Tuesday, May 7, 2013

*Kolom IBRAHIM ISA*

*Jum'at, 26 April 2013**

------------------------*



*300 Kali Selama 6 tahun --- “AKSI KAMISAN” Di Depan Istana Negara . . . Namun Presiden SBY . . . . TETAP MEMBISU!*

“*Aksi Kamisan”, Menuntut Keadilan al. Utk MUNIR> *



* * *


“*Kita harus lebih takut kepada rasa takut itu sendiri, karena rasa takut menghilangkan akal sehat dan kecerdasan kita”. *


Itu tadi, adalah ucapan almarhum*MUNIR*, ketika ia masih ada diantara kita. Dari penelitian dan kesaksian serta bahan-bahan sekitar pengadilan kasus pembunuhan terhadap Munir, bisa dilihat jelas keterlibatan bahkan pendalangan fihak aparat keamanan negara (Intel). Namun, kaum elite penguasa terus saja berusaha keras untuk menyanggah fakta-fakta tsb. Berusaha menjadikan pembunuhan terhadap Munir tetap tak terurus!


Fikiran dan pandangan para petinggi penguasa dewasa ini, justru didominasi oleh seperti apa yang dinyatakan Munir: *“ . . . . Rasa takut . . . yang menghilangkan akal sehat dan kecerdasan . . . .” *


Yang berkuasa dan berwewenang negeri ini TAKUT terhadap terbongkarnya kebenaran di sekitar kasus pembunuhan keji terhadap aktivis HAM, Munir! Takut kebenaran akan terungkap sekitar pelanggaran HAM berat terhadap lebih sejuta warga tidak bersalah di sekitar *“PERISTIWA 65”.*Mereka takut kebenaran terungkap di sekitar “*Perisiwa 1998”*(teror, pemerkosaan, penjarahan, penghilangan, pemubunuhan) terhadap warga Indonesia keturunan Tionghoa. Mereka takut terbongkarnya pelanggaran HAM berat di sekitar *Peristiwa Tanjung Priok*, kekerasan bersenjata di *Aceh, Timor Timur dan Papua*. Mereka takut ditegakkannya keadilan dan hukum di negeri ini.


*Oleh karena itu AKAL SEHAT DAN KECERDESAN MEREKA TELAH HILANG!!*


* * *


Aksi Kamisan: Berdiri, Membisu, Demi Keadilan – – Itu dilakukan setiap hari Kamis. . . sudah 6 tahun.


* * *


Dalam usaha menggugah fikiran takut para pelaku yang terlibat dan bertanggungjawab atas negeri ini, para aktivis KAMISAN, dalam surat surat Aksi Kamisan minggu ke 2 25 Januari 2007) menyatakan:


“/*Jika Negara berdiam, jika Negara mengelak, jika Negara terus mengabaikan, akankah kita diam? Akankah kita merunduk? Dan tak peduli atas segala dzalim penguasa negeri ini? */


*/Hari ini, kami segenap korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, ingin menyentuh dan berbagi pada anda sekalian masyarakat Indonesia, bahwa Negeri ini tak pernah memberi keadilan bagi korban pelanggaran HAM. Senyum anda, kasih anda dan peduli anda adalah rasa terindah bagi perjuangan kami. /*


/* * */


Dalam salah satu amnifesto, “AKSI KAMISAN” menyatakan: ///*“ Kebisuan negara dan pembisuan korban adalah halangan terbesar kenangan akan korban. Aksi Kamisan merupakan gerilya kemanusiaan subyek korban dan pendampingnya melawan penggelapan kebenaran.”*/


/Lalu . . . Karlina Supelli - Dosen pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara - Potret Para Korban, menulis di Kompas 26 Mei 2006 /


“ /*Korban dan orang miskin dianggap sebagai kelompok yang selalu diam. Akan tetapi, persis karena itu, politik yang tidak mau bersentuhan dengan korban dan dengan solusi bagi ketidakadilan yang mereka tanggung telah kehilangan alasan adanya. Kini, politik negeri ini gaduh dengan urusan koalisi, atau kesibukan melancarkan jargon ”Restorasi Reformasi”. Silakan berkoalisi, dan silakan juga merestorasi reformasi. Namun, potret para korban yang berarak diam setiap Kamis di depan Istana Negara adalah salah satu tolok ukurnya. Mereka adalah titik berangkat mengapa kita butuh politik. Maka, politik yang tidak mendatangi mereka dengan tangan keadilan dapat dikatakan hanya politik para petualang bayaran. Tidak lebih, dan tidak kuran*//g.”/


* * *

Dalam rangtka memperingati 300 KAMISAN di depan Istana Negara,

*LSM**KontraS*, a.l.menulis:
“. . . . sudah kurang lebih enam tahun jika demikan. Bagaimana jika dalam waktu yang tidak bisa dikatakan sebentar itu ada yang terus berdiri di depan Istana Presiden?

Enam tahun itu mereka berdiri di depan Istana Merdeka Jakarta, membawa payung hitam bertuliskan nama, peristiwa, tahun dari tragedi yang mereka alami.

Enam tahun itu pula mereka berdiri mematung dengan memakai pakaian hitam simbol keprihatinan sekaligus keteguhan. 300 Minggu yang lalu mereka bertekad mencari anak, suami, kerabat mereka yang hilang atau dibunuh dari culasnya sebuah kekuasaan.

Ada yang masih belum mengetahui kabar tentang sanak saudara mereka yang diculik 15 tahun lalu, entah masih hidup atau sudah meninggalkah, sebuah saksi atas kebiadaban zaman di akhir senjakala Orde Baru. Ada juga yang terus menunggu jawab keadilan saat anaknya ditembak peluru aparat.


. . . .

“*Jika tidak percaya tengoklah mereka persis di depan Istana tadi akan berdiri saat sore hari, setiap hari kamis dari mulai pukul 16.00 sampai pukul 17.00 berdiri menerawang menahan marah yang terpendam di sela umur yang semakin menua, memakai payung melindungi rambut mereka yang rata-rata sudah beruban*.

“300 Minggu baik panas ataupun hujan bukan persoalan, ketika komitmen awal mereka adalah tetap berdiri mematung menunggu kejelasan nasib keadilan yang tersuarakan lirih, bahkan sangat lirih ketika hanya mampu kemudian mereka tuliskan, saat teriakan sudah lelah mereka gaungkan.

. . . . .

“Dari perjalanan  panjang ini, beberapa dari mereka ada yang sudah pergi mendahului berkalang tanah, pergi dengan sesak di dada atas luka yang digoreskan pertiwi merenggut sanak famili mereka dengan pengatas-namaan stabilitas, ketertiban, nasionalisme, pembangunan, ataupun sederet kata pembenaran merenggut nyawa dan hak kebebasan manusia merdeka.

“Sederet peristiwa sekadar pengingat mereka yang terus berdiri di situ adalah beberapa korban atau keluarga korban Mei 1998, keluarga aktivis yang hilang diculik tahun 1997-1998, peristiwa Semanggi I, Semanggi II, keluarga aktivis HAM Munir, korban peristiwa 1965, dan beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu.

Setidaknya Kamis sore ke-300 di depan Istana Presiden Jakarta ini bukanlah sebuah kisah tunggal. Setiap Kamis sore pada tahun 1977, belasan ibu bekerudung putih berhimpun di Plaza de Mayo depan Casa Rosada, istana kepresidenan Argentina.

Mereka berjalan perlahan-lahan mengelilingi tempat tersebut. Setengah jam berlalu, aksi ibu-ibu yang sebagian telah uzur itu pun selesai. Pekan-pekan berikutnya, pada hari dan waktu yang sama, mereka kembali datang ke Plaza de Mayo  melakukan aktivitas serupa. Berkumpul di depan istana adalah bentuk protes atas hilangnya anak dan anggota keluarga mereka akibat kemelut politik di Argentina. Juga atas nama stabilitas, junta militer di bawah Jenderal Jorge Rafael Videla yang menculik, menyiksa, serta menghilangkan nyawa puluhan ribu warga yang dianggap membahayakan kekuasaannya.

Setiap Kamis sore, mereka terus menggelar aksi damai di Plaza de Mayo. Tak hanya sebulan-dua bulan, aksi yang kemudian dikenal sebagai Las Madres Plaza de Mayo itu berjalan selama tiga puluh tahun lebih.

*Bahkan pertengahan tahun 2009 lalu, beberapa ibu dari Argentina ini sengaja datang ke Jakarta, menguatkan korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang juga beberapa terdiri dari para ibu di depan Istana Presiden Jakarta.*

Mereka tidak pernah berharap belas kasihan, mereka juga tidak tergiur dengan kursi kekuasaan. Mereka hanya ingin menampar ingatan kita, bahwasanya masih banyak yang belum kembali hingga kini.
Kekuasaan mengharuskan sejuta argumentasi untuk beralasan, sementara keluarga korban penculikan dan pembantaian itu hanya ingin pertangung-jawaban.

Saya tidak tahu, apakah setiap Kamisan ketika keluarga korban memberikan surat cinta-nya untuk Presiden, dan Presiden enggan membalas itu karena takut seperti hal yang sama terjadi seperti dalam cerpen “Jawaban Alina” karya Seno Gumira Ajidarma?

. . .

Kita tidak tahu ketakutan semacam apa yang dialami Presiden untuk menjawab dengan tegas, dan menyelesaikannya dengan tuntas. 300 Minggu telah berlalu sementara korban dan keluarga korban masih setia mematung di depan istana warisan Gubernur Jenderal Louden tersebut. Mereka masih membawa payung, diam mematung dan adakalanya sambil mendekap foto kerabat, atau anak mereka yang hilang atau meninggal tanpa kejelasan.

Sepertinya anak, suami, atau kerabat mereka yang mati karena melawan tiran kekuasaan tadi akan berkata sama seperti Leonidas dalam medan pertempuran Thermophylae di film "300", “Ingatlah alasan kenapa kami gugur."

Ibu-ibu yang anak-anaknya diculik dan hilang sampai sekarang itu mungkin menganggap bahwa anaknya hanya sedang pergi kuliah atau bermain. Malam atau esok hari akan pulang dan menari bersama. Menari, persis seperti yang Sting dendangkan. ( Husni Effendi)


* * *


Menuyaksikan betapa “AKSI KAMISAN” tak digubris oleh Presiden SBY dan, dan membaca tulisan *MUGIYANTO* kepada SBY, semakin orang tidak bisa faham, *apa kiranya yang menyebabkan Presuiden SBY, baru-baru ini begitu bangga akan situasi pemberlakuan demokrasi di Indonesia begitu bagus. Sehingga dianjurkannya agar negeri-negeri lain belajar dari Indonesia.*


* * *

    Mengakhiri tulisan ini, di muat di bawah ini sebagian dari kata hati
    sahabatku Mugiyanto (25 April 2013):
    *MUGIYANTO adalah penyintas penculikan aktivis pro demokrasi 1998,
    sekarang ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI).*

    *Penantian Harus Dihentikan!*

*Bapak Presiden SBY, berapa banyak lagi keluarga korban penghilangan paksa harus meninggal?*

“Sebulan yang lalu, tepatnya pada Rabu, 27 Maret 2013, kami mendapatkan kabar duka, Pak Paimin, 70 tahun, ayahanda dari salah satu korban penghilangan paksa tahun 1997-1998, Suyat, meninggal dunia di rumahnya di sebuah desa kecil di Gemolong, Sragen, Jawa Tengah. Almarhum Pak Paimin meninggal setelah 15 tahun menunggu hasil perjuangan yang dilakukan anaknya yang lain, Suyadi dan Suyadi, dalam mencari kejelasan tentang nasib Suyat yang diambil oleh kelompok bersenjata di kampung sebelah pada Februari 1998.

“*Sampai ajal menjemput, Paimin masih belum mendapatkan kabar, apakah anak yang disayanginya masih hidup atau sudah meninggal.*  Dalam sebuah wawancara dengan harian Kompas (15 September 2009), almarhum Paimin bersama istrinya Tamiyem pernah menyampaikan harapannya:
”Nek sih waras, ayo mulih. Nek wis ora ana, kuburane nengdi? (Kalau masih hidup, ayo pulang. Kalau sudah meninggal, di mana kuburannya),” kata Tamiyem.
”Nek dipenjara, nengdi (kalau dipenjara di mana),” tambah Paimin.

.    .    .

*Pak Paimin bukan satu-satunya orang tua korban penghilangan paksa* aktivis tahun 1997-1998 yang meninggal sebelum mereka mengetahui kabar anak-anak mereka. Sebelumnya, ayahanda Yadin Muhidin telah meninggal di Jakarta (2003). Ayahanda Herman Hendrawan meninggal di Bangka (2004). Ayahanda Wiji Thukul meninggal di Solo (2006). Ayahanda Noval Alkatiri meninggal di Jakarta (2004). Ibunda Yani Afri meninggal di Jakarta (2012), dan terakhir Pak Paimin, ayahanda Suyat meninggal di Sragen (2013). Mereka semua meninggal dunia akibat sakit yang kami duga berhubungan dengan tekanan fisik dan mental akibat kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Tetapi yang jelas, mereka semua meninggal sebelum bisa menikmati hak-hak mereka atas kebenaran, keadilan dan pemulihan yang menjadi tanggung jawab negara, khususnya pemerintah untuk memenuhinya.

“Angin segar telah bertiup sejak September 2009 ketika Ketua DPR mengirimkan surat rekomendasi hasil sidang paripurna DPR mengenai kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis tahun 1997-1998 kepada presiden. Empat rekomendasi tersebut adalah:
1) Agar presiden membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc;
2) Agar presiden beserta instansi terkait mencari 13 aktivis yang masih hilang;
3) Agar pemerintah memberikan kompensasi dan rehabilitasi kepada keluarga korban;
4) Agar pemerintah meratifikasi Konvensi Internasional Antipenghilangan Paksa.

.    .    .

“Tidak kali ini saja harapan para korban dipupuskan oleh pejabat pemerintah. Sebelumnya, para korban juga telah dikecewakan oleh “permainan ping pong” Komnas HAM, Kejaksaan Agung dan DPR dengan “bola” berkas penyelidikan dugaan berbagai pelanggaran berat HAM. Akibat “permainan ping pong” inilah, setidaknya enam berkas kasus dugaan pelanggaran berat HAM kini tertumpuk di meja Jaksa Agung. “Bola ping pong” menjadi “bola panas” dan tak ada yang berani menyentuh, apalagi menendangnya.

“Pasal 28I Ayat 4 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa negara, khususnya pemerintah memiliki tanggung jawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM. Selanjutnya UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pada Pasal 43 Ayat 2 disebutkan bahwa Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk atas usulan DPR dengan keputusan presiden. Dengan demikian, memang tak terbantahkan bahwa presiden-lah pemegang kunci penanganan dan penyelesaian kasus penghilangan paksa aktivis 1997-1998.

.    .    .

“Menurut saya, penyelesaian secara menyeluruh tidak bisa dilakukan tanpa memulainya dengan hal yang kecil atau sebagian. Dengan rekomendasi dari lembaga tinggi negara yaitu DPR pada 2009, kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997-1998 bisa menjadi awal menuju penyelesaian menyeluruh yang akan dilakukan pemerintahan SBY sebelum masa kerjanya habis.

Penyelesaian kasus ini sudah terlalu lama dinanti keluarga korban. Waktu 15 tahun seharusnya bisa digunakan keluarga korban secara maksimal untuk mengembangkan diri sebagai individu dan berkontribusi pada kehidupan sosial sebagai warga masyarakat. Hal yang sama terjadi pada tataran negara. Seandainya berbagai kasus pelanggaran berat HAM ini telah bisa diselesaikan secepatnya, pada awal masa reformasi, sebagai bangsa tentu kita telah bisa maju, mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam mukadimah UUD 1945. Beban sejarah bangsa ini harus segera diselesaikan.

“. . .  . harapan dan keinginan keluarga korban penghilangan paksa aktivis 1997-1998 sebenarnya sangat sederhana.*  Mereka pertama-tama, dan terutama ingin mendapatkan kejelasan status anak-anak atau suami mereka yang menjadi korban penghilangan paksa. Mereka telah bersiap menerima kabar apa pun dari negara. Bila jawaban ini mereka dapatkan, lebih dari separuh beban penderitaan mereka akan terobati.*


Penderitaan keluarga korban menjadi semakin bertambah saat melihat mereka yang diduga pelaku penculikan aktivis ini muncul di TV-TV dan berapi-api memberi janji-janji semu tentang keadilan dan kesejahteraan rakyat. Penantian ini harus dihentikan. Keluarga korban berhak mendapatkan keadilan. 

*    *    *









No comments: