Friday, May 24, 2013

Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 23 Mei 2013
------------------------------

DE VOLKSKRANT” Dan Resensi
Film Dokumenter “THE ACT OF KILLING”

Tiap hari Kemis, salah satu s.k nasional Belanda yang terbesar, “de Volkskrant”, memuat resensi film-film baru. Bahasa Indonesianya dari “de Volkskrant”, adalah “Harian Rakyat” -- Perhatikan: -- ”de Volkskrant” tak ada sangkut-pautnya dengan s.k. Indonesia, “Harian Rakyat”, organ PKI. “Harian Rakyat” diberangus pada hari-hari pertama Jendral Suharto berkuasa di Jakarta ( Oktoer 1965) –. Mungkin perhatian besar ini disebabkan a.l : -- pada saaat ini sedang berlangsung banyak festival film internasional, termasuk yang terpenting Festival Film Inernasional Cannes, Perancis.

* * *

Murti yang lebih dahulu membaca “de Volkskrant” hari ini, memberitahukan padaku, bahwa dalam rubrik resensi film koran tsb ada tulisan tentang film “The Act of Killing”. Pasti akan kubaca, kataku.

Betul saja, --- terdapat enam halaman penuh rubrik resensi film tsb. Antara lain megomentari film thrilleryang dibintangi a.l oleh Robert Redford, “The Company You Keep”. Film itu diberi nilai 3 bintang. Tapi, film cerita-dokumentar produksi Joshua Oppenheimer, “The Act of Killing”, diberi nilai lima bintang. Dan jumlah ruangan bioskop yang mentayangkannya ada – 75. Film dengan Robert Redford sebagai peran utama itu diputar hanya di 5 ruangan zaal (ruangan cinema).

Penulis resensi “The Act of Killing”: Bor Beekman, memberitakan bahwa film “The Act of Killing” sudah dipertunjukkan awal tahun ini di sebuah festival film international “Movies That Matter”” , “Film yang berbobot”. Resensi yang ditulisnya singkat saja. “Not bad”, kata orang Inggris.

* * *

Media Belanda memberitakan bahw film “The Act of Killing” telah menggondol banyak Award international . Antara lain: “Panorama Audience Award:” dan “Prize of the Ecumenical Jury” di Festival Film International Berlin.

Di Festival Dokumenter Madrid baru-baru ini “The Act of Killing” merebut kemenangan ganda, memperoleh “Jury Award” dan “Audience Award” sebagai film cerita-dokumenter TERBAIK.

Menarik untuk mengetahui bahwa film “The Act of Killing” diputar sedikitnya di 13 kota Belanda, seperti Amsterdam, Breda, Den Bosch, Den Haag, Deventer, Groningen, Haarlem, Hoorn, Maastricht, Nijmegen, Rotterdam, Tilburg dan Utrecht. Dan itu semua di bioksop umum.

Coba bandingkan dengan negeri kita, Indonesia. “The Act of Killing”, yang telah menjadi buah bibir (pujian) publik internasional . . . . di Indonesia masih belum bisa diputar terbuka untuk umum. Menurut infornasi yang bisa diandalkan, untuk mempertunjukkannya terbuka dimuka umum, harus melewati PANITIA SENSOR. Bisa dipastikan bila diajukan kepada Panitia Sensor, permintaan izin merilis film “The Act of Killing”, itu bisa nyangkut di situ. Dan entah berapa lama harus menanti sampai izinnya keluar.

* * *

Kiranya banyak yang sudah mendengar, meliha sendiri atau membaca bagaimana isi ceritera film dokumenter “The Act of Killing”.

Daripada sendiri menulis ulang synopsis film “Jagal” – The “Act of Killing”, baik kita baca saja ringkasan yang dimuat oleh salah sebuah media mancanegara. Dokumenter ini adalah wawancara dari sejumlah pelaku pembunuhan orang-orang PKI, diduga atau sipatisan PKI. Kejadian itu berlangsung di tahun 1965-1966 di Sumatera Utara.

Tulisan yang di muat di Ensiklopedia Bebas Wikipedia mengenai film “The Act of Killing”, memang patut dibaca. Juga baik bila membacanya untuk kedua-kalinya. Tidak berat sebelah . .. .Cekak-aos, lancar, dan mengenai “sasarannya”. Silakan membacanya!

* * *

“Begitu PKI dibubarkan oleh TNI tahun 1965, Anwar Congo dan kawan-kawan "naik pangkat" dari preman kelas teri pencatut karcis bioskop menjadi pemimpin pasukan pembunuh. Mereka membantu tentara membunuh lebih dari satu juta orang yang dituduh komunis, etnis Tionghoa, dan intelektual, dalam waktu kurang dari satu tahun. Sebagai seorang algojo dalam pasukan pembunuh yang paling terkenal kekejamannya di Medan, Anwar telah membunuh ratusan orang dengan tangannya sendiri.
“Hari ini, Anwar Congo dihormati sebagai pendiri organisasi paramiliter sayap kanan Pemuda Pancasila (PP) yang berawal dari pasukan pembunuh itu. Organisasi ini begitu kuat pengaruhnya sehingga pemimpinnya bisa menjadi menteri, dan dengan santai menyombongkan segala macam hal, dari korupsi dan mengakali pemilu sampai melaksanakan genosida.



“Dalam “Jagal”, para pembunuh bercerita tentang pembunuhan yang mereka lakukan, dan cara yang mereka gunakan untuk membunuh.



“Tidak seperti para pelaku genosida Nazi atau Rwanda yang menua, Anwar dan kawan-kawannya tidak pernah sekalipun dipaksa oleh sejarah untuk mengakui bahwa mereka ikut serta dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Mereka justru menuliskan sendiri sejarahnya yang penuh kemenangan dan menjadi panutan bagi jutaan anggota PP.



Jagal” adalah sebuah perjalanan menembus ingatan dan imajinasi para pelaku pembunuhan dan menyampaikan pengamatan mendalam dari dalam pikiran para pembunuh massal. Jagal adalah sebuah mimpi buruk kebudayaan banal yang tumbuh di sekitar impunitas ketika seorang pembunuh dapat berkelakar tentang kejahatan terhadap kemanusiaan di acara bincang-bincang televisi, dan merayakan bencana moral dengan kesantaian dan keanggunan tap-dance.



“Pada masa mudanya, Anwar Congo dan kawan-kawan menghabiskan hari-harinya di bioskop karena mereka adalah preman bioskop: mereka menguasai pasar gelap karcis, dan pada saat yang sama menggunakan bioskop sebagai markas operasi untuk kejahatan yang lebih serius.



“Di tahun 1965, tentara merekrut mereka untuk membentuk pasukan pembunuh dengan pertimbangan bahwa mereka telah terbukti memiliki kemampuan melakukan kekerasan, dan mereka membenci komunis yang berusaha memboikot pemutaran film Amerika—film-film yang paling populer (dan menguntungkan). Anwar Congo dan kawan-kawan adalah pengagum berat James Dean, John Wayne, dan Victor Mature. Mereka secara terang-terangan mengikuti gaya berpakaian dan cara membunuh dari idola mereka dalam film-film Holywood. Keluar dari pertunjukan midnight, mereka merasa “seperti gangster yang keluar dari layar.”



“Masih terpengaruh suasana, mereka menyeberang jalan ke kantor dan membunuh tahanan yang menjadi jatah harian setiap malam. Meminjam teknik dari film mafia, Anwar Congo lebih menyukai menjerat korban-korbannya dengan kawat.



“Dalam Jagal, Anwar Congo dan kawan-kawan bersepakat untuk menyampaikan cerita pembunuhan tersebut kepada sutradara. Tetapi idenya bukanlah direkam dalam film dan menyampaikan testimoni untuk sebuah film dokumenter: mereka ingin menjadi bintang dalam ragam film yang sangat mereka gemari di masa mereka masih menjadi pencatut karcis bioskop.



“Sutradara menangkap kesempatan ini untuk mengungkap bagaimana sebuah rezim yang didirikan di atas kejahatan terhadap kemanusiaan, yang belum pernah dinyatakan bertanggung jawab, memproyeksikan dirinya dalam sejarah.



“Kemudian sutradara film menantang Anwar Congo dan kawan-kawannya untuk mengembangkan adegan-adegan fiksi mengenai pengalaman mereka membunuh dengan mengadaptasi genre film favorit mereka—gangster, koboi, musikal. Mereka menulis naskahnya. Mereka memerankan diri sendiri. Juga memerankan korban mereka sendiri.



“Proses pembuatan film fiksi menyediakan sebuah alur dramatis, dan set film menjadi ruang aman untuk menggugat mereka mengenai apa yang mereka lakukan di masa lalu. Beberapa teman Anwar Congo menyadari bahwa pembunuhan itu salah. Yang lain khawatir akan konsekuensi kisah yang mereka sampaikan terhadap citra mereka di mata publik. Generasi muda PP berpendapat bahwa mereka selayaknya membualkan horor pembantaian tersebut karena kengerian dan daya ancamnya adalah basis bagi kekuasaan PP hari ini. Saat pendapat berselisih, suasana di set berkembang menjadi tegang. Bangunan genosida sebagai “perjuangan patriotik”, dengan Anwar dan kawan-kawan sebagai pahlawannya, mulai berguncang dan retak.



“Yang paling dramatis, proses pembuatan film fiksi ini menjadi katalis bagi perjalanan emosi Anwar Congo, dari jumawa menjadi sesal ketika ia menghadapi, untuk pertama kali dalam hidupnya, segenap konsekuensi dari semua yang pernah dilakukannya. Saat nurani Anwar Congo yang rapuh mulai terdesak oleh hasrat untuk tetap menjadi pahlawan, Jagal menyajikan sebuah konflik yang mencekam antara bayangan tentang moral dengan bencana moral.



* * *



S.k. Belanda “de Volkskrant”, perhatikan ini . . ., adalah salah satu media Belanda, yang secara reguler meliput peristiwa-peristiwa penting bersangkutan dengan INDONESIA. “de Volkskrant” , adalah salah  satu koran Belanda dewasa ini yang menempatkan wartawannya di Indonesia. Michiel Maas, namanya. Ketika kasus pembantaian masal tentara Belanda (1947) terhadap penduduk Rawagede menjadi ramai dibicarakan, s.k. “de Volkskrant” paling banyak menyiarkan liputan yang ditulis oleh wartawannya, Michiel Maas.



Begitu juga peristiwa pementasan film dokumenter “The Act of Killing” mendapatkan perhatian cukupan s.k. “de Volkskrant”.



* * *



No comments: