Friday, May 24, 2013

IBRAHIM ISA
Rabu, 22 Mei 2013
------------------
 

HARAP PERTIMBANGKAN DENGAN SERIUS KATA-KATA MUGIYANTO (IKOHI) DI BAWAH INI

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

". . . MAU BERJUANG KARENA MERASA KADUNG DEKAT DENGAN MEREKA, PARA KORBAN . . ."


Kasus-kasus pelanggaran HAM dijelaskan Mugiyanto, yang merupakan ketua IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) itu, harus selesai karena peristiwa yang dialami para korban berdampak serius dalam kehidupan mereka.
Masalah-masalah itu terjadi pada rusaknya mental, ekonomi hingga fisik para korban. Lantaran melihat kenyataan itulah Mugiyanto mengaku tidaklah adil melihat mereka harus berjuang sendirian, apalagi ia juga pernah merasakan jadi korban penculikan pada tahun 1998.

“Saat ini, saya merasa kalau hidup saya ini adalah hidup yang kedua. Dulu ketika disiksa, lalu mata ditutup, saya merasa sudah mati, tapi ternyata masih hidup. Jadi saya merasa ini merupakan hidup kedua yang harus dijalani dengan sebaik-baiknya. Lagi pula saya merasa dekat dengan keluarga korban, seperti mbak Sipon,” begitu pria yang dulu menempuh pendidikan sastra Inggris di Univesitas Gajah Mada (UGM) angkatan tahun 1992 itu.

Mugiyanto mengaku berjuang bersama IKOHI memang tidak ada keuntungan material. Meski begitu ia juga tak tertarik masuk dunia politik mengikuti jejak beberapa teman seperjuangannya di tahun 1998. Ia mau berjuang karena merasa kadung dekat dengan mereka, para korban.

“Saya ini tidak punya mimpi mewah-mewah. Saya ini berasal dari keluarga desa yang sederhana. Bapak sejak dulu mengajarkan kesederhanaan. Bapak yang dulu bekerja sebagai mandor perkebunan negara di Jepara selalu bilang intinya manusia itu harus berbuat baik untuk sesama,” katanya.

Kasus-kasus pelanggaran HAM dijelaskan Mugiyanto, yang merupakan ketua IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) itu, harus selesai karena peristiwa yang dialami para korban berdampak serius dalam kehidupan mereka.
Masalah-masalah itu terjadi pada rusaknya mental, ekonomi hingga fisik para korban. Lantaran melihat kenyataan itulah Mugiyanto mengaku tidaklah adil melihat mereka harus berjuang sendirian, apalagi ia juga pernah merasakan jadi korban penculikan pada tahun 1998.

“Saat ini, saya merasa kalau hidup saya ini adalah hidup yang kedua. Dulu ketika disiksa, lalu mata ditutup, saya merasa sudah mati, tapi ternyata masih hidup. Jadi saya merasa ini merupakan hidup kedua yang harus dijalani dengan sebaik-baiknya. Lagi pula saya merasa dekat dengan keluarga korban, seperti mbak Sipon,” begitu pria yang dulu menempuh pendidikan sastra Inggris di Univesitas Gajah Mada (UGM) angkatan tahun 1992 itu.

Mugiyanto mengaku berjuang bersama IKOHI memang tidak ada keuntungan material. Meski begitu ia juga tak tertarik masuk dunia politik mengikuti jejak beberapa teman seperjuangannya di tahun 1998. Ia mau berjuang karena merasa kadung dekat dengan mereka, para korban.

“Saya ini tidak punya mimpi mewah-mewah. Saya ini berasal dari keluarga desa yang sederhana. Bapak sejak dulu mengajarkan kesederhanaan. Bapak yang dulu bekerja sebagai mandor perkebunan negara di Jepara selalu bilang intinya manusia itu harus berbuat baik untuk sesama,” katanya. (Sumber Sinar Harapan 20 Mei, 2013)

No comments: