Monday, April 2, 2007

IBRAHIM ISA - BERITA HAM VOICE OF AMERICA SEHUBUNGAN HAM DI INDONESIA.

IBRAHIM ISA
Komentar Pendek
Minggu, 10 Desember 2006

BERITA HAM VOICE OF AMERICA SEHUBUNGAN HAM DI INDONESIA.

Sabtu sore kemarin, ketika membuka computerku dan meng-klik VOA, yang dikirimkan oleh
mungkin Sdr Sitepu daRi VOA, terbaca berita VOA di bawah ini: Mahkamah Konstitusi Indonesia Batalkan UU Penting Soal Pelanggaran HAM. Aku tergugah untuk memberikan sedikit komentar. Bukan terhadap topik berita itu, bukan mengenai dibatalkannya UU KKR oleh Mahkamah Konstitusi, tetapi mengenai 'politik' pemberitaan VOA itu. Jadi yang kumentari ini adalah VOA.

Amerika, negerinya maupun orang-orang Amerika bukan sesuatu yang asing atau baru kukenal belakangan ini saja. Amerika kukenal sejak aku bersekolah di Taman Dewasa Raya di Jalan Garuda , Kemaryoran, Jakarta. Pembaca yang pernah belajar di Taman Siswa, pasti ingat pada Pak Said, kepala sekolah Taman Siswa pada tahun-tahun sekitar sembilanbelas limapuluhan. Agak jauh aku ke belakang. Karena melalui Pak Said inilah aku mulai dengar tentang saling hubungan Indonesia dengan Amerika. Begini ceriteranya.

Beberapa tahun setelah menyelesaikan studiku Taman Dewasa Raya, aku mengajar di Perguruan Kris, di suatu jalan di Menteng yang bernama Jalan Asambaru No. 26. Sekarang bernama Jalan Dr. Sam Ratulangi. Seorang wanita Manado yang berkulit kuning langsat dan cantik, simpatisan KRIS, menanyakan kepadaku apakah aku mau membantu seorang Inggris, namanya Bob Daubeney, yang indkos dirumahnya, belajar bahasa Indonesia. Aku mau. Bob orang Inggris tsb dekat dengan kami, karena ia memberikan pelajaran bahasa Inggris di SMP/SMA Perguruan KRIS.

Suatu ketika aku mengajak Bob Daubeney berkenalan dengan Pak Said di Jalan Garuda. Pak Said sebagai kepala sekolah berdomisili di situ. Kami cakap-cakap tentang macam-macam soal. Ketika sampai ke soal politik, Pak Said menjatakan pendapatnya terhadap status politik RIS (Republik Indonesia Serikat). Ketika itu negara Indonesia adalah Republik Indonesia Serikat. Pak Said mengambil sebuah pinsil menuliskn nama RIS, huruf S-nya diberi a garis lurus ke bawah, sehingga menjadi $. Dengan demikian dibacanya menjadi Republik Indonesia DOLLAR. Ini cara Pak Said menjelaskan bahwa Indonesia ketika itu sudah berada di bawah Amerika Serikat. Pak Said ketika itu kritis sekali terhadap Amerika Serikat. Mungkin karena peranan tentara Amerika di Korea.

Aku hanya ingin menjelaskan bahwa tentang Amerika yang diintroduksikan oleh Pak Said kepadaku, adalah Amerika yang 'kayak gitu'. Yang tidak disukainya, karena politik Amerika ketika itu. Yang di mana-mana bikin pangkalan militer dan mendominasi banyak negeri Asia.

Tidak lama kemudian sekolah kami, Perguruan KRIS, beruntung dapat bantuan beberapa orang Amerika, temannya Jane Waworuntu, yang juga memberikan pelajaran bahasa Inggris di sekolah kami. Sekolah kami menerima tawaran Jane, karena kami ingin murid-murid kami bisa mendengar sendiri bagaimana bahasa Inggris itu yang diucapkan oleh bangsa yang lingguafranca-nya adalah bahasa Inggris.

Nah, teman-teman baru kami, orang-orang Amerika ini, adalah orang-orang dari Kedutaan AS di Jakarta. Dua orang diantaranya, aku ingat namanya Jack Zeller dan Miss Okerberg, minta padaku untuk memberikan pelajaran bahasa Indonesia kepada mereka. Jadilah aku guru bahasa Indonresia mereka untuk dua tahun lamanya.

Kakakku Zubaidah Isa, bekerja di USIS, United States Information Service, di Jalan Merdeka Selatan. Bukunya sadabrek. Karena kakakku bekerja di situ, aku sering datang kesitu minjam buku.
Aku senang membaca ceritera-ceritera Perang Pasifik.

Yang kuceriterakan ini sekadar untuk menyampaikan bahwa aku mengenal orang-orang Amerika sejak aku mengajar di Perguruan KRIS.

Mahkamah Konstitusi Indonesia Batalkan UU Penting Soal Pelanggaran HAM


08/12/2006


Mahkamah Konstitusi Indonesia telah membatalkan Undang-Undang Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sedianya untuk membentuk komisi khusus yang akan menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia lebih dari 40 tahun yang lalu. Sebelumnya tahun ini, para aktivis HAM mempertanyakan tiga ketetapan undang-undang itu yang mereka katakan terlalu kabur dan membuka terlalu banyak pintu bagi mereka yang tangannya bergelimang darah untuk mendapat amnesti.
Namun, bukannya memusatkan perhatian pada tiga ketetapan itu, satu dewan hakim malah membatalkan seluruh undang-undang tersebut. Undang-undang itu dimaksudkan untuk menyeret ke pengadilan mereka yang bertanggungjawab melakukan pelanggaran di bawah mantan diktator Indonesia Suharto, dan mereka yang bertanggungjawab atas pembantaian setengah juta orang yang dicurigai sebagai komunis tahun 1965.
Komisi khusus yang sedianya akan menyelidiki pelanggaran itu sejak lama ditentang oleh sejumlah kelompok muslim konservatif dan para pejabat tinggi militer, yang khawatir mereka mungkin dituduh terlibat.
* * *

No comments: