Monday, April 2, 2007

IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA - Purwodadi, Purwodadi . . . . . (2)

IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA
Jum'at, 09 Maret 2007
------------------------------

Purwodadi, Purwodadi . . . . . (2)


Setelah cakap-cakap dengan sejarawan muda kita Bonnie Triyana di rumah Pak Min, aku menghubunginya lagi. Kuajukan beberapa pertanyaan sehubungan dengan pertemuan Sabtu pekan yang lalu itu. Dari komunikasi kami tsb, Bonnie Triyana mengirimkan makalahnya sekitar Puwodadi. Aku merasa mendapat 'durian runtuh' setelah membaca makalah Bonnie tsb.

Kukatakan 'mendapat durian runtuh', karena, yang ditulis oleh Bonnie Triyana adalah suatu langkah serius dan terrencana dalam rangka seperti yang ia katakan sendiri . . . . KLARIFIKASI SEJARAH. Bonnie memilih istilah 'Klarifikasi Sejarah', ketimbang istilah PENULISAN ULANG SEJARAH, seperti yang dirumuskan oleh sejarawan/peneliti Taufik Abdullah . Sebab, kata Bonnie, kalau sekadar ditulis kembali, sedangkan fakta-faktanya tetap fakta yang disajikan oleh Orba --- yaitu pemelintiran fakta-fakta - seperti dalam kasus 'ENAM JAM DI JOGJA' , dan BUNG KARNO yang peranannya dalam menggali dan merumuskan Pancasila, oleh sejarawan Orba disulap menjadi peranan MOH YAMIN SEBAGAI PENGGALI PANCASILA. Siapa bisa disalahkan bila mengatakan bahwa apa yang disuguhkan sebagai 'fakta sejarah' oleh Orba, yang dimamah-biak oleh sebagian besar sejarawan Orba, adalah 'fakta-fatka sejarah' yang dipelintir, dipalsu dan direkayasa.
* * *
Menarik juga apa yang ditulis oleh 'Tokoh Indonesia.Com', 09 Maret 2007, tentang pandangan sejarawan/peneliti Taufik Abdullah, mengenai peranan kaum intelektual, masa Orde Baru. Dikatakan bahwa, di mata Taufik Abdullah, masa 1966-1974 merupakan periode kreatif-produktif bagi kaum intelektual. Dalam periode itu berbagai masalah strategi pembangunan dibicarakan. Demikian Taufik Abdullah menurut 'Tokoh Indonesia.Com'. Pembangunan intelektual? . . . . . .Apakah tidak lebih tepat untuk mengatakan bahwa pada masa itu, adalah masa dimulainya 'pembodohan' intelektual Indonesia. Khususnya terhadap sejarah bangsanya sendiri. Sepenuhnya versi dan rekayasa penguasa Orba yang dianggap sebagai kebenaran tunggal.
Cobalah baca sendiri apa yang ditulis oleh kaum intelektual sejarah 'kita' pada masa-masa 1966-1974, khusus mengenai fakta-fakta sejarah sekitar G30S, pembunuhan 6 jendral dan kemudian apa yang diatur lalu dilaksanakan oleh penguasa, yaitu, mulai 1965 dan tahun-tahun berikutnya, ----- pembantaian masal terhadap rakyat yang tak bersalah atas tuduhan PKI atau simpatisan PKI.
Kalau bukan seorang Haji Princen yang mengungkap pelanggaran HAM besar, yaitu pembunuhan masal di Purwodadi , --- mana ada intelektual sejarah 'kita' yang punya selera atau nyali untuk berani mengadakan riset , penelitian dan pengungkapan mengenai fakta-fakta sejarah tsb. Atau mengenai 'Supersemar' . Oleh Jendral Suharto disulap menjadi 'tranfer of authority'. Oleh mesin propaganda' Orba disebut 'pelimpahan kekuasaan' dari Presiden Sukarno kepada Jendral Suharto. Meskipun dalam pidato-pidatonya dalam periode itu Presiden Sukarno berulang kali menyatakan bahwa 'Supersemar' bukan 'pelimpahan kekuasaan' kepada Jendral Suharto, tetapi, ---- adakah kaum 'intelektual (sejarawan) kita' ketika itu, bertindak seperti dikatakan oleh Taufik Abdullah, ada dalam periode 'kreatif-produktif??
Kalau hendak berbuat seperti kata orang Inggris, 'call a spade a spade' , artinya 'katakanlah apa adanya' , maka masa itu, adalah masa ketika kebanyakan kaum intelektual (sejarah/politik) kita 'tiarap' terhadap fakta-fakta sejarah yang keras sekitar Peristiwa 1965. Mereka tidak lain hanyalah n g e g o n g i saja apa yang dimamahkan oleh penguasa untuk mereka. Mereka mengikuti saja versi dan pemalsuan sejarah oleh penguasa. Mereka dengan gairah ikut menabuh genderang yang memaklumkan kepalsuan sebagai kebenaran mutlak dan satu-satunya.
* * *

Maka betullah kesimpulan Bonnie Triyana, bahwa, sebaiknya digunakan istilah KLARIFIKASI SEJARAH. Dalam pengertian ini MENGKLARIFIKASI fakta-fakta sejarah yang direkayasa dan diplintir oleh para sejarawan dan propagandis Orba. Artinya mengkoreksi, melempangkan yang dipalsu, yang dibengkokkan.

Hendak mengetahui apa konon yang menggugah Bonnie Triyana mengadakan penelitisan sejarah? Inilah penjelasannya:

'Saya tergugah untuk meneliti perihal ini karena sejarah tahun 1965, khususnya pasca pembunuhan 6 jenderal dan 1 perwira pertama AD jarang disebut/ditulis.

'Yang selalu dibesar-besarkan adalah peristiwa 1 Oktober 1965, sedangkan pembunuhan terhadap ratusan ribu bahkan jutaan rakyat yang tak bersalah di berbagai daerah tak pernah ditulis. Menimpakkan kesalahan pada orang yang tak melakukan apa-apa adalah hal yang terburuk dalam sejarah umat manusia. Bukankah di dalam hukum ada adagium: "lebih baik melepaskan 10 orang yang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah"

'Atas dasar itu pula saya ingin sejarah yang selama ini sengaja dipendam ditulis supaya generasi yang akan datang belajar tentang kesalahan generasi sebelum mereka.

* * *

Kiranya perlu ditambahkan lagi sebagai berikut: Penguasa Orba bertindak seperti penguasa lalim Jenderalisimo Chiang Kai'shek, ketika sewenang-wenang menguasai Tiongkok dan melakukan pembantaian terhadap rakyatnya sendiri (1927). Chiang Kai'shek bertindak menurut motto, sbb: 'Lebih baik membunuh seribu orang tak bersalah, ketimbang meloloskan s a t u orang komunis'.

* * *

Tibalah kini pada makalah yang ditulis sendiri oleh sejarawan muda kita Bonnie Triyana, mengenai kasus pembunuhan Purwodadi. Silakan baca sendiri:

Padamnya Lentera Merah
----------------------
Oleh: Bonnie Triyana.

Sejarawan pada Yayasan Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah.
Menulis skripsi tentang pembunuhan massal di Purwodadi 1965 – 1969.

PRESIDEN Soekarno melalui pidato-pidatonya pada kurun 1965-1967 telah menegaskan adanya pembunuhan massal, tapi tak banyak media yang memberitakan hal itu karena kontrol ketat Angkatan Darat terhadap pemberitaan media massa.

Pada 1967 Soe Hok Gie melakukan serangkaian reportase tentang peristiwa tersebut, namun ia sendiri tak pernah memublikasikan hasil peliputannya.

Kebisuan baru terpecahkan ketika pada 26 Februari 1969 Harian KAMI yang dikelola aktivis angkatan ‘66 memuat berita berjudul ”Gelombang Pembantaian Selama 3 Bulan di Purwodadi.” Berita itu adalah laporan kunjungan aktivis kemanusiaan Haji Princen ke Purwodadi, Kabupaten Grobogan disertai dua wartawan De Haagsche Courant, Belanda, Henk Colb dan E. van Caspel.

Menyusul berita di Harian KAMI, koran Indonesia Raya dan Sinar Harapan juga menurunkan peristiwa Purwodadi sebagai berita yang dimuat berseri sejak tanggal 10 – 21 Maret 1969.

Ketika berada di Purwodadi ia menerima informasi dari pastor Purwodadi Romo Wignyosumarto tentang adanya pembunuhan besar-besaran di Kuwu, Kabupaten Grobogan. Romo Sumarto sendiri mendengar perihal itu dari Mamik, anggota Hanra yang mengaku telah membunuh 50 lebih anggota PKI di Kuwu.

Haji Princen lantas mengunjungi Kuwu dan berhasil menemukan bukti bahwa sekitar 860 orang telah tewas dibantai.

Tak lama setelah berita pembunuhan massal itu dimuat, pada 5 Maret 1969 anggota Kodim 0717/ Purwodadi langsung menangkap Mamik, sang informan dan setelah itu tak diketahui bagaimana nasibnya.

Dalam laporan Haji Princen terungkap juga bahwa Dandim 0717/ Purwodadi Letkol. Tedjo Suwarno punya peran penting dalam peristiwa tersebut. Pernyataan Tedjo Suwarno “lebih baik kalian (masyarakat) membersihkan (komunis) sendiri daripada saya yang membersihkannya” diperkirakan menjadi pendorong utama terjadinya kekerasan di Purwodadi.

Fakta menunjukkan masyarakat memang tidak melakukan apa yang dianjurkan Letkol. Tedjo Suwarno. Oleh karena itu operasi penumpasan PKI dilakukan sepenuhnya oleh tentara melalui Operasi Kikis I (4 Juli – Desember 1967) dan Kikis II (27 Juni – 7 Juli 1968).

Kasus Purwodadi itu jelas menjadi batu sandungan pertama bagi pemerintah Orde Baru semenjak Soeharto dilantik menjadi presiden menggantikan Bung Karno pada 27 Maret 1968.

Tak pelak banyak petinggi Angkatan Darat waktu itu, seperti Panglima AD Jend. M. Panggaben dan Pangdam Diponegoro Mayjen. Surono berlomba-lomba menyatakan bantahannya.

Kasus Purwodadi ini menjadi menarik karena tidak hanya menjadi isu nasional, tapi juga internasional.

Henk Colb dan E. van Caspel yang mengikuti kunjungan Haji Princen menuliskan apa yang terjadi di Purwodadi di Haagsche Courant yang terbit di Den Haag, Belanda.

Tulisan tentang peristiwa Purwodadi di Haagsche Courant itu kemudian mengundang reaksi keras sekelompok mahasiswa Belanda yang ditumpahkan kepada Menteri Keuangan RI Drs. Frans Seda saat datang memberi ceramah dalam rangka lustrum pada tanggal 17 April 1969 di Universitas Katolik Nijmegen. Y van Herte salah seorang dari mahasiswa meneriaki Frans Seda sebagai “pembunuh dan pengecut.” Akhirnya ceramah lustrum itu dibatalkan dan Seda keluar aula tanpa diberi kesempatan menyelesaikan ceramahnya.

Tak hanya mahasiswa Belanda yang melancarkan kritik sengit, para Indonesianis terkemuka seperti Prof. J.M. Pluvier dan Prof. W.F. Wertheim atas nama Het Comite Indonesie (Komite Indonesia) juga menyiarkan kritik melalui “surat terbuka” yang dimuat surat kabar Trouw edisi 19 April 1969.

Dalam kesempatan wawancara di sebuah stasiun televisi Belanda Prof. W.F. Wertheim menyatakan “tidak ada kerjasama dengan rezim yang membiarkan pembunuhan massal terhadap 80 hingga 100 ribu orang tahanan politik.” Kritik pedas itulah yang menyebabkannya dilarang mengunjungi Indonesia selama bertahun-tahun.

Seperti halnya di Belanda, pers Thailand juga menaruh perhatian terhadap peristiwa Purwodadi dengan memuat berita ini sebagai headline. Akibatnya KBRI di Bangkok menjadi sasaran protes berbagai kalangan masyarakat Thailand (Warta Harian, 15 Maret 1969)

Terungkapnya peristiwa Purwodadi itu memiliki dampak yang tak diduga-duga oleh pemerintah Indonesia. Walhasil kunjungan Presiden Soeharto ke pelbagai negara di Eropa yang semula dijadwalkan pada medio April 1969 diundur menjadi awal tahun 1970.

Untuk menuntaskan permasalahan ini pemerintah membahas khusus perihal Purwodadi dalam sidang paripurna kabinet tanggal 20 Maret 1969. Seusai sidang Menteri Penerangan Ali Budiardjo didampingi Asisten Intelijen I Pangad Mayjen. Sutopo Juwono mengumumkan kesimpulan pemerintah bahwa keterangan Haji Princen tentang Purwodadi ada hubungannya dengan sisa-sisa PKI baik di dalam maupun di luar negeri sehingga tidak perlu dipercayai.

Pada akhirnya pengungkapan peristiwa pembunuhan massal pertama di era awal berdirinya Orde Baru itu tenggelam bak ditelan bumi. Dan pembunuhan massal itu tetaplah menjadi memori yang terpendam, baik di dalam ingatan korban dan keluarganya. (BERSAMBUNG)

* * *

No comments: