Kolom
            IBRAHIM ISA
Kemis,
          06 Februari 2014--------------------------------
BERITA SEGAR Di Awal 2014
            – 
    
Etnis
            TIONGHOA Jadi POLWAN
* * *
Ini
          peristiwa menyegarkan! Sekaligus melegakan. Menggembirakan dan
          memperbesar keyakinan bersama. Bahwa Prinsip atau Falsafah
          Bijaksana
          “Bhinneka Tunggal Ika”, “Berbeda-beda Tapi Satu”, atau
          “Perbedaan Dalam Kesatuan”, sebagai landasan, pilar bahkan
          poros
          dan talinyawa kehidupan berbangsa NASION INDONESIA,
          berangsur-angsur
          menjadi kenyataan. Betapapun besarnya dan lika-likunya
          rintangan yang
          dihadapi. 
    
Peristiwa
          ini merupakan embusan angin kuat yang menghalau angin busuk
          rasialisme dan diskriminasi anti-etnis-Tionghoa. Suatu politik
          dalam negeri rezim Orde Baru, yang digalakkan secara maksimal
          oleh
          Presiden Suharto. Perkembangan ini sekaligus mememperkokoh
          optimisme
          bahwa bangsa ini, mantap hidup berkembang dan terkonsolidasi
          sebagai
          suatu nasion setara dengan nasion-nasion lainnya. 
    
Peristiwa
          ini merupakan suatu kemajuan penting dalam proses perkembangan
          kesadaran berbangsa. Dari satu segi tampak peningkatan
          kesadaran di
          kalangan warga Indonesia asal etnis Tionghoa. Polwan R.I,
          Brigadir
          Yolla Bernanda (asal Chang Mei Zhiang). Dalam semangat dan
          jiwanya,
          Yolla merasa bahwa identitasnya adalah INDONESIA. Yang punya
          hak-sama
          dengan warga RI lainnya dari berbagai etnis. Di fihak lain
          Yolla
          Bernanda berani “melawan” fikiran bapaknya yang tidak ingin
          putrinya itu menjadi Polisi Wanita Republik Indonesia. Seperti
          diberitakan oleh “Merdeka.com”, 'jalan
yang
              dipilih Zhang penuh dengan kerikil. Apalagi bagi seorang
              warga
              Tionghoa seperti Yolla, pilihan ini memicu banyak konflik.
              Hubungan
              Yolla dan ayahnya sempat memburuk saat ayahnya tahu Yolla
              telah
              berstatus sebagai polisi.'.
      Mencerminkan
perkembangan
            kesadaran berbangsa, di kalangan pimpinan kepolisian
            juga bisa dilihat adanya perubahan-perubahan positif.
            Reinhard,
            KaPolres Jakbar ketika itu memberikan dukungan kuat kepada
            Yolla
            Bernanda begitu mengetahui bahwa putri Indonesia etnis
            Tionghoa ini
            punya keinginan keras untuk menjadi Polwan. Reinhard
            memberikan
            semangat dengan pesan kepada Yola agar tidak mundur
            menghadapi
            kesulitan dan rintangan untuk menjadi Polwan RI.
      *
            * *
      Satu
hal
            lagi yang baik dicatat bahwa, dalam pemberitaannya media
            Merdeka.Com tidak menggunakan istilah “Cina”. Tetapi
            menggunakan
            istilah “Tionghoa”, Ini juga pertanda bahwa di kalangan pers
            Indonesia sudah terdapat kesadaran, bahwa, sesungguhnya
            istilah
            “Cina” untuk menggantikan istilah “Tionghoa” - - - - melalu
            adalah bersumber pada politik diskriminasi dan rasialis
            rezim Orde
            Baru.
      Salah
satu
            bentuk diskriminasi dan rasialis anti-Tionghoa rezim Orba,
            adalah tidak mungkinnya seorang Indonesia asal etnis
            Tionhgoa
            mencapai pangkat JENDRAL. Begini ceritanya: 
    
      Suatu
waktu
            --- masih di periode Orba (1994), aku pertama kali kembali
            ke Indonesia, dengan menggunakan identitas warga negara
            Belanda. Kami
            suami-istri bermalam di rumah kemenakanku seorang Laksamana
            Muda
            AURI. Tinggal di daerah komplek AURI di Jatiwaringin. Suatu
            pagi
            ketika sedang duduk-duduk di beranda muka rumah, lewat
            seorang
            perwira Auri. Cucu kami, putra bungsu kemenakan kami,
            Laksamana Muda
            itu, melambaikan tangannya kepada perwira AURI itu. 
    
      Kata
cucu
            kami: “Datuk, tahu enggak siapa yang lewat itu?” Tidak,
            jawabku. “Dia itu seorang mayor AURI, kenalan Ayah. Dia
            hanya bisa
            sampai jadi mayor saja. Tidak akan lebih dari situ. Seorang
            asal
            etnis-Tionghoa tidak mungkin jadi perwira tinggi, tidak bisa
            jadi
            laksamana”. Mengapa tidak, kataku. “Itu kan politik Suharto”
            .
            . . katanya dengan muram.
      *
            * *
      Dengan
tergulingnya
            Presiden Suharto dan diberlakukannya politik nasional
            yang benar oleh Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden
            Megawati,
            ketika itu, maka berakhirlah politik rasialis dan
            diskriminatif
            anti-Tionghoa rezim Orde Baru.
      Masa
ini
            tidak boleh terulang kembali. Dan kiranya tidak mungkin akan
            kembali lagi. Karena perkembangan kesadaran berbangsa nasion
            ini
            telah meningkat . . .!!
      *
            * *
      Lampiran: 
    
      Dua
            berita MERDEKA.COM
Mengenal Brigadir Zhiang,
                    Polwan keturunan Tionghoa
 Menjadi polisi merupakan
                  cita-cita sejak kecil. Zhiang juga harus dimarahi
                  ayahnya yang tidak menyetujui menjadi polisi.
Brigadir Yolla Bernanda . ©2014
                  Merdeka.com/Imam Buhori
Brigadir Yolla Bernanda merapikan
                  baret saat bersiap untuk bertugas di Pospol Taman
                  Sari, Jakarta, Kamis (30/1). Petugas kepolisian wanita
                  yang memiliki nama asli Chang Mei Zhiang ini sudah
                  mengabdikan diri sebagai anggota Polri sejak 2004. 
            
 Cerita wanita Tionghoa yang diamuk
                  ayah saat daftar jadi polwan
Merdeka.com - Menjadi pembela kebenaran sudah tertanam
                    sejak kecil di benak perempuan Tionghoa bernama
                    Chang Mei Zhiang. Zhiang yang punya nama lain Yolla
                    Bernada ini akhirnya memutuskan untuk menjadi
                    anggota Polri pada 2004.
Tetapi jalan yang dipilih Zhang penuh dengan kerikil. Apalagi bagi seorang warga Tionghoa seperti Yolla, pilihan ini memicu banyak konflik. Hubungan Yolla dan ayahnya sempat memburuk saat ayahnya tahu Yolla telah berstatus sebagai polisi.
                    
"Papa ngamuk katanya 'Kenapa orang chinese masuk polisi, madesu (masa depan suram) buat apa jadi polisi'. Ya sudah saya diam, saya takut lawan papa," kenang perempuan yang telah berpangkat Brigadir ini kepada merdeka.com di Pospol Taman Sari, Jakarta Barat, Kamis (30/1).
Bukan tanpa sebab ayah Yolla murka seperti itu. Memang saat mendaftar masuk Secaba, Yolla sempat tidak mendapat restu dari ayahnya. Alhasil dengan alasan ikut pelatihan Resimen Mahasiswa, Yolla diam-diam ikut Secaba Polri tanpa sepengetahuan ayahnya.
                    
Saat itu hanya ibu dan adik Yolla yang mengetahui hal ini. Tetapi walau ditutupi akhirnya tetap tercium juga. Ayah Yolla yang curiga karena anaknya tak kunjung pulang, langsung mendatangi sekolah Yolla.
"'Anak Bapak ikut Menwa tapi pas pendidikan enggak ikut Pak' kata teman saya. Bapak ngamuk-ngamuk kata adik cerita. katanya saya mau dilaporin polisi gara-gara hilang. Ya sudah bilangin Papa saja ada pendidikan polisi," sesal wanita beranak tiga ini.
                    
Alhasil sang ayah ngambek saat Yolla kembali dari pendidikan Secaba. Yolla pun menyesal tetapi dia tetap teguh ingin mempertahankan status polwan dia.
"Tiga bulan kan sempet pulang. Saya enggak dikasih makan, enggak disapa, enggak ditanya kabarnya. Diam saja, saya ya makan sendiri suap sendiri, pas pulang dia cuek saja, ibu sih santai," cerita wanita berambut pendek ini.
                    
Aksi ngambek ayah Yolla tidak berlangsung lama. Hati ayah Yolla luluh saat ayah Yolla butuh anaknya untuk mencari barang hilang.
"Ada masalah KTP hilang minta tolong buat laporan, kata saya, ayah waktu saya lulus jadi polisi dicuekin saja setelah jadi polisi, minta tolong saya," ujar Brigadir Yolla bangga.
Tak hanya satu kali, saat ayah Yolla bertengkar dengan tetangganya, Yolla lagi-lagi jadi penengah dan pemberi saran hukum bagi ayahnya.
                    
Kini ayahnya tidak lagi protes dengan jalan yang dipilih anaknya. Bahkan ayah Yolla mendukung anaknya untuk mencapai pangkat perwira.
"Papi suruh sekolah lagi suruh ambil perwira tapi pangkat belum mendukung kemarin. Musti Bripka. Saya masih Brigadir belum bisa. Kata papi apa pilihan lu adalah tanggung jawab lu," tutup Yolla sambil berkaca-kaca.
Tetapi jalan yang dipilih Zhang penuh dengan kerikil. Apalagi bagi seorang warga Tionghoa seperti Yolla, pilihan ini memicu banyak konflik. Hubungan Yolla dan ayahnya sempat memburuk saat ayahnya tahu Yolla telah berstatus sebagai polisi.
"Papa ngamuk katanya 'Kenapa orang chinese masuk polisi, madesu (masa depan suram) buat apa jadi polisi'. Ya sudah saya diam, saya takut lawan papa," kenang perempuan yang telah berpangkat Brigadir ini kepada merdeka.com di Pospol Taman Sari, Jakarta Barat, Kamis (30/1).
Bukan tanpa sebab ayah Yolla murka seperti itu. Memang saat mendaftar masuk Secaba, Yolla sempat tidak mendapat restu dari ayahnya. Alhasil dengan alasan ikut pelatihan Resimen Mahasiswa, Yolla diam-diam ikut Secaba Polri tanpa sepengetahuan ayahnya.
Saat itu hanya ibu dan adik Yolla yang mengetahui hal ini. Tetapi walau ditutupi akhirnya tetap tercium juga. Ayah Yolla yang curiga karena anaknya tak kunjung pulang, langsung mendatangi sekolah Yolla.
"'Anak Bapak ikut Menwa tapi pas pendidikan enggak ikut Pak' kata teman saya. Bapak ngamuk-ngamuk kata adik cerita. katanya saya mau dilaporin polisi gara-gara hilang. Ya sudah bilangin Papa saja ada pendidikan polisi," sesal wanita beranak tiga ini.
Alhasil sang ayah ngambek saat Yolla kembali dari pendidikan Secaba. Yolla pun menyesal tetapi dia tetap teguh ingin mempertahankan status polwan dia.
"Tiga bulan kan sempet pulang. Saya enggak dikasih makan, enggak disapa, enggak ditanya kabarnya. Diam saja, saya ya makan sendiri suap sendiri, pas pulang dia cuek saja, ibu sih santai," cerita wanita berambut pendek ini.
Aksi ngambek ayah Yolla tidak berlangsung lama. Hati ayah Yolla luluh saat ayah Yolla butuh anaknya untuk mencari barang hilang.
"Ada masalah KTP hilang minta tolong buat laporan, kata saya, ayah waktu saya lulus jadi polisi dicuekin saja setelah jadi polisi, minta tolong saya," ujar Brigadir Yolla bangga.
Tak hanya satu kali, saat ayah Yolla bertengkar dengan tetangganya, Yolla lagi-lagi jadi penengah dan pemberi saran hukum bagi ayahnya.
Kini ayahnya tidak lagi protes dengan jalan yang dipilih anaknya. Bahkan ayah Yolla mendukung anaknya untuk mencapai pangkat perwira.
"Papi suruh sekolah lagi suruh ambil perwira tapi pangkat belum mendukung kemarin. Musti Bripka. Saya masih Brigadir belum bisa. Kata papi apa pilihan lu adalah tanggung jawab lu," tutup Yolla sambil berkaca-kaca.
Pesan kapolres buat Zhiang mantap
                  jadi polisi
Merdeka.com - Tidaklah mudah bagi seorang beretnis
                    Tionghoa menjadi bagian dari Korps Bhayangkara.
                    Sentimen negatif terhadap warga keturunan masih
                    menjadi pemicu utamanya. Hal inilah yang sempat
                    membuat Brigadir Chang Mei Zhiang alias Yolla
                    Bernada (31) ragu saat masuk pendidikan Sekolah
                    Calon Bintara (Secaba) Polri.
"Pas daftar diliatin juga, ditanya sama orang-orang. Takut juga katanya dipukulin tetapi ternyata enggak," ungkap Yolla kepada merdeka.com di Pospol Taman Sari, Jakarta Barat, Kamis (30/1).
                    
Tak sampai situ, beberapa rekan kerjanya di Polsek Taman Sari kerap juga mempertanyakan perayaan Imlek yang dia lakukan. Apalagi Yolla sudah tidak beragama Budha.
"Terkadang mereka enggak ngerti kalau ini bukan hanya untuk Budha. Kata dia kamu kan Kristen bukan Budha. Saya baru jelasin ada saja pertanyaan gitu di Polres," ungkap Petugas Pospol Taman Sari ini.
                    
Tetapi dia beruntung, ada pimpinan Polres Jakbar duhulu begitu mendukung dan melindungi Yolla dari diskriminasi.
"Kata dia 'Kamu Chinese benar-benar mau masuk polisi? Jangan mundur di tengah jalan ya'. Saya dibantu beliau Pak Reinhard, Kapolres Jakbar. Kata dia 'saya akan bantu kalau kamu mundur nanti saya malu'. Saya dibantu support, dianterin ke polres, setiap tes dipanggil sama dia, diberi semangat," kenangnya penuh haru.
                    
Kapolres yang telah pindah tugas tersebut juga mengingatkan agar Yolla tidak gentar dengan orang-orang yang memandang miring tentang dirinya. "Tenang saja masa kamu takut kamu kan bisa bela diri," terang Yolla menirukan perkataan Reinhard.
Setelah pindah tugas Yolla tidak berhubungan lagi dengan pimpinan yang amat dia hargai itu. Yolla mengucapkan terima kasih kepada pimpinannya tersebut.
                    
"Saya mau telepon tapi takut karena sama pimpinan, tetapi saya mau bilang terima kasih kepada beliau," ucap wanita berambut pendek ini.
Dorongan ini yang terus membuat Yolla percaya diri di tengah rekan-rekan kerjanya. Menurut dia, tidak ada diskriminasi dan rasa takut lagi setelah masuk ke kepolisian.
"Enggak ada perbedaan di polisi sama, enggak ada yang jauhin saya. Semua orang berbaur," tutup dia senang.
"Pas daftar diliatin juga, ditanya sama orang-orang. Takut juga katanya dipukulin tetapi ternyata enggak," ungkap Yolla kepada merdeka.com di Pospol Taman Sari, Jakarta Barat, Kamis (30/1).
Tak sampai situ, beberapa rekan kerjanya di Polsek Taman Sari kerap juga mempertanyakan perayaan Imlek yang dia lakukan. Apalagi Yolla sudah tidak beragama Budha.
"Terkadang mereka enggak ngerti kalau ini bukan hanya untuk Budha. Kata dia kamu kan Kristen bukan Budha. Saya baru jelasin ada saja pertanyaan gitu di Polres," ungkap Petugas Pospol Taman Sari ini.
Tetapi dia beruntung, ada pimpinan Polres Jakbar duhulu begitu mendukung dan melindungi Yolla dari diskriminasi.
"Kata dia 'Kamu Chinese benar-benar mau masuk polisi? Jangan mundur di tengah jalan ya'. Saya dibantu beliau Pak Reinhard, Kapolres Jakbar. Kata dia 'saya akan bantu kalau kamu mundur nanti saya malu'. Saya dibantu support, dianterin ke polres, setiap tes dipanggil sama dia, diberi semangat," kenangnya penuh haru.
Kapolres yang telah pindah tugas tersebut juga mengingatkan agar Yolla tidak gentar dengan orang-orang yang memandang miring tentang dirinya. "Tenang saja masa kamu takut kamu kan bisa bela diri," terang Yolla menirukan perkataan Reinhard.
Setelah pindah tugas Yolla tidak berhubungan lagi dengan pimpinan yang amat dia hargai itu. Yolla mengucapkan terima kasih kepada pimpinannya tersebut.
"Saya mau telepon tapi takut karena sama pimpinan, tetapi saya mau bilang terima kasih kepada beliau," ucap wanita berambut pendek ini.
Dorongan ini yang terus membuat Yolla percaya diri di tengah rekan-rekan kerjanya. Menurut dia, tidak ada diskriminasi dan rasa takut lagi setelah masuk ke kepolisian.
"Enggak ada perbedaan di polisi sama, enggak ada yang jauhin saya. Semua orang berbaur," tutup dia senang.
 Nestapa Brigadir Zhiang, tak bisa
                  rayakan Imlek zaman Soeharto
Merdeka.com - Masih lekat dalam ingatan Chang Mei Zhiang (31) betapa mengerikan perlakuan pribumi terhadap etnis Tionghoa, apalagi menjelang Soeharto lengser. Ayah Brigadir Zhiang alias Yolla Bernada begitu ketakutan sampai mengisolasi dia dan keluarganya.
"Kerasa banget malamnya banyak orang dibunuhin, diperkosa. Saya sampai seminggu enggak keluar, untung barang distok," kenang Brigadir Zhiang kepada merdeka.com di kantornya, Polsek Tamansari, Jakarta Barat, Kamis (30/1).
Peristiwa ini tidak lebih buruk dari kerusuhan sebelumnya di Jakarta. Bahkan saat itu kakek Yolla yang asli China hendak membawa kembali ayah Yolla ke negara asalnya. Tak sampai situ, kenangan buruk tentang diskriminasi sebagai warga Tionghoa dia rasakan datang bertubi-tubi di masa Soeharto.
"Sebelumnya saya enggak bisa ngerayain Imlek sama nama tiga huruf saya dilarang, sekarang boleh sudah enak tapi kadang terlalu bebas juga bikin polisinya capek," ujar Yolla sambil berusaha menutupi kesedihannya.
Beruntung era kepemimpinan Soeharto berakhir, udara bebas akhirnya didapatkan Yolla sekeluarga setelah Gus Dur menjabat. "Saya di zaman Gus Dur bisa ngajuin diri jadi polwan dan papi ngajuin diri sebagai WNI," katanya lega.
Tetapi kekhawatiran belum juga selesai, di pendidikan Secaba Polri, Brigadir Yolla dihantui ketakutan akan diskriminasi dari kaum pribumi.
"Ternyata enggak ada (diskriminasi), cuma pertama masuk katanya ya ada yang dipukulinlah segala macam. Saya bilang saya juga bisa bela diri kalau digituin saya berani lawan," pungkas wanita yang mengusai bela diri Taekwondo, Wushu, Judo ini mantap.
Selepas pendidikan, rasa penasaran dan heran masih juga membayangi Yolla, begitupun saat berhadapan dengan masyarakat. Betapa tidak, orang bertenis Tionghoa memang amat jarang di lingkungan kepolisian.
"Saya lebih sering dikira Manado dibanding China. Kalau ditanya ya jawab saja Manado," pungkas perempuan yang punya logat China yang kental ini.
Di hari Imlek tahun ini, segudang harapan dia panjatkan pada Tuhan. Salah satunya, dia ingin memakai nama tiga hurufnya kembali seperti orang Tionghoa pada umumnya.
"Sekarang ada orang keturunan yang boleh pakai nama tiga huruf di Akpol. Saya juga mau pakai itu dulu, tapi kata papi takut enggak bisa sekolah. Sekarang juga mau balik nama susah. Saya mau orang keturunan diberi banyak lowongan buat jadi polisi," harap wanita keturunan kedua dari keluarga China ini.
Kini meski tidak memeluk agama Budha lagi, Brigadir Yolla ingin tetap merayakan dan menjalankan tradisi Imlek. Menyambut Imlek, dia berniat lebih cepat pulang untuk membersihkan rumahnya dan melanjutkan tradisi Imlek seperti sebelumnya.
"Nyambang ke rumah orangtua, makan bandeng, makan kue china, bagi-bagi angpao," tutup wanita yang tidak lancar berbahasa China ini.
* * *

1 comment:
SELAMAT DATANG DI WWW.TOKO4D.NET
*** 1 USER ID UNTUK SEMUA GAME ***
SPORTBOOK | LIVECASINO | E-GAMES | TOGEL | POKER | SABUNGAYAM
Toko4d Tersedia 8 Pasaran Terbaik...
Discount : 2D : 29% | 3D : 59% | 4D : 66%
www.prediksitogeltoko4dd.blogspot.com
- Singapore
- Sydney
- Hongkong
- Magnum4d
- Kuching
- Wales
- Serbia
- Petaling
Promo Terbaru TOKO4D.NET :
- Bonus Deposit MEMBER BARU Sportbook 100%
- Bonus Deposit Sportbook 30% Setiap Hari
- Bonus Deposit 10% Setiap Hari Untuk Semua Game
- Bonus Casino Rollingan 0.8% Setiap Hari Senin
- Bonus Cashback Sabungayam 15%
- Bonus Cashback Sportbook 15%
- Bonus Cashback E-Games 20%
- Bonus Cashback Mixparlay 100%
- Bonus Rollingan Poker & domino 0,3%
- Bonus Referall 2% Semua Game
- Bonus Referall 1% dari member Togel
MIN DEPO & WD CUMA Rp.50.000,-
BCA - MANDIRI - BRI - BNI - DANAMON
UNTUK INFORMASI SELANJUTNYA BISA HUB KAMI DI :
LIVECHAT TOKO4D.NET 24 JAM ONLINE
Pin BBM : D8AEF213 | 2BAA30F5
LINE : TOKO4D
WECHAT : TOKO4DCS1
SKYPE : TOKO4D
GMAIL : toko4d@gmail.com
WA +855973820012
Togel Online
Kasino Online
Agen Sabung Ayam
Judi Casino
Agen Casino
Agen Togel
Judi Togel
Agen Judi
Judi Online
Judi Casino
Agen Casino
Judi Bola
Agen Bola
Post a Comment