Monday, April 2, 2007

Kolom IBRAHIM ISA - VONIS-MATI Thdp SADAM HUSSEIN

Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 13 November 2006

VONIS-MATI Thdp SADAM HUSSEIN Dan
Munafiknya Elite-Politik Dalam dan Luarnegeri
Vonis mati yang dijatuhkan oleh pengadilan Irak di bawah pendudukan AS/Inggris, terhadap Sadam Hussein, atas tuduhan melakukan kejahatan pembunuhan masal, menambah semarak pemberitaan media mancanegara mengenai masalah Irak.

Ada yang pro dan ada yang kontra terhadap vonis itu. Sebagian besar pendapat umum di Uni Eropah , pemerintah negara-negara anggota Uni Eropah sudah menghapuskan hukuman mati. Karena dianggap tidak manusiawi dan karena alasan-alasan lain. Juga media mancanegara , LSM internasional Amnesty International, tidak ketinggalan Paus di Vatikan, meski sependapat bahwa benar Sadam Hussein bertanggungjawab atas kejahatan kemanusiaan terhadap rakyatnya sendiri, namun menentang vonis hukuman mati. Hanya PM Belanda, Jan Peter Balkenende yang keseléo lidahnya, pernah menyatakan di muka pers, bahwa keputusan pengadilan Irak itu adil. Tetapi kemudian 'memodifikasi' pendapatnya itu, setelah parpol-parpol penting di Parlemen Belanda dan persnya mengeritik ucapan Balkenende yang dianggap 'bizare' (ganjil sekali) keluar dari seorang PM anggota Uni Eropah.

Di negeri kita, kalau tidak salah yang nyaring kedengaran mendukung keputusan pengadilan Irak menjatuhkan vonis mati terhadap Sadam Hussein, adalah Basyir, yang pernah dipenjarakan Indonesia, karena keterlibatannya dalam kegiatan terorisme di Indonesia.

* * *

MENENTANG HUKUMAN-MATI SEBAGAI PRINSIP
Opini umum di dunia ini terpecah dua pendapatnya terhadap hukuman mati. Lembaga-lembaga HAM internasional menentang hukuman mati sebagai suatu prinsip. Juga semua anggota Uni Eropah menentang hukuman mati atas dasar prinsip. Hukuman mati dianggap tidak menusiawi, bahkan biadab. Karena, betapapun, hukuman mati adalah suatu tindakan mencabut nyawa manusia, di luar kemauannya. Itu adalah suatu pembunuhan atas manusia. Tidak peduli apakah pembunuhan itu dilakukan oleh negara. Dinyatakan bahwa suatu vonis mati, bila kemudian ternyata vonis itu keliru, disebabkan oleh, misalnya kurangnya bukti, atau bukti-bukti yang diajukan ternyata palsu, atau karena dewan juri atau hakimnya, ternyata rasis atau didorong oleh motif poitik, maka kekeliruan itu tidak bisa lagi dikoreksi. Karena, yang divonis sudah dieksekusi, sudah mati. Juga dari segi prinsip berpendapat bahwa suatu hukuman seyogianya bersifat korektif, bukan sebagai tindakan balas-dendam. Artinya harus memberi kesempatan dan memberikan syarat kepada yang bersalah untuk mengkoreksi kesalahannya dalam proses menjalani hukuman. Kalau sudah dieksusi maka tidak ada lagi kesempatan atau kemungkinan untuk mengkoreksi kesalahannya.

Kaum politisi-elit umumnya, teristimewa dari jurusan Kanan, Konservatif, Fundamentalis, Ortodox, Ekstrim, atau apapun namanya, dalam sikapnya sering m u n a f i k . Menghadapi pelbagai soal kongkrit dan masalah hidup sehari-hari, apalagi kehidupan politik, sering-sering menggunakan dua macam ukuran atau standar yang saling bertentangan. Ini sejalan dengan sikapnya yang sering 'hipokrit'. Lebih sederhana untuk mengatakannya sebagai suatu sikap
p a l s u . Palsu, bila hal itu ditinjau secara prinsipil. Tetapi, bila diketahui latar belakang situasi kongkrit ketika sikap itu diambil, maka jelas bahwa sikap itu lebih banyak bertolak dari suatu prinsip yang lain. Suatu prinsip yang lebih tinggi bagi mereka. Yaitu prinsip 'kepentingan diri sendiri'.

Bicara tentang Sadam Hussein, pasti erat saling kaitannya dengan hal-hal yang bersangkutan dengan 'masalah Irak'. Baik diingat-ingat lagi, apa yang menjadi sebab-musabab perang Irak yang berlarut-larut semakin gawat seperti sekarang ini. Para pengamat mancanegara, termasuk pengamat Amerika sendiri, banyak yang menyatakan bahwa situasi Irak sekarang ini adalah 'on the brink of a full scale civil-war', berada di jurang perang saudara yang menyeluruh. Seratus ribu lebih rakyat Irak yang tak bersalah telah jadi korban. Dari fihak tentara penyerbu, tentara AS dan sekutunya, yang tewas melebihi 3.000 anggota tentara. Banyak yang jadi héran. Mengapa Irak sampai begini jadinya? Banyak juga yang mengomentari bahwa di periode Sadam Hussein, Irak lebih stabil dan lebih aman.

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dan komentar-komentar belum lagi terjawab dengan tuntas, tiba-tiba ramai pers mancanegara memberitakan bahwa pengadilan Irak telah memvonis mati Sadam Hussein, mantan Presiden Irak. Cepat sekali Washington berteriak : hura, hura! Bush sendiri tampil di layar TV. Dengan puas memaklumkan kegembiraannya dengan dijatuhkannya vonis-mati terhadap Sadam Hussein.

Mungkinkah Bush lupa bahwa Sadam Hussein yang diseret ke pengadilan di Bagdad dan divonis mati itu, adalah Sadam Hussein yang sama dengan Sadam Hussein yang disokong Amerika, ketika Sadam Hussein melancarkan perangnya terhadap Iran ( perang Iran-Irak berlangsung sampai 8 tahun lamanya) di bawah pemerintahan Khomeini. Bush juga pasti ingat, bahwa sehubungan dengan Osama bin Laden yang dikutuk, dikejar-kejar oleh Amerika sekarang ini, adalah Osama bin Laden yang sama itu juga yang didukung, dilatih, dibiayai dan dipersenjatai oleh CIA Amerika, ketika kekuatan Bin Laden bersama kaum Mujahidin Afghanistan, terlibat dalam peperangan gerilya melawan pendudukan tentara Sovyet di Afghanistan.

* * *
Penulis tidak begitu faham mengenai masalah hukum internasional. Tetapi kiranya pembaca sefaham dengan Penulis, bahwa, invasi militer Amerika Serikat tiga tahun yang lalu terhadap negara Irak yang merdeka dan berdaulat juga anggota PBB, adalah suatu tindak agresi. Menurut Presiden Bush, AS punya hak dan 'kewajiban' menyerbu Irak, karena negara itu merupakan bahaya terhadap keamanan dan perdamaian di Timur Tengah dan dunia. Oleh karena itu juga Irak merupakan bahaya terhadap AS. Ini disebabkan karena, katanya, Irak memiliki apa yang dikatakan 'weapons of mass destruction' , 'senjata pemusnah masal'. Katakanlah itu senjata kimia atau bakteri. Irak bahkan dibilang melindungi Osama bin Laden, dedengkotnya 'teroris' dunia yang dikatakan bertanggungjawab atas pembunuhan lebih dari 3000 orang Amerika dalam serangan terhadap Twin Towers di Manhattan, New York.

Setelah begitu banyak korban yang jatuh di kalangan rakyat Irak plus korban di kalangan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, apa jadinya Irak yang diduduki militer asing sekarang ini. Nyalakanlah radio bukalah layar TV, setiap hari ada berita pemboman di Bagdad dan kota-kota Irak lainnya. Setiap hari ada orang Irak yang terbunuh. Sebagian terbesar korban adalah rakyat, orang biasa, orangtua, perempuan dan anak-anak. Sesudah tiga tahun pendudukan militer asing keamanan dan ketenteraman rakyat Irak semakin parah adanya.


Tokh media pendukung Bush dan Tony Blair, menggembar-gemborkan bahwa hanya sesudah Irak 'dibebaskan' dari rezim Sadam Hussein, oleh AS, Inggris dan sekutu-sekutunya, maka rakyat Irak kembali punya hak untuk 'memilih' wakil-wakilnya di Parlemen dan pemerintahan sendiri. Dengan demikian adalah demi AS dan Inggris maka demokrasi bisa berlangsung di Irak.

Walhasil, pemilu berlangsung dan berdirilah pemerintahan Irak sebagai hasil proses 'demokrasi'. Setelah 'pembebasan' Irak, ternyata alasan utama dilakukannya serbuan militer asing, ialah asumsi dimilikinya senjata pemusnah masal oleh Saddam Hussein, --- samasekali tak ada. 'Senjata pemusnah masal' yang menjadi legalitas invasi militer, tidak bisa ditemukan. 'There is no smoking guns' kata para akhli mancanegara sesudah Irak sepenuhnya diduduki AS. Logisnya, otomatis alasan utama agresi AS/Inggris terhadap Irak, menjadi batal. Itu bila orang berfikir wajar dan jujur. Tapi tidak demikian AS dan sekutu-sekutunya. . . . . .

Wah, kata mereka, informasi yang kami dapati dari intel kami, ternyata keliru, salah. Meskipun demikian tindakan kami itu, betapapun ada baiknya. Karena, kata mereka, bukankah rezim diktator-militer Hussein yang kejam, penindas rakyat telah kami tumbangkan? Betul-betul suatu sikap politik yang tidak kepalang tanggung absurd. Pasti, orang bertanya-tanya, mengapa suatu rezim feodal yang otoriter dan anti demokratis, yang sampai sekarang masih membedakan hak-hak laki-laki dan perempuan, seperti rezim Saudi Arabia, atau rezim Sudan yang dibilang fundamentalis, . . . . . tidak ditumbangkan, dibebaskan, ditegakkan demokrasi di situ?

Mengapa pula rezim diktatur-militer Mianmar (Birma), yang puluhan tahun mempersekusi oposisi, memenjarakan kemudian mengenakan tahanan rumah terhadap, Srikandi Mianmar Aungsan Sukyi, pejuang demokrasi dan pernnah memenangkan pemilu di Birma, ------ mengapa rezim itu tidak ditumbangkan dengan kekerasan militer oleh AS dan sekutu-sekutunya? Mengapa AS dan Ingggris tidak ke Birma untuk menyebar demokrasi di negeri itu? Jangan lagi bicara rezim Orba yang anti-demokratis dan melanggar HAM. Bukankah masih segar dalam ingatan, bahwa Orba bisa berdiri dan berlnangsung sampai 30 tahun lebih, adalah berkat dukungan politik, ekonomi dan militer dari AS, Inggris dan negeri-negeri pro-demokrasi lainnya di Eropah?

Dengan sendirinya uaran AS dan Inggris bahwa mereka hendak membebaskan Irak dari rezim anti-demokratis, punya misi menegakkan demkorasi di Irak, adalah p a l s u . Semua itu tak lain tak bukan adalah kemunafikan elite politik yang setelanjang-telanjangnya!

* * *

KEMUNAFIKAN ELITE POLITIK ORBA DAN PENERUS-PENERUSNYA:
Pada periode rezim otoriter Orba di bawah Jendral Suharto, pemerintah Indonesia mendapat tekanan berat dan terus-menerus dari dunia internasional. Tekanan itu datang dari gerakan HAM mancanegara, seperti Amnesty International dan pelbagai Human Rights Watch dan tokoh-tokoh demokrasi dan HAM mancanegara, termasuk yang di Amerika, Inggris dan banyak negeri Barat. Semuanya mendesak Orba agar menghentikan pelanggaran berat HAM yang dimulai pada 'Peristiwa pembantaian 1965' . Agar Orba cepat membebaskan para tahanan politik yang dipenjarakan tanpa proses peradilan apapun.

Tekanan yang paling berat adalah yang datang dari pemerintah Amerika Serikat yang ketika itu dikepalai oleh Presiden Jimmy Carter (Partai Demokrat). Kita ingat: Carter menjadi Presiden AS dengan janji muluk akan menggalakkan pemberlakuan demokrasi dan Hak-Hak Azasi Manusia di dunia internasional. Memang benar, tidak semua orang atau politisi Amerika menganut politik imperialis. Tidak semua pendukung Partai Republik yang menganggap Amerika sebagai suatu 'super power' yang 'uber alles'. Tidak semua orang Amerika beranggapan bahwa AS punya misi sebagai penyebar demokrasi. Sekaligus jadi 'polisi dunia'. Tidak sedikit orang Amerika, termasuk para cendekiawannya yang yang menentang politik pemeritnah yang hendak 'merajai dunia'. Cukupan jumlahnya yang punya kepedulian serta sungguh-sungguh menghendaki diberlakukannya demokrasi dan HAM di Irak maupun di dunia. Dengan syarat bahwa pemberlakukan itu adalah atas hasil perjuangan bangsa-bangsa dan negeri-negeri yang bersangkutan.Kita mengenal nama-nama Indonesianis Amerika yang pro-Indonesia, seperti Ben Anderson, Daniel Lev dan banyak lainnya. Yang amat berkepedulian dengan nasib dan haridepan bangsa Indonesia.

Jimmy Carter terus mendesak Suharto untuk membebaskan tapol-tapol yang masih meringkuk di Pulau Buru dan pelbagai penjara Indonesia. AS menekan bahwa itu adalah syarat diteruskannya bantuan AS kepada pemerintah Indonesia. Orba sulit mencari alasan lain, untuk terus memenjarakan dan membuang puluhan ribu warga negara Indonesia yang tak bersalah ke Pulau Buru. Akhirnya rezim Suharto dengan terpaksa membebaskan para tapol yang tersebar di pelbagai penjara di seluruh Nusantara dan di Pulau Buru. Orba seolah-olah memperhatikan HAM, sesuai tuntutan Jimmy Carter. Karena Orba menyadari bahwa hidup matinya Orba tergantung pada pemerintah AS.

Bagaimana keadaan yang sesungguhnya dengan para korban 'Peristiwa 1965' itu? Betul, mereka bebas dari penjara dan bebas pula dari pembuangan Pulang Buru. Tetapi hakikatnya mereka 'dipenjarakan di luar penjara'. Karena, para korban politik Orba itu, sebelum 'dibebaskan' harus menandatangani pelbagai syarat, antara lain tidak boleh nanti belakang hari melakukan penggugatan atau menuntut ganti rugi, retribusi. Selain itu, para eks-tapol itu dikenakan wajib-lapor kepada aparat keamanan setempat. Di masyarakat para eks-tapol itu diawasi oleh aprat keamanan dan masyrakat sekitarnya. Menteri Dalam Negeri menurunkan peraturan yang dinamakan 'bersih lingkungan'. Para ekst-tapol tidak diperkenankan menjadi guru, pegawai negeri, aparat kemanan, dalang, dll. Juga tidak punya hak pilih dan hak dipilih. Mereka menjadi warganegara kelas kambing, menjadi klas 'pariah' di dalam masyrakat yang selalu mengawasinya. Mereka menjadi orang tahanan di luar penjara. Dan sampai sekarang masih begitu.

Kebijaksanaan rezim Orba itu, adalah suatu politik yang MUNAFIK, HIPOKRIT. Di bibir menyetujui 'dibebaskannya' para eks-tapol yang samasekali tidak bersalah itu. Tetapi dalam kenyataan menjadikan para eks-tapol itu 'tahanan di dalam masyarakat' . Ini berlangsung terus, sampai jatuhnya Presiden Suharto. Namun, peraturan dan ketentuan yang masih mediskriminasikan para eks-tapol itu masih saja diteruskan. Antara lain peraturan yang terkenal dengan politik 'bersih lingkungan' Menteri Luar Negeri Amir Mahmud di zaman Orba.


* * *

Mengenai masalah vonis-mati terhadap mantan Presiden Irak Sadam Hussein, bagaimana sikap pemerintah Indonesia? Apakah ada pernyataan setuju atau kontra yang jelas? Sayangnya sepanjang pengetahuan kita, tidak jelas, bagaimana sikap pemerintah SBY sekarang ini terhadap dijatuhinya hukuman mati terhadap Saddam Hussein.

Sikap demikian itu, dalam peristilahan sehari-hari dinamakan b a n c i . Bisa juga disebut hipokrit.


** * **

No comments: