Tuesday, May 7, 2013

*Kolom IBRAHIM ISA*
*Selasa, 09 April 2013**
------------------------*



*NADYA Larasati DJOHAN, Dan Ayahnya . . *

*Aku Tergugah, Terharu Dan Terkagum . . . *



** * **


Baru saja kutulis sebuah message di Face Book-nya Nadya Larasati Djohan (17th). Demikian bunyi pesanku: "Nadya y.b. -- -- -- - Hari ini saya menulis sebuah kolom, karena tergugah, terharu dan terkagum oleh tulisan Nadya hari ini tentang Ayahmu."


Nadya Larasati Djohan adalah putri dari Laskmi Pamuntjak dengan Djohan Setiawan Kandar. September tahun yl Laksmi Pamuntjak, yang sering menulis karyanya dalam bahasa Inggris, menerbitkan novelnya yang terbaru berbahasa Indonesia, (29 September 2012>, berlatar belakang sejarah P. Buru. Berjudul *AMBA.*


Ini yang ditulis Laksmi Pamuntjak di FB, mengantar tulisan Nadya:

"40 days have passed since my daughter's father, Djohan Setiawan Kandar (1968-2013), left us. This is what Nadya wrote in loving memory of her father:


<40 ayahnya="" berlalu="" djohan="" hari="" kandara="" putriku="" sejak="" setiakawan="" telah="">, meninggalkan kami. Ini apa yang ditulis Nadya dalam sebuah memori-kasih mengenai ayahnya".



* * *


Nadya menulis "in memoriamnya" berkenaan dengan Hari Ke-40 Meninggalnya ayahnya. Djohan Setiawan Kandar berpulang ke rahmatullah lebih sebulan y.l. Tulisan Nadya itu menunjukkan kedekatan dan cinta-kasihnnya yang tak terbatas dengan Papanya, yang telah mendahuluinya. Nadia menulisnya dengan amat lugu . . . apa adanya . . . . tetapi mencurahkan perasaan mendalam dan cinta-hatinya kepada Papanya. Dan oleh karena itu membuat yang membacanya tergugah, terharu dan kagum


Pada permulaan tulisannya Nadya mengutip penulis Stephen King: "Yang paling berarti dalam hidup , paling tak mudah diutarakan. Tak ada kata yang mampu menggambarkan ayahku, tak ada kalimat yang mampu menjelaskaqn betapa luar biasanya ia. Tapi aku akan berupaya".


Dan Nadya berhasil sekali dalam menggambarkan Ayahnya, dan hbuungannya dengan Ayahnya.


* * *


*Ada beberapa hal dimana Nadya selalu mengingat Papanya*. Antara lain:


"Bagiku, salah satu hal yang paling mengagumkan tentang ayahku adalah kesungguhannya bercita-cita, keberaniannya berharap, tak jarang tentang hal-hal yang besar. Ia selalu mengingatkanku untuk mengikuti kata hatiku, apapun kata orang. "Turuti kata hatimu, lebih dari apapun di dunia ini."


Berikutnya:

"Ia percaya bahwa apabila kita melakukan sesuatu dengan
gairah, dengan cinta, kita akan berhasil. Ayahku tak pernah memelihara dendam. Ia tak pernah menuntut balas. Ia bahkan tak pernah berpikir buruk tentang siapapun.
Ia seorang pemaaf."


Lalu:

"Ia pun seorang pendekar, seorang pahlawan. Aku tak pernah mendengarnya mengeluh tentang penyakitnya, atau bertanya "Kenapa saya? Kenapa kanker?",
apalagi menyesali hidupnya. Ia lawan penyakitnya dengan gagah berani, ia perkuat imannya sampai detik penghabisan. Ia menunjukkan bahwa manusia dapat terus tabah, tegak, menantang, bahkan mengatasi Nasib. Dan dengan itulah ia memaknai hidup mereka."


Kemudian Nadya:

"Oleh karena itu ia sering bicara, dengan paras berseri-seri, tentang yayasan yang ia dirikan bersama kawan-kawan baiknya. Yayasan itu dibentuk untuk membantu mereka yang kurang mampu agar bisa mengenyam pendidikan. Ia ayah, anak, suami, saudara, teman dan manusia terbaik.*Sampai akhir hidupnya, ia mendahulukan dan mengutamakan orang lain". *


* * *


Selengkapnya tulisan memori-kasih Nadya untuk Ayahnya:
(Nadya baru berumur 17^th ),


*Nadya Larasati Djohan: *

"Yang paling berarti dalam hidup, paling tak mudah
diutarakan." (Stephen King) Tak ada kata yang mampu
menggambarkan ayahku, tak ada kalimat yang mampu menjelaskan
betapa luar biasanya ia. Tapi aku akan berupaya.

Enam bulan lalu, ayahku bercerita tentang mimpinya membuka
sebuah toko sayur dan buah organik. Di tengah toko itu, ia
berniat meletakkan sebuah gerai demonstrasi. Di sana, ia akan
menguji secara langsung, di hadapan para pengunjung, kadar

ke-alamian sayur dan bebuah yang mereka pilih.
Mimpi itu hanya satu dari sekian banyak. Tapi, seperti biasa,
ia bernas dan penuh harapan. Bagiku, salah satu hal yang
paling mengagumkan tentang ayahku adalah kesungguhannya
bercita-cita, keberaniannya berharap, tak jarang tentang hal-hal yang besar. Ia selalu mengingatkanku untuk mengikuti
kata hatiku, apapun kata orang. "Turuti kata hatimu, lebih
dari apapun di dunia ini." Aku tahu, ada yang terkesan klise
dalam wejangan itu, tapi bagi ayahku itu merupakan sikap
hidup. Ia percaya bahwa apabila kita melakukan sesuatu dengan
gairah, dengan cinta, kita akan berhasil.
Ayahku tak pernah memelihara dendam. Ia tak pernah menuntut
balas. Ia bahkan tak pernah berpikir buruk tentang siapapun.
Ia seorang pemaaf.

Ayahku membenci segala bentuk pretensi; ia sendiri selalu
tulus, tak pernah tinggi hati. Ia sungguh-sungguh peduli pada
orang lain. Hatinya besar. "Yang terpenting dalam hidup adalah
kebahagiaan." katanya padaku. Dan ia sebarkan kebahagiaaan
itu---rasa bersyukur atas kehidupan---kepada orang-orang di
sekelilingnya, hingga mereka turut merasakannya.
Bagi ayahku, keadilan juga penting---bukan keadilan yang
menuntut persamaan nasib, tapi keadilan yang mendorong
keinginan untuk memperbaiki keadaan bersama, agar penderitaan
tak lagi ada. Oleh karena itu ia sering bicara, dengan paras
berseri-seri, tentang yayasan yang ia dirikan bersama
kawan-kawan baiknya. Yayasan itu dibentuk untuk membantu
mereka yang kurang mampu agar bisa mengenyam pendidikan.
Ia ayah, anak, suami, saudara, teman dan manusia terbaik.
Sampai akhir hidupnya, ia mendahulukan dan mengutamakan orang
lain.

Salah satu kata favorit ayahku adalah "fortitude"---keteguhan
hati dalam tantangan dan kepedihan. Dua film yang paling ia
sukai adalah Gladiator dan trilogi The Lord of the Rings,
sebab keduanya memberi makna pada keberanian manusia di
hadapan segala mala dan derita.

Ayahku tak menyadari, bahwa sebagaimana tokoh-tokoh yang ia
kagumi dalam film-film itu, ia pun seorang pendekar, seorang
pahlawan. Aku tak pernah mendengarnya mengeluh tentang
penyakitnya, atau bertanya "Kenapa saya? Kenapa kanker?",
apalagi menyesali hidupnya. Ia lawan penyakitnya dengan gagah
berani, ia perkuat imannya sampai detik penghabisan. Ia
menunjukkan bahwa manusia dapat terus tabah, tegak, menantang,
bahkan mengatasi Nasib. Dan dengan itulah ia memaknai hidup
mereka.

Setiap kali aku teringat ayahku, imaji datang silih berganti,
seperti semacam kaleidoskop kenangan. Aku merindukannya setiap
hari---merindukannya dengan sedih, tapi juga dengan senyum.
Sebab mustahil berpikir tentang ayahku dan tak teringat pada
jam-jam bahagia yang serasa kekal: ketika ia membawaku ke
kebun binatang dan aku berkelakar tentang perbedaan singa
jantan dan betina; ketika aku dan dia berjalan menyusuri Kebun
Raya Bogor dan menyelami kebesaran Tuhan; ketika kami berdua
main The Age of Empire, computer game favorit kami, dan aku
tahu, dalam detik-detik tersebut, bahwa kebahagiaan itu hanya
milikku dan Papa.

Aku akan selalu hidup bersama gelak tawanya, bersama
kata-katanya yang tak pernah marah atau menghakimi, bersama
suaranya ketika ia ikut melantun bersama Bon Jovi, "It's my
life; now or never. I just want to live forever."

Ayahku memang tak hidup di dunia selamanya, tapi ia hidup di
dalam diriku. Jejaknya abadi. Ia selamanya Maximus-ku,
Aragorn-ku, seorang yang terlalu baik buat dunia ini.
Di jalan-jalan yang tak pernah beristirahat, melangkah mereka
yang tak tidur. Semoga para malaikat mengantarmu.

* * *





No comments: