/*Kolom IBRAHIM ISA*/
/*Selasa, 16 April 2013*/
/*------------------------*/
/* * */
/Kali ini Kolom IBRAHIM ISA, bicara sedikit sekali. Sebagian besar mensajikan pendapat dan pandangan sahabat-sahabat karib yang semakin erat dalam kesamaan visi dan misi serta tujuan bangsa dan negeri ini. /
/Mereka itu adalah*Bonnie Triyana*, editor buku Memoar yang dibicarakan, yang selalu membrikan semangat dan insipirasi, sebagaimana layaknya generasi muda bangsa ini. Demikian pula halnya dengan sejarwan *Wilson Obrigados* dan penulis *Hendri T. Isnaeni*, serta kawan-kawan muda dari Historia Publisher yang terlibat dalam penerbitan buu memoar ini./
/Tak terhingga ucapan terimakasih kusampaikan kepada mereka semua, tapa terkecuali. Khususnya pada Editorku: BonnieTriyana./
/* * */
/Seperti ditulis oleh *Penerbi buku ini: “Historia Publisher” @ 2013: */
/Dalam buku ini Ibrahim Isa menuliskan asal usul dan pengalamannya. Terlahir sebagai anak kampung Meester Cornelis (kini Djatinegara) tumbuh menjadi seorang pemuda yang melintasi zaman penuh hiruk pikuk mulai masa revolusi sampai pergolakan politik 1965. Seorang aktivis politik yang menerjunkan dirinya di dalam kegiatn organisasasi internnasional solidaritas bangsa-bangsa tertindas ari benua Asia dan Afrika, mengharuskan Isa menghabiskan sebagian masa hidupnya di luarnegeri./
/Semenjak tugas pertamanya tiba untuk bermukim di Kairo, Mesir pada 1960, dia tidak lagi pernah bisa pulang ke Indonesia sebagai orang yang berpaspor Indonesia. Peristiwa G30S 1965 mengubah jalan hidup Isa. Dia dan keluarganya harus hidup berpindah-pindah negara sampai kemudian meneap dinegeri Belanda dan terpaksa menjadi warga negara di negara yang pernah menjajah negerinya itu. Tapi kecintaanya terhadap Indonesia tak pernah surut. Setiapo hari dia menulis tenatng |Indonesia, negeri yang dicintainya. Dan kumpulan tulisan serta kisah hidup itulah yang kini termuat dalam buku ini./
/* * */
/*Kata Sejarawan Bonie Triyana*, Pemimpin Redaksi Majalah Historia: “Buku ini memang bukanlah memoar dari seorangyang kalah, melainkan memoar dari seorang yang tak pernah mau menyerah”./
/Sedangkan *Sejarawan Wilson Obrigados*, Peneliti Perkumpulan Praxis, berkata seperti ini: Dalam buku ini kita bisa mengetahui kalau nasionalisme dari negeri seberanga yang disuarakan oleh Ibrahim Isa lebih membumi daripada para pejabat di negeri ini”./
/*Penulis Hendri T. Isnaeni *mengatgakan demikian: “Pak Ibrahim Isa memiliki stamina yang luar biasa. Hingga di usia senja,dia terus produktif menulis. Buku ini merupakan dokumentasi perjal;anan hidupnya yangpenuh liku dan pemikiran-pemikiran mengenai Indonesia dalam berbagai bidang. Ini menunjukkan bahwa dia begitu menintai tanah airnya”./
/* * */
/Buku tsb diluncurkan pada April 2013, di Universitas Indonesia, Depok. Dengan Wilson Obrigados sebagai pembahas dn Editor Bonnie Triyana serta Penulis Isnaeni sebagai narasumber./
/Dalam Kata Pengantar yang dituis oleh Bonnie Triyana, dikemukakan a.l.:/
“/Dalam memoarnya ini Isa banyak menulis kesan-kesannya mengenai Tiongkok. Di Tiongkk Isa dan teman-teman lainnya melakukan kegiatan informasi dalam rangka menentang Orba.Kampanye-kampanye melawan rezim otoriter Soeharto dilakukan melalui penerbitan Suara Rakyat Indonesia (SRI), OISRAA Bulletin (terbit dalam bahasa Inggris' dan terbitan berkala Indonesia Tribune. Semua penerbitan itu dilakukan di Tiongkok./
/Tulis Bonnie selanjutnya: “Sebelum buku ini terbit, Isa telah terlebih dahulu menulis buku SUARA SEORANG EKSIL (2001) dan BUI TANPA JERAJAK BESI (2011). Pada kedua buku tsb Isa banyak mencatat pandangan-pandanagannya mengenai apa yang terjadi di Indonesia. Kendati kini telah menjadi seorang warga negara Belanda (karena keterpeaksaan), bukan berarti perhatian dan kecintaannya terhadap bangsa Indonesia memudar./
“/Jika dalam buku SUARA SEORANG ESIL dan BUI TANPA JERAJAK BESI Isa banyak mengemukakan soal-soal sosial-politik dan sejarah di Indonesia, maka pada buku memoar kali ini Isa menulis tentang siapa dirinya jauh lebih banyak dari kedua buku itu. Paling tidak, latar belakang dirinya dan bagaimana kehidupan masa kedilnya terungkap dalam buku ini. Namun, satu hal yang tetap bertahan hadir pada buku pertama, kedua dan ketiga ini, adalah perhatiannya pada isu-isu Hak Azasi Manusia./
“/Yang menarik, saat bukunya yang kedua diluncurkan pada 2011 yang lalu, mengambil tempat di kammpus Universitas Islam Negeri Syaraif Hidayatyllah, Ciputat, Tanggerang Selatan., Di kampus itu, kampus yang pusat kajian Islam di negeri ini, seorang yang haruis terlempar keluar negerinya sendiri karena dianggap orang kiri, angkat abicara. Isa pulang ke Indonesia untuk meluncurkan bukunya dalam keadaan Indonesia yang lain semasekali dari apa yang terjadi pada dua deikade lalu”./
/* * */
/Akhirnya Bonnie Triyana dalam Kata Pengantarnya:/
“/Buku ini memang bukanlah memoar dari seorang yang kalah, melainkan memoar dari seorang yang tak pernah mau menyerah. Isa bukan sendiri, dia adalah satu dari sekian banyak orang Indonesia, para pemuda, para intelektual yang dibakar elan revolusi. Punya hasrta untuk membangun negeri dan mengubah dunia dengan caranya masing-masing namun harus tundak pada jalannya sejarah. Sejarah yang diwarnai oleh kisah-kisah penaklukkan; cerita-cerita dariorang-orabng yang (di)kalah(kan) namun dengan gigih memegang erat prinsip hidupnya./
/Memoara dan biografi memang bukan sejarah. Ia adalah salah satu unit kecil yang membentuk sejarah sebagai sebuah narasi besar tentang masyarakat yang dhiup pada sebuah zaman. Ibrahim Isa leat buku ini ingin memberikan kesaksiannya tentang sebuah masyarakat dalam periode tertentu yang pernah dialaminya\: baik dalam pahir, manis dan getir kehdiupan”. Demikian Bonnie Triyana./
/* * */
/*ERATUM:*/
/*Kalimat-kalimat berikut ini pada halaman 108, paragraf terakhir, . . . . seharusnya tidak ada: . . . Yaitu kalimat yang berbunyi sbb:*/
“/*Dalam kerangka ini dirasakan perlu menyiarkan kembali seutuhnya tulisan politik klasik Bung Karno mengenai MARXISME. Dengan alasan yang sama, demi kelengkapan bahan pertimbnagan bagi pembaca, disiarkan secukupnya tulisan-tulisan historikus generasi muda, Dr Asvi Warman Adam.*/
“Sedangkan mengenai RELEVANSI peranan Bung Karno dan ajaran-ajarannya dikutip seccukupnya tulisan Dr. Peter Dale Scott, Asvi Adam, Bob Hering, Nico Schulte Nordholt, Jusuf Isak,dll.
“/Tulisan-tulisan mengenai Bung Karno yang disiarkan di sini sejauh mungkin mempertahankan judul , isi maupun teks aslinya, sejauh mungkin tidak di-edit kembali. Agar pembaca bisa dengan leluasa mempertimbangakan latar belakang situasi ketika tulisan tsb dibuat./
/* * */
/*Selasa, 16 April 2013*/
/*------------------------*/
“/*KABAR Dari SEBERANG” */
/*Memoar Ibrahim Isa*/
/* * */
/Kali ini Kolom IBRAHIM ISA, bicara sedikit sekali. Sebagian besar mensajikan pendapat dan pandangan sahabat-sahabat karib yang semakin erat dalam kesamaan visi dan misi serta tujuan bangsa dan negeri ini. /
/Mereka itu adalah*Bonnie Triyana*, editor buku Memoar yang dibicarakan, yang selalu membrikan semangat dan insipirasi, sebagaimana layaknya generasi muda bangsa ini. Demikian pula halnya dengan sejarwan *Wilson Obrigados* dan penulis *Hendri T. Isnaeni*, serta kawan-kawan muda dari Historia Publisher yang terlibat dalam penerbitan buu memoar ini./
/Tak terhingga ucapan terimakasih kusampaikan kepada mereka semua, tapa terkecuali. Khususnya pada Editorku: BonnieTriyana./
/* * */
/Seperti ditulis oleh *Penerbi buku ini: “Historia Publisher” @ 2013: */
/Dalam buku ini Ibrahim Isa menuliskan asal usul dan pengalamannya. Terlahir sebagai anak kampung Meester Cornelis (kini Djatinegara) tumbuh menjadi seorang pemuda yang melintasi zaman penuh hiruk pikuk mulai masa revolusi sampai pergolakan politik 1965. Seorang aktivis politik yang menerjunkan dirinya di dalam kegiatn organisasasi internnasional solidaritas bangsa-bangsa tertindas ari benua Asia dan Afrika, mengharuskan Isa menghabiskan sebagian masa hidupnya di luarnegeri./
/Semenjak tugas pertamanya tiba untuk bermukim di Kairo, Mesir pada 1960, dia tidak lagi pernah bisa pulang ke Indonesia sebagai orang yang berpaspor Indonesia. Peristiwa G30S 1965 mengubah jalan hidup Isa. Dia dan keluarganya harus hidup berpindah-pindah negara sampai kemudian meneap dinegeri Belanda dan terpaksa menjadi warga negara di negara yang pernah menjajah negerinya itu. Tapi kecintaanya terhadap Indonesia tak pernah surut. Setiapo hari dia menulis tenatng |Indonesia, negeri yang dicintainya. Dan kumpulan tulisan serta kisah hidup itulah yang kini termuat dalam buku ini./
/* * */
/*Kata Sejarawan Bonie Triyana*, Pemimpin Redaksi Majalah Historia: “Buku ini memang bukanlah memoar dari seorangyang kalah, melainkan memoar dari seorang yang tak pernah mau menyerah”./
/Sedangkan *Sejarawan Wilson Obrigados*, Peneliti Perkumpulan Praxis, berkata seperti ini: Dalam buku ini kita bisa mengetahui kalau nasionalisme dari negeri seberanga yang disuarakan oleh Ibrahim Isa lebih membumi daripada para pejabat di negeri ini”./
/*Penulis Hendri T. Isnaeni *mengatgakan demikian: “Pak Ibrahim Isa memiliki stamina yang luar biasa. Hingga di usia senja,dia terus produktif menulis. Buku ini merupakan dokumentasi perjal;anan hidupnya yangpenuh liku dan pemikiran-pemikiran mengenai Indonesia dalam berbagai bidang. Ini menunjukkan bahwa dia begitu menintai tanah airnya”./
/* * */
/Buku tsb diluncurkan pada April 2013, di Universitas Indonesia, Depok. Dengan Wilson Obrigados sebagai pembahas dn Editor Bonnie Triyana serta Penulis Isnaeni sebagai narasumber./
/Dalam Kata Pengantar yang dituis oleh Bonnie Triyana, dikemukakan a.l.:/
“/Dalam memoarnya ini Isa banyak menulis kesan-kesannya mengenai Tiongkok. Di Tiongkk Isa dan teman-teman lainnya melakukan kegiatan informasi dalam rangka menentang Orba.Kampanye-kampanye melawan rezim otoriter Soeharto dilakukan melalui penerbitan Suara Rakyat Indonesia (SRI), OISRAA Bulletin (terbit dalam bahasa Inggris' dan terbitan berkala Indonesia Tribune. Semua penerbitan itu dilakukan di Tiongkok./
/Tulis Bonnie selanjutnya: “Sebelum buku ini terbit, Isa telah terlebih dahulu menulis buku SUARA SEORANG EKSIL (2001) dan BUI TANPA JERAJAK BESI (2011). Pada kedua buku tsb Isa banyak mencatat pandangan-pandanagannya mengenai apa yang terjadi di Indonesia. Kendati kini telah menjadi seorang warga negara Belanda (karena keterpeaksaan), bukan berarti perhatian dan kecintaannya terhadap bangsa Indonesia memudar./
“/Jika dalam buku SUARA SEORANG ESIL dan BUI TANPA JERAJAK BESI Isa banyak mengemukakan soal-soal sosial-politik dan sejarah di Indonesia, maka pada buku memoar kali ini Isa menulis tentang siapa dirinya jauh lebih banyak dari kedua buku itu. Paling tidak, latar belakang dirinya dan bagaimana kehidupan masa kedilnya terungkap dalam buku ini. Namun, satu hal yang tetap bertahan hadir pada buku pertama, kedua dan ketiga ini, adalah perhatiannya pada isu-isu Hak Azasi Manusia./
“/Yang menarik, saat bukunya yang kedua diluncurkan pada 2011 yang lalu, mengambil tempat di kammpus Universitas Islam Negeri Syaraif Hidayatyllah, Ciputat, Tanggerang Selatan., Di kampus itu, kampus yang pusat kajian Islam di negeri ini, seorang yang haruis terlempar keluar negerinya sendiri karena dianggap orang kiri, angkat abicara. Isa pulang ke Indonesia untuk meluncurkan bukunya dalam keadaan Indonesia yang lain semasekali dari apa yang terjadi pada dua deikade lalu”./
/* * */
/Akhirnya Bonnie Triyana dalam Kata Pengantarnya:/
“/Buku ini memang bukanlah memoar dari seorang yang kalah, melainkan memoar dari seorang yang tak pernah mau menyerah. Isa bukan sendiri, dia adalah satu dari sekian banyak orang Indonesia, para pemuda, para intelektual yang dibakar elan revolusi. Punya hasrta untuk membangun negeri dan mengubah dunia dengan caranya masing-masing namun harus tundak pada jalannya sejarah. Sejarah yang diwarnai oleh kisah-kisah penaklukkan; cerita-cerita dariorang-orabng yang (di)kalah(kan) namun dengan gigih memegang erat prinsip hidupnya./
/Memoara dan biografi memang bukan sejarah. Ia adalah salah satu unit kecil yang membentuk sejarah sebagai sebuah narasi besar tentang masyarakat yang dhiup pada sebuah zaman. Ibrahim Isa leat buku ini ingin memberikan kesaksiannya tentang sebuah masyarakat dalam periode tertentu yang pernah dialaminya\: baik dalam pahir, manis dan getir kehdiupan”. Demikian Bonnie Triyana./
/* * */
/*ERATUM:*/
/*Kalimat-kalimat berikut ini pada halaman 108, paragraf terakhir, . . . . seharusnya tidak ada: . . . Yaitu kalimat yang berbunyi sbb:*/
“/*Dalam kerangka ini dirasakan perlu menyiarkan kembali seutuhnya tulisan politik klasik Bung Karno mengenai MARXISME. Dengan alasan yang sama, demi kelengkapan bahan pertimbnagan bagi pembaca, disiarkan secukupnya tulisan-tulisan historikus generasi muda, Dr Asvi Warman Adam.*/
“Sedangkan mengenai RELEVANSI peranan Bung Karno dan ajaran-ajarannya dikutip seccukupnya tulisan Dr. Peter Dale Scott, Asvi Adam, Bob Hering, Nico Schulte Nordholt, Jusuf Isak,dll.
“/Tulisan-tulisan mengenai Bung Karno yang disiarkan di sini sejauh mungkin mempertahankan judul , isi maupun teks aslinya, sejauh mungkin tidak di-edit kembali. Agar pembaca bisa dengan leluasa mempertimbangakan latar belakang situasi ketika tulisan tsb dibuat./
/* * */
No comments:
Post a Comment