Kolom IBRAHIM
            ISA
Rabu, 19 Februari 2014
---------------------------------
            
MULTATULI --- CISEEL, BANTEN -- Dan Ubaidilah Muchtar.......
            
      
    
Rabu, 19 Februari 2014
---------------------------------
MULTATULI --- CISEEL, BANTEN -- Dan Ubaidilah Muchtar.......
* * *
            
Nama Dr EDUARD DOUWES DEKKER, alias MULTATULI - "AKU YANG BANYAK MENDERITA" -- sudah menjadi sejarah. Sejarah hubungan Indonesia-Belanda. Sejarah Multatuli adalah kisah gugatan seorang pejabat kolonial dan cendekiawan Belanda di Lebak, Serang, Banten, terhadap feodalisme di Banten, menggugat pemerintah Hindia Belanda yang kekuasaannya di Indonesia bersandar pada sistim feodal.
Nama Dr EDUARD DOUWES DEKKER, alias MULTATULI - "AKU YANG BANYAK MENDERITA" -- sudah menjadi sejarah. Sejarah hubungan Indonesia-Belanda. Sejarah Multatuli adalah kisah gugatan seorang pejabat kolonial dan cendekiawan Belanda di Lebak, Serang, Banten, terhadap feodalisme di Banten, menggugat pemerintah Hindia Belanda yang kekuasaannya di Indonesia bersandar pada sistim feodal.
Sikap
            masyarakat Belanda, khususnya budayawan dan sastrawannya,
            dalam
            proses sejarah mengalami perubahahan yang cukup besar. Dalam
            tahun
            2002, `Maatschappij der Nederlandse Letterkunde´, menyatakan
            bahwa
            Dr Eduard Douwes Dekker alias MULTATULI, adalah seorang
            SASTRAWAN
            TERBESAR DALAM SEJARAH BELANDA. Dalam tahun 2004 Belanda
            mencantumkan
            nama Dr Eduard Douwes Dekker sebagai salah satu dari ORANG
            BELANDA
            TERBESAR. Hal ini bisa terjadi di negeri Belanda . ..
            seorang penulis
            mantan pejabat kolonial yang menmggugat kolonialisme Belanda
            dan
            menulis buku yang terkenal menggugat kolonialisme dan
            feodalisme di
            Jawa, seorsang penentang pemerintah Belanda ketika itu, . .
            . . .
            dewasa ini dihormati dan diangkat demikian tingginya . . .
            oleh
            masyrakat Belanda itu sendiri. Sesuatu yang patut
            diteladani. . . MENGAKUI FKATA KENYATAN SEJARAH BANGSA
            SENDIRI. 
    
* * *
              
Russel Shorto, seorang jurnalis Amerika yang `jatuh cinta` pada kota Amsterdam, dan menulis buku "AMSTERDAM", khusus melakuksn studi sejarah kota Amsterdam, dan dengan itu sekaligus menstudi sejarah Belanda. Judul asli buku tsb adalah "A HISTORY OF THE WORLD'S MOST LIBERAL CITY ". . . . . Lain kali kita bisa bicara lebih banyak mengenai buku Russel Shorto, "AMSTERDAM", yang sesungguhnya merupakah sebuah buku tentang SEJARAH BELANDA. Demikian populernya buku itu, sehingga dalam jangka waktu 4 bulan (September - Desember 2013) telah mengalami SEPULUH kali cetak ulang.
Russel Shorto, seorang jurnalis Amerika yang `jatuh cinta` pada kota Amsterdam, dan menulis buku "AMSTERDAM", khusus melakuksn studi sejarah kota Amsterdam, dan dengan itu sekaligus menstudi sejarah Belanda. Judul asli buku tsb adalah "A HISTORY OF THE WORLD'S MOST LIBERAL CITY ". . . . . Lain kali kita bisa bicara lebih banyak mengenai buku Russel Shorto, "AMSTERDAM", yang sesungguhnya merupakah sebuah buku tentang SEJARAH BELANDA. Demikian populernya buku itu, sehingga dalam jangka waktu 4 bulan (September - Desember 2013) telah mengalami SEPULUH kali cetak ulang.
Tentu Russel Shorto tidak
              melewati cerita tentang Eduard Douwes Dekker. Eduard
              Douwes Dekker, alias Multatuli, tulis Russel Shorto,
              seperti dikatakan oleh penulis-penulis Belanda, adalah
              seorang yang hadir pada awal perlawanan terhadap
              kolonialisme. Sedangkan Karta Nata Negara adalah seorang bupati,
              penguasa feodal di Lebak, Banten, yang karena
              penghisapannya terhadap rakyat petani Banten, dan yang
              menjadi sandaran kolonialisme Belanda, telah menggugah dan
              mendorong Douwes Dekker, untuk menulis bukunya yang
              terkenal : MULTATULI.  
Setiap
orang
          Indonesia yang peduli sejarah tanah airnya seyogianya mengenal
          siapa Dr Eduar Douwes Dekker. 
    
Dalam
hal
            ini, kiranya tidak ada orang Indonesia yang paling “getol”,
            paling serius dan gairah, amat tekun memperkenalkan kepada
            masyarakat Indonesia, khususnya generasi mudanya, SIAPA
            MULTATULI. 
    
Orang
ini
            adalah UBAIDILAH MUCHTAR . . populer disapa KANG UBAI.
          Seorang guru yang menkhayati apa arti kata “guru”.
*
          * *
Ubaidillah Muchtar
          bersepeda motor dari Sawangan, Depok, menuju kampung 
Ciseel, desa Sobang, Kabupaten Lebak, menempuh jalan ratusan kilometer.
Disitulah Kang Ubay memperkenalkan Eduard Douwes Dekker alias Multatuli
ke masyarakat Ciseel, yang langka fasilitas itu. Jalan menuju Desa Ciseel berlika-liku dan tak beraspal. Kesanalah Kang Ubay melakukan silaturahmi dengan masyarakat kemudian membentuk grup membaca dengan bacaan utama novel Max Havelaar.
Ciseel, desa Sobang, Kabupaten Lebak, menempuh jalan ratusan kilometer.
Disitulah Kang Ubay memperkenalkan Eduard Douwes Dekker alias Multatuli
ke masyarakat Ciseel, yang langka fasilitas itu. Jalan menuju Desa Ciseel berlika-liku dan tak beraspal. Kesanalah Kang Ubay melakukan silaturahmi dengan masyarakat kemudian membentuk grup membaca dengan bacaan utama novel Max Havelaar.
Di desa itu dimulai cerita unik pada tanggal 23 Maret 2010. Pekan demi pekan, para peserta reading group belajar kenal dengan tokoh Max Havelaar dan perjuangannya di masyarakat Lebak. Suatu perlawanan terhadap kejahatan bupati bangsa sendiri kala itu..
Kini setelah setahun berlalu kegiatan tetap berlanjut dengan perkembangan mengagumkan karena edisi Max Havelaar dalam beragam bahasa mulai dibaca. Begitu kutulis hampir dua tahun yl di Kolom IBRAHIM ISA (Kemis, 29 Maret 2012), berjudul TAMAN BACA MULTATULI" Di Sebuah Desa Banten . . . . .
* * *
Hari ini disajikan
          di
          bawah ini tulisan Ubaidah Muchtar, memperingqti ultang tahun
          ke 127
          meninggalnya DR EDUAR DOUWES DEKKER alias MULTATULI.
* * *
“Satu ikhtiar
            kecil untuk menghidupkan ingatan melalui bacaan”, 19
            Februari, 2014
Oleh
              Ubaidilah Muchtar
127
            tahun yang lalu ia meninggal. Sebenarnya belum begitu tua,
            dan cukup
            sehat, kecuali bahwa ia punya asma, dan levernya sudah sakit
            sejak di
            negeri Hindia, hingga warna mukanya kekuning-kuningan.
            Keadaannya
            adalah seperti seekor burung kenari.
19
            Februari 1887 Multatuli meninggal di Nieder-Ingelheim,
            Jerman. Di
            sebuah rumah yang dibeli oleh pengagum-pengagumnya. Ia
            meninggal
            dalam posisi duduk di kursi. Dua bulan sebelumnya, tepat 11
            Desember
            1886, ia berucap, “Asmaku sangat mengganggu. Tidak selalu
            sama
            terus, tapi, kadang-kadang aku seperti mau berhenti
            bernafas.”
Tidak
            lama sesudah Multatuli meninggal, diketahui ia meninggalkan
            utang.
            Ada utang 120 Mark pada petani kol, 100 Mark pada beberapa
            toko buku,
            140 Mark pada tukang daging, dan seterusnya, dan seterusnya.
            Inilah
            akhir hidup novelis masyhur kelahiran Amsterdam, 2 Maret
            1820 si “aku
            yang banyak menderita”.
Dalam
            suratnya yang terakhir (17 Agustus 1886) kepada sahabat
            lamanya Marie
            Anderson ia menulis: “Terus terang: aku tidak bisa hidup,
            artinya
            dalam hal keuangan. Bahwa kami hidup dalam rumah yang
            relatif bagus,
            lebih merepotkan daripada sepenuhnya. Disebabkan karena
            berbagai hal
            yang kebetulan aku sebetulnya tidak bisa tinggal di sini,
            namun aku
            tidak bisa pergi. Bagaimana nasib M. kalau aku mati, hal
            yang segera
            akan terjadi, aku kira, aku tidak tahu! Singkatnya, kami
            sering
            sangat tertekan. Ini membuat getir tahun-tahunku atau …
            bulan-bulanku yang terakhir.”
Multatuli,
            seorang pendahulu, adalah juga orang Belanda pertama yang
            dikremasi,
            di Gotha. Hanya beberapa orang Belanda yang hadir, di
            antaranya: Mimi
            dan saudaranya laki-laki, sahabatnya Braunius Oeberius dan
            istri, dan
            dua orang muda yang tidak dikenal dari Middelburg: Ghijsen
            dan
            Wibaut. 
    
Abunya
            mula-mula disimpan oleh Mimi, kemudian bertahun-tahun
            disimpan di
            perpustakaan Universitas di Amsterdam. Tahun 1948 didirikan
            sebuah
            monumen di pemakaman Westerveld, kotak kaleng berisi abu
            Mimi dan
            Multatuli, dikuburkan dengan khidmat di situ. Monumen
            tersebut
            direncanakan oleh A.H. Wegerif. Diresmikan 6 Maret 1948. 
Di
            monumen tersebut tertulis ucapan Multatuli yang indah
            bunyinya:
            “Panggilan nurani manusia ialah untuk menjadi manusia.”
Multatuli
            alias Eduard Douwes Dekker, si pemikir revolusioner,
            penyair,
            satirikus, kritikus, moralis, dan pembaharu adalah penulis
            terbesar,
            “satu-satunya pengarang Belanda yang lebih dari seratus
            tahun tetap
            menarik perhatian.” Demikian Willem Frederik Hermans
            mencatat. 
Pengaruhnya
            juga tertinggal di Indonesia, utamanya pada
            pemimpin-pemimpin
            pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan. 
Mashuri,
            Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, masa itu, dalam kata
            pengantar Max
            Havelaar edisi pertama, 1972 (terj. H.B. Jassin) mencatat
            bahwa bagi
            bangsa Indonesia, Multatuli mempunyai arti yang khusus.
            Karena
            bukunya merupakan bahan dokumentasi yang penting bagi studi
            ilmu-ilmu
            kemasyarakatan dan politik. Tetapi nilai yang tiada taranya,
            terletak
            pada segi-segi kemanusiaan, kesatriaan, dan pendidikan watak
            yang
            ditampilkannya.
“Multatuli
            dengan Max Havelaar-nya mempunyai kedudukan yang penting
            dalam
            sejarah bangsa kita, khususnya masa penjajahan Belanda.
            Seperti kita
            maklumi, dengan roman itu Multatuli telah berhasil
            membukakan mata
            kaum politik di negeri Belanda terhadap kebobrokan yang
            terdapat di
            daerah jajahannya. Akibatnya, sejak terbit karya itu pada
            tahun 1860
            dimulai usaha-usaha pemerintah Hindia Belanda untuk
            mendatangkan
            kesejahteraan pada kehidupan rakyat Indonesia lewat
            kebijakan ekonomi
            serta kesempatan pendidikan. Gagasan-gagasan dalam roman itu
            akhirnya
            juga bermuara kepada kebijaksanaan Politik Etika yang
            termasyhur itu
            yang memperhatikan kepentingan dan kemajuan bangsa
            Indonesia.”
            Subagio Sastrowardoyo mencatat hal tersebut dalam kata
            pengantar buku
            Willem Frederik Hermans, Multatuli yang Penuh Teka-Teki
            (1988).
Subagio
            juga mengingatkan bahwa, Multatuli memang penting bagi
            Indonesia, dan
            bagi pembaca Indonesia menariklah mengikuti riwayat
            hidupnya….
            Tetapi kita tidak boleh silap, bahwa di dalam periode yang
            amat
            panjang sesudah gagasan-gagasan Multatuli didengar dan
            berpengaruh
            itu, di dalam masa-masa penjajahan yang suram dan menekan
            itu,
            Multatuli dengan Max Havelaar-nya makin lama makin Nampak
            sebagai
            tokoh yang makin susut sosok kepribadiannya di ufuk sejarah,
            yang
            berteriak sia-sia di tengah padang pasir yang tak
            memantulkan kembali
            kumandang suaranya.
Semangat
            Multatuli dalam Max Havelaar yang berisi semangat
            antikorupsi,
            melawan pembodohan dan pemiskinan, melawan
            kesewenang-wenangan dan
            eksploitasi. Roman dengan banyak hikmah yang harus terus
            kita
            renungkan. Roman dengan nilai-nilai yang menyentuh lubuk
            hati umat
            manusia. Semangat itu jangan sampai pupus. Membaca Max
            Havelaar
            kembali adalah satu upaya. Ya, membaca kembali Max Havelaar!
Max
              Havelaar,
              roman yang mempunyai kekuatan masyarakat. Roman yang
              merupakan hasil
              kesusastraan yang tinggi. Roman kepahlawanan, pembela
              rakyat
              tertindas. Meskipun sudah 153 tahun sejak pertama kali
              diterbitkan.
              Meskipun banyak kritik yang menimpanya.  Namun tetap pada
              keyakinannya: Ya, aku bakal dibaca!
Berikut
            ini ramalan Multatuli yang ia tulis dalam Max Havelaar:
“Buku
            itu isinya aneka macam, tidak beraturan, pengarangnya
            mengejar
            sensasi, gayanya buruk, tidak Nampak keahlian; …. tidak ada
            bakat,
            tidak ada metode.”
Baik,
            baik ….. semuanya itu benar, ….tapi orang Jawa dianiaya!
Sebab
            orang tidak bisa membantah maksud utama karyaku.
Semakin
            keras orang mengeritik bukuku, semakin baik aku rasa, sebab
            lebih
            besar kemungkinan bakal didengar; --dan itulah yang aku mau.
127
            tahun yang lalu Multatuli meninggal. Namun membaca Max
            Havelaar masih
            relevan dan harus terus diupayakan. Terus dihidupkan. Drs.
            G.
            Termorshuizen pernah menulis, “Pertemuan dengan dengan
            Havelaar
            tetap aktual: manusia Havelaar yang tidak terikat secara
            historis,
            individu yang berjuang melawan kepentingan diri
            kolektivitas.
            Terutama motif-motif manusiawi, itulah titik tolak
            Multatuli, yang
            menjadikan Max Havelaar mengandung tenaga yang begitu
            hebat.”
Kearifan
            ucapannya tetap bertahan. Membimbing kita agar selalu
            waspada pada
            praktik kekerasan dan eksploitasi, penyalahgunaan kekuasaan,
            dan
            penindasan. Juga bentuk feodal pemerintahan, serta
            tokoh-tokohnya
            yang rakus dan korup. 
Kearifan
            seperti: “Sebab kita bersukacita bukan karena memotong padi,
            kita
            bersukacita karena memotong padi yang kita tanam”. Tetap
            berlaku
            hingga hari ini.
Damai
            selalu di sana, Max! ***
Pondok
            Petir, 16 Februari 2014

No comments:
Post a Comment