IBRAHIM ISA
03 Febr 2014
-------------------
DUA PENDAPAT SEKITAR - MENGENANG SIAUW GIOK TJAHN
CHAN CT DAN ASAHAN
* * *
CHAN C.T.
---------------
--
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "diskusi kita" dari Grup Google.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke diskusi-kita+berhenti berlangganan@googlegroups.com .
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.
Entah dari mana dan bagaimana
tulisan Harry Bhaskara “Mengenang Siauw Giok Tjhan,
Pejuang Kemerdekaan Indonesia” bisa dikatakan
berbau etnis centris? Darti sepenggal kutipan: “Tokoh-tokohnya
antara lain Liem Koen Hian. Tan Ling Djie
(sekjen Partai Sosialis, wakil sekjen PKI di
zaman Musso, ketua PKI setelah peristiwa Madiun
hingga dikup
oleh Aidit Cs pada tahun
1951)....................." Bisakah?
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "diskusi kita" dari Grup Google.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke diskusi-kita+berhenti berlangganan@googlegroups.com .
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.
Dari pengamatan saya setelah membaca
tulisan Harry Bhaskara dibawah ini, saya hanya
berkesan, penulisa saat menjelang Hari Kemerdekaan
RI ke-68, terkenang kembali pada sosok Siauw Giok
Tjhan, salah seorang pejuang Kemerdekaan RI yang
di-“HAPUS”kan dalam sejarah perjuangan bangsa ini!
Muda-Mudi anak bangsa ini sudah tidak lagi mengenal
nama Siauw Giok Tjhan dalam perjuangan bangsa
Indonesia, ... Dengan sendirinya pusat sorotan
tulisan adalah pada diri SGT, dalam perjuangan
kemerdekaan RI dan tentunya juga tidak luput
terangkat dirinya yang kebetulan dari etnis
Tionghoa. Apakah dengan demikian menjadi berbau
etnis centris? Saya kira tidak!
Yang jelas TIDAK ada sepatah katapun
dari penunilis, bisa ditafsirkan hanya menonjolkan
perjuangan etnis Tionghoa dengan mengurangi,
mengebawahkan apalagi meniadakan perjuangan
suku-suku lain, ... penekananannya selalu pada ada
peran etnis Tionghoa bersama-sama suku-suku lainnya
dalam pembangunan bangsa ini. Lalu, bisakah kutipan
“Tokoh-tokohnya antara lain
Liem Koen Hian. Tan Ling Djie (sekjen Partai
Sosialis, wakil sekjen PKI di zaman Musso, ketua
PKI setelah peristiwa Madiun hingga dikup oleh
Aidit Cs pada tahun 1951).....................” orang berkesan
atau ditafsirkan etnis cengtris? Saya
kira juga TIDAK! Bagaimana bisa?
Saya tidak jelas bagaimana
sesungguhnya perjuangan intern PKI ketika itu
terjadi, ... juga sulit dinyatakan penyingkiran Tan
Ling Djie dari teras pimpinan utama PKI ketika itu
oleh DN. Aidit cs, adalah bentuk konkrit
penyingkiran etnis Tionghoa di-PKI. Karena dalam
kenyataan PKI tidak menyingkirkan tokoh-tokoh
komunis dari etnis Tionghoa, masih ada Tjo Tik
Tjoen, Oey Hay Djoen, ... disitu. Dan, ... dalam
gerak perjuangan selanjutnya, PKI juga kenyataan
mendekati dan banyak mendukung apa yang
diperjuangkan BAPERKI, pokoknya bersama-sama dalam
satu FRONT dengan gigih mendukung perjuangan politik
bung Karno. Dan, yang saya ketahui, bersamaan dengan
penyingkiran Tan Ling Djie, juga tokoh tua seperti
Alimin, ... tidak ingat, apakah Alimin masih sebagai
anggota CC, tapi jelas Tan Ling Djie sekalipun
disingkirkan sebagai Sekjen PKI, tapi tetap sebagai
anggota CC sampai wafat, mati-kelaparan di dalam
penjara Soeharto.
Perjuangan 2 garis? Saya juga tidak
jelas bagaimana sesungguh perjuangan 2 garis itu
terjadi didalam PKI. Yang saya ketahui, DN. Aidit cs
yang berhasil menduduki pimpinan utama PKI, diawal
tahun 50-an melancarkan gerakan mengkritik apa yang
dinamakan “Tan Ling Djie-isme”, yang dituduh
menempuh parlementerisme, jalan damai dan, ... Hanya
saja sungguh ironis, apa yang dituduhkan “Tan Ling
Djie-isme” itu jalan PARLEMENTERISME, kenyataan yang
justru dijalankan DN Aidit cs dan mengakibatkan PKI
hancur tidak lebih dari 8 jam digebuk Soeharto!
Padahal, prinsip yang diajukan Tan Ling Djie,
setelah PKI baru digebuk dengan banyak korban dalam
Peristiwa Madiun, harus menggunakan kesempatan
perjuangan legal yang masih bisa dijalankan ketika
itu, juga harus ikut dalam perjuangan parlemen.
Sekalipun Tan LD tidak mengajukan bentuk dan sampai
batas mana parlemen itu harus digunakan, tapi juga
jelas TIDAK menekankan perjuangan parlementer
sebagai bentuk perjuangan utama PKI. Sedang
pembangunan organisasi PKI harus TETAP dipertahankan
sebagai partai kader, tidak merubah menjadi
partai-massa sebagaimana dijalankan DN Aidit yang
hanya mengutamakan mengejar jumlah anggota, tidak
lagi mengutamakan kwalitas kekaderan! Ingat saya,
Harsutedjo dalam bukunya: “G30S, Sejarah Yang
Digelapkan”, menyatakan kira-kira begini: “Aidit
yang ditahun 1951, baru berusia 38 tahun, bersama
Lukman dan Nyoto menempati kedudukan pimpinan utama
PKI. PKI ditahun 1952 hanya berjumlah 8 ribu
anggota, ... tapi didalam pemilihan umum tahun 1955
berhasil menjadi Partai besar ke-4. Dan tahun 1964 jumlah
anggota sudah mencapai lebih 2 juta.” Sungguh
dahsyat pertumbuhan jumlah anggota PKI, dalam waktu
tidak lebih 5 tahun berhasil disulap menjadi 4
Partai terbesar, kemudian tidak sampai 10 tahun
menjadi Partai Komunis terbesar didunia, diluar
negara sosialis USSR dan RRT.
Hanya saja, justru karena PKI
menyalahi prinsip-prinsip perjuangan dan pembangunan
Partai yang diajukan Tan Ling Djie, sebaliknya
secara kebablasan mengutamakan perjuangan
parlementer, jalan damai dan membuka PKI menjadi
partai yang hanya mengejar jumlah keanggotaan,
akhirnya PKI berubah menjadi RAKSASA berkaki
lempung! Tidak lebih 8 jam digebuk Soeharto ambruk
luluh dan tidak bisa bangkit kembali sampai
sekarang, sekalipun sudah lewat hampir 1/2 abad.
Masih ada apa lagi yang perlu dibanggakan deengan
kesalahan-kesalahan Aidit?
Salam,
ChanCT
From: ASAHAN
Sent: Tuesday, February 4, 2014 2:41
AM
To: wahana-news@yahoogroups.com
; SASTRA
PEMBEBASAN ; SANTRI
KIRI ; RumahKitaBersama@yahoogroups.com
; Pembebasan_Papua@yahoogroups.com
; mimbar-bebas@yahoogroups.com
; inti-net@yahoogroups.com
; Group
Diskusi Kita ; artculture-indonesia@yahoogroups.com
; AKSARA
SASTRA
Subject: Fw: #sastra-pembebasan#
Mengenang Siauw Giok Tjhan, pejuang kemerdekaan
Indonesia
AMAT
disayangkan tulisan di bawah ini berbau etnis
centris hingga melebihi dosis norma kesetaraan
multi etnis di Indonesia. Meskipun ini belum
sebuah kecenderungan umum namun selalu bisa
mengganggu cita rasa keharmonisan dalam satu
masyarakat yang poly etnis seperti Indonesia.
Kata-kata seperti " Tokoh-tokohnya antara
lain Liem Koen Hian. Tan Ling Djie (sekjen
Partai Sosialis, wakil sekjen PKI di zaman
Musso, ketua PKI setelah peristiwa Madiun
hingga dikup oleh Aidit Cs
pada tahun 1951)....................."
Sebuah
Partai yang belum berkuasa yang didalamnya
terjadi perjuangan intern Partai kata dikup
tidaklah tepat dan hanya menunjukkan
emosi dan sentimen politik dan dalam konteksnya
yang sekarang mengesankan seolah etnis Tionghoa
dalam PKI ingin dibersihkan dari jajaran
kepemimpinan Partai yang baru. Perjuangan intern
Partai tidak dilihat dari sifat perjuangan klas
tapi dari penyingkiran etnis Tionghoa dari
pimpinan Partai dan karenanya mengesankan etnis
centris dan sentimen politik. Kicauan demikian
tentu berbunyi merdu di telinga musuh-musuh PKI
yang anti Tiongkok yang sama seperti mengatakan:
anti Tiongkok itu bahkan sudah lama ada dalam
Partai PKI yang buktinya Tan Ling Djie dikup dan
disingkirkan dari Partai. Bukankah ini juga
usaha pendekatan ke sebrang sana...?
Setelah
peristiwa G30S-suhartO banyak orang yang mengelak
dari kedekatannya dengan PKI seperti peryataannya:
"saya bukan PKI" atau "saya cuma terbawa-bawa
masuk PKI" atau "saya dipaksa masuk PKI" dsb, dsb,
dsb... Dan yang terkenal pula ucapan Oei Hai
Djoen Cs yang mengatakan "Ketua PKI memaksakan
Lekra masuk PKI, tapi bung Nyoto tidak setuju".
Tapi semua itu tidak pernah terbuktikan sama
seperti suhartO tidak pernah bisa membuktikan
bahwa PKI dalang G30S.
Ajip
Rosidi seorang sastrawan yang dikenal anti
Komunis(dia punya banyak sahabat yang Komunis)
pernah mengatakan bahwa dia jijik pada tokoh
Komunis yang menolak kaumnya sendiri, keluarganya
sendiri, kawan-kawan2nya sendiri. Sekarang semua
pengkhianat bebas buka mulut asalkan bisa
mendekatkan diri dengan musuh-musuh PKI untuk
mengemis amnesti. Kritik-kritik terhadap PKI bukan
diarahkan pada kesalahan garis politik PKI tapi
asalkan bisa menyenangkan hati musuh-musuh PKI.
ASAHAN.
----- Original Message
-----
From:
Chan CT
To: GELORA_In
Sent: Sunday, February 02, 2014 3:19 PM
Subject: #sastra-pembebasan# Mengenang
Siauw Giok Tjhan, pejuang kemerdekaan Indonesia
Mengenang Siauw Giok Tjhan,
pejuang kemerdekaan Indonesia
Harry Bhaskara
Brisbane, 7 Agustus 2013
Kalau
saja Siauw Giok Tjhan masih hidup, ia
akan menyongsong peringatan hari
kemerdekaan Indonesia yang ke 68 ini
dengan hati berbunga-bunga.
Betapa
tidak, begitu banyak hal yang ia
perjuangkan telah menjadi kenyataan.
Indonesia hanya mengenal satu macam
kewarganegaran dengan hak dan kewajiban
yang sama. Tak ada lagi pembagian “asli”
atau pribumi dengan non-pribumi.
Kemanunggalan
komunitas Tionghoa dengan rakyat
Indonesia juga makin nyata dengan
banyaknya anggota komunitas ini yang
berkiprah didalam masyarakat. Contoh
terakhir adalah Basuki “Ahok” Tjahaya
Purnama yang menjadi wakil gubernur
Jakarta.
Larangan
terhadap kebudayaan Tionghoa sudah
dihapus.
Bagi
Siauw hal ini hanya membenarkan
pandangannya bahwa kebudayaan tak bisa
dimusnahkan. Sama seperti alam Indonesia
yang kaya, perbedaan kebudayaan berbagai
suku di Indonesia adalah sebentuk
kekayaan.
Siauw
yang meninggal tahun 1981 adalah seorang
wartawan pejuang yang kemudian duduk
dalam berbagai bidang legislatif dari
KNIP sampai MPRS dan menjadi menteri
dalam kabinet Amir Syarifuddin.
Siauw
bahkan memperjuangkan agar Tionghoa
diterima sebagai suku sendiri,
sebagaimana didukung oleh Soekarno,
presiden pertama Indonesia, karena
orang Tionghoa di Indonesia memiliki
budaya sendiri yang khas yang berbeda
dengan orang-orang Tionghoa di negara
lain termasuk di Tiongkok sendiri.
Namun
naskah-naskah tulisan yang
ditinggalkannya beberapa tahun sebelum
meninggal, termasuk “Lima Jaman”,
membuktikan bahwa perjuangannya
meletakkan kepentingan rakyat di atas
kepentingan komunitas Tionghoa.
Dari
naskah-naskah tersebut nyata bahwa
obsesi utamanya adalah membasmi
kemiskinan rakyat dan membangun
Indonesia yang gemilang.
Siauw
Giok Tjhan adalah ketua Badan
Permusyawaratan Kewarganaegaraan
Indonesia (Baperki) ketika peristiwa
G30S meletus pada tahun 1965. Seperti
banyak pemimpin dan anggota organisasi
yang dianggap sealiran dengan Partai
Komunis Indonesia, ia ditahan selama 12
tahun.
Namun
setelah ditahan tanpa pernah dibuktikan
kesalahannya ia tidak merasa getir
terhadap Indonesia, tutur Dr. Siauw
Tiong Djin, putranya yang ditemui di
Melbourne.
“Ia
memang selalu berpikir positif dan
optimis,” tutur Tiong Djin, tokoh
masyarakat Indonesia dan pengusaha yang
berhasil di Melbourne.
Adalah
almarhum Daniel Lev dari Amerika dan
almarhum Herb Feith dari Australia, dua
ahli terkemuka dan pencinta Indonesia,
serta Go Gien Tjwan, teman seperjuangan
Siauw, yang mendorong Tiong Djin untuk
membuat buku riwayat hidup ayahnya.
“Kamu
punya pengalaman langsung,” begitu
kira-kira ucapan Lev pada Tiong Djin
yang pindah ke Melbourne ketika ia masih
kelas tiga SMA sekitar 40 tahun lalu.
Buku
berjudul “Siauw Giok Tjhan Dalam
Pembangunan Nasion Indonesia” selesai
ditulisnya tahun 1998 sebagai tesis
PhDnya di Universitas Monash.
Tiong
Djin kemudian juga mengedit
naskah-naskah terakhir Siauw yang
diterbitkan oleh Lembaga Kajian Sinergi
Indonesia tahun 2010 dalam sebuah buku
berjudul “Renungan Seorang Patriot
Indonesia: Siauw Giok Tjhan”.
Menurut
Tiong Djin, sumbangan komunitas Tionghoa
dalam sektor ekonomi cukup besar sejak
zaman penjajahan Belanda. Sumbangan ini
mencakup pembentukan jaringan distribusi
antara desa dan kota maupun antar kota;
pembentukan jaringan retail;
transportasi dan penggilingan beras.
Dalam
bidang politik dan kebudayaan, komunitas
Tionghoa diketahui sudah lama aktif
dalam dunia penerbitan seperti
suratkabar dan buku-buku.
“Sebagian
besar surat kabar dan majalah berbahasa
Indonesia pra- kemerdekaan dijalankan
dan dimodali oleh komunitas Tionghoa,”
tuturnya.
Penyebar-luasan
berita tentang aspirasi para pejuang
kemerdekaan Indonesia dilakukan oleh
beberapa surat kabar terutama Sin Po,
Matahari dan Sin Tit Po.
“Kedua
suratkabar terakhir ini dipimpin oleh
tokoh-tokoh Partai Tionghoa Indonesia
(PTI),” tambahnya.
Dr.
David Hill, professor dan kepala Studi
Asia di Murdoch University, Perth,
mengatakan banyak orang Tionghoa yang
ikut mendukung pergerakan kemerdekaan
Indonesia.
“Yang
jelas, cukup banyak organisasi serta
pemimpin masyarakat Tionghoa yang muncul
pada awal kemerdekaan untuk menyatakan
dukungannya pada gerakan tersebut,”
tuturnya.
Seperti
Tiong Djin, Hill yang juga dikenal
sebagai pemerhati pers Indonesia,
mengatakan peranan masyarakat Tionghoa
sangat terkenal di bidang media.
“Wartawan
ataupun editor yang berperan penting
antara lain adalah Inyo Beng Goat dengan
koran Keng Po,” tambah Hill.
Peran
ini kemudian diteruskan di zaman
kemerdekaan oleh orang-orang seperti
P.K. Oyong dengan Kompas, tambahnya.
“Tanpa
masukan dan sumbangan pikiran,
kepemimpinan, dan tenaga dari orang2
seperti mereka itu, sulit membayangkan
media cetak Indonesia berkembang seperti
yang kita lihat sekarang,” tuturnya.
Sejalan
dengan itu, Hill mengatakan, sumbangan
komunitas Tionghoa juga besar terhadap
perkembangan bahasa Indonesia.
“Kalau
kita lihat ciri-ciri bahasa Indonesia
sekarang, jelas mencerminkan kata-kata
yang berasal dari bahasa Tionghoa, baik
dalam bahasa baku maupun bahasa lisan
yang informal,” tambah Hill yang di
Australia gigih memperjuangkan
kelangsungan pelajaran bahasa Indonesia
baik di sekolah maupun di universitas
yang terus tergerus sejak lebih 10 tahun
terakhir.
“Kata-kata
yang berasal dari bahasa Tionghoa cukup
banyak, antara lain, kakak, kecap, kue,
kuli, lihai, lobak, loténg, tahu, teh,
dan teko,” tuturnya.
Pendapat
Hill didukung oleh Dr. Ian Chalmers,
dosen senior dalam Studi Asia dan
Hubungan Internasional di Curtin
University, Perth.
“Saya
kira sudah diterima oleh kebanyakan
sejarawan bahwa masyarakat Tionghoa
Indonesia mengawali gerakan kemerdekaan
dengan kegiatan di bidang budaya, dengan
mempromosikan pemakaian bahasa
Indonesia,” tuturnya pada Kompas.
“Yang
menarik, perubahan pada tingkat
kesadaran dan visi masa depan tersebut
justru mendahului perubahan pada tingkat
politik dengan meningkatnya kepercayaan
diri kelompok-kelompok tertentu didalam
masyarakat Tionghoa,” tuturnya.
Mungkin
karena banyak masyarakat Tionghoa
terlibat dalam dunia bisnis, tambah
Chalmers, maka mereka sudah terbiasa
memakai bahasa Melayu
“Jadi
tidak mengherankan bila banyak usaha
pers untuk pertama kali dimulai ataupun
dikerjakan oleh wartawan keturunan
Tionghoa,” tutur Chalmers.
Tiong
Djin menambahkan, lahirnya PTI telah
mendorong partisipasi komunitas Tionghoa
dalam kancah perjuangan nasional.
Tokoh-tokohnya
antara lain Liem Koen Hian, Tan Ling
Djie (sekjen Partai Sosialis, wakil
sekjen PKI di zaman Musso, ketua PKI
setelah peristiwa Madiun hingga dikup
oleh Aidit Cs pada tahun 1951), Tjoa Sik
Ien, Oei Gee Hwat (yang dibunuh bersama
Amir Syarifuddin pada tahun 1948) dan
Siauw Giok Tjhan.
Menurut
Tiong Djin, keteguhan sikap ayahnya
untuk mendukung kemerdekaan Indonesia
terbentuk di PTI.
Sikap
itu antara lain adalah menerima
Indonesia sebagai tanah air komunitas
Tionghoa; komunitas Tionghoa di
Indonesia adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari bangsa Indonesia;
Tiongkok dan Belanda bukan
pilihan hidup komunitas Tionghoa dan
jalan keluar jangka panjang untuk
komunitas Tionghoa adalah terwujudnya
negara Indonesia yang merdeka.
“Keteguhan
ini juga bersandar atas paham Marxisme
yang di zaman itu menjadi “the in thing”
– melawan kelaliman dan penindasan.
“Belanda
berada di pihak penindas, pemeras.
Rakyat Indonesia adalah pihak
yang harus dibela dan dibebaskan dari
belenggu penjajahan dan penindasan.”
Keteguhan
sikap berkembang pula karena kian
mendekatnya hubungan Siauw dengan para
tokoh nasionalis lainnya, sebelum Jepang
masuk dan selama Jepang menduduki
Indonesia dari 1942 hingga 1945, tambah
Tiong Djin.
“Di awal
kemerdekaan, bersama tiga tokoh PTI,
Liem Koen Hian, Tan Ling Djie dan
Tjoa Sik Ien, Siauw ikut memformulasi
tuntutan komunitas Tionghoa dalam
pembahasan bentuk negara merdeka
Indonesia melalui Liem Koen Hian yang
yang menjadi anggota Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI).
“Ekses-ekses
revolusi yang merugikan komunitas
Tionghoa dilihatnya sebagai ekses dan
proses yang memerlukan pendidikan
politik. Oleh karena itu
Siauw aktif di Partai Sosialis dan
secara kebetulan diangkat sebagai
pimpinan penerangan Partai Sosialis
(1946-1948).”
Melalui
pers dan penerbitan buku-buku bacaan,
komunitas Tionghoa secara tidak langsung
membantu perkembangan bahasa Indonesia,
tambah Tiong Djin, dimulai dari bahasa
yang dinamakan Tionghoa-Melayu.
“Akan
tetapi, pada hakekatnya bahasa Indonesia
berkembang justru karena pers dan
buku-buku yang diterbitkan komunitas
Tionghoa,” tutur Tiong Djin.
Tiong
Djin memberi jawaban menarik ketika
ditanya tentang sikap para pejuang
Indonesia terhadap pejuang Tionghoa.
“Yang
progresif dan matang seperti Sukarno,
Hatta, Yamin, Amir Syarifuddin, Sjahrir,
Sutomo dan lain-lain menerima komunitas
Tionghoa sebagai aliansi dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
“Akan
tetapi cukup banyak yang melihat
Tionghoa sebagai aliansi Belanda karena
memang ada kelompok yang bersikap
demikian, yang dipimpin oleh Chung Hua
Hui.
“Juga
banyak yang menganggap Tionghoa sebagai
komunitas apatis, yang maunya hanya
berdagang dan hidup enak.
“Oposisi
dari komunitas Tionghoa sendiri berat.
Mereka menganggap anjuran Siauw
Giok Tjhan tidak tepat.
“Siapa
yang percaya bahwa Indonesia bisa
melawan Belanda? Dan
siapa yang menganggap Indonesia lebih
baik sebagai sandaran dibandingkan
dengan Tiongkok, one of the big Five di
PBB?
“Hingga
tahun 1950-an, pandangan Siauw tidak
diterima oleh sebagian besar komunitas
Tionghoa.”
Bagaimana
sikap Belanda terhadap komunitas
Tionghoa?
“Belanda
selalu menjalankan poltik ‘divide and
rule’. Tionghoa dipakai
sebagai alat ampuh dalam menjembatani
usaha dagang Belanda dan rakyat -
terutama dalam bidang retail dan
distribusi. Juga sebagai wakil mereka
dalam bidang perkebunan di berbagai
lokasi bahkan diberi pangkat mayor,
kapten dan letnan.
“Tapi
pada hakekatnya tidak diterima sebagai
Belanda dan dijadikan perisai dalam
menghadapi kemarahan rakyat.
“Tentunya
mereka khawatir dengan kehadiran PTI
yang mengandung gerakan politik
menunjang gerakan kemerdekaan,” tutur
Tiong Djin.
Lalu,
apakah yang ditinggalkan Siauw bagi
Indonesia?
Menurut
Tiong Djin warisan utama Siauw adalah
kewarganegaraan Indonesia bagi sebagian
besar komunitas Tionghoa.
“Tanpa
perjuangan Siauw pada tahun 1950-an
dalam membatalkan RUU kewarganegaraan
1953/1954, sebagian besar komunitas
Tionghoa kini berstatus asing.
“Warisan
lain adalah komunitas Tionghoa menerima
ajakan Siauw untuk menerima bahwa
Indonesia adalah tanah airnya, bukan
Tiongkok. Dan menerimanya dengan prinsip
integrasi, bukan assimilasi yaitu
menjadi Indonesia tanpa menghilangkan
ciri-ciri etnisitas dan kebudayaan
Tionghoa.”
Siauw
meninggal karena serangan jantung di
negeri Belanda, dimana ia menjalani
pengobatan setelah masa penahanan,
ketika berjalan kaki melintasi sebuah
jembatan untuk menjadi pembicara sebuah
diskusi mengenai Indonesia dengan para
intelektual Belanda.
Kepergiannya
bak sebuah metafora bahwa generasinya
adalah sebuah jembatan menuju Indonesia
yang gemilang.
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
Recent Activity:
_________________________
SASTRA-PEMBEBASAN, wacana sukasamasuka sastrakitakita
SASTRA-PEMBEBASAN, wacana sukasamasuka sastrakitakita
.
__,_._,___
-- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "diskusi kita" dari Grup Google.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke diskusi-kita+berhenti berlangganan@googlegroups.com .
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "diskusi kita" dari Grup Google.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke diskusi-kita+berhenti berlangganan@googlegroups.com .
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.
No comments:
Post a Comment