Saturday, February 1, 2014

Film “THE ACT OF KILLING” UNGKAP CITRA BURUK REZIM ORDE BARU . . . * * * Michel Maas : “Indonesië boos over Oscarnominatie voor “Act of Killing” * * *

Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 28 Januari 2014
--------------------------------


Film “THE ACT OF KILLING” UNGKAP CITRA BURUK REZIM ORDE BARU . . .
* * *
Michel Maas : “Indonesië boos over Oscarnominatie voor “Act of Killing”

* * *

Koresponden s.k nasional Belanda “de Volkskrant” di Jakarta, Michel Maas, kemarin menulis laporan dengan judul “Indonesië boos over Oscarnominatie voor “Act of Killing”. (,”de Volkskrant”27 Januari 2014).

Terjemahan bebasnya kira-kira: “Indonesia Marah karena Nominasi Oscar Untuk 'The Act of Killing' .Michel Maas tampak berusaha menulis “apa adanya”, memenuhi misi kegiatan jurnalistik.

Liputan Michel Maas dari Jakarta, selama ini boleh dikatakan mencerminkan hal itu. Bisa dibaca lagi liputan-liputan Michel Maas teristimewa yang bersangkutan kasus “Rawagede”, dimana akhirnya Pengadilan Den Haag memutuskan pemerintah Belanda bertanggung jawab atas pembantaian ratusan penduduk desa Rawagede oleh tentara Belanda pada periode Agresu Ke-II Belanda terhadap Republik Indonesia.

Liputan Michel Maas kali, dengan tajam menganalisis watak munafik pemerinth SBY yang melalui jubirnya Teuku Faizasyah, menyatakan “kemarahan” dan “tersinggung”. . . berhubung film dokumenter “The Act of Killing” dinominasi untuk diberi “Oscar Award”. Tulisan wartawan Belanda itu juga “menguliti” sikap pemerintah yang masih terus saja “tutup-telinga”, “tutup mata” dan “tutup mulut” mengenai Peristiwa 1965. , Sungguh kekanak-kanakan dan bodoh argumen jubir SBY yang menunjuk pada berkecamuknya “Perang Dingin” untuk membenarkan terjadinya pembantaian masal terhadap orang-orang PKI dan kiri lainnya pendukung Presiden Sukarno ketika itu.

* * *

Kita ikuti tulisan M. Maas, a.l. : . . .

Film dokumenter The Act of Killing menyajikan jengukan (ke adegan-adegan) yang mempesonakan mengenai pembunuhan masal 1965, Di tahun itu, atas perindah diktator Suharto ratusan ribu orang Indonesia dibunuh karena mereka dituduh terlibat Partai Komunis. PKI dianggap bertanggungjawab atas kudeta yang gagal dan pembunuhan atas tujuh jendral. Pembunuhan terhadap orang-orang 'komunis' tidak saja dilakukan oleh tentara, tetapi juga dilakukan oleh anggota-anggota pemuda Islam, dan oleh kriminil-kriminil setempat . .

Dokumenter 'The Act of Killing' mengikuti Anwar Congo, salah seorang dari kriminil-kriminil 'teri' itu, dan beberapa lagi dari konco-konconya., yang secara terus terang mengakui pembunuhan tsb. Mereka tidak saja membantai orang-orang Komunis, demikian pengakuan mereka, tetapi juga membabat yang lain-lain terhadap siapa mereka menaruh benci, dan empat puluh tahun kemudian mereka masih bisa selalu tertawa-senang dengan perbuatan mereka itu.

Yang membikin orang paling tercengang-cengang mengeni dokumenter ini, ialah, bahwa, sama sekali tidak adanya penyesalan dan rasa malu, tidak saja pada para jagal itu, tetapi pada sebagian besar penduduk Indonesia. Pembunuh Anwar Congo misalnya, -- dielu-elukan sebagai pahlawan, ketika ia jadi tamu dalam suatu acara 'talkshow' di sebuah program TV Indonesia. (Betul apa yang ditulis koresponden Maas itu, karena kebetulan aku ikut menyaksikan siaran TV Inbdonesia tsb I.I. )

Namun, hadirin di TV tsb tidak boleh disesalkan. Kebanyakan orang Indonesia tidak mengetahui versi lain mengenai sejarah, selain yang disajikan Suharto, bahwa dibunuhnya orang-orang Komunis tahun 1965, karena mereka memang adalah binatang-binatang yang harus mati. Versi sejarah macam itu sudah empat puluh tahun lamanya diajarkan di sekolah-sekolah, dan itu tidak bisa ditiadakan oleh saebuah film saja.

Tetapi The Act of Killing disebabkan oleh banyaknya memperoleh hadiah dan publisitas, sekarang ini sudah melampaui jauh dari apa yang diinginkan oleh pemerintah.

Di Indonesia film itu tidak pernah dilarang, tetapi juga tidak diizinkan.. Tidak ada satu bioskoppun yang berani memutarnya. Namun film dokumter itu tokh menemukan jalan keluarnya ke masyarakat: melalui pertunjukkan klandestin di pelbagai universitas, ruang-ruang pertemuan privé , dan pelbagai pusat-pusat budaya, ribuan porang Indonesia sudah melihatnya. Kebanyakan dari mereka itu adalah anak-anak muda Indonesia. Mereka menyaksikan bagaimana Congo mendemonstrasikan ia membunuh korbannya dengan menggunakan kawat baja.

Akhirnya para produser film dokumenter tsb melemparkannya ke media internet, dan semua orang Indonesdia dapat “mendownload”:-nya.

Sesudah itu hampir sunyi senyap . . tetapi nominasi Oscar Award, sekarang ini telah menimbulkan gelombang baru publikasi dan diskusi-diskusi yang sengit.

Komentar-komentar koran-koran akhirnya menyerukan “untuk mengakhiri sikap tidak mau mengakui dan keadaan impunitas (The Jakarta |Gobe). Dan pemerintah katanya “sedang sibuk” bekaitan dengan kasus itu.. . . . . .

Michel Maas lalu mengakhiri tulisannya dengan kalimat-kalimat ini:

Bila “The Act of Killkng benar-benar menggondol Hadiah Oscar, maka Indonesia akan lebih sibuk lagi menghadapinya, dan pasti tidak menginginkan hal itu terjdi pada Oscar pertama yang diperoleh Indonesia.

* * *

Begitu jeli mata wartawan Michel Maas menlihat “ramai-samai” di Indonesia sekitar dinominasinya film dokumenter “The Act of Killing” sebagai pemenang |Oscar Award.

* * *

Dengan demikian, jadinya . . . . yang marah karena film dokumenter “The Act of Killing” dinominasi untuk Oscar Award, bukanlah Indonesia. Bukan, bukan Indonesia yang marah! Tapi jubir Presiden SBY yang marah-marah dan tersinggung. Yang gusar dan berhati berang dan kecut, adalah mereka-mereka yang terlibat dengan palanggaran HAM berat itu. Yang kalang kabut adalah para pendukung politik rezim Orde Baru.

Di lain fihak, semakin luas masyarakat Indonesia yang justru merasa lega dengan nominasi Oscar Award untuk film dokumenter “The Act of Killing”, , , karena dengan demikian semakin terungkap kebenaran mengenai Peristiwa Pembantaian masal 1965. . .. semakin melangkah lagi ke pengungkapan keseluruhan pelanggaran berat HAM yang terjadi di sekitar Peristiwa 1965. Semakin dekat sikap LUPA terekspos dan mengalami kebangkrutannya!.

Selanjutnya melangkah maju ke PELURUSAN SEJARAH!

* * *

Lampiran  (kutipan)

JUBIR PRESIDEN SBY TEUKU FAIZSYAH:
Film "The Act of Killing" Bisa Perburuk Citra Indonesia



Warta Masyarakat, 24 Jan, 2014 JAKARTAKOMPAS.com - Pemerintah Indonesia, Jumat (24/1/2014), mengeluarkan tanggapan terkait film dokumenter "The Act of Killing" yang masuk nominasi Oscars dalam katagori film dokumenter terbaik.Film yang mengupas pembantaian besar-besaran di Indonesia pada 1960-an itu ternyata dianggap memberikan citra buruk untuk Indonesia di mata komunitas internasional.



"Indonesia digambarkan sebagai sebuah negara yang kejam dan tak berhukum. Film itu menggambarkan pada 1960-an Indonesia sangat terbelakang. Itu tidak sesuai kenyataan," kata juru bicara kepresidenan Indonesia, Teuku Faizasyah.
"Harus diingat bahwa Indonesia sudah melalui sebuah reformasi. Banyak hal berubah. Persepsi satu orang seharusnya tidak terpengaruh hanya oleh satu film," tambah Faizasyah.

Faisazyah mengatakan banyak negara di dunia memiliki masa-masa kelam dalam sejarahnya, sehingga jangan terlalu mudah menghakimi sebuah negara.
"Harus diingat kejadian di Indonesia itu terkait konteks perang dingin dan perang melawan komunisme," Faizasyah menegaskan.

Laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut pembunuhan massal pada 1960-an itu sebagai sebuah pelanggaran HAM serius dan sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan.Meski demikian, tak satu kelompokpun yang dimintai pertanggungjawabannya atas kebrutalan yang meluas mengincar sebagian besar pengikut komunis menyusul upaya kudeta yang gagal pada 1965.

Film "The Act of Killing" yang disutradai Joshua Oppenheimer itu berhasil membujuk beberapa orang yang terlibat dalam peristiwa itu untuk menceritakan kembali kejahatan yang mengerikan tersebut.




* * *




No comments: