Monday, April 2, 2007

Kolom IBRAHIM ISA - 'KENANGAN' ROSIHAN Yang 'TIMPANG'

Kolom IBRAHIM ISA
---------------------------
Kemis, 28 Desember 2006.

'KENANGAN' ROSIHAN Yang 'TIMPANG'



Tulisan Rosihan Anwar, yang disebut atau menyebut diri, 'wartawan senior', tentang Penyerahan Kedaulatan 27-12-1949 (Kompas, 27 Des 2006. Lihat Lampiran), suatu peristiwa yang digambarkannya sebagai suatu peristiwa penting, -- namun, begitu dibaca terasa 'timpang'. Artinya 'miring'. Ada kekurangannya. Dan kekurangan itu cukup gawat, karena justru ditulis oleh seorang 'wartawan senior', yang juga dianggap sesepuh. Sayang, sesunguhnya tulisan Rosihan Anwar itu, bisa jadi bunga rampai dalam rentetan tulisan-tulisan sekitar hari-hari 'penyerahan kedaulatan' oleh Belanda kepada pemerintah RIS - Republik Indonesia Serikat. Kiranya tulisan Rosihan itu akan jadi seimbang, bila sedikit saja ada disebut tentang betapa berat dan tidak sederajatnya persetujuan dua negeri. Atau mungkin, ketimpangan ini disebabkan karena yang satu fihak adalah negara kolonial dan satunya adalah 'koloni', maka persetujuan KMB itu menjadi suatu persetujuan internasional yang termasuk sangat menguntungkan satu fihak (Belanda) dan merugikan fihak satunya (Indonesia.)

Asal saja Rosihan Anwar sedikit saja menyinggung fasal-fasal Peretujuan Konferensi Meja Bundar Dehn Haag tsb, maka segera akan memasuki intisarinya. Akan terungkap betapa beratnya syarat-syarat yang ditetapkan dalam Persetujuan Konferensi Meja Bundar-Den Haag (1949), yang harus dipenuhi oleh fihak Indonesia. Ada yang mengatakan bahwa memang tidak bisa lain, begitu jadinya karena Persetujuan KMB itu dikatakan sebagai 'imbalan' terhadap 'goodwill' fihak Belanda . Bukankah dengan Persetujuan KMB itu akhirnya fihak Belanda 'menyerahkan kedaultan' kepada Indonesia, mengakhiri masa kolonialisme (kan baik – ya tokh?) .

Dimasuki sedikit saja Persetujuan KMB itu, terungkaplah bahwa fihak Indonesia dalam hal ini telah melakukan kompromi besar dan konsesi yang berat sekali. Begitu banyak syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh fihak Indonesia. Mulai dari masalah bentuk kenegaraan: harus bentuk federasi, RIS; finansiil (harus bayar kembali utang Hindia Belanda kepada Den Haag); ekonomi (harus mengembalikan semua perusahaan dan 'aset' Belanda kepada Den Haag); sampai ke masalah militer (KNIL harus diintetrasikan kedalam Angkatan Perang RIS) dan adanya Misi Militer Belanda di Indonesia). Itu sedikit saja menyebut fasal-fasal yang menonjol merugikan kita.

* * *

Bagaimana mungkin Rosihan Anwar yang dirinya pribadi meliput proses Persetujuan KMB itu sampai upacara 'penyerahan kedaultan' di Istana De Dam, Amsterdam, kok dalam menulis suatu peristiwa yang pasti dia sendiri menganggapnya penting itu, bisa-bisanya samasekali tidak menyebut apa isi Persetujuan KMB yang merugikan Indonesia. Tetapi itulah yang terjadi, Rosihan membiarkan berlalu segi-segi negatif Persetujuan KMB itu. Entahlah barangkali dia pernah menulis hal itu sesudah 1949. Kalau ada tulisan Rosihan yang menganalisis segi-segi negatif Persetujuan KMB di dalam surat kabar Pedoman yang ia pimpin sendiri dalam periode itu, tentu itu baik.

* * *

Akibat dari begitu banyaknya fasal-fasal yang merugikan bagi Indonesia, maka tidak lama kemu-dian , - - - - salah satu dari fasalnya yang terpenting, ialah mengenai syarat bahwa sifat negara Indonesia harus federal, dimana tercakup didalamnya 'negara-negara bagian' bikinan Belanda , -- pemerintah Indonesia yang mencerminkan kehendak rakyat telah membatalkannya. Demikianlah, Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan dan negara Indonesia kembali menjadi bentuk negara REPUBLK INDONESIA, sesuai Proklamasi 17 Agustus 1945. Hidup rakyat Indonesia!

Beberapa waktu kemudian salah satu syarat lainnya dari persetujuan KMB yaitu adanya MMB, Misi Militer Belanda, di Indonesia dituntut rakyat supaya diusir dari Indonesia. Karena dianggap sebagai salah satu sumber subversi Belanda terhadap Indonesia. Juga 'Uni Indonesia Belanda', yang dikepalai oleh Mahkota Kerajaan Belanda, digugat rakyat dan dituntut agar dibubarkan. Karena Uni Indonesia-Belanda itu atasannya adalah Mahkota Kerajaan Belanda. Hal mana dianggap oleh rakyat kita sebagai perlambang bahwa Indonesia belum benar-benar lepas dari kolonialisme Belanda.

Yang terasa amat berat lagi, ialah keharusan Indonesia membayar utang Hindia Belanda kepada Den Haag. Yang termasuk utang yang harus dibayar Indonesia itu diantaranya yang paling berat, ialah keharusan Indonesia yang baru berdiri itu, membayar ongkos-ongkos perang Agresi Ke-I dan Ke-II Belanda terhadap Republik Indonesia. Suatu peperangan untuk menghancurkan Republik Indonesia.

Dan banyak lagi hal-hal yang timpang dalam fasal-fasal Persetujuan KMB.

Untuk lengkapnya bisa minta bahan-bahan dari Batara Hutagalung Ketua, Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)yang banyak menulis tentang masalah ini.

* * *

Tokh masih perlu disebut di sini satu lagi yang amat menonjol. Dimaksudkan di sini ialah, sesudah Indonesia menerima 'peneyerahan kedaulatan dari Belanda, namun Irian Barat (Papua), masih tetap dikuasai Belanda. Suatu kasus yang hampir saja mencetuskan perang baru lagi yang gawat di Pasifik Barat, antara kekuatan bersenjata Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda.

Berkat keteguhan tekad dan semangat juang rakyat Indonesia membebaskan Irian Barat dan mengembalikannya keharibaan Ibu Pertiwi, serta pula (ini perlu dicatat) campur tangan PBB khususnya turun tangannya Amerika Serikat yang memberikan tekanan berat kepada fihak Belanda untuk meyerahkan Irian Barat kepada RI, suatu politik AS demi kepentingan strategi Perang Dinginnya, akhirnyua Irian Barat kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

* * *

Itulah tadi sekadar komentar terhadap tulisan wartawan senior Rosihan Anwar yang berkenan mengingatkan pembacanya atas suatu peristiwa yang dianggapnya penting, yaitu 'Penyerahan Kedaulatan' atas Indonesia oleh Belanda kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, dimana Rosihan Anwar pribadi ada di situ sebagai wartawan peliput.

* * *

LAMPIRAN:

KOMPAS, Rabu, 27 Desember 2006
Penyerahan Kedaulatan 27-12-1949
H Rosihan Anwar

Musim dingin di Amsterdam. Pagi-pagi 27 Desember 1949, pakai mantel tebal, saya naik trem dari Valarius Straat menuju Paleis op de Dam, menyaksikan upacara penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, sesuai hasil Ronde Tafel Conferentie (RTC) atau Konferensi Meja Bundar di Den Haag (23 Agustus-2 November 1949).

Sebagai Pemimpin Redaksi Harian Pedoman, saya satu-satunya wartawan Indonesia yang hadir. Peliput Konferensi Meja Bundar (KMB) lainnya, seperti BM Diah, Adinegoro, Wonohito, Soekrisno, Soetarto, Pohan, Kwee Kek Beng, Mohammad Said, EU Pupella sudah kembali ke Tanah Air. Saya menunggu di Belanda karena akan menuju Amerika Serikat mengikuti pelajaran di Yale Drama Workshop sehingga diundang untuk menyaksikan peristiwa bersejarah itu.

Di depan Istana Dam, saya melihat sekumpulan orang Indonesia menanti kedatangan Wapres Mohammad Hatta. Saat itu Bung Hatta bermantel hitam dan blootshoofd (tanpa tutup kepala), memeriksa barisan kehormatan militer. Dengan langkah cepat dia masuk Istana, lalu mengambil tempat di Burgerzaal. Hadir Ratu Juliana, sebelah kiri duduk PM Belanda Willem Drees, sebelah kanan Wapres Hatta, Sultan Pontianak Alkadrie, Prof Dr Supomo. Lalu anggota Corps Diplomatique (CD), Menteri Van Maarseveen, Stikker, mantan PM Louis Beel, Dubes Van Royen, serta Kamerheren (pegawai tinggi Istana) dalam pakaian kebesaran warna-warni. Drees yang sosialis-demokrat yang dalam gerakan sosialis bertahun-tahun mendukung dan prokemerdekaan Indonesia sengaja mengundang tiga pengarang perempuan Henriette Roland Holst dan spesialis Hindia dari Fraksi Partai SDAP di Tweede Kamar Cramar dan Stokvis.

Upacara penyerahan

Hawa dalam ruangan terasa panas. Maklum, banyak orang tumplek di sana. Lantaran gerah, saya kurang konsentrasi menyimak pidato Ratu Juliana setelah ditandatanganinya teks bahasa Belanda dari dokumen penyerahan kedaulatan. Pidato Bung Hatta yang diucapkan dalam bahasa Indonesia juga tidak cermat saya ikuti. Teks pidato Bung Hatta yang ditulis tangan itu diserahkan kepada Drees keesokan malamnya dalam jamuan di Treveszaal yang diselenggarakan Pemerintah Belanda. Drees amat menghargakan pemberian Hatta itu sehingga copy pidato Hatta dimuat dalam bukunya, Zestig jaar levenservaring (60 Tahun Pengalaman Hidup).

Bagi Hatta, peristiwa 27 Desember 1949 itu amat besar maknanya. Beberapa tahun kemudian saya bertanya, apakah peristiwa paling penting dalam hidupnya, Bung Hatta menjawab, menandatangani teks Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan menandatangani akta penyerahan kedaulatan Belanda kepada Indonesia, 27 Desember 1949.

Saya catat, ada kejadian saat upacara berlangsung. Tiba-tiba terdengar bunyi gedebuk, orang jatuh. Seorang Kemerheer pingsan. Apakah lelaki pegawai Istana Ratu itu lemas karena terlalu lama berdiri, sakit, atau belum sarapan? Saya tidak tahu. Tetapi saya menganggapnya sebagai perlambang, jatuhnya kekuasaan sebuah imperium, tamatnya era kolonialisme Belanda.

Upacara di Paleis Dam disiarkan langsung melalui radio yang pada saat sama bisa didengarkan di Istana Rijswijk (Istana Negara) di Jakarta oleh hadirin yang menyaksikan upacara penyerahan kedaulatan dari Wakil Mahkota Agung Lovink kepada Sultan Hamengku Buwono IX. Presiden Soekarno sungkan menghadiri upacara di Jakarta itu dan tinggal di Yogya, menunggu triomfala intocht alias ketibaan berjaya di ibu kota RI.

Bertahun-tahun kemudian, Soebadio Sastrosatomo dari PSI (Partai Sosialis Indonesia) mengatakan, "dari perspektif mistik, yang terjadi di Jakarta adalah penyerahan kekuasaan atas Indonesia dari Belanda, bukan kepada Presiden Republik Indonesia (Soekarno), tetapi kepada Raja Jawa (HB IX)."

Juga di Jakarta, ada kejadian lain. Diplomat Belanda Van Beus dalam buku Morgen bij het aanbreken van de dag menulis, saat bendera Belanda Merah-Putih-Biru diturunkan, massa rakyat yang menyaksikan bersuit-suit disertai teriakan mencemooh, menimbulkan perasaan pilu pada orang-orang Belanda yang hadir. Sebaliknya, waktu bendera Indonesia Merah-Putih dikerek ke puncak tiang, rakyat bertepuk tangan diiringi sorak sorai. Ini simbol berakhirnya era kolonialisme.

Lagu kebangsaan

Saat keluar dari Paleis op de Dam saya dengar dari carillon sebuah gereja di dekatnya, pertama kali diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Saya pikir itu juga simbol tamatnya kolonialisme Belanda.

Pada 31 Desember 1949 malam, saya mengantar Bung Hatta, juga istri saya Siti Zuraida, yang hari itu akan pulang ke Tanah Air ke Bandara Schiphol. Setelah Bung Hatta bertolak, saya balik ke penginapan. Berjalan kaki sepanjang kali atau grachtan lewat tengah malam jelas berbeda dengan jalan kaki di Gunung Kendeng, 8 Juli 1949 malam, saat saya bersama Pak Harto menjemput Panglima Besar Sudirman dari daerah gerilya, agar kembali ke Yogya di mana Soekarno-Hatta telah tiba dari Bangka. Sudah tahun baru, pikir saya. Tanah Air saya sudah merdeka dan berdaulat, diakui dunia internasional.
H Rosihan Anwar Wartawan Senior

* * * * *

No comments: