XXV, 1966, penulis Ari Purwanto menuturkan a.l sbb:

Soal pencabutan TAP MPRS XXV Tahun 1966, alangkah baiknya jika membaca ulang alur pikir Gus Dur. Gus Dur mengusulkan pencabutan karena dianggapnya telah usang alias out of date.

Dari media massa sedikitnya dapat diketahui tiga alasan objektif Gus Dur. Pertama, bahwa konsep Marxisme telah dipelajari terbuka di lingkungan perguruan tinggi.Kedua, era komunis telah berakhir seiring berakhirnya negara Uni Sofiet di ujung babak perang dingin.
Ketiga, dendam sejarah masa lalu harus disingkirkan demi menata kehidupan Indonesia yang lebih baik ke depan.

Humanisme Gus Dur adalah alasan paling jelas mengapa ia melontarkan gagasan pencabutan TAP MPRS XXV/1966. (Ari Purwanto)

* * *

Masaalah pembubaran atau larangan bedah-buku karya penulis Belanda Prof Dr Harry Poeze, berjudul TAN MALAKA, GERAKAN KIRI, Dan REVOLUSI INDONESIA, Jilid IV, telah mengundang PENERBT ULTIMUS mengeluarkan pengunuman bedah buku baru
yang isinya akan memberikan tambahan jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan.

Di bawah ini selengkapnya siaran Penerbit Ultimus, Bandung:

* * *

Lampiran:

BUKU ULTIMUS – 07 FEB 2014
Kenapa sampai hari ini masih terjadi diskusi buku Tan Malaka diganggu ormas di Surabaya?

Temukan nanti jawabannya di sini:

Peluncuran / Diskusi Buku:

Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film.

Penulis: Wijaya Herlambang, Penerbit: MarjinKiri, 2013.

Hari Minggu, 2 Maret 2014, pukul 15.00-18.00 WIB
Gedung Indonesia Menggugat, Jl. Perintis Kemerdekaan 5, Bandung


Pembicara:
1. Wijaya Herlambaqng, PhD. (University of Queensland, penulis buku ini)
2. Martin Saryajaya (Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013, penulis beberapa buku filsafat)
Moderator: Zaky Yamani (Ketua AJI Bandung)

Nantikan info lebih lengkapnya...

Sedikit keterangan buku ini:
Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan FilmWijaya HerlambangISBN 978-979-1260-26-8334 + xiv hlm.; 14 x 20,3 cm.Rp 72.000,-

“Saat moralitas dibangun di atas kuburan massal dan diamankan melalui teror serta kebohongan, kehampaan moral tak syak lagi terjadi. Wijaya Herlambang dengan cemerlang menganalisa perkembangan historis dan dinamika diskursif dari kehampaan ini, menguak gagasan-gagasan yang membuat kebohongan tampak benar.”— Joshua Oppenheimer, sutradara film dokumenter The Act of Killing

Orde Baru sukses dalam memelintir sejarah kiri di Indonesia untuk mencitrakannya sebagai ideologi iblis yang menjadi ancaman terbesar bagi negara. Terbukti, jauh sesudah Orde Baru jatuh, anti-komunisme tetap bercokol kuat dalam masyarakat Indonesia. Buku ini menjelajahi kembali faktor-faktor yang membentuk dan memelihara ideologi anti-komunis itu, bukan saja sebagai hasil dari kampanye politik, melainkan juga hasil dari agresi kebudayaan, terutama melalui pembenaran atas kekerasan yang dialami oleh anggota dan simpatisan komunis pada 1965-1966.

Buku ini menganalisis upaya pemerintah Orde Baru beserta agen-agen kebudayaannya dalam memanfaatkan produk-produk budaya untuk melegitimasi pembantaian 1965-1966. Dengan bukti-bukti empiris ditunjukkan bahwa intervensi langsung CIA kepada para penulis dan budayawan liberal Indonesia untuk membentuk ideologi anti-komunisme bukanlah isapan jempol belaka. Siapa saja penulis yang terlibat? Bagaimana metodenya?

Sebagai tambahan, buku ini juga menganalisis perlawanan kelompok-kelompok kebudayaan Indonesia kontemporer terhadap warisan anti-komunisme Orde Baru itu. Deikian Penerbit Ultimus, Bandung.

* * *


No comments: