Monday, April 2, 2007

IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA -- PURWODADI, PURWODADI . . . . . (1)

IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA
--------------------------------------
Kemis , 08 Maret 2007

PURWODADI, PURWODADI . . . . . (1)


Ruang-tamu yang memang tidak telalu besar itu penuh. Kukira ada sekitar 40-an yang berdesak-desak, sampai membeludak ke dapur dan lorong-kecil dari pintu masuk menuju dapur. Keruan saja beberapa mahasiswi, poostgraduate-studies yang sedang belajar di Universiteit Leiden, terpaksa pada duduk di lantai.

Diantara para mahasiswa itu, terdapat sejumlah 12 orang 'post-graduates' yang belum lama sampai di Belanda. Diantaranya ada 3 perempuan. Tiga mahasiswi perempuan itu semua ber-jilbab. Mereka akan mengggeluti ISLAMIC STUDIES di Universitas Leiden. Bayangkan! Belajar Islamic Studies di negeri Belanda. Secara tak terbantahkan ini menunjukkan bahwa generasi muda kita, tidak berpurbasangka pada negeri Belanda. . Jauh-jauh datang dari Indonesia, mereka dengan antusias menuntut Islamic Studies di sebuah negeri yang mayoritas penduduknya Kristen. Harus dicatat dan diperhatikan, karena ini adalah suatu sikap belajar yang berlapangdada. Bukankah Nabi Muhammad SAW pernah mengajarkan demi menuntut ilmu pergilah ke Tiongkok sekalipun?

Begitu besar perhatian generasi muda kita dan yang sudah gaek-gaek, sehingga memerlukan berkunjung kerumah Mintardjo, Korenbloemlaan 59, Oestgeest, siang Sabtu yang lalu itu. Bukan main kegairahan generasi muda untuk bertukar fikiran dengan wartawan dan sejarawan muda Bonnie Triyana. < -- Ralat atas tulisanku yang lalu. Aku salah menulis nama sejarawan muda kita itu. Seharusnya ditulis : BONNIE TRIYANA. Pekerjaannya, yang benar adalah sebagai wartawan dari s.k dan tabloid 'JURNAL NASIONAL', bukan 'Jurnal Indonesia'. Koreksi berikutnya, Bonnie adalah tamatan UNDIP dan bukan tamatan UNPAD. Dengan demikian kesalahan pada tulisan yang lalu mengenai Bonnie sudah diralat>.

Biasanya, bila ada 'kumpul-kumpul' di rumah Mintardjo, aku datang dengan kendaraan yang sopirnya . . . . Bulé (Londo, dan ganti-ganti. Maklumlah itu kendaraan umum, 'openbaar vervoer' kata orang Belanda). Memang, di Belanda, demi mengurangi polusi atas udara, penduduk dianjurkan untuk menggunakan kendaraan umum. Kali ini aku 'nunut' Soelardjo dari YSBI, karena kebetulan ia juga hendak ke Korenbloemlaan 59 .Dan . . . . ini penting. Ia punya mobil dan mengajak juga Chalik Hamid, juga dari YSBI. Dengan demikian kami bertiga berkendaraan mobil ke tempat tujuan bersama.

* * *

Tema pembicaraan Sabtu kemarin di rumah Mintardjo, Korenbloemlaan 59, Oestgeest-Leiden itu, adalah KASUS PURWODADI !!! Puwodadi yang oleh orang luar Jawa, apalagi dunia internasional, jarang sekali bahkan tidak pernah didengar nama kota itu sebelumnya. Suatu ketika, dalam 'sekejap' mata, Purwodadi menjadi 'breaking news'. Tidak bisa lain. Karena yang diberitakan adalah masalah pembantaian masal yang dilakukan oleh penguasa, oleh kesatuan-kesatuan tertentu TNI. Korbannya adalah penduduk Purwodadi yang patuh hukum, setia pada Republik Indonesia dan setia kepada Presiden Sukarno. 'Kesalahan' mereka satu-satunya, ialah karena mereka, menuruti keyakinan politiknya, kebanyakan adalah anggota-anggota PKI atau simpatisan PKI. Prof Pluvier, seorang Indonesianis berbangsa Belanda, ketika bicara soal ini, berkali-kali mengulangi bahwa diantara para korban juga terdapat orang-orang Kristen.

APA YANG TERJADI DI PURWODADI?
Apa sebabnya penduduk yang tak bersalah itu dibantai oleh aparat penguasa? Siapa algojo-pelakunya, dan siapa pula korban-korbannya. Mengapa sampai sekarang soal itu oleh pengadilan, pemerintah, anggota-anggota DPR/MPR, parpol-parpol yang mencantumkan masalah HAM di dalam programnya, yang berjanji dan bersumpah hendak memberlakukan HAM di Indonesia, yang ikut mendirikan KOMNASHAM, yang memasukkan atau menegaskan fasal-fasal HAM dalam UUD-RI yang diamandamen, -------- mengapa bungkam seribu bahasa?

Mengapa kasus Purwodadi dipeti-éskan? Apakah hati nurani mereka sudah pada b e k u semuanya? Inilah celakanya! Begitu masalah ini diajukan ada saja dalih dan alasan yang diajukan untuk kembali mempeti-eskannya. Sehingga salah seorang tokoh dari Human-Rights Watch Asia, pernah menyatakan bahwa, masalah 'pembantaian masal' yang terjadi di Indonesia pada tahun-tahun 1965-1966-1967 dst, layaknya seperti seekor mammut (gajah raksasa) yang terpendam dalam timbunan és dan salju tebal, sehingga tak terjamah samasekali.

Atau tjika tokh ada jawaban yang diberikan, maka yang sering kita dapati adalah tanggapan sbb: Aaakh, masalah itu 'kan sudah lama sekali terjadinya. Fakta-faktanya sulit untuk dicari lagi, dsb dsb.

Atau, yang lebih gawat lagi ialah kejadian berikut ini: ---- Ketika sebuah delegasi Pakorba, terdiri dari a.l. Ir Setiadi dan dr Ciptaning, sekembalinya dari sidang Komisi Hak-Hak Azasi Manusia PBB, di Jenewa, Swiss, mengadakan kunjungan kepada salah seorang anggota Parlemen Eropah dari partai CDA-Belanda, dan mengajukan kasus pembantaian masal 1965, dijawab dengan pertanyaan, sbb: Bukankah soal itu sudah s e l e s a i? Kemudian ia tambahkan lagi: Oh, bukankah itu masalah yang menyangkut kup-Komunis tahun 1965. Dia tegaskan lagi. Kan soal itu sudah selesai? Sulit dimengerti logika anggota Parlemen Eropah tsb. Mudah-mudahan jawaban yang diberikannya itu, disebabkan, semata-mata karena k e a w a m a n n y a terhadap soal-soal Indonesia. Padahal anggota Parlemen Eropah dari Belanda tsb pernah berkunjung ke Indonesia dalam suatu delegasi Parlemen Belanda.

Masyallah! Lebih sejuta manusia tak bersalah dibantai oleh penguasa, tak tentu dimana kuburnya. Sedangkan keluarganya sampai sekarang masih menderita trauma berat, dan masih didiskriminasi oleh penguasa, karena macam-macam tuduhan dan fitnahan terlibat dengan G30S, yang tidak ada bukti samasekali, dan tak pernah diajukan ke pengadilan --- sampai sekarang belum ada tanda-tanda pemerintah hendak menanagani dan merehabilitasi para korban --- Kok soal pelanggaran terbesar dalam sejarah Republik Indonesia seperti itu, dikatakan . . . . . . sudah selesai?? Makin sulit dijawab pertanyaan berikut ini: Sampai dimana penerangan yang diberikan oleh pemerintah, c.q Kementerian Kehakiman Undang-undang dan HAM - RI , kepada masyarakat mengenai situasi HAM di Indonesia?

* * *

Menjawab pertanyaan: --- Apa yang menggugah dia untuk secara khusus mengadakan penelitian mengenai 'Pembunuhan masal di Purwodadi', Bonnie a.l menjawab karena menemukan bahan-bahan mengenai Purwodadi di Perpustakaan dan Arsip Nasional, khususnya membaca buku Indonesianis Australia Dr. Robert Cribb ( 'The Indonesian Killings 1965-1966' . Studies from Java and Bali). Jawaban ini yang diberikan ketika aku menyatakan bahwa: Di Google.com, terdapat paling tidak 260 dokumen berupa tulisan, artikel, papers, analisis, hasil studi, dsb sekitar 'Kasus pembunuhan Purwodadi'. Mana menurut Bonnie yang paling bisa dianggap lengkap dan obyektif? Dijawab: Buku yang ditulis oleh Dr Cribb.

HAJI PONCKE PRINSEN DAN KASUS PEMBUNUHAN PURWODADI
Penduduk Purwodadi sangat mengenal nama Hadji Poncke Prinsen. Karena adalah Poncke Prinsen yang dengan berani dan tegas mengungkap terjadinya kasus pembunuhan masal di Purwodadi. Ia dengan keras mengecam penguasa, serta menyerukan agar terhadap tindakan kekerasan pelanggaran HAM yang begitu biadab seperti itu , jangan terulang lagi. Penduduk Purwodadi bukan saja mengenal siapa Haji Poncke Prinsen, tetapi juga merasa berterima kasih kepda Poncke Prinsen. Disebabkan oleh keberanian dan ketekunannya menyelidiki pelanggaran HAM penguasa di Purwodadi, maka masalah tsb menjadi terbuka dan terungkap kekejaman yang dilakukan oleh aparat terhadap penduduk yang tak bersalah samasekali.

Dalam tahun-tahun 1965-1966 paling tidak 850 penduduk Purwodadi yang tak bersalah telah dibunuh, dibantai a.l dengan cara pukulan dengan benda keras dibagian belakang kepala, dan mayat dilemparkan dari ketinggian sebuah bukit.

* * *

Cakap-cakap kami dengan Bonnie Triyana berlangsung dengan santai-santai saja. Disela oleh makan siang bersama. Biasalah, Pak Min, yang mengatur semua itu. Dan dengan sendirinya keluar lagi sop buntut yang terkenal lezat itu. Tak ada yang bisa menandingi 'open house' Pak Min!!

Namun, meskipun sifat pertemuan di Korenbloemlaan 59 itu, santai-santai saja, tetapi isinya, hakikatnya sungguh serius. Karena, masalahnya adalah masalah pelanggaran HAM yang paling besar dalam sejarah Indonesia yang terjadi dalam Pembantaian Masal 1965. Dan yang masalahnya sampai dewasa ini masih belum sedikitpun ditangani oleh pemerintah dan pengadilan termasuk oleh Kejaksaan Agung. Halmana menunjukkan bahwa negara kita ini, Republik Indonesia yang tercinta ini, masih jauh dari negara yang memegang prinsip-prinsip Hak-Hak Azasi Manusia seperti yang dinyatakan dalam DEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK MANUSIA, PBB 1948. Republik Indonesia jelas masih belum bisa dikatagorikam sebagai suatu NEGARA HUKUM.

Dari uraian Bonnie Triyana, bertambah jelaslah, bahwa sampai dewasa ini penguasa dan aparatnya, bukan saja tidak mendorong pengungkapan dan pengurusan kasus ini, termasuk kasus pembunuhan Purwodadi, tetapi bahkan aktif merintangi usaha-usaha pengugkapan, penelitian dan analisi, demi mengusahakan 'KLARIFIKASI SEJARAH'

* * *

Yang paling bikin aku lega dan gembira ialah kesimpulan yang diambil oleh historikus muda Bonnie Triyana dalam cakap-caka Sabtu kemarin itu. Sebagai berikut: -- Dewasa ini kesadaran kaum muda sudah semakin meningkat dalam usaha untuk melakukan penulisan kembali sejarah, atau KLARIFIKASI SEJARAH kita yang sudah dipelintir selama berkuasanya rezim Orba.

Bahwa selanjutnya, kedepan kegiatan pencerahan yang sudah dimulai sejak gelombang REFORMASI, seyogianya ditujukan atau dipusatkan pada usaha MEREHABILITASI nama baik, serta hak-hak politik dan kewarganegaraan semua korban pelanggaran HAM, terutama pelanggaran HAM pada Peristiwa 1965.

Bersikap OPTIMIS adalah suatu pandangan ke depan yang POSITIF. Ini kalau kita menyaksikan betapa kegairahan dan kesungguh-sungguhan generasi sekarang ini dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan, dalam pelurusan atau klarifikasi sejarah bangsa, dalam usaha merehabilitasi hak-hak politik dan kewarganegaraan para korban pelangaran HAM. (BERSAMBUNG)

No comments: