Monday, April 2, 2007

Kolom IBRAHIM ISA -- DEMOKRASI --- KRITIK DAN KONTRA-KRITIK

Kolom IBRAHIM ISA

Jum'at, 19 Januari 2007


DEMOKRASI --- KRITIK DAN KONTRA-KRITIK

<>

Belakangan ini media kita ramai memberitakan dan mengomentari kritik dan kontra-kritik antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono versus mantan Presiden, Ketua Umum PDI-P, Megawati Sukarnoputri. Di satu segi, ramé-ramé kritik-kontra-kritik itu ada baiknya! Pertama-tama tentunya manfaaat yang bisa ditarik dari substansi kritik dan kontra-kritik itu sendiri, yang disinggung secara umum kali ini.


Yang hendak difokuskan disini ialah segi lainnya. Yaitu segi praktek berdemokrasi. Kita bisa menarik pelajaran bagaimana 'kebebasan menyatakan pendapat' ditrapkan di kalangan elite politik Indonesia. Yang menunjukkan bahwa, meskipun formalnya beliau-beliau itu berasumsi sebagai penganut dan pembela demokrasi, tetapi di dalam praktek, bila dirinya sendiri yang jadi sasaran kritik, betapapun, terkesan yang bersangkutan sedikit 'tersinggung' atau merasa 'risih' menerima kritik tsb.


'Risih' bila pelaksanaan salah satu prinsip demokrasi, yaitu kritik, itu ditujukan terhadap dirinya sendiri. Terdengarlah celetukan, seperti : 'hendaknya perbedaan pendapat itu ditangani secara baik-baik'. Terkadang dipertanyakan, bukankah kita ini, sebagai bangsa Timur, yang punya tradisi dan kulturnya sendiri, tidakkah sebaiknya mencari solusi lewat 'musyawarah dan mufakat'?. Lewat konsensus? Bisa jadi, saran tsb punya maksud baik. Tetapi, kita punya pengalaman yang jelék sekali dari praktek otoriter rezim Orba. Yang dikatakan tradisi dan kultur 'musyawarah dan mukafat' ternyata kata-akhir, yaitu yang mengambil keputusan yang mengikat semua, yang menentukan, adalah 'bapak-bapak pemimpin ' sebagai 'sesepuh' yang sejak semula telah memberikan 'pengarahan'. Yaitu Bapak Presiden Jendral Suharto! Bukankah itu kultur politik Orba yang njelimet untuk, dengan selubung 'musyawarah dan mufakat', memelintir hak untuk 'dengan bebas menyatakan pendapat', menindas hak mayoritas warganegara mengambil keputusan lewat cara demokratis. Pada akhirnya Pak Hartolah, yang dengan cara otoriter menentukan segala-galanya.


* * *.


Ketika Megawati menduduki jabatan Presiden RI, tidak sekali dua orang melihat betapa beliau kurang réla bila dikritik. Maka digunakanlah kata 'hujatan' bila ada yang mengeritiknya. Bisa dipastikan bahwa baik SBY maupun Mega menganut prinsip DEMOKRASI. Bukankah partai mereka masing-masing menyandang nama DEMOKRASI? Yang satu menggunakan nama Partai D e m o k r a s i Indonesia Perjuangan (PDI-P), yang satunya lagi bernama Partai D e m o k r a t . Masing-masing mereka itu adalah pimpinan partai yang punya program DEMOKRASI. Dengan demikian masing-masing menyatakan diri sebagai DEMOKRAT.


Kali ini bisa disaksikan betapa SBY merasa 'risih' dan 'tidak rela' ketika dari jurusan PDI-P, dari ketuanya sendiri, Megawati, meluncur kritik-kritik tajam terhadap beleid SBY dan pemerintahannya.( 'Jangan hanya menebar pesona, kata Mega, tetapi menebar karya'). Tak lama kemudian SBY melakukan 'serangan balas'. Kira-kira begini kata SBY: Kalian jangan hanya bisa ngomong saja, (dong) dan kemudian berpangku tangan. Yang penting bekerja untuk rakyat (seperti saya ini, kata SBY). Kira-kira begitu maksudnya.


Sesungguhnya, yang melancarkan kritik ke arah pemerintah, bukan hanya Mega. Yang sudah sejak semula memang mengumumkan bahwa PDI-P akan mengambil posisi sebagai partai oposisi. Jadi, apa yang dilakukan Mega adalah normal dan wajar dalam suatu masyarakat demokratis. Juga pers dan parpol lainnya menggunakan hak fundamental untuk menyatakan fikiran dengan bebas, untuk mengeritik yang berkuasa.


Baca saja surat-kabar, atau dengarlah radio ( sebaiknya yang swasta) yang begitu banyak jumlahnya. Tidak sehari lewat tanpa ada kritik terhadap pemerintah, terhadap penguasa, polisi, tentara, Pengadilan, terhadap SBY, terhadap Wapres Jusuf Kala. Apakah itu datangnya dari media, ornop, parpol maupun LSM. Apa itu menyangkut soal ekonomi, atau masalah perusahaan-perusahaan asing yang semakin leluasa mengeduk kekayaan bumi dan alam kita, serta menikmati upah kerja buruh yang murah di Indonesia sekarang ini. Atau kritik itu mengenai ketentuan-ketentuan IMF, Bank Dunia yang dengan patuh dilaksakankan di negeri merdeka ini, dsb. Sehingga menjadikan negeri tecinta ini betul-betul tergantung pada asing. Di tambah lagi kritik-kritik terhadap penanganan kasus-kasus korupsi yang dinyatakan tidak seperti yang diharapkan; serta kritik-kritik terhadap pengurusan kasus pembunuhan terhadap pejuang HAM, Munir.


Sumber kritik-kritik itu adalah situasi peri kehidupan bangsa yang tidak tampak ada perubahan apalagi kemajuan. Kritik-kritik itu berasal dari situasi rakyat terbanyak yang sudah bertahun-tahun lamanya hidup dalam kemiskinan dan kesulitan. Tidak tahu lagi, apakah hari esok makan apa, apakah bulan depan akan dapat perkerjaan, apakah bisa memperbahrui kontrak rumah, apakah akan bisa membayar uang sekolah anaknya yang terus meningkat. Kalau jatuh sakit apakah rumahsakit mau meng-opnamenya. Pokoknya kritik-kritik itu mencerminkan situasi bahwa rakyat tidak atau belum melihat akan ada perubahan bagi nasib buruknya.


Belum lagi kritik-kritik yang menyangkut (tidak ditanganinya oleh pemerintah) masalah yang paling fundamental yaitu kasus pelanggaran HAM terbesar di negeri kita. Kasus pembantaian sekitar tiga juta warganegara yang tidak bersalah, yang menyangkut para korban Peristiwa 1965. Lalu kritik-kritik mendasar lainnya mengenai penanganan pemeritnah terhadap masalah R e k o n -s i l i a s i N a s i o n a l , yang banyak diomongkan tetapi akhirnya tak ada yang dikerjakan. Undang-undangnya yang bersangkutan, UU KKR, belum lagi dilaksanakan sudah dibatalkan. Sehingga orang tak tahu lagi di mana ujung pangkalnya masalah penanganan Rekonsiliasi Nasional.


Semua itu menunjukkan masih belum adanya kesadaran hukum bahwa Rekonsiliasi Nasional yang diharapkan itu tak akan bisa tercapai, tanpa diungkapkannya pelanggaran HAM terbesar di negeri kita, yang menyangkut Peristiwa 1965.


* * *


Salah seorang aktivis politik yang termasuk tokoh periode Reformasi, yaitu Bintang Pamungkas, bahkan menggelar demo di depan bundaran HI, dengan membawa slogan-slogan yang menuntut agar SBY/J.Kalla supaya m u n d u r . Tokoh lainnya pada periode peristiwa 'Malari', Hariman Siregar, idem dito (menuntut 'cabut mandat' SBY dan JK). Vokal dan jelas sekali. Adalah wajar bahwa yang memerintah, yang berkuasa, menjadi sasaran kritik masyarakat umum dan para parpol.


Kiranya keliru dan salah kaprah, bila begitu dikritik, lalu membentak. Ditambah lagi dengan menghardik, dengan mengatakan bahwa jika mengkritik harus 'membangun', harus 'opbouwend', konstruktif, dsb. Yang tidak jarang berreaksi demikian itu adalah Wapres. Pokoknya tidak tahan kritik. Padahal sebagai penguasa, yang lewat pemilu telah diberi kepercayaan oleh pemilih untuk mengurus negara, seharusnya rela dan terbuka, memberlakukan transparansi, berterima kasih jika masyarakat dengan sungguh-sungguh mengeritik, betapapun kerasnya kritik itu. Karena kritik itu adalah salah satu cara penting untuk mengontrol pemerintah, serta pula merupakan hak fundamental warganegara yang dijamin oleh UUD. Juga bisa membantu pemerintah melihat kekurangan atau kesalahannya, dan yang terpenting mengkoreksinya.


* * *


Salah seorang negarawan Tiongkok yang terkemuka abad lalu, Mao Cetung, pernah mengatakan (tidak persis tetapi kira-kira sbb): Bila mengeritik orang (lain) perhatikan caranya, supaya kritik itu efektif. Tetapi, bila dikritik orang, jangan pertama-tama melihat cara orang itu mengeritik, tetapi ambillah inti sarinya. Ambil positifnya. Mao Cetung juga pernah mengatakan: Dulu ketika Kuo Mintang, partainya Chiang Kaishek, berkuasa, kita orang-orang Komunis adalah pengeritik Kuo Mintang. Menyoroti segi-segi gelap penguasa KMT ketika itu. Sekarang kita sendiri (orang-orang Komunis) sudah berkuasa. Maka siapa yang akan menyoroti segi-segi gelap kita, yang akan mengeritik kita. Sungguh suatu pemikiran yang bijaksana. Mao juga pernah mengatakan 'biarlah seratus bunga mekar bersama . . . .'. Maksud Mao, sebagai penguasa harus mentolerir pendapat yang berbeda , bahkan yang menentang dan yang beraneka-ragam itu. Mari ikuti lagi bagaimana Mao (ketika itu) menyarankan bagaimana seharusnya bersikap terhadap kritik. Kata Mao: YANG BICARA HARUS BIJAKSANA, YANG MENDENGAR PATUT WASPADA!


Tapi sayang, dalam praktek Mao sendiri, terutama, pada periode-akhir kariernya menjadi sangat otoriter, sangat tidak demokratis. Mao membelakangi kata-kata bijaksananya sendiri. Ia mau menang sendiri. Teristimewa terhadap kawan-kawan seperjuangannya sendiri. Ia tidak bisa lagi mendengar pendapat yang berbeda apalagi yang menentangnya. Yang berbeda pendapat dengan dia disingkirkan. Bagaimana nasib pengeritik Mao itu bisa diperkirakan.


* * *


Kita juga bisa menarik pelajaran dari segi-segi positif ucapan Ratu Belanda, Beatrix. Seorang feodal yang juga menyetujui faham Demokrasi. Pada pesan Hari Natal yl Ratu Beatrix menyatakan a.l bahwa, pada setiap dasar prinsip Demokrasi, adalah hak untuk dengan 'bebas menyatakan pendapat'. 'Kebebasan menyatakan pendapat' selalu jadi sesuatu yang terus-menerus diperjuangankan. Namun, kata Beatrix lagi, kebebasan menyatakan pendapat itu tidak saja dibatasi oleh undang-undang, tetapi juga oleh norma-norma dam moral serta oleh kebudayaan. Di sini Ratu Beatrix hendak menjelaskan bahwa kebebasan menyatakan pendapat itu tidak absolut, ada batasan-batasannya. Ini pendapat Beatrix. Ya, orang bisa setuju, bisa menolak pendapat Beatrix ini.


Pengertian umum tentang prinsip demokrasi beraneka ragam. Ada yang bilang: pokoknya separuh tambah satu, mereka itulah yang harus dituruti, itu demokrasi. Lainnya menandaskan bahwa hendak tahu tentang arti kata demokrasi, baik telaah sejarahnya. Kata DEMOKRASI itu berasal dari bahasa Junani. Kesatuan dari dua kata. Yaitu kata 'demos', artinya rakyat; dan kata 'kratos', artinya memerintah atau pemerintahan. Jadi kata DEMOKRASI , menurut asal usulnya maksudnya adalah suatu bentuk pemerintahan, dimana rakyat yang berkuasa. Sebagai lawan dari OLIGARKI atau ARISTOKRASI , atau TIRANI, OTOKRASI atau MONARKI, yaitu pemerintahan, dimana satu orang saja yang kuasa atau yang paling kuasa. Sistim pemerintahan yang belakangan ini kita pernah alami mulai 1966 ketika Orba mulai tegak dan Jendral Suharto menjadi penguasa tunggal yang lalim sekaligus.

.

Hubungannya dengan kehendak rakyat terbanyak yang harus dituruti itu, pepatah kuno dalam bahasa Latin yang pertama-tama diungkapkan oleh W. Malmusbury dalam abad ke-12, amat populer menyatakan: 'VOX POPULI VOS DEI'. Begitu pentinganya posisi dan arti rakyat, sehingga dikatakan bahwa SUARA RAKYAT adalah SUARA TUHAN.


Meskipun begitu tinggi kedudukan rakyat yang diberikan sejak zaman dulu, namun, yang dimaksudkan dengan rakyat , terdapat pembatasan-pembatasan yang amat jauh. Juga mengenai pengertian siapa itu rakyat, ada pelbagai tasiran sendiri. Yang dimaksud dengan rakyat pada zaman Junani kuno itu, ialah warga (negara)kota Junani yg bersangkutan. Jelas, ----- yang statusnya

b u d a k , yang gendernya adalah p e r e m p u a n , yang statusnya adalah penduduk a s a l

l u a r yang bukan pendudukan 'asli', ---- nah, mereka-mereka itu semua tak termasuk rakyat. Jadi tidak termasuk yang bisa menikmati prinsip demokrasi itu.


* * *


Juga dewasa ini begitu pula adanya di negeri kita. Ada UUD-RI yang sudah beberapa kali diamandir. Di dalam UUD RI itu, ditegaskan prinsip demokrasi dan HAM. Tetapi dalam praktek hak-hak warganegara yang fundamntal itu, masih saja dilanggar, ada diskriminasi, hal mana sampai sekarang terus ditolerir. Nyatanya, sekitar 20 juta eks tapol dan keluarganya, yang tergolong 'orang bermasalah', yang tanpa proses pengadilan dicap sebagai 'terlibat' atau 'berindikasi' itu, haknya tak sama dengan warganegara 'biasa'. Ada pembatasan-pembatasan yang sangat tidak adil. Ketentuan, aturan, kebijaksanaan pemerintah Orba yang mendiskriminasi para korban Peristiwa 1965, masih belum dicabut. Kasus paspor warganegara yang dengan sewenang-wenang dicabut oleh Orba, itupun sampai sekarang belum dikkoreksi.


Cobalah diperiksa kembali kejadian-kejadian dan kasus-kasus pembatasan hak-hak demokrasi di masa lalu. Ambil contoh ini: Begitu warganegara yang eks-PKI, atau ada hubungan keluarga dengan PKI, yang samasekali tidak pernah melanggar hukum, bila warga itu ketahuan terpilih jadi caleg, atau jadi calon lurah, camat, atau bupati, pasti segera akan digoyang, dilorot dan dionclang. Semua itu didasarkan pada suatu yang 'legitim', yaitu ketetapan MPRS Orba yang bertentangan dengan UUD dan HAM, yaitu TAP MPRS No XXV, Th 1966, yang melarang ideologi Marxisme, Leninisme dan Komunisme.


* * *


Lalu apa yang hendak dikatakan terhadap para elite yang berkuasa atau ikut berkuasa atau pernah berkuasa, yang tak tahan kritik, yang begitu dikritik menjadi 'tersinggung'. Kemudian melakukan 'serangan balas'. Barangkali berikut ini saran yang perlu mereka pertimbangkan:


Wahai pemerintah, pejabat dan elite yang punya posisi kekuasaan!:

Bergembiralah kalian bahwa masyarakat, 'orang luar', wong cilik, mau bersusah-payah mengontrol apa yang kalian lakukan dan kerjakan sebagai pemerintah. Karena kalian adalah yang oleh pemilih ditentukan untuk mengurus negara dan hidup atas biaya asal pajak rakyat dan kekayaan negeri.


Terimalah kritik-kritik masyarakat dengan lega, rasa senang dan rendah hati. Setiap kritik terhadap penguasa adalah baik, karena hal itu merupakan salah satu bagian yang penting dari kehidupan demokratis dan transparansi. * * *

No comments: