Monday, April 2, 2007

Kolom IBRAHIM ISA - MASALAH SEJARAH HARUS JADI - AGENDA TETAP BANGSA (2)

Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 29 Maret 2007
------------------------------
MASALAH SEJARAH HARUS JADI - AGENDA TETAP BANGSA (2)
KLARIFIKASI SEJARAH BONNIE TRIYANA

Berikut ini adalah bagian ke-dua; sambungan dan bagian terakhir dari makalah sejarawan muda Bonnie Triyana, berjudul MELURUSKAN SEJARAH BERAMAI DENGAN MASA LALU.
Kami ulangi paragraf terakhir dari bagian pertama (Kolom Ibrahim Isa, 27 Maret 2007), makalah Bonnie Triyana:
* * *
MELURUSKAN SEJARAH BERDAMAI DENGAN MASA LALU (Bagian 2))
Oleh Bonnie Triyana
Serangkaian upaya peng-amnesia-an kolektif dilakukan dalam bentuk penyeragaman versi sejarah. Peristiwa bersejarah yang seharusnya diperingati malah diganti dengan peringatan momen sejarah yang urgensinya tak memiliki koherensi dengan peristiwa sejarah itu sendiri, semisal peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni dinafikan begitu saja. Sebagai gantinya, Orde Baru memeringati 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Berbagai pengingkaran fakta sejarah lain juga dilakukan Orde Baru, misalnya dalam pernyataan bahwa penemu Pancasila bukan Soekarno melainkan Mohammad Yamin atau pencetus “Serangan Oemoem 1 Maret 1949” adalah Soeharto, bukan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Selain melakukan penyeragaman ingatan, sejarah Orde Baru juga sangat bercorak militeristik. Sejarah versi Orde Baru banyak menuliskan tentang keberhasilan tentara memadamkan pemberontakan di daerah-daerah yang terjadi pada kurun tahun 1950-an – 1960-an. Sehingga sejarah yang ditulis Orde Baru lebih tepat disebut sebagai sejarah operasi militer.

Sejarah G.30.S. 1965: Dari Monoversi ke Multiversi

Pada masa Orde Baru, peristiwa Gestok 1965 (Orde Baru menggunakan istilah G.30.S/PKI) ditulis dari perspektifnya sendiri, yang menempatkan PKI sebagai aktor utama pembunuhan para jenderal Angkatan Darat. Monoversi tersebut kemudian direproduksi dalam berbagai bentuk media doktriner, antara lain film “Penghianatan G.30.S/PKI” arahan Arifin C. Noor dan materi penataran P4 yang diberikan kepada murid sekolah hingga pejabat pemerintahan. Fungsinya hanya satu: legitimasi kekuasaan Soeharto.

Beberapa versi lain juga muncul, misalnya keterlibatan Soeharto (Ben Anderson), keterlibatan klik Soekarno dan PKI (Arnold C. Brackman), konflik internal Angkatan Darat (Harold Crouch) dan keterlibatan CIA (Peter Dale Scott). Bung Karno memiliki versinya sendiri, yakni kelihaian unsur Nekolim, oknum-oknum yang “tidak benar,”dan para pimpinan PKI yang /keblinger/. Versi Bung Karno ini disampaikan dalam pidato Pelengkap Nawaksara, kemudian kembali dikutip oleh Manai Sopiaan dalam bukunya “Kehormatan Bagi yang Berhak: Bung Karno Tidak Terlibat G.30.S/PKI.”

Kini telah banyak korban yang menuliskan kisahnya masing-masing. Hersri Setiawan, mantan aktivis Lekra menulis “Memoar Pulau Buru”, Haji Ahmadi Moestahal “Dari Gontor ke Pulau Buru,” Hasan Raid “Pergulatan Muslim-Komunis,” Kresno Saroso “Dari Salemba ke Pulau Buru”, dan Abdul Latief almarhum “Pledoi Latief: Soeharto Terlibat G.30.S”. Baru-baru ini Djoko Sri Moelyono, seorang korban dari Banten telah menulis kisahnya dalam “Banten Seabad Setelah Multatuli,” naskah tersebut belum diterbitkan. Sejumlah karya ilmiah, baik skripsi maupun makalah turut mewarnai versi sejarah peristiwa Gestok 1965. Seluruh kisah tersebut secara otomatis menjawab sekaligus memertanyakan kembali keabsahan sejarah Gestok 1965 versi Orde Baru.

Sejarah G.30.S 1965: Ditulis ulang atau diluruskan?
Ada perdebatan teoritis di kalangan sejarawan menyangkut bagaimana memandang sejarah versi Orde Baru, khususnya sejarah G.30.S. 1965. Istilah “pelurusan sejarah” sendiri sebenarnya masih diperdebatkan antara Asvi Warman Adam versus Taufik Abdullah. Asvi Warman Adam cenderung berpendapat bahwa sejarah produk Orde Baru harus “diluruskan,” karena ada beberapa hal yang diputarbalikan oleh penguasa Orde Baru. Sementara itu Taufik Abdullah berpendapat bahwa apa yang diyakini oleh Asvi salah adanya, karena fakta sejarah tak ada yang perlu diluruskan. Menurut Taufik yang perlu dilakukan dalam sejarah Indonesia adalah “penulisan ulang.”

“Penulisan ulang” sejarah dapat bermakna: /pertama/, yakni penulisan ulang terhadap suatu peristiwa atas dasar fakta yang sama sekali baru dan berbeda dari versi sebelumnya. /Kedua/, melakukan tafsir ulang atas fakta yang sama untuk kemudian menuliskannya dalam versi yang berbeda dari sebelumnya. Dalam “penulisan ulang,” versi baru tidak menggantikan versi sebelumnya, akan tetapi lebih bersifat menyandingkannya. Argumentasi ini bersandar pada adagium bahwa setiap individu atau kelompok, tiada peduli siapa mereka, memiliki hak yang sama untuk menuliskan sejarahnya sendiri. Dan masyarakat berhak memutuskan sendiri apa yang harus dibacanya.

Sedangkan “pelurusan sejarah” adalah penulisan yang bersifat mengoreksi versi sejarah sebelumnya. Pelurusan sejarah didasarkan pada fakta baru yang telah diuji, baik intern maupun ekstern, yang kemudian pada kenyataannya lebih dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya daripada fakta dalam versi sejarah sebelumnya. Sejarah versi “pelurusan” ini menggantikan versi sebelumnya, yang telah terbukti memanipulasi fakta sejarah yang sesungguhnya terjadi.

Berkaitan dengan perdebatan itu, agaknya perlu dicermati beberapa buku sejarah Gestok 1965 versi Orde Baru yang selama 32 tahun dijadikan acuan bahan ajar sekolah. Dalam buku “Kesaktian Pancasila di Bumi Pertiwi” terbitan BP.Alda/Penerbit Almanak R.I. misalnya, di halaman 150 terdapat sebuah foto mayat-mayat bergelimpangan dalam keadaan terikat di tepi Bengawan Solo. Dalam keterangan tertera bahwa mereka adalah korban keganasan PKI. Padahal, fakta sesungguhnya adalah sebaliknya: mayat-mayat itu justru anggota PKI yang dibantai dan mayatnya dibiarkan begitu saja di tepian Bengawan Solo. Perihal yang sama juga terdapat dalam buku Alex Dinuth, “Dokumen Terpilih Sekitar G.30.S/ PKI” (Penerbit Intermasa, 1997) hal. 510-511. Tentu pemutarbalikan fakta dalam caption foto itu menyesatkan, sehingga perlu dikoreksi atau “diluruskan.” Bukan ditulis ulang.

Rekonsiliasi di Indonesia, mungkinkah?
Masyarakat yang traumatik terhadap Kekerasan, konflik-konflik kekerasan horisontal dan pelanggaran HAM adalah warisan yang hampir mesti ditinggalkan oleh rezim-rezim otoriter. Pada umumnya pemerintahan transisi mengalami kesulitan ekonomi, sehingga untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak azasi manusia serta penghentian konflik yang disertai kekerasan menjadi sebuah hal yang amat sulit.

Para korban memerlukan pengakuan atas apa yang terjadi pada diri mereka di masa yang lalu. Di saat yang bersamaan, masyarakat warisan rezim otoriter – baik yang menjadi korban atau bukan – cenderung bisu dan tak mau tahu dengan masa lalu. Mereka pada umumnya masih dihinggapi perasaan takut yang mencekam, dendam dan marah. Di lain pihak, sisa-sisa penguasa politik rezim otoriter masih memegang kekuatan yang sewaktu-waktu masih bisa digunakan untuk kembali melakukan intimidasi kepada korban pelanggaran HAM di masa lalu. Mereka sangat berkepentingan untuk membuat masyarakat tetap dalam kebisuannya.
Lalu bagaimanakah pemerintah yang demokratis menanggapi tuduhan-tuduhan mengenai pelanggaran besar HAM – pembunuhan, penculikan, penahanan tanpa pengadilan – yang dilakukan oleh para pejabat rezim otoriter? Apakah tindakan yang tepat adalah mengajukan mereka ke pengadilan dan menghukum, atau memaafkan dan melupakan?[4]

Ada empat konsep dalam penyelesaian tindak pelanggarah HAM yang selama ini dipraktekan di berbagai negara./ Pertama/, /never forget/, /never forgive/, jangan pernah lupakan, jangan pernah maafkan; ada semacam /trial/ and /punishment/. Jerman menggunakan pendekatan ini tatkala menyelesaikan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Nazi. Pelakunya dicari untuk diadili, sebagian yang lolos hingga kini terus dikejar. /Kedua/, /forget and forgive/, lupakan dan maafkan. Spanyol mengambil pola ini ketika mengakhiri rezim Franco. Tak satupun pengadilan digelar. /Ketiga/, bentuk non-pengadilan /forget but never forgive/, lupakan namun jangan pernah maafkan. Hal ini dilakukan oleh banyak bangsa Eropa ketika ingin mengakhiri /inquisition/ (penyaliban) bagi mereka yang oleh Gereja dianggap musyrik selama 300-400 tahun. Mereka berusaha melupakan, namun tidak pernah memaafkan betapa kejamnya “agama” melakukan itu pada manusia. /Keempat/, bentuk non-pengadilan lainnya: /never forget but then forgive/, jangan pernah lupakan, tetapi setelah melalui proses hukum tertentu, maafkan. Korea Selatan mengambil cara ini untuk kasus korupsi; diadili, dihukum kemudian diberi amnesti.[5]
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi merupakan varian terakhir dari keempat model di atas. Namun amat disayangkan, banyak elit politik Indonesia yang lebih cenderung berkampanye: /mari kita lupakan dan maafkan, masa depan lebih penting./

Pada saat rezim /apartheid/ berkuasa, warga kulit putih menutup mata terhadap kekerasan yang dilakukan /apartheid /kepada warga kulit hitam. Ketika Nelson Mandela dibebaskan, kemudian menjadi presiden Afrika Selatan, ia mendorong proses rekonsiliasi berjalan di negerinya.
Afrika Selatan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran hak asasi manusia dan konflik meluas yang terjadi semasa pemerintahan /apartheid/ berkuasa. Di dalam proses yang berjalan, berlangsung penyelidikan serta pengakuan pelaku di hadapan publik, penghukuman dan pengampunan, reparasi untuk korban baik /real/ maupun simbolik, serta reformasi institusi yang selama ini mendukung rezim /apartheid/.[6]Rekonsiliasi di Afrika Selatan bisa dikatakan lebih berhasil karena kelompok anti-/apartheid/ yang sebelumnya ditindas, keluar jadi pemenang. /Political will/ yang kuat dan rasa kebersamaan untuk menuntaskan kekerasan menjadikan rekonsiliasi di Afrika Selatan contoh yang baik untuk ditiru.

Lain lagi dengan Chile pasca pemerintahan diktator Augusto Pinochet pada 1990. Presiden Ptaricio Aylwin membentuk sebuah komisi kebenaran yang menerima laporan pelanggaran dan melaksanakan pertemuan dengar pendapat. Kurangnya kemauan politik dan masih kuatnya pengaruh sisa-sisa pejabat rezim Pinochet menyebabkan proses hukum terhadap pelaku kekerasan urung dilakukan. Benar Aylwin menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga korban penculikan dan membentuk sebuah badan untuk menelusuri nasib korban penculikan, namun apa yang ia lakukan tersebut tak lebih dari sebuah usaha penegakan keadilan ala kadarnya. Hubungan yang terjalin di antara pemerintahan baru dengan beberapa pemimpin diktator rezim lama menyebabkan dipilihnya jalan kompromi ketimbang mengadili pelaku kejahatan HAM secara tegas.

Sementara itu di argentina, usaha untuk menyelesaikan kasus-kasus kejahatan HAM menjadi lebih mudah ketika ada kemauan politik yang kuat dari pemerintah. Hal ini bukannya tanpa resiko, pengadilan kejahatan HAM secara tegas dan tanpa pandang bulu menyebabkan ketegangan politik yang cukup menggoyahkan stabilitas politik dalam negeri argentina.

Pelaku kejahatan HAM di Argentina terdiri dari kelompok militer dari rezim terdahulu. Mereka masih memiliki pengaruh politik yang kuat untuk menekan pemerintahan baru yang dipimpin Presiden Raoul Alfonsin. Ketegangan dengan pimpinan junta militer terjadi karena mereka dituntut untuk bertanggungjawab atas ribuan kasus penghilangan paksa di Argentina.[7] Hal tersebut mendorong Alfonsin memberlakukan sebuah undang-undang yang mengatur penyelenggaraan peradilan hak asasi manusia di mahkamah militer, bukan di pengadilan HAM. Undang-undang yang sama juga berlaku bagi para pelaku yang melaksanakan kejahatan atas perintah maupun yang mematuhi perintah.

Hampir sama dengan beberapa negara di atas yang saya tulis sebagai contoh, Indonesia, terutama pada masa Orde Baru, berbagai pelanggaran berat HAM berserak di berbagai daerah. Untuk sekedar mengingatkan, beberapa kasus pelanggarah HAM berat di masa Orde Baru di antaranya pembunuhan massal 1965-1969, pembunuhan dan penghilangan paksa dalam operasi militer di Aceh dan Irian Jaya (1976-1983), Petrus (1983-1986), pembantaian kaum Muslim Tanjung Priok (1984), DOM Aceh II (1989-1998) dan seterusnya.

Kejahatan HAM di Indonesia tidak hanya mendera sektor politik, juga terjadi hampir di setiap bidang: ekonomi, sosial dan budaya. Inilah yang menjadikan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Indonesia cukup pelik dan rumit. Masih kuatnya pengaruh sisa-sisa kekuatan Orba menjadi faktor penghalang utama dalam penyelesaian kasus-kasus kejahatan kemanusiaan. Tentu kita tidak berharap apa yang terjadi di Argentina terjadi di Republik ini.

Dalam kasus pembantaian massal PKI 1965-1969 misalnya, baik korban dan keluarga korban menghadapi tindak diskriminasi yang didukung oleh negara. Masih berlakunya berbagai aturan hukum produk Orde Baru[8] yang membatasi ruang gerak korban membuat proses rekonsiliasi kasus 1965 masih tampak /jauh panggang dari api/. Artinya, seharusnya proses rekonsiliasi didukung dengan adanya prinsip-prinsip fundamen dalam rekonsiliasi itu sendiri, semisal salah satunya prinsip kesetaraan. Selama ini korban peristiwa tahun 1965 diposisikan sebagai warga negara kelas dua. Dalam KTP tertera simbol ET atau Eks Tapol, sebuah klasifikasi identitas yang sangat diskriminatif. Belum lagi pandangan masyarakat terhadap stigma negatif komunis yang terlebih dahulu disebarluaskan melalui berbagai media, salah satunya buku-buku sejarah.

Menurut hemat saya, dalam kasus 1965, agenda utama yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah pelurusan sejarah peristiwa itu sendiri. Pelurusan sejarah diharapkan dapat mematahkan pewarisan ingatan Orde Baru yang menancap di dalam benak sebagian besar masyarakat bahwa segala hal yang menyangkut PKI adalah negatif. Penting juga dilakukan pencabutan semua peraturan hukum produk Orde Baru yang bersifat diskriminatif terhadap korban peristiwa G.30.S 1965. Sehingga pada saatnya KKR bekerja, masyarakat telah sepenuhnya memahfumi bahwa apa yang terjadi pada perisiwa G.30.S 1965 adalah rekayasa Orde Baru untuk melegitimasi kekuasaan Soeharto.
Jakarta, 28 Juli 2005.
------------------------------------------------------------------------
[1] Makalah dipresentasikan dalam diskusi “Prinsip-Prinsip Penegakan HAM Dan Pelurusan Sejarah Dalam Pembentukan Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi” yang diselenggarakan oleh LBH Semarang, 1 Agustus 2005.

[2] Peneliti sejarah di Lembaga Nirlaba Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah (Mesiass). Sedang menulis buku “Padamnya Lentera Merah: Pembunuhan Massal Anggota dan Simpatisan PKI di Kabupaten Grobogan 1965-1969.”

[3] Bahkan di beberapa daerah pembunuhan massal masih terjadi hingga tahun 1969, Purwodadi salah satunya.

[4] Samuel P. Huntington, 2001, /Gelombang Demokratisasi Ketiga/, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, hal. 275

[5] Ifdhal Kasim dan Eddie Riyadi Terre, /Kebenaran versus Keadilan, Pertanggungjawaban Pelanggaran HAM di Masa Lalu/, 2003, Jakarta: ELSAM, hal. 14.

[6] Karlina Leksono Supeli, /Berdamai Dengan Masa Lampau: Antara Penghukuman dan Pengampunan/, makalah pada workshop KKR yang diselenggarakan oleh ELSAM, Cimacan, 25-28 September 2000. Makalah tidak diterbitkan.

[7] *National Commision on Disappeared Persons* adalah komisi kebenaran yang didirikan di Argentina pada masa pemerintahan Raoul Alfonsin. Komisi ini berhasil mengumpulkan 50.000 lembar bukti-bukti yang disampaikan dalam sebuah laporan yang berjudul /Nunca Más/ (Never Again). Di dalam laporan itu tercantum 9.000 kasus penghilangan paksa (jumlah sesungguhnya mencapai 30.000 orang; lihat Marguerite Guzman Bouvard, 1994, Revolutionizing Motherhood, The Mothers of the Plaza de Mayo, Wilmington: SR Books) dikutip dari Karlina Leksono Supeli dalam /ibid/ hal. 5

[8] Di antaranya TAP MPRS NO. XXV/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia sekaligus dinyatakan sebagai organisasi terlarang serta pelarangan ajaran Marxisme dan Leninisme, dan peraturan pemerintah tentang pemilihan anggota Badan Perwakilan Desa yang melarang eks tapol 1965 ikut dalam keanggotaan BPD.


* * * * *

No comments: