*Kolom IBRAHIM ISA*
*Rabu, 24 April 2013*
*--------------------*
*DARI Kemenagan “RAWAGEDE” *
*Ke-Penanganan Kasus “SULAWESI SELATAN”*
** * **
/Teleteks NOS Journal, stasiun TV Belanda, Nederland 1, mulai tadi malam menyiarkan berita sbb:/
“/*Een nieuwe overleg met weduwen Sulawesi”*/
/Minister BuZa Timmermans heeft gezegd dat er nieuwe gesprekken komen met de tien Indonesische weduwen wiens mannen in 1946 en 1947 door Nederlandse militairen werden doodgeschoten. /
/Timmermans kondigde dat aan Nieuwsuur. Timmermans zei dat hij de landsadvocaat heeft gevraagd gesprekken te beginnen met de advocaten van de vrouwen. Die hebben een schadevergoeding van 10.000 euro per persoon en excuses van de regering afgewezen./
/De slachtoffers van het bloedbad in Rawegede kregen ieder 20.000 euro uitgekeerd./
/Advocaat Liesbeth Zegveld die de slachtoffers bijstaat zegt dat ze heel blij is. /
* * *
Terjemahan bebas, kira-kira sbb:
“*Suatu perundingan baru dengan para janda Sulawesi.”*
*Menteri LN Timmermans mengatakan bahwa akan diadakan pembicaraan baru dengan sepuluh janda Indonesia, yang suaminya dalam tahun 1946 dan 1947 ditembak mati oleh militer Belanda.*
*Timmermans menyatakan hal tsb dalam siaran programa “Nieuwsuur”. Timmermans mengatakan bahwa ia telah minta para advokat negeri untuk memulai pembicaraan dengan advokat yang membela para wanita tsb. Mereka itu (para janda) telah menolak ganti-rugi sebanyak 10.000 per orang dan pernyataan minta maaf dari pemerintah.*
*Para korban pertumpahan darah di “Rawagede” masing-masing menerima 20.000 euro. Advokat Zegveld yang mendampingi para korban tsb menyatakan bahwa ia gembira sekali (dengan pernyataan Timmermans tsb).*
** * **
Dalam sebuah berita lainnya *(Powervrouwen.blog.nl)*– – – – dinyatakan, bahwa, para janda Sulawesi dan Menteri Luarnegeri Frans Timmermans, akan berunding lagi mengenai masalah pengaturan ganti-rugi. Kata Timmermans: “Saya telah minta kepada advokat para janda itu untuk bicara (lagi) dan mencari jalan keluar . . . .”
Timmermans akan mengajukan masalah ini dalam sidang Kabinet pada hari Jum'at yad. Ia ingin adanya suatu pengaturan umum mengenai masalah serupa ini, dimana jumlah ganti rugi dan permintaan maaf ditentukan.
Menteri LN Belanda itu menyatakan, bahwa baginya tidak ada masalah samaekali bahwa ia pribadi atas nama Nederland minta maaf sekitar kejahatan perang selama perang kolonial di Hindia-Belanda. Ia juga akan mengajukan masalah ini kepada Dewan Menteri.
Advokat para janda Sulawesi Selatan, Liesbeth Zegveld amat gembira bahwa Menteri Timmermans telah minta kepada para advokat negeri untuk segera mengadakan persetujuan di Sulawesi.”Bahwa ini segera terjadi, jelas menggembirakan saya”, kata Zegveld.
* * *
Perkembangan terakhir sekitar tuntutan para janda Sulawesi Selatan yang merupakan sebagian kecil saja dari korban pembantaian masal yang dilakukan oleh militer Kerajaan Belanda di bawah komando Kapten Westerling, menunjukkan bahwa kegigihan memperjuangkan keadilan dan kehormatan para janda korban, berangsur-angsur mendekati kenenangan tuntutan adil mereka.
Perlu disebut di sini ketekunan dan konsistensi para aktivis dari Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), sementra pejabat Indonesia dan khususnya advokat Belanda, Liesbeth Zegveld, yang mendampingi para korban sejak pengurusan kasus pembantaian oleh militer Belanda di desa Rawagede.
Peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sekitar 1946-1947 ini, yang terungkap atas dasar kesaksian dan penelitian setempat, -- menunjukkan bahwa Westerling dan pasukannya telah membantai 40 ribu orang. Namun, pihak Belanda, menyebut jumlah korban saat itu sekitar 3.000 orang. Pengakuan Westerling sebagai pelaku kejahatan, jumlah korban sekitar 600 orang.
Jelas, --- fihak pelaku, i.e. fihak militer dan pemerintah Belanda dengan berbagai alasan berusaha memperkecil korban yang ditimbulkan oleh keganasan tentara Kapten Westerling di Sulawesi Selatan. Dan bahwa Kapten Westerling boleh dikatakan diberi kekuasaan penuh untuk bertindak semaunya membantai siapa saja yang menjadi kendala pulihnya kekuasasaan Hindia Belanda di Sulawesi Selatan. Kemudian, -- setelah Kapten Westerling dengan tentara Radu-Adilnya gagal dalam petualangannya melakukan kudeta terhadap pemerinth RIS (1950), di Bandung, ia diberi segala fasilitas oleh Belanda yang masih punya kedudukan sebagai Misi Militer Belanda (MMB) di Indonesia, untuk melarikan diri ke Belanda. Di Belanda Westerling dapat perlindungan Belanda dan bisa hidup tenteram aman sampai akhir ajalnya di Belanda.
Fakta-fakta tsb membuktikan keterlibatan Belanda dalam kejahatan Kapten Westerling dan pasukannya di Sulawesi Selatan (1946-1947) dan di Bandung (1950).
* * *
Tepat sekali yang dikatakan oleh advokat Zegveld: *"Kasus baru ini bukan 'berkaitan dengan uang', melainkan 'mengenai mendapatkan pengakuan atas kekerasan yang menimpa mereka (para korban pembantaian)," kata Zegveld.*
Ditegaskan juga bahwa perjuangan demi keadilan dan kehormatan bagi para korban pembantaian masal Kapten Westerling di Sulawesi Selatan, amat diinspirasi oleh *perjuangan para janda dari Rawagede yang memenangkan tuntutan dari Pemerintah Belanda.*
Pada tanggal 09 Desember 2011, Pengadilan Belanda Den Haag menyatakan bahwa Belanda bertanggungjawab atas pembantaian terhadap penduduk di Rawagede dan diharuskan memberikan ganti rugi. Par akhli waris korban pembantaian Rawagede telah *menerima sejumlah kompensasi dan permintaan maaf dari Pemerintah Belanda. *
*Setelah perjuangan para janda dari Rawagede memenangkan tuntutan dari Pemerintah Belanda, sejumlah janda korban agresi militer Belanda di Sulawesi pada 1946 dan 1947, mulai mengajukan tuntutan ke meja hijau. Tuntutan ditujukan kepada Pemerintah Belanda dan didaftarkan kepada Pengadilan Negeri Den Haag.*
*Demikian dikatakan pengacara para janda, Liesbeth Zegveld di Den Haag, Selasa (20/12/'12) waktu setempat. Zegveld adalah pengacara para ahli waris korban Rawagede yang pada Desember 2011, di Pengadilan Den Haag berhasil memenangkan tuntutan agar Pemerintah Belanda meminta maaf dan membayar sejumlah kompensasi.
*
Belanda pun akhirnya meminta maaf dan memberikan sejumlah kompensasi di Rawagede (kini Balongsari) pada *9 Desember lalu (2011). *
** * **
Melihat hasil-hasil yang dicapai oleh para janda korban kejahatan kolonialisme Belanda, ----- Kita tidak bisa tidak menolehkan pandangan kita pada situasi penanganan HAM di Indonesia yang sudah berlangsung sejak Reformasi 1998.
Situasi umumnya tampak suram.
Laporan dan Rekomendasi KomnasHAM, suatu lembaga HAM yang dibentuk oleh Negara Republik Indonesia, sekitar pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat negara dll sekitar Peristiwa 1965/66/67 --- telah ditolak oleh Kejaksaan Agung dengan berbagai alasan dan dalih. Sedangkan seyogianya Kejaksaan Agung menindak lanjuti Rekomendasi KomnasHAM tsb.
Para jagal dalam sebuah film dokumenter, produksi Joshua Oppenheimer, “The Act of Killing”, dimana diungkap pengakuan para algojo pembantaian masal oleh para preman, atas dukungan dan kordinasi fihak militer Medan di Sumatra Utara, pada periode 1965/66, ----- oleh seorang wakil Menteri Pemerintahan SBY dianggap sebagai pahlawan. Dan bahwa tindakan pembantaian para preman tsb adalah perlu, demi keamanan negeri . . . .
Dewasa ini para jagalnya tenang-tenang saja hidup aman dan mewah di Medan . . .. dan tempat-temat lainnya. Tidak ada satu-pun lembaga pengadilan Indonesia yang menggugat kejahatan biadab yang mereka lakukan pada periode sekitar 1965.
* * *
Maka menyatakan bahwa demokrasi telah berlangsgung di negeri kita, halmana berarti telah tegaknya hukum dan bahwa negara Republik Indonesia telah menjadi suatu negeri demokratis, toleransi dan rukun . . . . dari siapa negeri-negeri lainnya bisa belajar (sic) . . . . . sungguh adalah suatu pernyataan yang KEBABLASAN..... yang tidak sesuai dengan kenyataan hidup di negeri kita. Meskipun pernyataan tsb dinyatakan oleh Presiden SBY di Singapura baru-baru ini, ketika beiau menerima gelar doctor honoris causa dari Univeritas NanYang Singapura.
Cobalah pertimbangkan apa bukan kebeablasan namanya, bila dari seorang Presiden RI, keluar pernyataan bahwa tindak-tanduk anggota KOPASUS (11 0rang) yang menyerbu penjara Cebongan, Yogyakarta, dan membunuh empat terdakwa yang ditahan di situ – – – sebagai suatu tindakan dari orang-orang k e s a t r i a . .?
Tidakkah pernyataan seperti itu membenarkan dan mempromoasi i m p u n i t y . . .. ketiadaan hukum???
* * *
No comments:
Post a Comment