Monday, April 2, 2007

Kolom IBRAHIM ISA -- Betulkah Ada 'DEWAN REVOLUSI' ?

Kolom IBRAHIM ISA

Jum'at, 26 Januari 2007

-----------------------------------


Betulkah Ada 'DEWAN REVOLUSI' ?

Sejak Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalyon Cakrabirawa, Pasukan Pengawal Presiden, bersama rekan-rekannya, kebanyakan dari Angkatan Darat, membentuk 'Dewan Revolusi' melalui suatu gerakan militer yang diberi nama oleh para pelakunya sebagai GERAKAN 30 SEPTEMBER (1965), ----- perkataan - 'D e w a n R e v o l u s i ' - selalu dikaitkan dengan tudingan tertuju pada PKI atau Presiden Sukarno. Perhatikan, pada periode Orba --- kata 'Dewan Revolusi' -- itu adalah t a b u untuk diungkit atau dikutak-katik kembali, selain menurut versi Orba.


Di sepanjang periode rezim Orba, apalagi sesudah jatuhnya Jendral Suharto, terdapat dua versi yang bisa dibilang versi-versi utama mengenai 'Dewan Revolusi' dan 'G30S' yang melahirkannya. Satu terhadap yang lainnya versi-versi tsb diametral bertentangan. Masih ada beberapa versi lainnya. Satu versi yang diutarakan oleh a.l. s.k. Harian Rakyat ketika itu (1965), dan Sudisman, anggota DH PB CC PKI yang diajukan ke sidang Mahmilub (1967), dan oleh sementara pelakunya, seperti Lt Kol Untung dan Brigjen Supardjo, ialah : Gerakan 30 September, adalah 'soal intern Angkatan Darat' yang tujuannya adalah untuk mencekal rencana kudeta Dewan Jendral terhadap Presiden Sukarno, dan untuk membela Presiden Sukarno.


Versi satunya lagi, adalah versi Orba yang menjadi versi resmi selama 30 tahun lebih: ---

'G30S' adalah suatu percobaan kup, suatu makar perebutan kekuasaan negara oleh PKI.


Lain kali, kita bisa kembali lagi ke soal ini.


* * *


Bagaimana sekarang?

Bagaimana situasinya, setelah berlangsungnya gelora gelombang dahsyat Gerakan Reformasi dan Demokratisasi, melalui suatu gerakan massa luas, yang didukung sementara elemen dalam angkatan bersenjata sendiri, dan telah memaksa Presiden Suharto turun panggung?


Sejak Jendral Suharto jatuh, dalam situasi baru lahirnya kebebasan pers yang merupakan salah satu produk penting gerakan Reformasi dan Demokratisasi, terbukalah kesempatan bagi siapa saja, untuk menulis dan dengan bebas mengutarakan analisis dan tafsirannya sendiri terhadap kata dan peristiwa terbentuknya 'DEWAN REVOLUSI' (1965).


Munculnya kembali kata 'Dewan Revolusi' tsb baru belakangan saja terjadi. Memang sesuatu yang ironis. Kata yang dalam waktu panjang adalah 'tabu', tiba-tiba mencuat lagi. Anehnya, hal itu dipandang sebagai 'ulahnya' sementara perwira tinggi TNI. Juga dianalisis sebagai 'satu jurus diikuti oleh jurus-jurus ofensif politik' yang dialamatkan kepada pemerintah SBY. Maka diaturlah suatu 'pertemuan khusus' para penanggung jawab militer fihak pemerintah dengan para mantan perwira tinggi TNI.


Sebelumnya, sudah tampak jelas bahwa kegairahan sementara kalangan di TNI (ini jelas pada sementara mantan perwira tingginya), suatu idam-idaman tak pernah padam, yaitu: Untuk kembali turut ambil bagian (aktif, kalau bisa memimpin) dalam kegiatan dan kehidupan politik negeri. Kegairahan, bahkan langkah-langkah yang diambil dari situ, bukan sesuatu yang disembunyikan. Juga bukan sesuatu yang negatif Dalam kehidupan politik di banyak negeri yang memberlakukan sistim politik demokrasi, ikut sertanya perwira-perwira tinggi angkatan bersenjata yang s u d a h b e r s t a t u s s i p i l , yang sudah purnawirawan, --- adalah sesuatu yang dibolehkan oleh undang-undang dan hukum. Maka kegiatan itu adalah wajar dan sepenuhnya legal. Dengan catatan, selama kegairahan dan kegiatan dari yang bersangkutan tidak dilakukan ketika sedang dalam dinas aktif militer serta tidak menyalahgunakan kedudukannya itu.


Bukankah Presiden RI yang kelima sekarang ini, --- Susilo Bambang Yudhoyono ---, sebelumnya adalah seorang perwira tinggi yang aktif, kemudian, sebagai Jendral purnawirawan, sebagai orang sipil, menjabat kedudukan menko dan kemudian jadi Presiden RI, melalui pemilihan langsung.


* * *


Pada parpol-parpol yang kuasa atau pernah kuasa, seperti PDI-P dan Golkar, bisa disaksikan sejumlah mantan perwira tinggi TNI, duduk dengan bangganya disitu. Juga parpol-parpol tsb merasa bangga bisa 'menarik' sejumlah perwira tinggi TNI, meskipun sudah purnawirawan. Para mantan jendral itu bahkan sampai bisa duduk di dalam pimpinan parpol tsb. Partai Demokrat yang kini berkuasa, pimpinan utamanya adalah mantan Jendral TNI. Sementara parpol jelas sekali menjadikan kontak dan relasi mereka dengan para mantan petinggi TNI, bahkan dengan yang masih akitf sekalipun, sebagai program (intern) penting parpol mereka. Inipun bukan sesuatu yang aneh, bukan sesuatu yang harus 'ditabukan' membicarakannya secara terbuka, karena sejarah politik Republik ini, benang merahnya berkisar a.l di sekitar peranan angkatan bersenjatanya. Baik yang positif maupun yang negatif.


Bolehlah ditarik pelajaran dari pengalaman berikut ini: Letkol Untung melalui G30S membentuk Dewan Revolusi, yang dimakudkan sebagai kekuasaan baru di Indonesia, yang lebih baik dan lebih maju. Oleh fihak lawannya hal itu dinyatakan sebagai suatu usaha kup. 'G30S' telah gagal melaksanakan ide-ide politik dan ekonomi yang tercantum dalam siaran 'DEWAN REVOLUSI' ciptaan G30S.


Lalu ada 'kontra-kup' yang dilakukan oleh Jendral Suharto dkk, yang jelas-jelas mengambil oper kepemimpinan TNI, dengan membangkang, dengan melakukan insubordinasi terhadap atasannya, pemimpin tertinggi pemerintah, tentara dan negara, yaitu Presiden Sukarno. Jendral Suharto jelas-jelas menyalahgunakan jabatan dan kedudukannya sebagap Panglima Kostrad TNI untuk merebut kekuasaasn politik negara. Sama-sama menggunakan jabatan militernya untuk sesuatu rencana, tetapi, bedanya, Lekol Untung gagal; Mayjen Suharto berhasil, dan menjadi penguasa Indonesia lebih dari 30 tahun, melalui pembentukan tumpuan politik Golkar dan pemilu-pemilu rekayasa.


Tetapi akhirnya Jendral Suharto tokh babak-belur dilanda oleh gerakan massa yang luas. Ia ditinggalkan pendukung-pendukungnya, terguling dan kini menghadapi tuntutan gerakan Reformasi dan Demokratisasi, untuk mempertanggungjawabkan pelanggaran hukum HAM terbesar dan korupsi.


* * *


Di lihat dari 'aturan main' negara hukum, asal saja tidak menyalah gunakan jabatan dinasnya, asal saja sudah tidak lagi dalam dinas militer, maka keinginan, hasrat, ambisi untuk aktif dalam politik dan akhirnya ikut jadi penguasa, itu sama sekali tidak ada salahnya. Lihat saja Presiden Dwight D. Eisenhower dari AS. Setelah menanggalkan pakaian seragamnya, menjadi orang sipil, ia dicalonkan oleh Partai Republik dan dengan gemilang memenangkan pemilihan Presiden AS (1952).


Mari lihat pengalaman Venezuela dengan Presiden Hugo Rafael CHAVEZ Frias. Ini pengalaman unik. Karena Chavez pernah sekali tempo 'menyalahgunakan' jabatannya dalam tentara untuk melakukan kup, suatu perebutan kekuasaaan yang gagal (1992). Orang bilang, bedanya Chavez dengan Letkol Untung, -- Chavez tidak berakhir dihadapan regu tembak penguasa.


Tetapi 6 tahun kemudian (1998) bahkan berhasil menjadi Presiden Venezuela sebagai hasil pemilihan umum. Kemudian terpilih lagi (2002) dan terpilih lagi (2006). Kiranya ini disebabkan karena Chavez jelas-jelas berfihak pada rakyat miskin. Dan rakyat ada waktu cukup untuk mengenal gerakan politik Chavez yang punya visi sosial-demokrasi (sosdem), mempromosikan ide integrasi negeri-negeri dan bangsa-bangsa Amerika Latin. Sebagai kongkritisasi kerjasama sesama bangsa-bangsa miskin di dunia ini, teristimewa di Amerika Latin. Yang dikenal rakyat, juga adalah bahwa Chavez konsisten berpegang pada politik anti-imperialisme. Jelas, yang dimaksudkan Chavez adalah imperialisme Amerika Serikat. Chavez menarik pelajaran penting dari kegagalan kupnya. Ia mendirikan suatu gerakan politik yang Kiri. Yaitu Gerakan Republik Kelima. Gerakan Kiri ini pro-rakyat miskin dan anti-imperialisme (AS).


Suatu pelajaran baik yang perlu ditarik. Sama halnya dengan Castronya Cuba. Meskipun berada di depan moncong singa AS, ---- baik Castro maupun Chavez, sedikitpun tidak takut, tidak gentar menghadapi Amerika yang mengancam dan berbuat untuk menggulingkannya. Dengan tegas dan berani melawan politik imperialisme AS. Ini penting bagi para elite kita yang melihat AS sebagai satu-satunya superpower, oleh karena itu ketakutan bukan main terhadap AS, sambil menunjuk pada nasib Presiden Sukarno. Lihat itu Presiden Sukarno, kata mereka, -- karena berani-berani melawan imperialisme AS, berani meneriakkan 'go to hell with your aid', akhirnya terguling.


* * *


Di Indonesia dewasa ini, formilnya, tidak ada lagi wakil TNI di dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Wewenang keamanan dalam negeri telah kembali di tangan Polisi. Secara umum, konsep 'Dwifungsi Abri' dinyatakan tidak lagi merupakan garis politik negara/TNI. 'Dwifungsi Abri sudah 'cacad', bahkan bangkrut. Disebabkan oleh penyalahgunaan sejadi-jadinya kedudukan dan lembaga TNI, pada periode Orba. Pengalaman yang tak terlupakan ialah bahwa pelaksanaan 'Dwifungsi Abri' berarti TNI kuasa dimana-mana dan disegala bidang. 'Dwifugnsi Abri' menjadi sama dengan korupsi besar-besaran di bawah lindungan kekuasaan senjata. 'Dwifungsi Abri' menjadikan tidak sedikit perwira-perwira TNI dalam sekejap mata menjadi pengusaha-pengusaha, pemegang saham dan buisnessmen yang kaya raya. 'Dwifungsi Abri' identik dengan pelanggaran HAM. 'Dwifungsi Abri', sama dengan yang punya senjata, main kuasa; mengubah Republik Indonesia menjadi negara 'impunity'. 'Dwifungsi Abri' telah mengubah negara ini menjadi suatu sistim kekuasaan dan kultur politik, dimana berlangsung supremasi militer.


Akibat penyalahgunaan jabatan militer dan polisi di zaman pemerintahan Presiden Jendral Suharto, maka nama baik TNI dan Polisi telah pudar bahkan rusak samasekali.


Pada zaman Revolusi Kemerdekaan nama TNI harum. Tentara dan Polisi Republik Indonesia adalah salah satu sokoguru negara yang baru diproklamasikan. TNI merupakan salah satu kekuatan tangguh dalam mencapai dan membela kemerdekaan Republik Indonesia. Bangsa kita melihat TNI sebagai kekuatan bersenjata asal rakyat, yang lahir dari Revolusi Kemerdekaan. Di bawah pemerintahan sipil, bersama rakyat, TNI berhasil membela negara Republik Indonesia, dari Sabang sampai Merauké; mengalahkan gerakan pemberontakan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia yang hendak mendirikan negara Islam Indonesia; menghancurkan pemberontakan separatis RMS, mengalahkan pemberontakan PRRI/Permesta yang dibiayai dan dipersenjatai oleh CIA. TNI merupakan elemen penting dalam perjuangan semesta bangsa mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi.


Maka patut disambut adanya usaha -- , ----- untuk mengembalikan nama baik TNI seperti halnya ketika pada waktu Revolusi Kemerdekaan.


* * *


Kembali muncul pertanyaan: Bagaimana sekarang?

Di saat ini, seperti bisa dibaca dalam media, diisukan adanya usaha-usaha yang menyangkut mantan perwira tinggi TNI. Dikatakan mereka itu berrencana melakukan sesuatu yang tidak benar.


Di bawah judul 'TERSENGAT GOSIP MAKAR' Tempo Interaktif (25-01-07) memberitakan bahwa, Pemerintah menanggapi isu Dewan Revolusi dengan mengumpulkan para sesepuh militer. Ketika para sesepuh militer ditanyai wartawan, tentang apa saja yang dibicarakan dalam pertemuan para mantan jendral dengan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Laksamana TNI (Purn.) Widodo Adi Sucipto, diperoleh keterangan sbb:


Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) Mayjen (Purn.) Syamsir Siregar menjelaskan isi pertemuan adalah membicarakan isu rencana makar dari Dewan Revolusi yang dibuat para purnawirawan. Dewan Revolusi ini dipimpin Jenderal (Purn.) Tyasno Sudarto, mantan Kepala Staf Angkatan Darat.


Namun keterangan Mayjen (purnawirawan) Syamsir Siregar, yang menyebut namanya sehubungan dengan berita tentang 'makar', itu telah dibantah tegas oleh Jendral (Purnawirawan) Tyasno Sudarto.


* * *


Berita yang terdapat di media tentang dugaan adanya 'makar', berlangsung dalam periode yang sama dengan maraknya kritik dan aksi-aksi terhadap pemerintahan SBY. Kemudian bisa dibaca pula bantahan pengeritisi SBY yang menegaskan bahwa pemerintah SBY agak 'kebablasan' dalam menanggapi kritik-kritik tsb, halmana bisa dilihat dari timbulnya kekhawatiran pemerintah akan adanya 'makar' .


Dalam situasi seperti ini, ketimbang memasuki suatu kasus, yang masih merupakan isu belaka; kiranya lebih bermanfaat untuk berkomentar, seperti yang ditulis dalam kolom ini.


Amsterdam, 26 Januari 2007.


* * *

No comments: