Friday, May 24, 2013

*Kolom IBRAHIM ISA *
*Selasa, 21 Mei 2013**
----------------------*

*15 Tahun Lalu SUHARTO DIGULINGKAN, . . . What Next?*

**

* * *




Tanggal 22 Mei besok, pas 15 tahun yang lalu rezim otoriter Jendral Suharto, *dipaksa turun panggung. *Jendral Suharto membangun Orde Baru diatas lebih sejuta korban pembantaian warga tak-bersalah terdiri dari PKI, diduga PKI atau simpatisan PKI dan orang-orang Kiri lainnya pendukung Presiden Sukarno*. Setelah ditumbangkan, mantan Presiden Suharto diajukan ke Pengadilan Negeri atas tuduhan korupsi. Lalu . . . ? Tidak jelas kelanjutannya.*



Apakah peristiwa penggulingan Orde Baru itu, "mendadak"? Samasekali tidak! Jatuhnya Presiden Suharto dan bubarnya rezim Orde Baru, adalah akibat perlawanan masyarakat luas. Terdiri dari ribuan pelajar, mahasiswa, buruh, cendekiawan, wartawan dan massa rakyat luas ratusan ribu "wong cilik". Diantaranya terdapat sejumlah organisasi masyarakat, seperti LSM-LSM. Antara lain yang dibangun dan dipimpin oleh almarhum MUNIR, pejuang HAM dan Demokrasi. Mereka memainkan peranan penting meningkatnya kesadaran serta kemarahan masyarakat terhadap kesewenang-wenangan rezim Orba. Mereka mengungkap praktek korupsi besar-besaran, kolusi dan nepotisme penguasa . Di lain fihak mereka memberikan penerangan dan pencerahan pada masyarakat sekitar masalah demokrasi dan HAM.



Gugatan dan kemarahan serta perlawanan rakyat terhadap Orde Baru sudah dimulai tidak lama setelah lahirnya Orba. Ini tampak dari a.l peristiwa-peristiwa seperti, "Malari", Tanjung Priok, Kedung Ombo, Lampung Selatan, perlawanan PDI dibawah pimpinan Megawati Sukarnopuri terhadap campur tangan penguasa dalam PDI, dll. Menonjol a.l.adalah pernyataan terbuka Megawati, bahwa ia bersedia MENGANTIKAN SUHARTO sebagai Presiden. Halmana sebelumnya tidak pernah ada politisi di bawah Orba yang berani terang-terangan menantang Suharto.



Manifestasi perlawanan penting lainnya adalah *berdirinya Partai Demokrat (PRD)*. Sebuah parpol terdiri terutama dari anak-anak muda, yang tampil dengan program progresif dengan tujuan menggantikan rezim Orba. PRD ketika itu ada dibawah pimpinan Budiman Sudjatmiko.



Semua itu adalah cetusan yang berkembang menjadi ledakan-ledakan yang merupakan kekuatan utama penyebab tergulingnya rezim Orde Baru. Gelombang kemarahan massa rakyat sekitar Mei 1998, yang menuntut turun panggungnya Presiden Suharto dan bubarnya Orde Baru merupakan arus gelombang besar kekuatan politik dahsyat gerakan Reformasi dan Demokrasi.



Kekuatan utama terbesar yang menggulingkan Suharto adalah perlawanan masyarakat itu sendiri.



* * *



Faktor lainnya adalah perbedaan, pertentangan dan konflik yang semakin gawat di kalangan penguasa. Masih terkesan dalam ingatan ketika di layar TV tampil sejumlah menteri dan tokoh Orba yang dipandu oleh mantan ketua Golkar (parpolnya Suharto) dan Menteri Penerangan Orde Baru, Harmoko. Tampak Harmoko menghadap Presiden Suharto. Mereka itu "minta" agar Presiden Suharto meletakkan jabatan. Aksi Harmoko cs tsb diikuti pejabat-pejabat elit Orba lainnya, yang tadinya adalah pendukung setia Presiden Suharto. Mengenai Harmoko mari lihat siapa dia: --



Terakhir, ia menjabat sebagai Ketua DPR/MPR periode 1997-1999. Harmoko termasuk paling depan agar MPR mengangkat Suharto selaku presiden untuk masa jabatannya yang ke-6. Namun dua bulan kemudian adalah Harmoko yang sama itu, meminta Presiden Suharto -- turun takhta, -- ketika gerakan rakyat dan mahasiswa yang menuntut reformasi tampaknya tidak lagi dapat dikendalikan.



* * *



Salah satu gejala yang menjadi perhatian peneliti dan fokus pembicaraan serta perdebatan di masyarakat, adalah sekitar terjadinya peristiwa *"kerusuhan Mei 1998"*, yang bernuansa rasis anti-etnik-Tionghoa. Peristiwa kekerasan itu telah menelan korban lebih 1000 jiwa manusia. Pelbagai analisis dan tafsiran diajukan melalui penulisan maupun diskusi-diskusi yang diselenggarakan oleh pelbagai stasiun TV dan Radio.



Cukup menarik "analisis" yang dikemukakan oleh*Fadli Zon*, Wakil Ketua GERINDRA. Ia berpendapat bahwa *yang menjadi penyebab "kerusuhan Mei 1998"*, *ialah faktor luar*. Kita jangan hanya "inward looking". Harus "outward looking", kata Fadli di sebuah diskusi TV dimana hadir Komisioner KomnasHAM Zamrotin, dan Ester Jusuf dari *Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF)* sekitar Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998.

Penyebab utama "kerusuhan Mei 1998", menurut Fadli Zon, adalah suatu badan internasional --- International Monetary Fund", IMF. IMF adalah pemberi "kredit" utama Barat/AS kepada pemerintahan Suharto. Dikatakan Fadli, itu adalah cara IMF dimana-mana, khususnya didunia ketiga. Yaitu menciptakan syarat untuk digantikannya suatu rezim yang tidak lagi disokongnya. Sedangkan menurut Ester Jusuf dari TGPF, jelas adanya kekuatan (militer) yang terlibat, paling tidak "membiarkan" terjadinya kerusuhan Mei tsb. Demikian juga laporan KomnasHAM mengenai kerusuhan Mei 1998, mengindikasikan terlibatnya aparat, serta menunjuk pada tanggung jawab aparat dalam peristiwa kerusuhan tsb.



Fadli Zon berusaha menjelaskan bahwa laporan yang dikemukakan TGPF dan KomnasHAM adalah dugaan dan tafsiran belaka, tanpa bukti. Namun, Estter Jusuf maupun Zamrotin menandaskan bahwa laporan-laporan mereka bersumber pada penelitian lapangan, saksi dan bukti-bukti.



Tampak sekali usaha Fadli Zon, mmengalihkan perhatian dari fihak yang terlibat dan bertanggung jawab sekitar Kerusuhan Mei 1998. Yaitu fihak aparat keamanan negara. Fadli Zon menuding FAKTOR LUAR, IMF. Sehingga bisa disimpulkan bahwa Fadli Zon yang menjabat Wakil Ketua Garindra itu, berusaha membela Prabowo Subianto, yang ketika terjadinya peristisa kerusuhan Mei 1998, menjabat sebagai Panglima Kostrad.



* * *



Sumber lain, saksi mata, menyatakan bahwa, aparat keamanan negeri berpeluk tangan saja ketika para penjarah beraksi merampok dan membakar, membunuh dan memperkosa warga, dengan sasaran utama etnis Tionghoa. Jendral-Jendral Wiranto, Prabowo dan Susilo Bambang Yudhoyono, tidak ada di tempat. Ketika tejadi penjarahan toko-toko di daerah pertokoan Mangga Besar, polisi dan tentara yang ada di situ '"nonton" saja.



Di dalam laporannya TGPF menjelaskan bahwa Tentara telah gagal mengantisipasi akan terjadinya kerusuhan. Juga terdapat kekurangan pada komunikasi antara komando yang bertanggung-jawab dengan pasukan di lapangan. Sehingga TGPF tiba pada kesimpulan bahwa, --- kekerasan yang terjadi itu, merupakan "usaha menciptakan situsai kritis sehingga memerlukan dibentuknya kekuasaan in-skonstitusinil untuk menguasai situasi. *Dalam bahasa sehari-hari: menciptakan situasi untuk melakukan KUDETA.* Menurut TGPF, Jendral Prabowo Subianto adalah tokoh kunci dalam keterlibatan tentara dengan kerusuhan Jakarta itu.



Ester Jusuf menekankan bahwa terjadinya kerusuhan adalah pada waktu yang hampir bersamaan di Medan, Jakarta, Bandung, Makasar, Jogya, dll -- hal mana tidak mungkin bila tidak ada pengaturan menurut rencana yang sudah ditetapkan.



Fadli Zon dengan keras membantah tuduhan tsb. Dinyatakannya laporan TPGF itu adalah fitnah terhadap Prabowo Subianto.



* * *



Yang parah ialah bahwa pemerintah yang sekarang ini, samasekali tidak menunjukkan "political will" dan tindakan apapun untuk menangani kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998, menghukum yang bertanggung-jawab, dan para pelakunya serta mememberikan keadilan kepada para korban. Seperti dinyatakan oleh Komisioner KomnasHAM, Zamrotin, dalam diskusi tsb: -- Pada tahun 2004 KomnasHAM mengajukan pertanyaan kepada Kejaksaan Agung sekitar kerusuhan Mei 1998, tapi tidak menerima tanggapan.



* * *



Apa yang terjadi pada kerusuhan Mei 1998, jelas menuruti suatu pola tertentu. Yaitu *KEKERASAN*. Yang disutradarai oleh aparat keamanan. Pola ini persis sama dengan apa yang terjadi menjelang berdirinya Orde Baru. Pola kekerasan mencirii Peristiwa Pelanggaran HAM berat yang paling luas dalam sejarah Republik Indonesia. Yaitu Peristiwa Pembantaian Masal 1965/66.



Sikap pemerintah dewasa ini terhadap Kerusuhan 13-15 Mei 1998, dan terhadap Peristiwa Pembantaian Masal 1965 dengan keterlibatan aparat keamanan negeri, adalah . . .*b u ng k a m !* "Let bygones be bygones". . . . "Mari bersama melihat kedepan". . . . . kata mereka-mereka itu. Bukankah sikap seperti itu merupakan usaha *UNTUK MELUPAKAN SEJARAH?*



* * *



Menanggapi sikap tidak bertanggung-jawab pemerintah ini seorang penulis, AYANG UTRIZA NWAY, mahasiswa S-2 sejarah "Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales" (EHESS) Paris, tergugah dan menulis a.l :



Kini, pemerintahan yang baru ini, apakah punya niat baik untuk merehabilitasi para korban PKI dan membuat tim pencari fakta korban pembantaian 65-66? Kita tidak tahu. Kita hanya bisa mengharap bahwa tragedi besar kemanusian ini segera diselesaikan. Kita hanya tak ingin negara ini berdiri di atas piramida korban kemanusiaan. Paling tidak, studi dan penelitian tentang korban pembantaian "65-66" harus terus dilakukan agar semakin jelas sejarah kelabu bangsa ini.



Pertanyaan serupa harus ditanyakan kepada pemerintah sekarang ini mngenai kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998:

Dan dengn tegas dan keras kita nyatakan: *Kita tidak ingin negara ini ini berdiri di atas piramida korban kemanusiaan.*



*What Next . . . . ?*

Jawaban tegas dan adil sudah diberikan, oleh salah seorang dari generasi muda: **

*Paling tidak, studi dan penelitian tentang korban pembantaian harus terus dilakukan agar semakin jelas sejarah kelabu bangsa ini.*



** * * *



No comments: