Monday, April 2, 2007

IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA - CRÉK . . . . CRÉK . . . *Mengumpulkan Dana Untuk AMNESTY INTERNATIONAL

IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA

Senin, 12 Februari 2007


*CRÉK . . . . CRÉK . . . .*

*Mengumpulkan Dana Untuk AMNESTY INTERNATIONAL*

** * **

*Mengetuk Hati Nurani Di Winkelcentrum A'damse Poort*


Kata-kata 'fundraising' atau 'fondswerving' itu penamaan yang terlalu mentéréng untuk apa yang kukerjakan tadi pagi selama kuranglebih dua jam. Lebih cocok penamaan yang diberikan istriku, Murti, pagi tadi menjelang aku keluar rumah. Ketika bertanya kepadaku, Murti begini bilangnya: Yah, (nama panggilan untuk aku dalam keluarga kami, maksudnya: 'Ayah'), kapan 'ngecrék-ngecrék' untuk Amnesty International. 'Ngecrék – ngecrék', . . . . . maksudnya, mengumpulkan dana di jalan-jalan dan di plein di Winkelcentrum Amsterdamse Poort . Yang letaknya jarak limabelas menit jalan kaki dari flat kami, Haag en Veld.. Dikatakan 'ngecrék-ngecrék'. . . . . . . . karena uang yang dikumpulkan di kotak-plastik-keras Amnesty itu, waktu dimasukkan ke dalamnya, bunyinya nyaring: . . . . 'crék, crék, crék . . . . begitu. Maklumlah yang dimasukkan di situ pada pokoknya adalah mata uang logam yang récéhan . Ada yang nilainya Euro 10 sen, 20 sen, 50 sen dan terkadang ada yang satu atau dua Euro.


Sesiang tadi itu dari jam 12.30 sampai jam 14.30 aku berdiri mengumpulkan dana. Tak ada satu penyumbang yang memasukkan uang kertas, meski yang paling kecil sekalipun, yatiu yang Euro 5. Namun aku tak kecewa. Sama sekali tidak! Aku senang bisa ngomong pada orang-orang yang lalu: 'U bijdrage meneer, mevrouw. Voor Amnesty International !!. . Tidak terlalu banyak, lumayan yang tergerak hatinya, dan memberikan sekadar sumbangan mereka dengan senyum pada bibir mereka. Diantara mereka ada yang bulé, ada yang hitam, ada satu perempuan Indonesia, ada beberapa mahasiswa, ada juga dua orang perempuan Moslem yang berjilbab. Aku sudah puas dengan perhatian mereka itu. Karena nyatanya mereka kenal dengan apa yang dilakukan oleh Amnesty International.


Bersama-sama kami menghimbau dan menggugah orang-orang yang lewat di situ agar sudi kiranya membuka dompet mereka dan menyumbang ala kadarnya untuk KEMANUSIAAN. Pada kotak pengumpul dana Amnesty International itu tertulis dalam bahasa Belanda: 'GEEF VOOR VRIJHEID'. Artinya sumbanglah demi Kebebasan. Dalam bahasa Inggris tertulis juga di situ kata-kata ini: Amnesty International Support our fight for Human Rights.


Untuk aku pribadi, tidak begitu aku pentingkan akan berapa besar nanti bila sudah terkumpul semua, jumlah uang yang bisa diperoleh dari pengumpulan dana itu. Terlebih penting ialah bahwa orang tahu, bahwa masih ada orang-orang, sukarelawan-sukarelawan yang menghimbau perhatian, kepedulian terhadap masalah hak-hak azasi manusia. Mengenai perlunya mengadakan perlawanan terhadap setiap pelanggaran terhadap HAM, betapapun kecilnya. Betapa di dunia ini, masih begitu hebatnya terjadi pelanggaran HAM. Mulai dari Asia sampai ke Timur Tengah. Dari Amerika Latin, dari Amerika Serikat sampai ke Irlandia Utara, dari Burma atau Myanmar sampai ke Palestina.


Berdiri di Amsterdamse Poort untuk mengumpulkan dana bagi Amnesty, bukan baru sekali ini kulakukan.

Beberapa tahun yang lalu kami ada empat orang dari Grup Amnesty melakukannya. Semua anak-muda yang bulé. Lumayan juga dana yang kami kumpulkan ketika itu. Bagiku sendiri, berdiri di tengah jalan, di muka toko-toko atau bank-bank, yang utama bukanlah untuk mengumpulkan uang untuk keperluan kegiatan Amnesty International yang memang diperlukannya. Yang lebih penting adalah agar masyarakat tahu, Amnesty International dengan tak henti-hentinya melakukan kegiatan dan usaha demi dilaksanakannya HAM di mancanegara


* * *.


Amnesty International Cabang Nederland termasuk yang kuat kas-nya. Tahun ini, pengeluaran yang dilakukan Amnesty Nederlan keseluruhannya meliputi Euro 21,3 juta. Dalam hatiku, luar biasa! Memang Belanda negeri kaya. Amnesty International Belanda punya banyak penyumbangn yang tidak mengikat. Heibatnya Amnesty International cabang Nederland ini, tidak mau uang pemerintah. Maksdunya supaya tidak terikat dengan politik pemerintah.


* * *

Kampanye Amnesty International Belanda untuk mengumpulkan dana dimulai hari ini pada tanggal 12 Februari. Coba terka, berapa jumlah aktivis yang turut serta ambil bagian menyemarakkan kampanye aksi mengumpulkan dana? Tidak kurang dari 20.000 sukarelawan. Memang heibat kepedulian masyarakat Belanda terhadap aksi-aksi kemanusiaan. Orang-orang Belanda yang dikenal dengan sifat 'hématnya', kalau sudah menyangkut 'voor het goede doel' < 'untuk tujuan mulya'>, mereka tidak sayang keluarkan uangnya untuk ikut menyumbang.


Sumbangan Amnesty Belanda kepada Sekretariat Internasional Amnesty diLondon meliputi jumlah tidak kurang dari Euro 5,2 juta. Itu berarti 24% dari jumlah seluruh pengeluaran. Untuk kegiatan aksi-aksi dan kerja-aksi dikeluarkan sejumlah Euro 4,9 juta, 23% dari jumlah seluruh pengeluaran. Sedangkan untuk keperluan penerangan dan meningkatkan kesadaran mengenai hak-hak azasi manusia, dikeluarkan sejumlah Euro 4,5 juta, atau 21% dari jumlah seluruh pengeluaran. Dan lain-lain pengeluaran. Tidak sedikit pula dikeluarkan dana guna keperluan riset dan studi mengenai pelanggaran HAM di mancanegara. Termasuk di Aceh, Papua dan Timor Timur .


* * *


Dari Amnesty Amsterdam yang berdiri di Winkelcentrum Amsterdamse Poort hari ini adalah kami berdua. Aktivis yang seorang lagi itu ialah Ny. Paver. Bulé. Aku baru kenal dia. Umurnya kutaksir sekitar enampuluhan. Jadi lebih muda dari aku. Dengan demikian yang mengumpulkan dana untuk Amnesty di Winkelcentrum Amsterdamse Poort tadi itu, adalah seorang nénék dan seorang 'kakék'. Hari Rabu nanti aku masih akan kesitu lagi. Ny. Paver juga masih kesana lagi. Mengetuk hati nurani orang-orang yang ada kepedulian dengan usaha-usaha kemanusiaan agar ikut menyumbang.


* * *


Sengaja kusebut warna kulit aktivis Belanda yang satu itu: Bulé!. Begini duduk perkaranya: Sudah lama, sebagai anggota Amnesty International Belanda perasaanku kurang énak. Selalu timbul pertanyaan dalam hati kecil sbb: Untuk penduduk Amsterdam Bijlmer yang mayoritasnya adalah WN Belanda alochtoon, yang kulitnya Hitam--- mengapa keadaan demografi yang demikian itu, tak tercermin di dalam Grup Amnesty ranting Bijlmer. Sejak berdirinya Grup 195, di Amsterdam Bijlmer, ingatku hanya sekali ada anggota Grup kami yang berasal dari Ghana, yang tidak bulé. Itupun, ia tak sampai setahun jadi anggota. Menghilang, tak ada beritanya lagi. Selanjutnya setahuku, tak ada lagi anggota Grup yang kulitnya berwarna yang menjadi aktivis.


Kenyataan yang tak dapat dimengerti ini kucoba menganalisisanya. Sampai sekarang masih belum menemukan jawabannya. Pada waktu-waktu tertentu, jika sebagai aktivis Amnesty aku melakukan kegiatan di gereja-gereja di Amseterdam Bijlmer, kulihat mayoritas pengunjung gereja-gereja pelbagai aliran Kristen, adalah orang Belanda alochtoon. Yaitu Belanda, yang berkulit hitam atau sawomatang, bukan bulé. Jelas, mereka itu punya keyakinan religius yang kuat. Tapi, mengapa kurang sekali kepeduliannya terhadap kegiatan badan pejuang HAM seperti Amnesty International. Apa karena tidak ada waktu. Atau menyangkut masalah pengertian saja.


Demikian pula halnya dalam rapat-rapat umum anggota Amnesty International seluruh Nederland sekali setahun, yang biasanya kuhadiri. Jumlah anggota yang bukan bulé, betul, . . . . . bisa dihitung dengan jari sebelah tangan saja. Padahal tidak sedikit dari mereka, yang sekarang jadi WN atau penduduk Belanda, yang kiranya akan tinggal terus di negeri in. Mereka tokh tadinya berasal dari negeri-negeri dunia ketiga. Mereka datang ke Belanda, untuk menyelamatkan diri dari persekusi pelanggaran HAM oleh rezim-rezim di negeri-negeri mereka itu. Mereka datang ke Belanda mencari perlindungan, minta suaka, mencari kebebasan. Tertapi sesudah menemukan perlindungan, kebebasan dan kedamaian, apa sebabnya tidak tampak kegairahan atau kepedulian mereka terhadap kegiatan demi pembelaan HAM di mancanegara.. Padahal di sebagian besar negeri dunia kita ini, pelanggran HAM masih merupakan masalah yang gawat, masih berlangsung terus. Umumnya mereka tahu bahwa di banyak negeri, terutama di negeri-negeri dunia ketiga, pelanggaran berat HAM masih berlangsung. Juga di negeri-negeri yang katanya sudah maju, masih terdapat pelbagai macam diskriminasi dan pelanggaran HAM lainnya.


Ambillah negeri kita sendiri, Indonesia., sampai sekarang masih belum ditangani oleh pemerintah masalah pelanggaran HAM berat dalam Peristiwa 1965. Ketika lebih sejuta warganegara tak bersalah dibantai oleh penguasa atas tuduhan dan fitnah terlibat dengan G30S dan oleh kenyataan bahwa mereka adalah anggota PKI dan ormas-ormas yang dianggap sebagai 'onderbow' dari PKI, atau bahkan karena dianggap atau atau berindikasi Komunis atau pendukung Presiden Sukarno. Sampai sekarang sekitar 20 juta keluarga eks-tapol Orba, masih didiskriminasi dan dikucilkan dari masyarakat. Bukan saja pelanggaran HAM berat yang lama yang tidak diurus, tetapi juga yang belum lama terjadi. Seperti pelanggaran HAM pada peristiwa pembunuhan terhadap Munir, aktivis HAM Indonesia, peristiwa Mei 1998, penyerbun kantor PDI di Menteng, dll.. Juga kasus-kasus tsb masih belum jelas pengurusannya. Kasus yang paling barupun, seperti kasus pembunuhan terhadap pejuang HAM, Munir, masih belum dicekal pelakunya.


* * *


Aku sudah lebih duapuluh tahun jadi anggota Amnesty International Belanda. Sampai sekarang masih ambil bagian dalam pelbagai kegiatan Amnesty InternationaI. Tetapi, bukan berarti aku tak ada kritik terhadap Amnesty International. Aku tidak bisa menghilangkan kesan bahwa hingga kini masih kurang apa yang dilakukan Amnesty International untuk membela nasib kawan-kawanku di Indonesia yang menjadi korban keganasan, pelanggaran HAM rezim Orba; nasib lebih duapuluh juta keluarga eks-tapol Perisitwa 1965, yang masih didikriminasi, masih belum direhabilitasi nama baik dan hak-hak sipil dan politiknya.


Begitu menjengkelkan dan begitu tidak adil sikap sementara organisasi dan aktivis HAM, yang selalu menampilkan argumentasi murahan, bahwa korban Peristiwa 1965 itu sudah lama sekali terjadinya, banyak kesulitan untuk mengurusnya, dan lain-lain alasan yang absurd yang bertujuan untuk mempeti-eskan masalah pengurusan korban pelanggaran HAM yang terbesar di Indonesia. Sampai-sampai dalam suatu pertemuan peringatan 40 tahun Peristiwa 1965 yang diadakan di gedung IISG, Amsterdam, dimana hadir juga anggota-anggota Amnesty lainnya, kuajukan sbb: Kurangnya perhatian terhadap para Korban Peristiwa 1965, apakah itu barangkali karena korban-korbannya banyak terdiri dari orang-orang Komunis dan orang-orang Kiri lainnya. Cobalah perhatikan, jika yang menjadi korban itu, bukan orang Komunis atau orang-orang Kiri lainnya, dan jika negeri dimana terjadinya pelanggaran HAM tsb, penguasanya kebetulan adalah suatu rezim Komunis atau Kiri, maka akanheibat sekali kegiatan sementara organisasi dan aktivis HAM mancanegara, khususnya negeri Barat. Mereka tampil dengan vokal membela hak-hak azasi para korban. Begitu heibat kritik mereka, bahkan kutukan terhadap rezim yang bersangkutan. Sehingga terus terang kukatakan, kalau demikian halnya, gerakan HAM internasional itu telah melakukan kesalahan bersikap berat sebelah. Mereka menggunakan 'dua ukuran' terhadap masalah pelanggaran HAM. Aku heran juga, ketika itu tak ada yang menyanggah pertanyaanku itu.


* * *

No comments: