Kolom IBRAHIM ISA
Sabtu, 08 Februari 2014----------------------------------
WALIKOTA
          PALU TELADAN  
PELURUSAN
SEJARAH
          MELAWAN “LUPA”
* * *
“Palu Meminta Maaf
          kepada Keluarga Korban 1965”
“Walikota Palu Rusdy
          Mastura juga akan memulihkan hak-hak kekeluargaan korban yang
          diuduh terlibat dalam Partai Komunis Indonesia”. . . . . 
    
*
          * *
Peristiwa diatas terjadi dalam
        tahun 2012/13. Suatu permintaan maaf terhadap keluarga Korban
        1965 dan pemulihan hak-hak kekeluargaan korban, yang dinyatakan
        oleh seorang pejabat negara Republik Indonesia, Walikota
          Palu Rusdy Mastura, dan Pemerintah Kota Palu.
        Kejadian tsb diberitakan secara nasional oleh Tempo.com.
        Tindakan Walikota Palu dan Pemerintah Kotapraja Palu tsb
        merupakan penerobosan besar. Meskipun terjadi pada
        tingkat daerah, di sebuah kotapraja di Sulawesi Tengah, namun,
        punya arti penting nasional.  
Kemudian terjadi sbb
        (20/5/2013) –Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin
        mendeklarasikan Desa/Kelurahan Sadar Hukum dan Kota Palu
          sebagai Kota Sadar HAM di lapangan. Walikota Palu,
        Sulawesi Tengah. Acara ini merupakan tindak lanjut dari program
        kerja Panitia Ranham Propinsi Sulawesi Tengah. Deklarasi
        dihadiri oleh Gubernur Sulawesi Tengah, Longky Janggola;
        Walikota Palu, Rusdi Mastura; Wakil Walikota Palu dan Kapolda
        Sulawesi Tengah.
* * *
Ketika menganalisis peristiwa
        tsb sekaligus mengeritik sikap Presiden SBY -- Sri Sulastri
        Wahyuningroem, yang sedang meneliti Keadilan Transisional di
        Indonesia untuk mencapai PhD pada Universitas Nsaional
        Ausastralia di Brisbane, menulis a.l teks aslinya dalam bahasa
        Inggris bb:  
“President Susilo Bambang
          Yudhoyono has always been reluctant to include the 1965 mass
          killings in his never-realized plan to make an official
          apology to survivors; and as head of state, he never supported
          or instructed the Attorney General’s Office to follow up the
          four-year investigation by the National Commission on Human
          Rights (Komnas HAM) into the 1965/1966 crimes against
          humanity.
“Since his time in office
          will end this year, we can congratulate Yudhoyono for another
          success in allowing such an important issue to be “hidden with
          shame”, both domestically and internationally.
“Unlike Yudhoyono or most of
          our other political leaders, the Palu mayor has choosen to
          come to terms with the past because, as he said to me some
          time ago: “This kind of [atrocity] must never happen again”.
          He learned from his own personal experience the damage and
          cost to communities as well as to the victims, as a result of
          decades of stigmatization of being associated with the Sept.
          30 Movement, and concluded that survivors were entitled to
          peace and dignity.
“The Palu regulation fits
          with a title awarded to the city by the Law and Human Rights
          Ministry, Palu: city of human rights awareness. The bylaw is
          one of the mayor’s efforts to realize his commitment following
          his formal apology.
“The Palu initiative reminds
          us of one very important thing in democracy: That it is always
          possible to push for change at a local level, even though the
          status quo may remain strong at the center of politics in
          Indonesia. The New Order’s master narrative on the so-called
          “abortive coup” blamed the Indonesian Communist Party (PKI)
          and justified the mass killing of suspected leftists and other
          civilians. This was the political legitimacy used by president
          Soeharto to hold sway and maintain his power for more than
          three decades.
“Since the dawning
            of the 1998 Reform era and its failure to acknowledge this
            country’s dark history, the same narrative has remained
            strong and has provided the basis of political legitimacy
            for the new, supposedly democratic, regimes. 
<The writer is researching transitional justice in Indonesia for her PhD thesis at the Australian National University in Canberra.>
<The writer is researching transitional justice in Indonesia for her PhD thesis at the Australian National University in Canberra.>
* * *
Dialihbasakan kira-kira sbb:
         
 “Presiden SBY
          selalu enggan memasukkan masalah pembunuhan masal 1965 dalam
          rencana-yang tidak pernah dilaksanakannya, untuk minta maaf
          resmi kepada para penyintas, dan sebagai kepala negara, ia
          tidak pernah mendukung atau menginstruksikan Kejaksaan Agung
          untuk menindaklanjuti investigasi empat-tahun yang dilakukan
          oleh KomnasHAM terhadap kejahatan kemanusiaan 1965/1966.
“Karena masa jabatnnya akan
          berakhir tahun ini; kita bisa mengucapkan selamat kepada
          Yudhoyono untuk sukses lainnya membiarkan kasus begitu penting
          seperti itu “disembunyikan dengan malu”, baik secara nasional
          maupun internasional.
“Lain dari Yudhoyono atau
          sebagian besar dari pemimpin kita, Walikota Palu memilih
          mengakui dan mengakhiri masa lampau, karena kata beliau kepada
          saya suatu ketika: “(Kekejaman) semacam itu tidak boleh
          terulang lagi”. Ia belajar dari pengalaman pribadinya
          kerusakan dan kerugian terhadap masyarakat sama seperti
          terhadap para korban, sebagai akibat dari stigmatisasi
          dilibatkan dengan Gerakan 30 September, dan (ia) menyimpulkan
          bahwa para penyintas berhak atas kedamaian dan hargadiri
          manusia.
“Pengaturan Palu cocok dengan
          penghargaan yang diberikan pada kota tsb oleh Kementerian
          Hukum dn Ham kepada Palu: Kota Sadar Ham. Pengaturan tsb
          merupakan usaha Walikota untuk merealisasi janjinya sebagai
          tindak lanjut permintaan maaf yang dilakukannya secara resmi.
“Prakarsa Palu mengingatkan
          kita pada satu hal penting di dalam demokrasi: Bahwa adalah
          selalu mungkin mendorong terjadinya perubahan di tingkat
          lokal, meskipun statusquo masih kuat di pusat politik di
          Indonesia. Versi yang diuarkan oleh Orde Baru mengenai apa
          yang dinamakan “kudeta yang gagal” yang dituduhkan pada Partai
          Komunis Indonesia (PKI) dan (dengan itu) membenarkan
          pembunuhan masal terhadap orang-orang Kiri yang dicurigai dan
          warga sipil lainnya. Ini adalah legitimasi politik yang
          digunakan Presiden Suharto untuk berkuasa terus selama lebih
          dari tiga dasawarsa.
“Sejak dimulainya era
          Reformasi 1998 dan kegagalannya untuk mengakui sejarah kelam
          negeri ini, cerita yang sama masih kuat dan telah memberikan
          dasar bagi legitimasi politik untuk rezim-rezim baru yang
          dikatakan demokratis.
*
          * *
Permintaan maaf serupa pernah dilakukan oleh Gus Dur, mantan Presiden RI. Ada sedikit perbedaan. Kotapraja Palu memulihkan hak/hak kekeluargaan korban. Gus Dur belum sampai kesitu. Makanya Pramudya Ananta Tur merespons permintaan maaf Gus Dur, menyatakan `kok gampang amat minta maaf ´. Pram menuntut Gus Dur sebagai pejabat tertinggi negara melakukan tindakan kongkrit di bidang pemulihan hak-hak kewarganegaraa korban. Baik lewat MPRS atau dalam posisi beliau sebagai Presiden R.I.
Mungkin Gus Dur juga bermaksud
        demikian. Hanya kurang waktu dan keburu digulingkan oleh manuver
        politik Amin Rais-Akbar Tanjung-Wiranto. . . ., dan . . . . .
        Megawati.
* * *
Kesimpulan
yang
          dikemukakan dalam tulisan Sri Sulastri Wahyuningroem, sesuai
          dengan kenyataan situasi Indonesia dewasa ini.  
Perubahan-perubahan yang
        berkembang selangkah demi selangkah sejak dimulainya era
        reformsi, menunjukkan adanya kemajuan-kemajuan di daerh yang
        bersifat pendobrakan terhadap situasi “jalan ditempat”: yang
        masih berlangsung di pusat. Di lain fihak masih terjadi
        peritsiwa di Jawa Timur, dimana suatu pertemuan peluncuran buku
        mengenai TAN MALAKA di ancam dibubarkan oleh organisasi yang
        mengatasnamai Islam.
Gerakan
masal
          yang berkembang terus di daerah --- suatu waktu akan
          menghasilkan perubahan berarti di tingkat pusat. Dalam hal
          gerakan daerah yang maju, Kota Palu dan Walikotanya Rusdy
          Mastura, adalah TELADAN!!
* * *  

No comments:
Post a Comment