Tuesday, May 7, 2013

/*Kolom IBRAHIM ISA*/

/*Kemis, 02 Mei 2013*//*

------------------------*/


/*BUKAN SEKADAR PEMEGANG PASPOR NEDERLAND . . . . .

/**/



Selasa pagi, 30 April 2013, . . . . . Cuaca cerah, langit ditaburi kelompok-kelompok awan terang. Semua itu menghiasi sejauh mata memandang cakrawala. . . Alam sepakat, hari itu melimpahkan keceriaan pada penduduk negeri "Bawah" ini . . Nederland. Seperti ini bolehlah . . . .setelah berhari-hari lamanya Belanda dirundung mendung dan dingin. Tidak ada samasekali bau-baunya musim semi . . . .


Pada hari yang penting ini, sinar mentari membagi kehangatannya pada insan penduduk belahan bagian Utara dari bumi. . . Angin musim semi berhembus halus sepoi-sepoi basa, . . . .


Rakyat Belanda, khususnya di Amsterdam . . . . . . berpesta-ria. Menyambut Willem Alexander sebagai Raja Belanda!


* * *


Catat ini: . . . Tidak semua rakyat Belanda menyambut Mahkota baru Nederland. Perhatikan. Di Waterlooplein dan di Dam, beberapa laki-laki dan wanita pengikut "Republikeinse Genootschap" , perkumpulan republiken, berdemo. Membawa poster: Saya tidak mau! "Ik Willem niet" -- Saya bukan bawahan kalian!. Disebelah kata-kata itu ada gambar orang membuang kertas di keranjang sampah. Kaum Republiken berharap Ratu Beatrix adalah ratu Belanda yang terakhir. Mereka kecewa. Sang Ratu turun takhta, namun, putra mahkota naik takhta!


Keberatan utama kaum Republiken ialah bahwa pada sistim kekuasaan keluarga Oranje, . . . kepala negaranya tidak dipilih. Maka keluarga Oranje itu tidak ada mandat dari rakyat Belanda.


Aksi demo anti-monarki di Dam ditangkap polisi. Tidak lama kemudian dilepaskan. Kemudian Polisi minta maaf: Salah (tangkap), kata Polisi. Tetapi pendemo menyatakan tindakan Polisi itu, adalah suatu cara licik dari penguasa untuk meredam oposisi terhadap monarki.


Belakangan diberitakan bahwa keanggotaan "Republikeinse Genootschap", pada bulan-bulan akhir-akhir ini meningkat menjadi kurang lebih 8.000 orang.


  * * *

Beberapa saat kemudian Beatrix, yg selama 33 tahun terus-terusan jadi Ratu Kerajaan Belanda, membubuhkan tandatangannya pada sebuah dokumen kerajaan. Disitu dipastikan . . . . Ratu Beatrix turun tachta. Mahkota Kerajaan Belanda diserahkan kepada putra sulungnya, WILLEM ALEXANDER. Suatu momen historis bagi Belanda, karena hari ini, adalah pertama kalinya negeri Belanda dikepalai (lagi) oleh seorang priya sebagai Radja. Setelah lebih dari 123 tahun Mahkota Nederland terus-terusan disandang oleh wanita.


* * *


Ada hal penting menggugah pemikiranku lebih lanjut. Putri Sulung kami, Pratiwi, menilpun kami siang itu. Murti mengangkat gagang tilpun. "Gefiliciteerd". . . terdengar suara Tiwi kepada ibunya. "Mabruk!", kata Tiwi. Lima tahun kami berdomisili di Cairo, membuat Tiwi masih ingat, bahwa orang-orang Mesir dalam suasana gembira, sering mengucapkan kata MABRUK. Artinya SELAMAT!


Menoleh ke arahku, Murti menjawab Tiwi: "Jij ook gefeliciteerd!" (Juga selamat untuk kamu). MABRUK! Terdengar tawa Tiwi riang di tilpun. Jangan lupa sampaikan kepada Marcel (suami Tiwi yang Londo itu) ucapan "SELAMAT" berhubung Willem Alexander dinobatkan jadi Koning (Raja) van Nederland, dan istrinya Maxima, jadi Koningin (Ratu).


* * *


Pembicaraan tilpun dengan Tiwi tadi menggugah kembali fikiranku. Rupanya Tiwi merasa wajar, bahwa "kami sekeluarga, yang sejak 1993 sudah jadi warga-negara Nederland, seyogianya, pantas-pantasnya, mestinya bergembira bersama masyarakat umum Belanda. Sebagai "orang Indonesia" Tiwi selalu ingat bahwa pada hari raya 30 April ( Biasanya setiap tanggal 30 April rakyat Belanda bersama Ratu Beatrix, merayakan "Koninginnedag") Bangsa Belanda melakukannya dalam usaha memperkuat semangat kesinambungan Belanda sebagai nasion budaya, dan semangat persatuan berbangsa.


Tiwi mengingatkan: . . . "Kita ini kan warga-negara Belanda, merupakan bagian dari penduduk Kerajaan Nederland!


Teringat pada saat-saat ketika sebagai orang yang "stateless", yang tidak punya negara karena Orba telah dengan sewenang-wenang mencabut paspor dan hak kewarnegaraan kami. Masih mengiang dalam telingaku, tanggapan seorang kawan seperjuangan, pejuang kemerdekaan yang sudah senior, aktivis serikatburuh yang juga pasposnya dicabut Orba. Ia juga minta suaka di Nederland. Dengan santai tapi serius kawan itu mengatakan: Pokoknya "mereka" Belanda pada kita itu, kan , semata-mata sehubungan dengan paspor Belanda yang kita miliki. Ditambahkannya: Jangan berilusi bahwa kita-kita ini bisa benar-benar jadi dan diperlakukan sebagai warga-negara Belanda seperti mereka-mereka itu. Maksudnya warga negara Belanda yang "Bulé", yang 'Londo asli".


Sementgara kawan berpendapat lain. Bahkan banyak yang menganggap hal itu tidak penting untuk dibicarakan. Pokoknya kita berusaha menjadi warga yang baik dari ngeri ini. Lakukan apa yang bisa dilakukan untuk mendukung perjuangan di tanah air.


Seorang kawan lainnya, mantan mahasiswa yang paspornya juga dicabut, cerita: Saya berterimakasih sekali pada Belanda dan tidak akan melupakannya Bahwa Belanda telah menerima saya di sini dan melindungi keamanan saya serta memperoleh kesempatan kerja . . . dsb. Meskipun mereka (pemerintah Belanda) tahu siapa saya. Saya tegaskan bahwa saya adalah seorang SUKARNOIS.


* * *


Ketika kami sekeluarga mengambil keputusan (1986) meninggalkan Tiongkok menuju negeri Belanda. Disitu mengajukan permintaan suaka . . . . pertimbangan utamanya ialah: Mencari tempat tinggal yang cocok untuk melakukan kegiatan di luarnegeri selama belum bisa pulang ke tanah air. Pilihan kami jatuh pada negeri Belanda. Berbagai pertimbangan. Yang utama ialah: Selain mengenal kultur Belanda dan bahasanya, --- di Belanda banyak sahabat kami orang-orang Belanda progresisf, yang simpati pada perjuangan kita melawan rezim Orba. Serta bersedia membantu kami dalam proses suaka tsb. Belanda adalah salah satu negeri yang menandatangi sebuah konvensi inernasional yang mewajibkannya MEMBERIKAN PERLINDUNGAN POLITIK pada kaum disiden politik yang di negerinya mengalami persekusi dan ancaman terhadap keamanan dirinya.


*Permintaan suaka kami diterima. Kemudian sekeluarga menjadi warga-negara Belanda. Tak terkatakan betapa lega dan gembiranya kami sekeluarga. Seakan-akan memperoleh kembali identitas, legitimasi dan pengakuan bahwa kami-kami ini berhak hidup sewajarnya serta diperlakukan sebagai manusia yang berhak azasi manusia, sesuai Deklarasi Universal Hak-Hak Azasi Manusia, PBB.*


*Sebagai warga-negara Belanda, kami mendapat perlindungan yang wajar dari pemerintah Belanda. Oleh karen itu bisa dan harus melakukan kegiatan sosial dan politik di Belanda yang diabdikan pada perjuangan untuk demokrasi dan HAM di tanah air. Dan hal itu memang kami laksanakan sesuai maksud dan tujuan bermukim di Belanda. *


** * **


Hasrat yang didorong oleh rindu puluhan tahun, ingin berkunjung kembali ke Indonesia sangat besar tak terbendungkan lagi. Diajukan masalah ini ke keluarga di tanah-air yang kebetulan adalah seorang perwira tinggi ALRI. Tanggapannya: Dengan paspor Belanda dan dengan menggunakan nama lain, kalian bisa berkunjung ke Indonesia. Itu bisa dipastikan, kata perwira tinggi ALRI itu. Betul . . . . kami bisa pulang dengan selamat meskipun Orba masih berjaya dan Suharto masih Presiden Indonesia.


*Walhasil . . . . menjadi warganegra Belanda, bukanlah soal formalitas semata. Bukan sekadar memiliki sebuah dokumen, dimana dinyatakan bahwa pemiliknya adalah warganegara Kerajaan Belanda. Ada latar belakang dan ada kelanjutannya. Yang, -- betapapun punya dampak positif dalam rangka memberikan sumbangan semampunya pada perjuangan besar yang dilakukan rakyat di Indonesia.*


* * *


Tidak sedikit warga Indonesia yang paspornya sewenang-wenang dicabut oleh rezim Orba dan oleh karena itu terpaksa berkelana sebagai orang-orang yang STATELESS, telah memanfaatkan secara positif legitimasinya sebagai warganegra Belanda. Demkian pula kiranya keadaan sahabat-sahabat yang telah memperoleh perlindungan politik serta kewarganegaraan baru negeri dimana mereka tinggal dewasa ini.


* * *


Memang, sesungguhnya tidak perlu ada perasaan sungkan atau rendah diri. Bahwa harus berterima kasih dan brhutang budi pada Belanda untuk segala bantuan dan fasilitas yang diberikannya. Itu semua tidak terlepas dan merupakan hasil perjuangan lama dari kaum pekerja dan masyarakat Belanda umumnya.


Pada setiap hubungan antar-bangsa dan antar rakyat, selalu ada hubungan solidaritas dan saling bantu. Terutama dalam hubungan dengan perjuangan masyarakat demokratis dan progresif yang luas di negeri-negeri bersangkutan.


*Dalam sorotan ini kita saksikan dalam sejarah hubungan rakyat Indonesia dan Belanda.Seperti dalam periode sejarah pada masa Nederland tertindas dibawah pendudukan militer Nazi Jerman*. Barangkali tidak terlalu banyak yang tahu. Betapa seriusnya solidaritas yang ditunjukkan putra-putri mahasiswa dan pemukim orang-orang Indonesia di Belanda terhadap perjuangan perlawanan Belanda demi bebas dari pendudukan Jerman. Padahal sebagai pencinta dan pejuang kemerdekasan Indonesia, mereka-mereka itu secara prinsip melawan kolonialisme Belanda. Tapi dalam situasi kongkrit yang krusial yang dialamai rakyat Belanda., orang-orang Indonesia di Belanda mampu dan tegas serta konsisten mengambil sikap prinsipil: Orang-orang Indonesia, terutama yang tergabung dalam P.I -- Perhimpunan Indonesia (Nederland) menyatakan: *"Eerst moest Nederland bevrijd worden, daarna Indonesië. *


"*Belanda harus terlebih dulu dibebaskan, kemudian Indonesia. *Kejadian ini adalah fakta sejarah yang tercatat dalam sejarah Belanda, hitam diatas putih. *Betapa luhur dan mulyanya ssemangat solidaritas orang-orang Indonesia terhadap Belanda!!*


* * *


Dari kira-kira 800 warga Indonesia yang ketika itu ada Holland, tidak sedikit yang ambil bagian langsung dalam perjuangan perlawanan bawah tanah dan bersenjata melawan pendudukan Jerman. 100 orang diantara telah gugur dalam siksaan di kamp-kamp konsentrasi Jerman dan di hadapan regu tembak Jerman Nazi. Mereka mencucurkan darah dan keringat demi pembebasan Nederland


Antara lain pejuang bawah tanah Nederland melaan Nazi Jerman, yang telah memberikan pengorbanan terbesar dengan jiwa-raganya, adalah pejuang perlawanan Irawan Soejono. Ia tertangkap dalam aksi kegiatannya dan dieksekusi setempat oleh serdadu Nazi Jerman. Untuk menghormat dan mengenangnya, Salah sebuah jalan di Osdorp, oleh Kotapraja Amsterdam, diberikan nama *IRAWAN SOEJONOSTRAAT.*


Diantara pejuang-perlawanan terdapat nama-nama a.l *P. Loebis, Sidartawan, Djajeng Pratomo, Moen Soendaroe, Dradjat Doerma Keswara, Poetiray, Kajat, Hamid dan Bhima Jodjana. *Seperi halnya nama-nama *Makatita, Latuparisa, Mas Soemitro, Ds Max Wignyosoehardjo, dan Annie Manusama. *


Juga kita dapati nama-nama seperti *Mr R.M. Soejono, ayah dari Irawan, yang pernah menjabat menteri dalam pemerintahan Belanda dalam pengaswingan di London. R.M. Setiadjit menjabat anggota de Grote Adviescommissie der Illegaliteit. Soenito anggotade Nationale Adviescommissie. Roestam Effendi anggota Parlemen Belanda,de Tweede Kamer, sebagaimana halnya (1945) Setiadjit.*


** * **


Sehingga, pada hari Peringatan ke-37 Kebangkitan Nasional (Nationale Herrijzenis, , 25 Mei 1982, ci Leiden, Prof Cleveringa , organisator aksi-protes di Leiden ,Novemberf 1940, menyatakan a.l sbb: 'Waar er sprake was hier in Nederland van verzet, behoefden wij niet te vragen: Waar zijn de Indonesiërs? Zij waren er en stonden op hun post. Zij hebben hun offers gebracht. Zij waren in de concentratiekampen, zij waren in de gevangenissen, zij zij waren overal.'**


Dalam bahasa kita: ---- *"Apakah ada perlawanan di Belanda ketika itu, tidak perlu kita tanyakan: Dimana orang-orang Indonesia? Mereka berada di posnya masing-masing. Mereka telah memberikan pengorbanan mereka. Mereka ada di kamp-kamp konsentrasi, mereka ada di penjara-penajra, mereka ada dimana-mana". *Demikian Prof Cleveringa.


*( Sumber litratur **a.l : **Artikel Imam Sutoto, Sekretaris Stichting "Rumah Kita";***/Officiële bescheiden betreffende de Nederlands-Indonesische betrekkingen 1945-1950./*Vierde deel (Den Haag 1974); 'R.M. Sunito Djojowirono overleden' in**: */De Waarheid/*, **15.8.1979; J. Morriën,***/Indonesië los van Holland/***(Amsterdam 1982); H.A. Poeze**, */In het land van de overheerser. Indonesiërs in Nederland 1600-1950/*(Dordrecht 1986); L de****Jong,***/Het Koninkrijk der Nederlanden in de tweede wereldoorlog./***Deel 12 (Leiden****1988) 203; J. Withuis,***/Opoffering en heroïek/*(Meppel 1990); J. Morriën,***/Indonesië liet me nooit meer los. Vijftig jaar antikoloniale strijd/***(Hoofddorp 1995).*


** * **


*Demikianlah renungan sekitar hubungan solidaritas Indonesia-Belanda dalam sejarah dua negeri dan dua bangsa. *


*Jadi kiranya wajar kesimpulan diatas, soalnya . . . . . **/*BUKAN SEKADAR PEMEGANG PASPOR NEDERLAND . . . . . . .!*/*


*/** * **/*





No comments: