Kolom
IBRAHIM
          ISA
Selasa, 28 Januari 2014--------------------------------
Film “THE ACT OF KILLING” UNGKAP CITRA BURUK REZIM
            ORDE BARU . . .
* * *
Michel Maas : “Indonesië boos over Oscarnominatie voor “Act of
            Killing” 
*
          * *
Koresponden s.k nasional
        Belanda “de Volkskrant” di Jakarta,  Michel Maas, kemarin
        menulis laporan dengan judul “Indonesië boos over
          Oscarnominatie voor “Act of Killing”. (,”de Volkskrant”27
        Januari 2014).  
Terjemahan bebasnya kira-kira:
        “Indonesia Marah karena Nominasi Oscar Untuk 'The Act of
          Killing' .Michel Maas tampak berusaha menulis “apa
        adanya”, memenuhi misi kegiatan jurnalistik.  
Liputan Michel Maas dari
        Jakarta, selama ini boleh dikatakan mencerminkan hal itu. Bisa
        dibaca lagi liputan-liputan Michel Maas teristimewa yang
        bersangkutan kasus “Rawagede”, dimana akhirnya Pengadilan Den
        Haag memutuskan pemerintah Belanda bertanggung jawab atas
        pembantaian ratusan penduduk desa Rawagede oleh tentara Belanda
        pada periode Agresu Ke-II Belanda terhadap Republik Indonesia.
Liputan Michel Maas kali, dengan
          tajam menganalisis watak munafik pemerinth SBY yang melalui
          jubirnya Teuku Faizasyah, menyatakan “kemarahan” dan
          “tersinggung”. . . berhubung film dokumenter “The Act of
          Killing” dinominasi untuk diberi “Oscar Award”. Tulisan
          wartawan Belanda itu juga “menguliti” sikap pemerintah yang
          masih terus saja “tutup-telinga”, “tutup mata” dan “tutup
          mulut” mengenai Peristiwa 1965. , Sungguh kekanak-kanakan dan bodoh argumen jubir SBY
          yang menunjuk pada berkecamuknya “Perang Dingin” untuk
          membenarkan terjadinya pembantaian masal terhadap orang-orang
          PKI dan kiri lainnya pendukung Presiden Sukarno ketika itu. 
* * *
Kita ikuti tulisan M. Maas,
        a.l. : . . .  
“Film dokumenter The Act of
        Killing menyajikan jengukan (ke adegan-adegan) yang mempesonakan
        mengenai pembunuhan masal 1965, Di tahun itu, atas perindah
        diktator Suharto ratusan ribu orang Indonesia dibunuh karena
        mereka dituduh terlibat Partai Komunis. PKI dianggap
        bertanggungjawab atas kudeta yang gagal dan pembunuhan atas
        tujuh jendral. Pembunuhan terhadap orang-orang 'komunis' tidak
        saja dilakukan oleh tentara, tetapi juga dilakukan oleh
        anggota-anggota pemuda Islam, dan oleh kriminil-kriminil
        setempat . .
“Dokumenter 'The Act of Killing'
        mengikuti Anwar Congo, salah seorang dari kriminil-kriminil
        'teri' itu, dan beberapa lagi dari konco-konconya., yang secara
        terus terang mengakui pembunuhan tsb. Mereka tidak saja
        membantai orang-orang Komunis, demikian pengakuan mereka, tetapi
        juga membabat yang lain-lain terhadap siapa mereka menaruh
        benci, dan empat puluh tahun kemudian mereka masih bisa selalu
        tertawa-senang dengan perbuatan mereka itu.  
“Yang membikin orang paling
        tercengang-cengang mengeni dokumenter ini, ialah, bahwa, sama
        sekali tidak adanya penyesalan dan rasa malu, tidak saja pada
        para jagal itu, tetapi pada sebagian besar penduduk Indonesia.
        Pembunuh Anwar Congo misalnya, -- dielu-elukan sebagai pahlawan,
        ketika ia jadi tamu dalam suatu acara 'talkshow' di sebuah
        program TV Indonesia. (Betul apa yang ditulis koresponden Maas
        itu, karena kebetulan aku ikut menyaksikan siaran TV Inbdonesia
        tsb I.I. )  
“Namun, hadirin di TV tsb tidak
        boleh disesalkan. Kebanyakan orang Indonesia tidak mengetahui
        versi lain mengenai sejarah, selain yang disajikan Suharto,
        bahwa dibunuhnya orang-orang Komunis tahun 1965, karena mereka
        memang adalah binatang-binatang yang harus mati. Versi sejarah
        macam itu sudah empat puluh tahun lamanya diajarkan di
        sekolah-sekolah, dan itu tidak bisa ditiadakan oleh saebuah film
        saja.
“Tetapi The Act of Killing disebabkan oleh banyaknya
          memperoleh hadiah dan publisitas, sekarang ini sudah melampaui
          jauh dari apa yang diinginkan oleh pemerintah.
“Di Indonesia film itu tidak
        pernah dilarang, tetapi juga tidak diizinkan.. Tidak ada satu
        bioskoppun yang berani memutarnya. Namun film dokumter itu tokh
        menemukan jalan keluarnya ke masyarakat: melalui pertunjukkan
        klandestin di pelbagai universitas, ruang-ruang pertemuan privé
        , dan pelbagai pusat-pusat budaya, ribuan porang Indonesia sudah
        melihatnya. Kebanyakan dari mereka itu adalah anak-anak muda
        Indonesia. Mereka menyaksikan bagaimana Congo mendemonstrasikan
        ia membunuh korbannya dengan menggunakan kawat baja.  
“Akhirnya para produser film
        dokumenter tsb melemparkannya ke media internet, dan semua orang
        Indonesdia dapat “mendownload”:-nya.
“Sesudah itu hampir sunyi senyap . . tetapi nominasi
          Oscar Award, sekarang ini telah menimbulkan gelombang baru
          publikasi dan diskusi-diskusi yang sengit.  
“Komentar-komentar koran-koran
        akhirnya menyerukan “untuk mengakhiri sikap tidak mau mengakui
        dan keadaan impunitas (The Jakarta |Gobe). Dan pemerintah
        katanya “sedang sibuk” bekaitan dengan kasus itu.. . . . . .
Michel Maas lalu mengakhiri
        tulisannya dengan kalimat-kalimat ini:
“Bila “The Act of Killkng benar-benar menggondol
          Hadiah Oscar, maka Indonesia akan lebih sibuk lagi
          menghadapinya, dan pasti tidak menginginkan hal itu terjdi
          pada Oscar pertama yang diperoleh Indonesia.
* * *
Begitu jeli mata wartawan
        Michel Maas menlihat “ramai-samai” di Indonesia sekitar
        dinominasinya film dokumenter “The Act of Killing” sebagai
        pemenang |Oscar Award.
* * *
Dengan demikian, jadinya . . .
        . yang marah karena film dokumenter “The Act of Killing”
        dinominasi untuk Oscar Award, bukanlah Indonesia. Bukan,
        bukan Indonesia yang marah! Tapi jubir Presiden SBY yang
        marah-marah dan tersinggung. Yang gusar dan berhati berang dan
        kecut, adalah mereka-mereka yang terlibat dengan palanggaran HAM
        berat itu. Yang kalang kabut adalah para pendukung politik rezim
        Orde Baru.  
Di lain fihak, semakin luas
        masyarakat Indonesia yang justru merasa lega dengan nominasi
        Oscar Award untuk film dokumenter “The Act of Killing”, , ,
        karena dengan demikian semakin terungkap kebenaran mengenai
        Peristiwa Pembantaian masal 1965. . .. semakin melangkah lagi ke
        pengungkapan keseluruhan pelanggaran berat HAM yang terjadi di
        sekitar Peristiwa 1965. Semakin dekat sikap LUPA terekspos dan
        mengalami kebangkrutannya!.  
Selanjutnya
          melangkah maju ke PELURUSAN SEJARAH!
* * *
Lampiran  (kutipan)
JUBIR PRESIDEN
            SBY TEUKU FAIZSYAH:
Film "The Act of Killing" Bisa Perburuk
              Citra Indonesia  
Warta Masyarakat, 24 Jan, 2014 JAKARTAKOMPAS.com - Pemerintah Indonesia, Jumat (24/1/2014), mengeluarkan tanggapan terkait film dokumenter "The Act of Killing" yang masuk nominasi Oscars dalam katagori film dokumenter terbaik.Film yang mengupas pembantaian besar-besaran di Indonesia pada 1960-an itu ternyata dianggap memberikan citra buruk untuk Indonesia di mata komunitas internasional.
"Indonesia digambarkan sebagai sebuah negara yang kejam dan tak berhukum. Film itu menggambarkan pada 1960-an Indonesia sangat terbelakang. Itu tidak sesuai kenyataan," kata juru bicara kepresidenan Indonesia, Teuku Faizasyah.
"Harus diingat bahwa Indonesia sudah melalui sebuah reformasi. Banyak hal berubah. Persepsi satu orang seharusnya tidak terpengaruh hanya oleh satu film," tambah Faizasyah.
Faisazyah mengatakan banyak negara di dunia memiliki masa-masa kelam dalam sejarahnya, sehingga jangan terlalu mudah menghakimi sebuah negara.
"Harus diingat kejadian di Indonesia itu terkait konteks perang dingin dan perang melawan komunisme," Faizasyah menegaskan.
Laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut pembunuhan massal pada 1960-an itu sebagai sebuah pelanggaran HAM serius dan sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan.Meski demikian, tak satu kelompokpun yang dimintai pertanggungjawabannya atas kebrutalan yang meluas mengincar sebagian besar pengikut komunis menyusul upaya kudeta yang gagal pada 1965.
Film "The Act of Killing" yang disutradai Joshua Oppenheimer itu berhasil membujuk beberapa orang yang terlibat dalam peristiwa itu untuk menceritakan kembali kejahatan yang mengerikan tersebut.
* * *

No comments:
Post a Comment