Tuesday, May 7, 2013

*Kolom IBRAHIM ISA*

*Sabtu, 04 Mei 2013**

--------------------*



*Memiliki PASPOR NEDERLAND *

*Karena ORBA MENCABUT PASPPORKU*

**



** * **

Sahabatku,*Bung Salim Said*, mantan Dubes di Ceko, merespons Kolom Ibrahim Isa, berjudul *"BUKAN SEKADAR PEMEGANG PASPOR NEDERLAND . . . . . . .!"*. Kolom itu ditulis dalam rangka merefleksi Kerajaan Belanda memperoleh Raja Baru, Willem Alexander.


Intisari tulisanku itu, -- Menjelaskan bahwa memiliki paspor Belanda, setelah pasporku dicabut sewenang-wenang oleh kekuasaan militer Orba, --- bukanlah sekadar soal formal saja. Tidak sama halnya seperti memiliki sebuah "creditcard". Bukan! Memperoleh paspor Belanda punya tujuan utama untuk memperoleh domisili, yang bisa dijaikan pangkalan selama belum mungkin kembali ke tanah air dan memperoleh kembali paspor Indonesia, yang memungkinkan untuk meneruskan kegiatan menurut syarat dan kemampuan yang terbatas, . . . . meneruskan kegiatan melawan rezim Orde Baru.


* * *


Perasaanku memperoleh dokumen legitimitasi baru, dalam hal ini paspor Belanda, kulukiskan sbb:, ( dikutip dari kolom I.I. bersangkutan):


"Ketika kami sekeluarga mengambil keputusan (1986) meninggalkan Tiongkok : adalah mencari tempat tinggal yang cocok untuk melakukan kegiatan di luarnegeri selama belum bisa pulang ke tanah air. Pilihan kami jatuh pada negeri Belanda. Berbagai pertimbangan. Yang utama ialah: Selain mengenal kultur Belanda dan bahasanya, --- di Belanda banyak sahabat kami orang-orang Belanda progresisf, yang simpati pada perjuangan kita melawan rezim Orba. Serta bersedia membantu kami dalam proses suaka tsb. Belanda adalah salah satu negeri yang menandatangi sebuah konvensi inernasional yang mewajibkannya MEMBERIKAN PERLINDUNGAN POLITIK pada kaum disiden politik yang di negerinya mengalami persekusi dan ancaman terhadap keamanan dirinya.


"Permintaan suaka kami diterima. Kemudian sekeluarga menjadi warga-negara Belanda. *Tak terkatakan betapa lega dan gembiranya kami sekeluarga. Seakan-akan memperoleh kembali identitas, legitimasi dan pengakuan bahwa kami-kami ini berhak hidup sewajarnya serta diperlakukan sebagai manusia yang berhak azasi manusia, sesuai Deklarasi Universal Hak-Hak Azasi Manusia, PBB.*


"*Sebagai warga-negara Belanda, kami mendapat perlindungan yang wajar dari pemerintah Belanda. Oleh karen itu bisa dan harus melakukan kegiatan sosial dan politik di Belanda yang diabdikan pada perjuangan untuk demokrasi dan HAM di tanah air. Dan hal itu memang kami laksanakan sesuai maksud dan tujuan bermukim di Belanda.*


* * *


Dengan demikian kiranya jelas. bahwa memiliki paspor baru, dalam hal ini paspor Belanda, sebuah megeri dengan pemerintahnya yang beranggapan adalah kewajibannya untuk memberikan perlindungan politik pada kami yang dpiersekusi Orba, . . . . Itu tidak sama dengan seseorang YANG MEMILIKI CREDITCARD!! Samasekali tidak bisa disamakan.


Dikutip di bawah ni jalan fikiran sahabatku, Salim Said, terhadap orang-orang Indonesia yang paspornya dicabut Orba, kemudian dapat paspor asing di negeri yang bersedia memberikan perlindungan politik pada para korban Orba tsb.


"Dari data itu saya menyimpulkan , paspor asing di tangan para Mahid itu lebih merupakan sebuah kartu kredit dari pada sebuah paspor. Kartu kredit adalah alat transaksi uantuk membebaskan pemegangnya membayar kontan pada saat transaksi disamping menghindarkan kita dari bahaya dirampok ketika membawa uang kontan untuk berbelanja di Departemen Store." Di Kolom ini dilampirkan surat Salim Said selengkapnya:


* * *


Jelas kiranya, apa sebabnya aku memiliki PASPOR BELANDA? Menjadi warganegara Nederland. Begitulah pula halnya dengan ratusan kawan-kawan Indonesia lainnya, yang sekarang ini memiliki PASPOR NEGERI ASING (Jerman, Perancis, Belgia, Inggris, Swedia, Denmark, C\nada, Australia, dll. Penyebabnya: adalah kesewenang-wenangan kekuasaan militer rezim Orba di bawah Jendral Suharto. Paspor mereka dicabut karena mereka menolak disuruh meyatakan bahwa Presiden Sukarno terlibat dengan G30S. Mereka menolak mengakui kekuasaan militer yang baru di Indonesia.


Tanpa prosedur yang sah, tanpa proses hukum apapun, kekuasaan militer Orde Baru mencabut paspor ratusan warganegara yang sedang berada di luarngeri. Sebagian sedang mengadakan kunjungan persahabatan ke luarngeri. Sebagian sedang bertugas diplomasi. Sementara yang lainnya sedang menyandang tugas melaksanakan politik luarnegeri Indonesia yang Bebas Aktif Mendukung Perjuangan Kemerdekaan negeri-negeri Asia-Afrika yang belum merdeka.


Sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa "Mahid"(Mahasiswa Ikatan Dinas) . Mereka sedang dengan sungguh-sungguh melakukan tugas belajar di luarnegeri, menurut rencana Presiden Sukarno. Yaitu mendidik sebanyak mungkin kader dalam rangka membangun Indonesia Baru, yang Berdaulat di Bidang Politik, Berdikari di Bidang Ekonomi dan Berkepribadian di Bidang Kebudayaan. Dicabutnya dengan sewenang-wenang paspor mereka telah memaksa mereka menjadi "orang yang terhalang pulang", "orang yang kelayaban" -- istilah Gus Dur, Mereka menjadi orang "yang tidak punya negeri", menjadi "STATELESS". Bayangkan betapa pedihnya hati dan berangnya para pedukung Prsiden Sukarno tsb!


Ada yang mengajukan pertanyaan "Apakah mencabut paspor warganegara tanpa prosedur yang sah dan tanpa proses hukum apapun" -- merupakan tindakan yang MELANGGAR HAM? Tidak diragukan jawabnya ialah: Tindakan Orba sewenang-weanang mencabut paspor warganegara, menjadikan mereka '"stateless" *adalah tindakan PELANGGARAN HAM BERAT.* Mencabut hak-kewarganegaraan seseorang secara sewenang-wenang adalah suatu tindakan represi yang amat berat. Karena tindakan penguasa itu telah mencabut hak-kewarganegaraan dan memiliki LEGITIMASI sebagai warga dari negeri yang dicintainya. .


* * *


Sahabatku *Salim Said* mengambil sikap yang wajar dan benar, yang seharusnya terhadap orang-orang Indonesia yang terhalang pulang. Ketika menjabat sebagai Dubes di Ceko, beliau memperlakukan setiap orang Indonesia diluar ngeri, yang terhalang pulang, karena pasppornya dicabut Orba, sama sebagai warga Indonesia lainnya. Sikap mantan Dubes Salim Said ini amat berbeda dengan sikap sementara Dubes dan Kedutaan Indonesia lainnya.


*Chalik Hamid*, penulis dan salah seorag penggiat aktif Perhimpunan Persaudaraan Indonesia di Belanda, menyoroti masalah ini. Diajukan kritik tajam dan beralasan terhadap sikap KBRI di Den Haag, yang sama sekali tidak mau tahu, yang mengeksklusifkan orang-orang Indonesia yang terhalang pulang dari setiap kegiatan KBRI. Di lain fihak menganggap sepi setiap undangan untuk hadir dalam kegiatan yang diselengggarakn oleh orang-orang Indonesia yang terhalang pulang. Surat Chalk Hamid selengkapnya seperti terlampir.


* * *


*Lampiran-lampiran: *

*SURAT SAHABATKU, -- SALIM SAID, -- *

*MANTAN DUBES DI CEKO, *Jumat, 3 Mei, 2013,



*Pak Isa Yth,*

Selama 3,5 tahun saya di Praha, teman-teman dekat saya adalah para Mahid yang paspornya dicabut oleh Orde Baru dulu. Mereka sekarang sebagian besar memegang paspor Ceko. Tapi meski berpaspor Ceko, mereka tergolong rajin mengikuti acara-acara di KBRI dengan sikap layaknya warga negara Indonesia. Saya menyaksikan betapa khusyuk mereka menyanyikan "Indonesia Raya"  saat penaikan Merah Putih pada peringatan hari proklamasi. Saya melihat betapa bersemangat mereka berdiskusi dengan tamu-tamu KBRI (para pejabat pemerintah dan anggota DPR yang melakukan studi banding) tentang berbagai persoalan penting yang dihadapi Indonesia.


Saya percaya kejadian yang saya alami itu tidak khas Ceko. Teman-teman saya para Dubes yang bertugas pada berbagai KBRI di Eropa juga punya cerita yang lebih kurang sama. Dari data itu saya menyimpulkan , paspor asing di tangan para Mahid itu lebih merupakan sebuah kartu kredit dari pada sebuah paspor. Kartu kredit adalah alat transaksi uantuk membebaskan pemegangnya membayar kontan pada saat transaksi disamping menghindarkan kita dari bahaya dirampok  ketika membawa uang kontan untuk berbelanja di Departemen Store.


Mungkin akan lain halnya dengan keturunan mereka yang lahir dan besar di tanah air  para istri teman-teman tersebut. Itu pun kalau konsep "Tanah Air" kelak masih penting dan relevan di dunia yang makin mengelobal kini dan nanti. Merekalah yang akan menjadi warga negara sejati negara-negara tempat kelahiran mereka, tempat "pengasingan" bapak mereka. Indonesia bagi keturunan para Mahid itu akan memasuki kesadaran lewat kecanggihan dongeng para Mahid tentang negeri  "rayuan Pulau Kelapa" kepada anak-anak cucu mereka. Tanah Air dan juga konsep warga negara memang masih sangat berarti penting bagi generasi kita yang melihat Indonesia memulai sejarahnya. Tapi apakah kelak masih akan demikian sikap anak dan cucu kita?

Bung Salim


* * *


*Tanggapan Penulis CHALIK HAMID: *



Dalam tulisannya, sdr Salim Said mengatakan bahwa selama 3,5 tahun menjadi Dubes di Praha, Rep.Ceko, ia menyaksikan betapa khusuk para Mahid yang paspornya dulu dicabut oleh Orde Baru, menyanyikan `Indonesia Raya`. Salim melihat para Mahid itu dengan serius berdiskusi di KBRI dengan tamu-tamu yang datang dari Indonesia.


Saya kira masalah kesetiaan para Mahid dan orang-orang  terhalang pulang yang paspornya dirampas KBRI Orba, tak perlu disangsikan. Justru karena kesetiaannya kepada Indonesialah mereka dilarang pulang ke tanahairnya baik di jaman Orba maupun sekarang di jaman apa yang dinamakan Orde Reformasi. Di mana pun mereka berada, mereka senantiasa menunjukkan kesetiaannya kepada Indonesia. Itu kita lihat dari berbagai kegiatan mereka di luarnegeri. Mereka merayakan dan memperingati Hari Proklamasi 17 Agustus, memperingati Hari Kebangkitan Nasional, Hari Kartini, Hari Ulang Tahun Bung Karno, Hari Sumpah Pemuda, Hari Buruh 1 Mei dan hari-hari bersejarah lainnya. Dengan kegiatan itu mereka membuktikan bahwa kesetiaan terhadap tanair dan bangsanya tak pernah luntur.


Yang perlu menjadi persoalan adalah sikap Pemerintah Indonesia yang diskriminatif terhadap mereka. Tentu kita mereasa senang dengan inisiatif KBRI di masa sdr Salim Said mengundang mereka hadir di KBRI Praha. Diadakan pemutaran film, malam kesenian, acara Tahun Baruan, dll. Usaha ini tentu saja sangat baik, sebagai usaha pendekatan. Dengan demikian Mahid yang tersingkir itu merasa tidak dicampakkan. Usaha demikian juga saya lihat dilakukan oleh beberapa KBRI, seperti KBRI di Rusia di jaman Hamid Awaluddin.


Tapi usaha ini agaknya hanyalah merupakan inisiatif sang duta di tempat tersebut. Agaknya instruksi dari Kementerian Luarnegeri Pemerintah Indonesia tidak merata. Di Belanda misalnya, KBRI tidak melakukan usaha penedekatan seperti yang dilakukan oleh KBRI di Praha atau pun di Moskow. Dulu di jaman Pak Abdul Irsan menjadi Dubes RI di Belanda, ia melakukan pendekatan terhadap para Mahid dan orang-orang terhalang pulang lainnya. Ia mengundang mereka datang ke KBRI dealam berbagai acara. Pak Dubes Abdul Irsan juga menghadiri upara peringatan 100 Tahu Bung Karno, bahkan ia menyampaikan pidato panjang lebar menjelaskan siapakah sebenarnya Bung Karno bagi Rakyat Indonesia.


Dubes-Dubes setelah pak Irsan, bersikap aneh dan menggelikan terhadap orang-orang terhalang pulang ini. Dubes-Dubes ini menjauhkan diri dari para korban Orba Suharto ini. Bukan hanya tidak mengajak para korban itu berkunjung ke KBRI, malah mereka tak pernah hadir jika diundang oleh orang-orang terhalang pulang itu dalam berbagai upacara. Apakah tidak aneh jika mereka tidak hadir dalam upacara Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus, yang justru Hari Kemerdekaan RI. Tak satu pun staf KBRI menampakkan mukanya dalam perinngatan Hari Kemerdekaan RI yang setiap tahunnya di adakan oleh orang-orang terhalang pulang itu. Demikian juga pada peringatan hari-hari bersejarah lainnya, tak seorang pun dari KBRI Den Haag meringankan langkahnya untuk hadir dalam upacara. Sia-sia saja undangan yang dikirimkan kepada mereka di KBRI. Apakah ini memang sikap Pemerintah RI atau sikap Kementerian Luarnegeri RI kepada para korban Orba Suharto yang paspornya dirampas oleh KBRI di jaman Orba.


Jadi, persoalannya bukan sekedar soal paspor yang dianggap sebagai kartu kredit, tetapi menyangkut masalah yang lebih besar. Masalah ini menyangkut masalah sikap Pemerintah RI terhadap para korban ORDE BARU Suharto, yaitu orang-orang terhalang pulang, yang hingga kini masih bergentayangan di negeri orang, yang menurut istilah Gus Dur sebagai ´´Orang-orang kelayaban``.


Salam: Chalik Hamid.


* * *


No comments: