Friday, February 21, 2014

MULTATULI --- CISEEL, BANTEN -- Dan Ubaidilah Muchtar.......

Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 19 Februari 2014
---------------------------------

MULTATULI --- CISEEL, BANTEN -- Dan Ubaidilah Muchtar.......


* * *

Nama Dr EDUARD DOUWES DEKKER, alias MULTATULI - "AKU YANG BANYAK MENDERITA" -- sudah menjadi sejarah. Sejarah hubungan Indonesia-Belanda. Sejarah Multatuli adalah kisah gugatan seorang pejabat kolonial dan cendekiawan Belanda di Lebak, Serang, Banten, terhadap feodalisme di Banten, menggugat pemerintah Hindia Belanda yang kekuasaannya di Indonesia bersandar pada sistim feodal.
Sikap masyarakat Belanda, khususnya budayawan dan sastrawannya, dalam proses sejarah mengalami perubahahan yang cukup besar. Dalam tahun 2002, `Maatschappij der Nederlandse Letterkunde´, menyatakan bahwa Dr Eduard Douwes Dekker alias MULTATULI, adalah seorang SASTRAWAN TERBESAR DALAM SEJARAH BELANDA. Dalam tahun 2004 Belanda mencantumkan nama Dr Eduard Douwes Dekker sebagai salah satu dari ORANG BELANDA TERBESAR. Hal ini bisa terjadi di negeri Belanda . .. seorang penulis mantan pejabat kolonial yang menmggugat kolonialisme Belanda dan menulis buku yang terkenal menggugat kolonialisme dan feodalisme di Jawa, seorsang penentang pemerintah Belanda ketika itu, . . . . . dewasa ini dihormati dan diangkat demikian tingginya . . . oleh masyrakat Belanda itu sendiri. Sesuatu yang patut diteladani. . . MENGAKUI FKATA KENYATAN SEJARAH BANGSA SENDIRI.
    * * *

    Russel Shorto, seorang jurnalis Amerika yang `jatuh cinta` pada kota Amsterdam, dan menulis buku "AMSTERDAM", khusus melakuksn studi sejarah kota Amsterdam, dan dengan itu sekaligus menstudi sejarah Belanda. Judul asli buku tsb adalah "A HISTORY OF THE WORLD'S MOST LIBERAL CITY ". . . . . Lain kali kita bisa bicara lebih banyak mengenai buku Russel Shorto, "AMSTERDAM", yang sesungguhnya merupakah sebuah buku tentang SEJARAH BELANDA. Demikian populernya buku itu, sehingga dalam jangka waktu 4 bulan (September - Desember 2013) telah mengalami SEPULUH kali cetak ulang.
    Tentu Russel Shorto tidak melewati cerita tentang Eduard Douwes Dekker. Eduard Douwes Dekker, alias Multatuli, tulis Russel Shorto, seperti dikatakan oleh penulis-penulis Belanda, adalah seorang yang hadir pada awal perlawanan terhadap kolonialisme. Sedangkan Karta Nata Negara adalah seorang bupati, penguasa feodal di Lebak, Banten, yang karena penghisapannya terhadap rakyat petani Banten, dan yang menjadi sandaran kolonialisme Belanda, telah menggugah dan mendorong Douwes Dekker, untuk menulis bukunya yang terkenal : MULTATULI.
Setiap orang Indonesia yang peduli sejarah tanah airnya seyogianya mengenal siapa Dr Eduar Douwes Dekker.
Dalam hal ini, kiranya tidak ada orang Indonesia yang paling “getol”, paling serius dan gairah, amat tekun memperkenalkan kepada masyarakat Indonesia, khususnya generasi mudanya, SIAPA MULTATULI.
Orang ini adalah UBAIDILAH MUCHTAR . . populer disapa KANG UBAI. Seorang guru yang menkhayati apa arti kata “guru”.
* * *
Ubaidillah Muchtar bersepeda motor dari Sawangan, Depok, menuju kampung
Ciseel, desa Sobang, Kabupaten Lebak, menempuh jalan ratusan kilometer.
Disitulah Kang Ubay memperkenalkan Eduard Douwes Dekker alias Multatuli
ke masyarakat Ciseel, yang langka fasilitas itu. Jalan menuju Desa Ciseel berlika-liku dan tak beraspal. Kesanalah Kang Ubay melakukan silaturahmi dengan masyarakat kemudian membentuk grup membaca dengan bacaan utama novel Max Havelaar.

Di desa itu dimulai cerita unik pada tanggal 23 Maret 2010. Pekan demi pekan, para peserta reading group belajar kenal dengan tokoh Max Havelaar dan perjuangannya di masyarakat Lebak. Suatu perlawanan terhadap kejahatan bupati bangsa sendiri kala itu..

Kini setelah setahun berlalu kegiatan tetap berlanjut dengan perkembangan mengagumkan karena edisi Max Havelaar dalam beragam bahasa mulai dibaca. Begitu kutulis hampir dua tahun yl di Kolom IBRAHIM ISA (Kemis, 29 Maret 2012), berjudul
TAMAN BACA MULTATULI" Di Sebuah Desa Banten . . . . .

* * *

Hari ini disajikan di bawah ini tulisan Ubaidah Muchtar, memperingqti ultang tahun ke 127 meninggalnya DR EDUAR DOUWES DEKKER alias MULTATULI.

* * *

Satu ikhtiar kecil untuk menghidupkan ingatan melalui bacaan”, 19 Februari, 2014
Oleh Ubaidilah Muchtar

127 tahun yang lalu ia meninggal. Sebenarnya belum begitu tua, dan cukup sehat, kecuali bahwa ia punya asma, dan levernya sudah sakit sejak di negeri Hindia, hingga warna mukanya kekuning-kuningan. Keadaannya adalah seperti seekor burung kenari.

19 Februari 1887 Multatuli meninggal di Nieder-Ingelheim, Jerman. Di sebuah rumah yang dibeli oleh pengagum-pengagumnya. Ia meninggal dalam posisi duduk di kursi. Dua bulan sebelumnya, tepat 11 Desember 1886, ia berucap, “Asmaku sangat mengganggu. Tidak selalu sama terus, tapi, kadang-kadang aku seperti mau berhenti bernafas.”

Tidak lama sesudah Multatuli meninggal, diketahui ia meninggalkan utang. Ada utang 120 Mark pada petani kol, 100 Mark pada beberapa toko buku, 140 Mark pada tukang daging, dan seterusnya, dan seterusnya. Inilah akhir hidup novelis masyhur kelahiran Amsterdam, 2 Maret 1820 si “aku yang banyak menderita”.

Dalam suratnya yang terakhir (17 Agustus 1886) kepada sahabat lamanya Marie Anderson ia menulis: “Terus terang: aku tidak bisa hidup, artinya dalam hal keuangan. Bahwa kami hidup dalam rumah yang relatif bagus, lebih merepotkan daripada sepenuhnya. Disebabkan karena berbagai hal yang kebetulan aku sebetulnya tidak bisa tinggal di sini, namun aku tidak bisa pergi. Bagaimana nasib M. kalau aku mati, hal yang segera akan terjadi, aku kira, aku tidak tahu! Singkatnya, kami sering sangat tertekan. Ini membuat getir tahun-tahunku atau … bulan-bulanku yang terakhir.”

Multatuli, seorang pendahulu, adalah juga orang Belanda pertama yang dikremasi, di Gotha. Hanya beberapa orang Belanda yang hadir, di antaranya: Mimi dan saudaranya laki-laki, sahabatnya Braunius Oeberius dan istri, dan dua orang muda yang tidak dikenal dari Middelburg: Ghijsen dan Wibaut.
Abunya mula-mula disimpan oleh Mimi, kemudian bertahun-tahun disimpan di perpustakaan Universitas di Amsterdam. Tahun 1948 didirikan sebuah monumen di pemakaman Westerveld, kotak kaleng berisi abu Mimi dan Multatuli, dikuburkan dengan khidmat di situ. Monumen tersebut direncanakan oleh A.H. Wegerif. Diresmikan 6 Maret 1948. 

Di monumen tersebut tertulis ucapan Multatuli yang indah bunyinya: “Panggilan nurani manusia ialah untuk menjadi manusia.”

Multatuli alias Eduard Douwes Dekker, si pemikir revolusioner, penyair, satirikus, kritikus, moralis, dan pembaharu adalah penulis terbesar, “satu-satunya pengarang Belanda yang lebih dari seratus tahun tetap menarik perhatian.” Demikian Willem Frederik Hermans mencatat. 

Pengaruhnya juga tertinggal di Indonesia, utamanya pada pemimpin-pemimpin pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan. 

Mashuri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, masa itu, dalam kata pengantar Max Havelaar edisi pertama, 1972 (terj. H.B. Jassin) mencatat bahwa bagi bangsa Indonesia, Multatuli mempunyai arti yang khusus. Karena bukunya merupakan bahan dokumentasi yang penting bagi studi ilmu-ilmu kemasyarakatan dan politik. Tetapi nilai yang tiada taranya, terletak pada segi-segi kemanusiaan, kesatriaan, dan pendidikan watak yang ditampilkannya.

Multatuli dengan Max Havelaar-nya mempunyai kedudukan yang penting dalam sejarah bangsa kita, khususnya masa penjajahan Belanda. Seperti kita maklumi, dengan roman itu Multatuli telah berhasil membukakan mata kaum politik di negeri Belanda terhadap kebobrokan yang terdapat di daerah jajahannya. Akibatnya, sejak terbit karya itu pada tahun 1860 dimulai usaha-usaha pemerintah Hindia Belanda untuk mendatangkan kesejahteraan pada kehidupan rakyat Indonesia lewat kebijakan ekonomi serta kesempatan pendidikan. Gagasan-gagasan dalam roman itu akhirnya juga bermuara kepada kebijaksanaan Politik Etika yang termasyhur itu yang memperhatikan kepentingan dan kemajuan bangsa Indonesia.” Subagio Sastrowardoyo mencatat hal tersebut dalam kata pengantar buku Willem Frederik Hermans, Multatuli yang Penuh Teka-Teki (1988).

Subagio juga mengingatkan bahwa, Multatuli memang penting bagi Indonesia, dan bagi pembaca Indonesia menariklah mengikuti riwayat hidupnya…. Tetapi kita tidak boleh silap, bahwa di dalam periode yang amat panjang sesudah gagasan-gagasan Multatuli didengar dan berpengaruh itu, di dalam masa-masa penjajahan yang suram dan menekan itu, Multatuli dengan Max Havelaar-nya makin lama makin Nampak sebagai tokoh yang makin susut sosok kepribadiannya di ufuk sejarah, yang berteriak sia-sia di tengah padang pasir yang tak memantulkan kembali kumandang suaranya.

Semangat Multatuli dalam Max Havelaar yang berisi semangat antikorupsi, melawan pembodohan dan pemiskinan, melawan kesewenang-wenangan dan eksploitasi. Roman dengan banyak hikmah yang harus terus kita renungkan. Roman dengan nilai-nilai yang menyentuh lubuk hati umat manusia. Semangat itu jangan sampai pupus. Membaca Max Havelaar kembali adalah satu upaya. Ya, membaca kembali Max Havelaar!

Max Havelaar, roman yang mempunyai kekuatan masyarakat. Roman yang merupakan hasil kesusastraan yang tinggi. Roman kepahlawanan, pembela rakyat tertindas. Meskipun sudah 153 tahun sejak pertama kali diterbitkan. Meskipun banyak kritik yang menimpanya.  Namun tetap pada keyakinannya: Ya, aku bakal dibaca!

Berikut ini ramalan Multatuli yang ia tulis dalam Max Havelaar:

Buku itu isinya aneka macam, tidak beraturan, pengarangnya mengejar sensasi, gayanya buruk, tidak Nampak keahlian; …. tidak ada bakat, tidak ada metode.”
Baik, baik ….. semuanya itu benar, ….tapi orang Jawa dianiaya!
Sebab orang tidak bisa membantah maksud utama karyaku.
Semakin keras orang mengeritik bukuku, semakin baik aku rasa, sebab lebih besar kemungkinan bakal didengar; --dan itulah yang aku mau.

127 tahun yang lalu Multatuli meninggal. Namun membaca Max Havelaar masih relevan dan harus terus diupayakan. Terus dihidupkan. Drs. G. Termorshuizen pernah menulis, “Pertemuan dengan dengan Havelaar tetap aktual: manusia Havelaar yang tidak terikat secara historis, individu yang berjuang melawan kepentingan diri kolektivitas. Terutama motif-motif manusiawi, itulah titik tolak Multatuli, yang menjadikan Max Havelaar mengandung tenaga yang begitu hebat.”

Kearifan ucapannya tetap bertahan. Membimbing kita agar selalu waspada pada praktik kekerasan dan eksploitasi, penyalahgunaan kekuasaan, dan penindasan. Juga bentuk feodal pemerintahan, serta tokoh-tokohnya yang rakus dan korup. 

Kearifan seperti: “Sebab kita bersukacita bukan karena memotong padi, kita bersukacita karena memotong padi yang kita tanam”. Tetap berlaku hingga hari ini.

Damai selalu di sana, Max! ***


Pondok Petir, 16 Februari 2014



No comments: