Monday, April 2, 2007

Kolom IBRAHIM ISA - SAMPAI DIMANA HAM DIBERLAKUKAN DI INDONESIA?

Kolom IBRAHIM ISA
----------------------------
08 Desember 2006

SAMPAI DIMANA HAM DIBERLAKUKAN DI INDONESIA?
'UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS'>

Limapuluh delapan tahun yang lalu, dalam sidangnya di 'Palais de Chaillot', Paris, pada tanggal 10 Desember 1948, Majlis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU-PBB) mensahkan suatu DEKLARASI UNIVERSAL. Sebuah DEKLARASI yang besejarah dan membikin sejarah. Deklarasi tsb adalah 'UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS', 'Deklarasi Universal Hak-Hak Azasi Manusia'. Ny. Eleanore Roosevelt, istri mantan Presiden Amerika Serikat, Franklin D.Roosevelt, yang ikut membuat rancangan dokumen bersejarah itu, menamakan dokumen UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS, adalah suatu MAGNA CARTA Internasional, Magna Carta abad ke-20.


Ketika itu, tak satupun anggota PBB yang menentangnya. Namun, aneh dan sayangnya, ada 8 negara anggota PBB yang tidak memberikan suara, alias blanco. Lainnya, 48 negeri semuanya Acc. Yang memberikan suara blanco itu adalah: Saudi Arabia dan 7 negeri-negeri dari blok Sovyet. Kalau difikir-fikir sekarang, bagaimana bisa terjadi, negara seperti Saudi Arabia (negara yang berdasarkan agama) suaranya bisa sama dengan negara-negara blok Sovyet (negara-negara sosialis/Marxis yang memperjuangkan keadilan sosial).


Namun, kenyataannya demikianlah, itu sejarah. Saudi Arabia dan blok Sovyet ada di satu barisan yang memberikan suara blanco terhadap UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS (UNO). Apakah itu suatu kebetulan saja?! Besar kemungkinan karena kedua macam/sistim kenegaraan tsb memberlakukan sistim pemerintahan yang totaliter. Yang satu diktatur religius yang satu macam lagi diktatur ideologis. Mengenai hal ini masih bisa panjang lebar pendiskusiannya.


* * *


Menggarisbawahi arti penting DEKLARASI, MU-PBB berseru kepada semua negeri anggota PBB untuk menyebarluaskan teks DEKLARASI tsb, agar dokumen itu dibaca dan dipelajari. Supaya isinya dijelaskan terutama di sekolah-sekolah dan dipelbagai lembaga pendidikan lainnya, tanpa pembedaan yang didasarkan atas status politik negeri-negeri maupun wilayah. Titik berat dan sasaran utama pendidikan adalah generasi muda. Agar generasi mendatang memahami, mengkhayati dan memperjuangkan HAM di mana prinsip itu belum diberlakukan.


* * *


Bisa dikatakan dengan pasti bahwa salah satu cara yang positif dan efektif untuk memperingati tanggal 10 Desember 1948, lahirnya UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS <10 Desember 1948>, adalah dengan memeriksa situasi kehidupan hukum di negara Republik Indonesia. Pertanyaan berikut ini harus dengan serius mendapat jawaban: Apakah negara RI sudah bisa dikatakan suatu negara hukum dalam arti kata yang sesunguuhnya? Sampai di mana prinsip-prinsip HAM dan demokrasi seperti yang dinyatakan dalam UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS itu, telah diberlakukan/dipraktekkan oleh lembaga-lembaga yudikatif, legeslatif dan ekekutif di Indonesia? Seberapa serius dan seberapa berat pelanggaran hukum yang sudah berlangsung di negeri ini, dimana pelakunya adalah penguasa itu sendiri. Dimana korbannya adalah warganegara sendiri yang tak bersalah? Sampai dimana pula pelanggaran-pelanggaran HAM itu sudah diakhiri dan diatasi.


Barangkali hanya dengan cara memeriksa keadaan negara kita sendiri, akan ada artinya setiap kali kita memperingati HARI UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS. Dengan demikian diharapkan akan memberikan kesadaran dan dorongan baru terhadap usaha, kegiatan dan perjuangan riil untuk memberlakukan HAM di negeri kita. Baik itu di kalangan penguasa dan pemerintah, maupun di kalangan masyarakat, di kalangan LSM dan ornop yang menjadikan pemberlakuan HAM dan prinsip-prinsip demokrasi sebagai misi dan visinya.

Kita tahu bahwa pelanggaran HAM, khususnya pelanggaran HAM terbesar dalam sejarah Indonesia, --- dimulai, segera sesudah terjadinya peristiwa G30S, 1 Oktober 1965. Peristiwa itu terkenal di mancanegara, , sebagai 'Peristiwa Pembantaian Masal 1965' terhadap ratusan ribu bahkan dikatakan sampai 3 juta orang yang tidak bersalah (angka tiga juta korban tsb diungkapkan oleh Jendral Sarwo Edhie dari Angkatan Darat, sebelum ia meninggal dunia). Pelanggaran HAM terbesar tsb adalah rekayasa dan tanggungjawab langsung kelompok militer di bawah Jendral Suharto dengan dukungan sementara parpol dan kekuatan religius dalam masyarakat kita. Mengenai keterlibatan kekuatan religius dalam kampanye pembantaian itu, telah dengan jujur diungkapkan oleh mantan Presiden Abdurrahman Wahid, ketika beliau sebagai tokoh pimpinan NU minta maaf atas keterlibatan pemuda-pemuda NU (Ansor) dalam pembunuhan terhadap orang-orang PKI atau diduga PKI di Jawa Timur.


* * *


Mengenai pelanggaran HAM di Indonesia yang dilakukan oleh penguasa, oleh pemerintah ORBA, banyak yang bisa dikemukakan dan dianalisis. Ini suatu tantangan terhadap pemerintah untuk mengkoreksi kesalahan-kesalahan masa lampau di bidang HAM. Sudah ada janji, ada usaha, tetapi masih jauh dari harapan dan tuntutan keadilan. Salah satu lembaga penelitian ekonomi di bawah PBB, mengungkapkan bahwa, dari 180 negara yang dipantau mengenai keterlibatannya dalam pemberlakuan demokrasi, Indonesia tergolong ranking nomor 65 (lihat penerbitan 'The Third World In 2007' – sumber: 'KabarIndonesia').


Apakah kita boleh berbangga dengan penggolongan yang mendudukkan Indonesia nomor 65 di dunia dalam pelaksanaan demokrasi? Kiranya tidak, mengingat pemberlakuan HAM, yang hakikatnya adalah pemberlakuan hak-hak demokrasi bagi setiap manusia, hal tsb di negeri kita, masih amat jauh dari tuntutan dan harapan. Maka tidaklah pada tempatnya kita merasa puas dengan penilaian lembaga PBB tsb.

Mengingat pula pelanggaran HAM terbesar dalam sejarah Indonesia, dalam 'Peristiwa 1965', masih belum dijamah secara serius oleh penguasa dan lembaga yudikatif, termasuk oleh lembaga-lembaga pembelaan HAM seperti KOMNASHAM.


* * *


Pada judul Kolom ini, ditulis dengan huruf-huruf besar 'SAMPAI DIMANA HAM DIBERLAKUKAN DI INDONESIA?'. Pada tempatnyakah, relevankah mengajukan pertanyaan demikian itu?

Untuk mengambil satu dua contoh saja: Baik kita tinjau sekilas tentang peristiwa yang baru saja terjadi belakangan ini, yaitu mengenai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) sehubungan dengan UU KKR.


Media Indonesia ramai memberitakan pernyataan Mahkamah Konstitusi, bahwa -- UU KKR BERTENTANGAN DENGAN UUD 1945. Kongkritnya, Pasal 27 UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) yang berbunyi: "Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan" adalah bertentangan dengan UUD 1945. Dinyatakan selanjutnya: Karena seluruh operasionalisasi UU KKR bergantung dan bermuara pada pasal tersebut, maka implikasi hukumnya mengakibatkan seluruh pasal berkaitan dengan amnesti tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga seluruh ketentuan dalam UU KKR menjadi tidak mungkin untuk dilaksanakan.


Keputusan Mahkamah Konstitusi diuraikan a.l sebagai berikut:


Hal yang melatarbelakangi Pasal 27 UU KKR bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada korban karena pemberian kompensasi dan rehabilitasi digantungkan kepada sesuatu yang belum pasti, yaitu amnesti. Amnesti ini sepenuhnya merupakan kewenangan Presiden untuk memberikan atau tidak setelah mendengar pertimbangan DPR sekalipun misalnya telah terbukti bahwa yang bersangkutan adalah korban. Dengan demikian adalah tidak adil bagi korban, sebab di satu pihak, pemberian amnesti kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat secara implisit dinyatakan sebagai hak [Pasal 29 Ayat (3) UU KKR], tetapi kompensasi dan rehabilitasi secara implisit pun tidak disebut sebagai hak. Disimpulkan bahwa Pasal 27 UU KKR Tidak Memberi Kepastian Hukum dan Keadilan.


* * *


Putusan MK tersebut merupakan jawaban atas permohonan uji materi (judicial review) yang diajukan sejumlah korban pelanggaran HAM dan para aktivis dari LSM. Seperti: Asmara Nababan (Elsam), Ibrahim Zakir (Kontras), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 65 (LPKP 65), Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim ORBA (LPR-KROB), Raharja Waluya Jati, H. Tjasman Setyo Prawiro dengan kuasa hukum Tim Advokasi Keadilan dan Kebenarandan Rahardjo Waluyo Djati mewakili korban penculikan aktivis 1998.


Pemohon sebenarnya hanya mengajukan uji atas Pasal 27, Pasal 44, dan Pasal 1 angka 9 UU KKR (lihat grafis). Namun MK justru mencabut secara utuh UU KKR tersebut. Maka timbulah pelbagai tanggapan dan reaksi.


Di satu fihak, adanya keputusan MK sebagai jawaban atas putusan perkara 006/PUU-IV/2006, telah memfokuskan kembali perhatian masyarakat terhadap kekurangan serius yang terdapat dalam UU-KKR. Sekaligus ada pendapat keras yang mempertanyakan sebab-musabab sesungguhnya mengapa MK memutuskan meniadakan samaekali secara utuh UU-KR.


Betapapun harus diperhatikan dan ditanggapi reaksi dan tanggapan yang bermunculan terutama dari kalangan masyarakat aktivis HAM. Salah seorang aktivis pusat ELSAM, pernah menyatakan kepada Penulis, bahwa betapapun UUKR merupakan wadah yang bisa dimanfaatkan demi perjuangan pemberlakuan HAM di negeri kita. Untuk begitu saja membatalkan UU KKR, dipertanyakan, apakah itu merupakan suatu keputusan yang terburu-buru bahkan suatu tindakan yang k e b a b l a s a n? Karena UU KKR dengan kekurangan-kekurangan serius yang diidapnya, namun, juga mencakup hal-hal yang memberikan syarat/memungkinkan dilakukannya perjuangan demi kebenaran, keadilan dan rekonsiliasi.


Mahkamah Konstitusi menilai UU tersebut secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.


Seperti kita saksikan keputusan MK untuk mencabut UU KKR secara utuh, telah menimbulkan reaksi. Ada yang keras dan ada yang kecewa. Bukan saja dari kalangan masyrakat, tetapi juga dari salah seorang Hakim Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Pendapat 'orang dalam' berbeda dengan pendapat mayoritas dalam MK. Baik diingat, pendapat minoritas belum tentu salah, sebaliknya pendapat mayoritas tidak mesti itu yang benar.


Hakim I Dewa Gede Paliguna, misalnya, menyatakan pendapat yang berbeda (dissenting opinion). Tanpa UU itu, kata D.G. Paliguna, kebenaran akan sulit diungkap. Karena berdasar akal sehat, pelaku (pelanggaran hukum)sulit diminta untuk mengakui perbuatannya. "Padahal pengungkapan merupakan syarat yang harus ditemukan untuk memulihkan hak-hak korban".

Asmara Nababan (Elsam) berpendapat, putusan itu membuat masyarakat korban pelanggaran HAM harus menunggu lama untuk hingga kebenaran kasus mereka diungkap. "Yang menyedihkan, membuat masyarakat masih harus lama menunggu pengungkapan kebenaran peristiwa". Putusan MK itu membuktikan betapa buruknya kualitas UU yang dibuat DPR bersama pemerintah. "Kalau DPR dan Pemerintah mawas diri, mereka harusnya meminta maaf kepada masyarakat sebagai pembayar pajak, karena sudah menghabiskan uang puluhan miliar untuk UU yang ternyata dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945".


Sedangkan mantan Wakil Ketua Pansus UU KKR DPR M Akil Mochtar menilai putusan Mahkamah Konstitusi itu membuat prospek penyelesaian masalah HAM suram.

"Penyelesaian kasus pelanggaran HAM menjadi tidak jelas. Semua pihak tidak punya komitmen untuk itu. Kalau MK menganjurkan rekonsiliasi bangsa melalui jalur politik kan makin nggak jelas lagi".


"Putusan MK itu menutup para korban secara hukum untuk menggugat pelaku pelanggaran HAM," kata Direktur Hukum Reform Institute, Ifdal Kasim kepada Pembaruan, Jumat (8/12). Ifdal sangat menyayangkan MK yang memutuskan mencabut semua isi UU KKR, padahal yang diminta pemohon cuma tiga pasal.



* * *


Walhasil, 'ceitera' mengenai perjuangan untuk diselenggarakannya Rekonsiliasi Nasional atas dasar Kebenaran dan Keadilan, tampak masih cukup rumit, banyak lika-likunya dan akan makan waktu lama.


Kita tidak bicara mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya, misalnya, kasus pembunuhan terhadap pejuang HAM Munir, yang sampai di bawa ke luarnegeri. Meminta bantuan Belanda dan Amerika. Hal mana menunjukkan bahwa lembaga peradilan Indonesia, lembaga kepolisian tidak mampu (atau tidak punya political will yang memadai), sehingga mengenai kasus Munir-pun yang sudah kongkrit dijanjikan oleh Presiden akan ditangani, nyatanya masih jauh dari solusi yang diharapkan. Masih gelap siapa pelaku pembunuhan terhadap Munir.


* * *


Keputusan Mahkamah Konstitusi mencabut secara utuh UU KKR tersebut, telah membuka perdebatan dan diskusi baru lagi mengenai masalah Rekonsiliasi Nasional atas dasar Kebenaran dan Keadilan. Dibukanya perdebatan ini bisa punya dampak positif untuk mendidik masyarakat mengenai masalah pemberlakuan HAM di Indonesia.


Kita sebut dua kasus saja, satu yang menyangkut UUKR dan putusan Mahkamah Konstitusi, dan yang satunya kasus Munir. Itu saja sudah cukup memberikan gambaran sampai dimana HAM sudah diberlakukan di negara Republik Indonesia tercinta.


Berarti bahwa perjuangan pemberlakuan HAM di Indonesia masih akan makan waktu lama, memerlukan usaha keras dan berani, sampai tampaknya hasil-hasil pertama yang diharapkan.


* * *

No comments: