Saturday, February 15, 2014

DUA PENDAPAT SEKITAR - MENGENANG SIAUW GIOK TJAHN CHAN CT DAN ASAHAN

IBRAHIM ISA
03 Febr 2014
-------------------
 
DUA PENDAPAT SEKITAR - MENGENANG SIAUW GIOK TJAHN
CHAN CT DAN ASAHAN 

*    *    *


CHAN  C.T.
---------------


Entah dari mana dan bagaimana tulisan Harry Bhaskara “Mengenang Siauw Giok Tjhan, Pejuang Kemerdekaan Indonesia” bisa dikatakan  berbau etnis centris? Darti sepenggal kutipan: “Tokoh-tokohnya antara lain Liem Koen Hian. Tan Ling Djie (sekjen Partai Sosialis, wakil sekjen PKI di zaman Musso, ketua PKI setelah peristiwa Madiun hingga dikup oleh Aidit Cs pada tahun 1951)....................."  Bisakah?
 
Dari pengamatan saya setelah membaca tulisan Harry Bhaskara dibawah ini, saya hanya berkesan, penulisa saat menjelang Hari Kemerdekaan RI ke-68, terkenang kembali pada sosok Siauw Giok Tjhan, salah seorang pejuang Kemerdekaan RI yang di-“HAPUS”kan dalam sejarah perjuangan bangsa ini! Muda-Mudi anak bangsa ini sudah tidak lagi mengenal nama Siauw Giok Tjhan dalam perjuangan bangsa Indonesia, ... Dengan sendirinya pusat sorotan tulisan adalah pada diri SGT, dalam perjuangan kemerdekaan RI dan tentunya juga tidak luput terangkat dirinya yang kebetulan dari etnis Tionghoa. Apakah dengan demikian menjadi berbau etnis centris? Saya kira tidak!
 
Yang jelas TIDAK ada sepatah katapun dari penunilis, bisa ditafsirkan hanya menonjolkan perjuangan etnis Tionghoa dengan mengurangi, mengebawahkan apalagi meniadakan perjuangan suku-suku lain, ... penekananannya selalu pada ada peran etnis Tionghoa bersama-sama suku-suku lainnya dalam pembangunan bangsa ini. Lalu, bisakah kutipan “Tokoh-tokohnya antara lain Liem Koen Hian. Tan Ling Djie (sekjen Partai Sosialis, wakil sekjen PKI di zaman Musso, ketua PKI setelah   peristiwa Madiun hingga dikup oleh Aidit Cs pada tahun 1951).....................orang berkesan atau ditafsirkan etnis cengtris? Saya kira juga TIDAK! Bagaimana bisa?
 
Saya tidak jelas bagaimana sesungguhnya perjuangan intern PKI ketika itu terjadi, ... juga sulit dinyatakan penyingkiran Tan Ling Djie dari teras pimpinan utama PKI ketika itu oleh DN. Aidit cs, adalah bentuk konkrit penyingkiran etnis Tionghoa di-PKI. Karena dalam kenyataan PKI tidak menyingkirkan tokoh-tokoh komunis dari etnis Tionghoa, masih ada Tjo Tik Tjoen, Oey Hay Djoen, ... disitu. Dan, ... dalam gerak perjuangan selanjutnya, PKI juga kenyataan mendekati dan banyak mendukung apa yang diperjuangkan BAPERKI, pokoknya bersama-sama dalam satu FRONT dengan gigih mendukung perjuangan politik bung Karno. Dan, yang saya ketahui, bersamaan dengan penyingkiran Tan Ling Djie, juga tokoh tua seperti Alimin, ... tidak ingat, apakah Alimin masih sebagai anggota CC, tapi jelas Tan Ling Djie sekalipun disingkirkan sebagai Sekjen PKI, tapi tetap sebagai anggota CC sampai wafat, mati-kelaparan di dalam penjara Soeharto.
 
Perjuangan 2 garis? Saya juga tidak jelas bagaimana sesungguh perjuangan 2 garis itu terjadi didalam PKI. Yang saya ketahui, DN. Aidit cs yang berhasil menduduki pimpinan utama PKI, diawal tahun 50-an melancarkan gerakan mengkritik apa yang dinamakan “Tan Ling Djie-isme”, yang dituduh menempuh parlementerisme, jalan damai dan, ... Hanya saja sungguh ironis, apa yang dituduhkan “Tan Ling Djie-isme” itu jalan PARLEMENTERISME, kenyataan yang justru dijalankan DN Aidit cs dan mengakibatkan PKI hancur tidak lebih dari 8 jam digebuk Soeharto! Padahal, prinsip yang diajukan Tan Ling Djie, setelah PKI baru digebuk dengan banyak korban dalam  Peristiwa Madiun, harus menggunakan kesempatan perjuangan legal yang masih bisa dijalankan ketika itu, juga harus ikut dalam perjuangan parlemen. Sekalipun Tan LD tidak mengajukan bentuk dan sampai batas mana parlemen itu harus digunakan, tapi juga jelas TIDAK menekankan perjuangan parlementer sebagai bentuk perjuangan utama PKI. Sedang pembangunan organisasi PKI harus TETAP dipertahankan sebagai partai kader, tidak merubah menjadi partai-massa sebagaimana dijalankan DN Aidit yang hanya mengutamakan mengejar jumlah anggota, tidak lagi mengutamakan kwalitas kekaderan! Ingat saya, Harsutedjo dalam bukunya: “G30S, Sejarah Yang Digelapkan”, menyatakan kira-kira begini: “Aidit yang ditahun 1951, baru berusia 38 tahun, bersama Lukman dan Nyoto menempati kedudukan pimpinan utama PKI. PKI ditahun 1952 hanya berjumlah 8 ribu anggota, ... tapi didalam pemilihan umum tahun 1955 berhasil menjadi Partai besar ke-4. Dan tahun 1964 jumlah anggota sudah mencapai lebih 2 juta.” Sungguh dahsyat pertumbuhan jumlah anggota PKI, dalam waktu tidak lebih 5 tahun berhasil disulap menjadi 4 Partai terbesar, kemudian tidak sampai 10 tahun menjadi Partai Komunis terbesar didunia, diluar negara sosialis USSR dan RRT.
 
Hanya saja, justru karena PKI menyalahi prinsip-prinsip perjuangan dan pembangunan Partai yang diajukan Tan Ling Djie, sebaliknya secara kebablasan mengutamakan perjuangan parlementer, jalan damai dan membuka PKI menjadi partai yang hanya mengejar jumlah keanggotaan, akhirnya PKI berubah menjadi RAKSASA berkaki lempung! Tidak lebih 8 jam digebuk Soeharto ambruk luluh dan tidak bisa bangkit kembali sampai sekarang, sekalipun sudah lewat hampir 1/2 abad. Masih ada apa lagi yang perlu dibanggakan deengan kesalahan-kesalahan Aidit?
 
 
Salam,
ChanCT
 
 
 
 
From: ASAHAN
Sent: Tuesday, February 4, 2014 2:41 AM
Subject: Fw: #sastra-pembebasan# Mengenang Siauw Giok Tjhan, pejuang kemerdekaan Indonesia
 
AMAT disayangkan tulisan di bawah ini berbau etnis centris hingga melebihi dosis norma kesetaraan multi etnis di Indonesia. Meskipun ini belum sebuah kecenderungan umum namun selalu bisa mengganggu cita rasa keharmonisan dalam satu masyarakat yang poly etnis seperti Indonesia. Kata-kata seperti " Tokoh-tokohnya antara lain Liem Koen Hian. Tan Ling Djie (sekjen Partai Sosialis, wakil sekjen PKI di zaman Musso, ketua PKI setelah   peristiwa Madiun hingga dikup oleh Aidit Cs pada tahun 1951)....................."
 
Sebuah Partai yang belum berkuasa yang didalamnya terjadi perjuangan intern Partai kata dikup tidaklah tepat dan hanya menunjukkan emosi dan sentimen politik dan dalam konteksnya yang sekarang mengesankan seolah etnis Tionghoa dalam PKI ingin dibersihkan dari jajaran kepemimpinan Partai yang baru. Perjuangan intern Partai tidak dilihat dari sifat perjuangan klas tapi dari penyingkiran etnis Tionghoa dari pimpinan Partai dan karenanya mengesankan etnis centris dan sentimen politik. Kicauan demikian tentu berbunyi merdu di telinga musuh-musuh PKI yang anti Tiongkok yang sama seperti mengatakan: anti Tiongkok itu bahkan sudah lama ada dalam Partai PKI yang buktinya Tan Ling Djie dikup dan disingkirkan dari Partai. Bukankah ini juga usaha pendekatan ke sebrang sana...?
 
Setelah peristiwa G30S-suhartO banyak orang yang mengelak dari kedekatannya dengan PKI seperti peryataannya: "saya bukan PKI" atau "saya cuma terbawa-bawa masuk PKI" atau "saya dipaksa masuk PKI" dsb, dsb, dsb... Dan yang terkenal pula ucapan  Oei Hai Djoen Cs yang mengatakan "Ketua PKI memaksakan Lekra masuk PKI, tapi bung Nyoto tidak setuju". Tapi semua itu tidak pernah terbuktikan sama seperti suhartO tidak pernah bisa membuktikan bahwa PKI dalang G30S.
Ajip Rosidi seorang sastrawan yang dikenal anti Komunis(dia punya banyak sahabat yang Komunis) pernah mengatakan bahwa dia jijik pada tokoh Komunis yang menolak kaumnya sendiri, keluarganya sendiri, kawan-kawan2nya sendiri. Sekarang semua pengkhianat bebas buka mulut asalkan bisa mendekatkan diri dengan musuh-musuh PKI untuk mengemis amnesti. Kritik-kritik terhadap PKI bukan diarahkan pada kesalahan garis politik PKI tapi asalkan bisa menyenangkan hati musuh-musuh PKI.
ASAHAN.
 
 
----- Original Message -----
From: Chan CT
To: GELORA_In
Sent: Sunday, February 02, 2014 3:19 PM
Subject: #sastra-pembebasan# Mengenang Siauw Giok Tjhan, pejuang kemerdekaan Indonesia
 

Mengenang Siauw Giok Tjhan,
pejuang kemerdekaan Indonesia
Harry Bhaskara
Brisbane, 7 Agustus 2013

     Kalau saja Siauw Giok Tjhan masih hidup, ia akan menyongsong peringatan hari kemerdekaan Indonesia yang ke 68 ini dengan hati berbunga-bunga.
     Betapa tidak, begitu banyak hal yang ia perjuangkan telah menjadi kenyataan. Indonesia hanya mengenal satu macam kewarganegaran dengan hak dan kewajiban yang sama. Tak ada lagi pembagian “asli” atau pribumi dengan non-pribumi.
     Kemanunggalan komunitas Tionghoa dengan rakyat Indonesia juga makin nyata dengan banyaknya anggota komunitas ini yang berkiprah didalam masyarakat. Contoh terakhir adalah Basuki “Ahok” Tjahaya Purnama yang menjadi wakil gubernur Jakarta.
     Larangan terhadap kebudayaan Tionghoa sudah dihapus.
     Bagi Siauw hal ini hanya membenarkan pandangannya bahwa kebudayaan tak bisa dimusnahkan. Sama seperti alam Indonesia yang kaya, perbedaan kebudayaan berbagai suku di Indonesia adalah sebentuk kekayaan.
     Siauw yang meninggal tahun 1981 adalah seorang wartawan pejuang yang kemudian duduk dalam berbagai bidang legislatif dari KNIP sampai MPRS dan menjadi menteri dalam kabinet Amir Syarifuddin.
     Siauw bahkan memperjuangkan agar Tionghoa diterima sebagai suku sendiri, sebagaimana didukung oleh Soekarno, presiden pertama Indonesia,  karena orang Tionghoa di Indonesia memiliki budaya sendiri yang khas yang berbeda dengan orang-orang Tionghoa di negara lain termasuk di Tiongkok sendiri.
     Namun naskah-naskah tulisan yang ditinggalkannya beberapa tahun sebelum meninggal, termasuk “Lima Jaman”, membuktikan bahwa perjuangannya meletakkan kepentingan rakyat di atas kepentingan komunitas Tionghoa.
     Dari naskah-naskah tersebut nyata bahwa obsesi utamanya adalah membasmi kemiskinan rakyat dan membangun Indonesia yang gemilang.
     Siauw Giok Tjhan adalah ketua Badan Permusyawaratan Kewarganaegaraan Indonesia (Baperki) ketika peristiwa G30S meletus pada tahun 1965. Seperti banyak pemimpin dan anggota organisasi yang dianggap sealiran dengan Partai Komunis Indonesia, ia ditahan selama 12 tahun.
     Namun setelah ditahan tanpa pernah dibuktikan kesalahannya ia tidak merasa getir terhadap Indonesia, tutur Dr. Siauw Tiong Djin, putranya yang ditemui di Melbourne.
     “Ia memang selalu berpikir positif dan optimis,” tutur Tiong Djin, tokoh masyarakat Indonesia dan pengusaha yang berhasil di Melbourne.
     Adalah almarhum Daniel Lev dari Amerika dan almarhum Herb Feith dari Australia, dua ahli terkemuka dan pencinta Indonesia, serta Go Gien Tjwan, teman seperjuangan Siauw, yang mendorong Tiong Djin untuk membuat buku riwayat hidup ayahnya.
     “Kamu punya pengalaman langsung,” begitu kira-kira ucapan Lev pada Tiong Djin yang pindah ke Melbourne ketika ia masih kelas tiga SMA sekitar 40 tahun lalu.
     Buku berjudul “Siauw Giok Tjhan Dalam Pembangunan Nasion Indonesia” selesai ditulisnya tahun 1998 sebagai tesis PhDnya di Universitas Monash.
     Tiong Djin kemudian juga mengedit naskah-naskah terakhir Siauw yang diterbitkan oleh Lembaga Kajian Sinergi Indonesia tahun 2010 dalam sebuah buku berjudul “Renungan Seorang Patriot Indonesia: Siauw Giok Tjhan”.
     Menurut Tiong Djin, sumbangan komunitas Tionghoa dalam sektor ekonomi cukup besar sejak zaman penjajahan Belanda. Sumbangan ini mencakup pembentukan jaringan distribusi antara desa dan kota maupun antar kota; pembentukan jaringan retail; transportasi dan penggilingan beras.
     Dalam bidang politik dan kebudayaan, komunitas Tionghoa diketahui sudah lama aktif dalam dunia penerbitan seperti suratkabar dan buku-buku.
     “Sebagian besar surat kabar dan majalah berbahasa Indonesia pra- kemerdekaan dijalankan dan dimodali oleh komunitas Tionghoa,” tuturnya.
     Penyebar-luasan berita tentang aspirasi para pejuang kemerdekaan Indonesia dilakukan oleh beberapa surat kabar terutama Sin Po, Matahari dan Sin Tit Po.
     “Kedua suratkabar terakhir ini dipimpin oleh tokoh-tokoh Partai Tionghoa Indonesia (PTI),” tambahnya.
     Dr. David Hill, professor dan kepala Studi Asia di Murdoch University, Perth, mengatakan banyak orang Tionghoa yang ikut mendukung pergerakan kemerdekaan Indonesia.
     “Yang jelas, cukup banyak organisasi serta pemimpin masyarakat Tionghoa yang muncul pada awal kemerdekaan untuk menyatakan dukungannya pada gerakan tersebut,” tuturnya.
     Seperti Tiong Djin, Hill yang juga dikenal sebagai pemerhati pers Indonesia, mengatakan peranan masyarakat Tionghoa sangat terkenal di bidang media.
     “Wartawan ataupun editor yang berperan penting antara lain adalah Inyo Beng Goat dengan koran Keng Po,” tambah Hill.
     Peran ini kemudian diteruskan di zaman kemerdekaan oleh orang-orang seperti P.K. Oyong dengan Kompas, tambahnya.
     “Tanpa masukan dan sumbangan pikiran, kepemimpinan, dan tenaga dari orang2 seperti mereka itu, sulit membayangkan media cetak Indonesia berkembang seperti yang kita lihat sekarang,” tuturnya.
     Sejalan dengan itu, Hill mengatakan, sumbangan komunitas Tionghoa juga besar terhadap perkembangan bahasa Indonesia.
     “Kalau kita lihat ciri-ciri bahasa Indonesia sekarang, jelas mencerminkan kata-kata yang berasal dari bahasa Tionghoa, baik dalam bahasa baku maupun bahasa lisan yang informal,” tambah Hill yang di Australia gigih memperjuangkan kelangsungan pelajaran bahasa Indonesia baik di sekolah maupun di universitas yang terus tergerus sejak lebih 10 tahun terakhir.
     “Kata-kata yang berasal dari bahasa Tionghoa cukup banyak, antara lain, kakak, kecap, kue, kuli, lihai, lobak, loténg, tahu, teh, dan teko,” tuturnya.
     Pendapat Hill didukung oleh Dr. Ian Chalmers, dosen senior dalam Studi Asia dan Hubungan Internasional di Curtin University, Perth.
     “Saya kira sudah diterima oleh kebanyakan sejarawan bahwa masyarakat Tionghoa Indonesia mengawali gerakan kemerdekaan dengan kegiatan di bidang budaya, dengan mempromosikan pemakaian bahasa Indonesia,” tuturnya pada Kompas.
     “Yang menarik, perubahan pada tingkat kesadaran dan visi masa depan tersebut justru mendahului perubahan pada tingkat politik dengan meningkatnya kepercayaan diri kelompok-kelompok tertentu didalam masyarakat Tionghoa,” tuturnya.
     Mungkin karena banyak masyarakat Tionghoa terlibat dalam dunia bisnis, tambah Chalmers, maka mereka sudah terbiasa memakai bahasa Melayu
     “Jadi tidak mengherankan bila banyak usaha pers untuk pertama kali dimulai ataupun dikerjakan oleh wartawan keturunan Tionghoa,” tutur Chalmers.
     Tiong Djin menambahkan, lahirnya PTI telah mendorong partisipasi komunitas Tionghoa dalam kancah perjuangan nasional.
     Tokoh-tokohnya antara lain Liem Koen Hian, Tan Ling Djie (sekjen Partai Sosialis, wakil sekjen PKI di zaman Musso, ketua PKI setelah peristiwa Madiun hingga dikup oleh Aidit Cs pada tahun 1951), Tjoa Sik Ien, Oei Gee Hwat (yang dibunuh bersama Amir Syarifuddin pada tahun 1948) dan Siauw Giok Tjhan.
     Menurut Tiong Djin, keteguhan sikap ayahnya untuk mendukung kemerdekaan Indonesia terbentuk di PTI.
     Sikap itu antara lain adalah menerima Indonesia sebagai tanah air komunitas Tionghoa; komunitas Tionghoa di Indonesia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia;  Tiongkok dan Belanda bukan pilihan hidup komunitas Tionghoa dan jalan keluar jangka panjang untuk komunitas Tionghoa adalah terwujudnya negara Indonesia yang merdeka.
     “Keteguhan ini juga bersandar atas paham Marxisme yang di zaman itu menjadi “the in thing” – melawan kelaliman dan penindasan. 
     “Belanda berada di pihak penindas, pemeras.  Rakyat Indonesia adalah pihak yang harus dibela dan dibebaskan dari belenggu penjajahan dan penindasan.”
     Keteguhan sikap berkembang pula karena kian mendekatnya hubungan Siauw dengan para tokoh nasionalis lainnya, sebelum Jepang masuk dan selama Jepang menduduki Indonesia dari 1942 hingga 1945, tambah Tiong Djin.
     “Di awal kemerdekaan, bersama tiga tokoh PTI,  Liem Koen Hian, Tan Ling Djie dan Tjoa Sik Ien, Siauw ikut memformulasi tuntutan komunitas Tionghoa dalam pembahasan bentuk negara merdeka Indonesia melalui Liem Koen Hian yang yang menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
     “Ekses-ekses revolusi yang merugikan komunitas Tionghoa dilihatnya sebagai ekses dan proses yang memerlukan pendidikan politik.  Oleh karena itu Siauw aktif di Partai Sosialis dan secara kebetulan diangkat sebagai pimpinan penerangan Partai Sosialis (1946-1948).” 
     Melalui pers dan penerbitan buku-buku bacaan, komunitas Tionghoa secara tidak langsung membantu perkembangan bahasa Indonesia, tambah Tiong Djin, dimulai dari bahasa yang dinamakan Tionghoa-Melayu. 
     “Akan tetapi, pada hakekatnya bahasa Indonesia berkembang justru karena pers dan buku-buku yang diterbitkan komunitas Tionghoa,” tutur Tiong Djin.
     Tiong Djin memberi jawaban menarik ketika ditanya tentang sikap para pejuang Indonesia terhadap pejuang Tionghoa.
     “Yang progresif dan matang seperti Sukarno, Hatta, Yamin, Amir Syarifuddin, Sjahrir, Sutomo dan lain-lain menerima komunitas Tionghoa sebagai aliansi dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
     “Akan tetapi cukup banyak yang melihat Tionghoa sebagai aliansi Belanda karena memang ada kelompok yang bersikap demikian, yang dipimpin oleh Chung Hua Hui.
     “Juga banyak yang menganggap Tionghoa sebagai komunitas apatis, yang maunya hanya berdagang dan hidup enak.
     “Oposisi dari komunitas Tionghoa sendiri berat.  Mereka menganggap anjuran Siauw Giok Tjhan tidak tepat. 
     “Siapa yang percaya bahwa Indonesia bisa melawan Belanda?  Dan siapa yang menganggap Indonesia lebih baik sebagai sandaran dibandingkan dengan Tiongkok, one of the big Five di PBB? 
     “Hingga tahun 1950-an, pandangan Siauw tidak diterima oleh sebagian besar komunitas Tionghoa.”
     Bagaimana sikap Belanda terhadap komunitas Tionghoa?
     “Belanda selalu menjalankan poltik ‘divide and rule’.  Tionghoa dipakai sebagai alat ampuh dalam menjembatani usaha dagang Belanda dan rakyat  - terutama dalam bidang retail dan distribusi. Juga sebagai wakil mereka dalam bidang perkebunan di berbagai lokasi bahkan diberi pangkat mayor, kapten dan letnan.
     “Tapi pada hakekatnya tidak diterima sebagai Belanda dan dijadikan perisai dalam menghadapi kemarahan rakyat.
     “Tentunya mereka khawatir dengan kehadiran PTI yang mengandung gerakan politik menunjang gerakan kemerdekaan,” tutur Tiong Djin.
     Lalu, apakah yang ditinggalkan Siauw bagi Indonesia?
     Menurut Tiong Djin warisan utama Siauw adalah kewarganegaraan Indonesia bagi sebagian besar komunitas Tionghoa.
     “Tanpa perjuangan Siauw pada tahun 1950-an dalam membatalkan RUU kewarganegaraan 1953/1954, sebagian besar komunitas Tionghoa kini berstatus asing.
     “Warisan lain adalah komunitas Tionghoa menerima ajakan Siauw untuk menerima bahwa Indonesia adalah tanah airnya, bukan Tiongkok. Dan menerimanya dengan prinsip integrasi, bukan assimilasi yaitu menjadi Indonesia tanpa menghilangkan ciri-ciri etnisitas dan kebudayaan Tionghoa.”
     Siauw meninggal karena serangan jantung di negeri Belanda, dimana ia menjalani pengobatan setelah masa penahanan, ketika berjalan kaki melintasi sebuah jembatan untuk menjadi pembicara sebuah diskusi mengenai Indonesia dengan para intelektual Belanda.
     Kepergiannya bak sebuah metafora bahwa generasinya adalah sebuah jembatan menuju Indonesia yang gemilang.
      

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
_________________________
SASTRA-PEMBEBASAN, wacana sukasamasuka sastrakitakita
.

__,_._,___
--
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "diskusi kita" dari Grup Google.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke diskusi-kita+berhenti berlangganan@googlegroups.com .
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.
--
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "diskusi kita" dari Grup Google.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke diskusi-kita+berhenti berlangganan@googlegroups.com .
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.


No comments: