Monday, April 2, 2007

Kolom IBRAHIM ISA - CARA BERFIKIR DAN LANGGAM DEMOKRATIS

Kolom IBRAHIM ISA
-----------------
23 Januari 2002.
(Apakabar, 23 Januari 2002)
CARA BERFIKIR DAN LANGGAM DEMOKRATIS


CARA BERIKIR DAN LANGGAM DEMOKRATIS
Minggu yang lalu Menteri Kwik Kian Gie tanpa segan-segan telah menyatakan keluar perbedaan pendapatnya dengan pemerintah. Kwik tidak setuju dengan ditambahnya waktu untuk PKPS Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham> para debitor Bank Beku Operasi (BBO), Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) dan Bank Take Over (BTO).

Kwik Kian Gie berbeda pendapat mengenai bagaimana bersikap terhadap para konglomerat yang sudah begitu lama menyedot kekayaan negara tanpa sedikitpun merasa berkewajiban untuk dengan sungguh-sungguh melunasi hutangnya. Menurut hemat saya sikap Kwik Kian Gie ini, adalah suatu langgam berfikir dan bertindak yang berani , dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Berbeda dengan sikap pemerintah, Kwik Kian Gie tidak setuju untuk meneruskan sikap yang ngemong terhadap konglomerat-konglomerat yang tidak
bertanggungjawab. Sikap Kwik Kian Gie ini senada dengan kecaman pengamat perbankan Pradjoto SH, yang menilai sikap pemerintah
itu sebagai bentuk ketidakadilan.

Yang lebih interesan lagi ialah bahwa Kwik Kian Gien sendiri yang mengungkapkan bahwa ada sementara menteri yang melarangnya untuk bicara keluar mengenai perbedaan pendapat itu. Larangan ini ditolak dengan tegas oleh Kwik Kian Gie. Sikap dan langgam Kwik Kian Gie tsb perlu disambut dan didorong terus. Sikap dan keberanian seperti itu akan membantu pemerintah untuk menyoroti kekurangannya sendiri, dan seyogianya juga mengkorekasi kesalahannya. Juga akan membantu partainya Kwik Kian Gie sendiri, bahkan akan membantu ketua umum partainya, Megawati Sukarnoputri, yang kebetulan sekarang ini jadi Presiden.

Sebelumnya sudah ada langgam demokratis seperti itu, yaitu ketika Amien Aryoso, anggota DPR, menyatakan ketidak setujuannya dengan niat pemerintah untuk mempertimbangkan atau merencanakan memberikan ABOLISI kepada SUHARTO. Orang tahu bahwa Amien Aryoso adalah anggota PDI-P dan pemerintah sekarang ini adalah pemerintah PDI-P dengan berkoalisi dengan parpol lainnya dan fihak militer.
Kebetulan Menteri Kwik Kian Gie juga anggota pimpinan PDI-P. Saya mencatat paling tidak ada dua tokoh PDI-P yang punya langgam demokratis. Semoga sikap demikian itu menjadi langgam dari pimpinan PDI-P dan para kadernya.

Boleh dikata tidak ada satu parpolpun yang tidak mencantumkan kata ‘demokrasi’ di dalam program partainya masing-masing. Tidak sedikit parpol bahkan negara-negara di dunia ini yang membubuhkan kata DEMOKRASI itu pada nama negaranya (misalnya Republik
Demokratik . . . . ) atau pada nama parpolnya (seperti Partai Demokratik . . . ) untuk memaklumkan kepada rakyat bahwa negara atau partai tsb adalah negara/partai yang demokratis dan memperjuangkan prinsip-prinsip demokrasi.

Sayangnya, kita juga menyaksikan betapa tidak sedikit negara, parpol atau organiasi masyarakat yang disibuki gejolak danguncangan, bahkan akhirnya sampai mengalami disintegrasi atau perpecahan, disebabkan oleh masalah pelaksanaan atau tidak-dilaksanaknnya demokrasi intern di dalam negara, parpol atau
organisasi yang bersangkutan. Mau memberlakukan prinsip demokrasi pada negeri, masyarakat dan nasion, tetapi di dalam dirinya sendiri, masih berlanggam otoriter, feodal atau asal bapak senang, belum mampu atau tidak mau melaksanakan prinsip demokrasi itu.
Bukankah ini berarti menghendaki bahwa prinsip itu hanya diberlakukan pada dan oleh fihak lain saja?

Tentu masalahnya akan lebih rumit dan lebih mendalam lagi bila diajukan pertanyaan pada masing-masing, apakah sebagai individu, sebagai anggota masyarakat, sebagai anggota atau pemimpin parpol, masing-masing sudah punya langgam dan cara berfikir yang demokratis, bertindak demokratis baik terhadap diri sendiri ataupun terhadap orang lain. Ambillah contoh yang paling sederhana saja, betapa prinsip demokratis itu belum atau tidak dilaksanakan oleh diri sendiri atau di dalam keluarga masing-masing. Jenguklah
sendiri keadaan keluarga masing-masing. Apakah sang kepala keluarga tidak bertindak otoriter terhadap anggota-anggota keluarganya? Apakah sang suami selama ini bertindak feodal dan machois terhadap istrinya?

Apakah seluruh keluarga (yang mampu dan berada) tidak bertindak feodal terhadap pembantu-pembantu rumah tangga, umpamanya dengan menyuruh pembantu-pembantu itu berjongkok ketika meletakkan minuman dan suguhan di atas meja, menyuruh mereka duduk dilantai andaikata sama-sama nonton TV. Atau dengan sengaja menolak untuk
mengatur jadwal kerja untk pemantu-pembantunya sehingga mereka itu harus bekerja terus menerus, setiap saat harus ‘standby’ mulai matanya melek sampai jam tidur tengah malam? (Intermezo: Makanya jangan heran kalau sesudah Lebaran pembantu-pembantu itu tidak kembali lagi, karena mereka mencari kesempatan kerja lain yang lebih cocok). Pertanyaan-pertanyaan tsb sebaiknya dijawab sendiri dengan sejujur-jujurnya.

Maka muncullah pertanyaan, tidakkah sebaiknya prinsip-prinsip demokrasi itu, langgam dan berfikir demokratis itu ditrapkan terlebih dahulu pada diri sendiri, pada barisannya sendiri, pada parpolnya atau organisasinya sendiri, atau paling tidak memulai
memberlakukannya pada diri sendiri sambil memperjuangkannya untuk seluruh nasion ini.

Bagaimana demokrasi diberlakukan di dalam praktek. Tuntutan politik yang termasuk agenda utama dari Gerakan Reformasi adalah HAK-HAK DEMOKRASI. Sesungguhnya bukan hanya di negeri kita tuntutan mengenai hak-hak demokrasi itu menjadi agenda penting
gerakan politik masyarakat. Juga di negeri-negeri lain demikian adanya. Khususnya di negeri-negeri yang sedang berkembang. Malah dewasa ini tuntutan hak-hak demokrasi itu lebih bergema di negeri-negeri merdeka yang memperoleh kemerdekaannya sesudah Perang Dunia
Halmana menunjukkan bahwa justru di negeri-negeri yang merdeka sesudah Perang Dunia II, hak-hak demokratis yang diperjuangkan telah dilanggar sendiri. Bila kita buka kembali lembaran sejarah perjuangan bangsa kita, nyata jelas bahwa para founding fathers
dari nasion kita, dan seluruh pejuang anti-kolonialisme baik yang tergolong kaum nasionalis, Islam, sosial-demokrat , maupun yang tergolong kaum Marxis dan golongan Kiri lainnya, tuntutan awal
pendahulu-pendahulu kita itu, adalah hak untuk bicara, hak untuk mensosialisasikan pandangan dan tuntutan politik melalui pers dan sarana lainnya, hak untuk berorganisasi, serta melakukan kegiatan sesuai dengan keyakinan, pandangan dan program masing-masing
golongan.

Pejuang-pejuang kemerdekaan pendahulu kita menyadari betul bahwa hak-hak demokrasi itu harus dituntut dan diperjuangkan, karena hak-hak demokratis itu selain adalah hakikat, dasar dan pilar dari prinsip kedaulatan rakyat, juga merupakan senjata teramat penting dengan mana masyarakat dan rakyat bisa dididik dan diberdayakan secara politik dalam perjuangan merealisasi cita-cita kemerdekaan nasional.

Adalah suatu realita kehidupan bahwa di sementara negeri yang sedang berkembang, hak-hak demokratis telah dilanggar oleh pemerintahnya sendiri yang suatu ketika di waktu bangsa dan tanah air masih terjajah, mereka dengan keras mengajukan tuntutan dan
memperjuangkan hak-hak demokratis terhadap penguasa asing. Tetapi setelah tercapai kemerdekaan politik, pemerintah bangsa sendiri yang telah memiliki kekuasaan negara, mulai merasa dirinya terancam oleh rakyatnya sendiri yang menggunakan hak-hak demokrasi untuk memperjuangkan keyakinan dan pandangan politiknya.

Hal ini terjadi di banyak negeri di Asia, Afrika dan juga di Amerika Latin, seperti di Aljazair, Maroko, Mesir, Sudan, kebanyakan negeri Arab, Iran, Pakistan, Myanmar (Burma), dan juga Indonesia. Hak-hak demokratis yang kita kenal itu, sering disebut sebagai sistim demokrasi parlementer dengan TRIAS POLITIKA-nya, seperti kebebasan bicara dan kebebasan pers, berorganisasi, melakukan kegiatan politik yang terbuka dan pemerintah yang transparan serta pemilu yang LUBER, juga tidak terdapat di negeri-negeri yang menyatakan negerinya menempuh jalan Sosialis dengan
sistim kenegaraan diktatur proletariat atau diktatur rakyat, seperti Korea Utara, Tiongkok, Vietnam dan Kuba.

Pengekangan terhadap hak-hak demokrasi juga terjadi di Singapura dan pernah juga di Korea Selatan serta di Filipina, yang dalam kenyataan sistim politik dan ekonominya adalah kapitalisme. Meskipun masalah hak-hak demokratis itu bukan barang yang sederhana, dan pelbagai golongan memberikan tafsirannya sendiri,
namun secara populer bisalah diungkapkan bahwa baik kaum Kanan , Tengah maupun Kiri masing-masing pada gilirannnya melakukan pelanggaran terhadap hak-hak demokratis rakyat. Teristimewa bila yang bersangkutan berhasil meraih kekuasaan politik pemerintahan.

Dengan demikian tampaklah bahwa hak-hak demokratis rakyat yang bersifat universil itu, sesuai dengan perumusan dan semangat dari Universal Declaration of Human Rights yang disahkan oleh PBB sejak 1948 , baik dalam sistim kapitalis, seni kapitalis, maupun sistim
sosialis atau pseudo-sosialis dalam praktek telah dilanggar oleh penguasa, dengan pelbagai alasan yang dikemukakan untuk membenarkan pelanggaran tsb.

NEGASI DARI NEGASI
Disini bolehlah dikatakan telah terjadi semacam NEGASI DARINEGASI. Yaitu, para penuntut dan pejuang hak-hak demokratis, yang kemudian, setelah memegang kekuasaan negara (baik lokal maupun nasional), berubah menjadi pengekang hak-hak demokratis, yang tidak jarang dilakukan dengan menggunakan kekerasan yang tidak tanggung-tanggung. Pelbagai alasan diajukan untuk membenarkan pengekangan hak-hak demokratis tsb.

Misalnya, dikemukakan bahwa bangsa dan negeri memerlukan ‘kestabilan politik' dan ketenangan suasana agar bisa memusatkan tenaga dan fikiran guna 'pembangunan ekonomi negeri’. Ini adalah dalih yang paling sering diajukan, guna membungkam oposisi dan
mengekang hak-hak demokratis. Pemerintah tirani Orde Baru juga paling getol menggunakan dalih seperti itu. Dalih lainnya yang sering digunakan untuk membenarkan pengekangan terhadap hak-hak demokrasi, adalah alasan 'kultur dan tradisi. Dikumandangkan bahwa kultur dengan tradisi kita sebagai bangsa Timur, mempunyai
nilai-nilai tersendiri yang berbeda dengan demokrasi parlementer Barat. Bahwa bagi kita demokrasi yang sudah sejak lama kita praktekkan adalah cara ‘musyawarah dan mufakat’ bukannya sistim pemungutan suara dimana separuh tambah satu adalah yang benar’.

Kiranya sudah jelas bahwa hak-hak demokratis yang sendirinya merupakan perwujudan kongkrit dari kedaulatan rakyat, adalah hak-hak yang menjadi syarat terpenting untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat, untuk melaksanakan prinsip transparansi dan untuk bisa terjaminnya pengawasan dan kontrole masyarakat terhadap pemerintah, lembaga peradilan, legeslatif, lembaga militer dan kepolisian dan lembaga-lembaga kenegaraan lainnya. Untuk bisanya
masyarakat melakukan pengawasan dan kontrole terhadap penguasa dan terhadap dirinya sendiri.

Untuk mengambil contoh yang aktuil mengenai terjadinya semacam negasi daripada negasi, cukup kiranya mengikuti perkembangan situasi politik di Zimbabwe belakangan ini, dimana presiden terpilih Robert Mugabe yang diakui sebagai salah seorang pemimpin
perjuangan kemerdekaan Zimbabwe yang tangguh melawan kolonialisme Inggris dewasa ini menjadi sasaran tuntutan hak-hak demokratis. Mugabe yang mengambil tempat terkemuka dalam perjuangan kemerdekaan bangsanya, menjadi sasaran tuntutan demokratis, karena ia telah mengambil serentetan kebijaksanaan yang mengekang hak-hak demokratis, mengekang kebebasan parpol lainnya dan pers untuk beroposisi dan berkompetisi secara demokratis dan fair. Ia
menyalahgunakan kekuasaannya sebagai presiden dan mayoritas yang bisa dikendalikannya di dalam parlemen, untuk mengambil langkah-langkah yang tidak demokratis.

Ini disebabkan dalam pemilu yang akan dilangsungkan tahun ini di Zimbabwe, Mugabe bertekad untuk mempertahankan posisinya sebagai presiden. Untuk itu ia mengambil tindakan mengekang kebebasan pers dan membungkam oposisi.

PEMBERLAKUAN DEMOKRASI DI INDONESIA
Apa yang terjadi dengan negeri kita yang sedang belajar mempraktekkan hak-hak demokratis, juga tidak jauh berbeda dengan perkembangan di pelbagai negeri yang sedang berkembang. Salah satu hasil terbesar gerakan Reformasi yang telah menggulingkan presiden Suharto, adalah direbutnya sementara hak-hak demokratis, seperti hak bicara, kebebasan berpendapat, berorganisasi, berpartai dan melakukan kegiatan politik termasuk melakukan demonstrasi sampai pada pemogokan, dll.

Sementara hak-hak demokratis yang diperoleh sesudah jatuhnya mantan presiden Suharto dan berdirinya pemerintahan Presiden Habibie, merupakan lompatan penting dalam perkembangan politik di negeri kita. Di satu segi personalia pemerintah Habibie pada pokoknya terdiri dari orang-orang Orba, di segi lain, karena tidak mampu untuk menahan tuntutan gerakan Reformasi dan Demokratisasi, maka kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan pers, berorganisasi dan melakukan kegiatan politik yang direbut rakyat dalam perjuangan melawan Orba untuk Reformasi dan Demokratisasi,nyatanya mulai diberdayakan oleh masyarakat tanpa gangguan berarti dari pemerintah.

Atas tuntutan Reformasi tahanan politik telah dilepaskan dan telah diselenggaraan pemilu pertama ( 7 Juni 1999) . yang pada pokoknya LUBER , sejak pemilu pertama yang benar-benar LUBER pada tahun 1955 sejak berdirinya Orba, menjadi kenyataan. DPR dan MPR hasil pemilu telah terbentuk dan telah pula memilih Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri masing-masing sebagai Presiden dan Wakil Presiden pilihan pertama sejak berdirinya Republik Indonesia.

Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pilihan MPR hasil pemilu, telah mengambil langkah-langkah politik yang lebih nyata dalam memberdayakan demokrasi. Beliau telah menggerowoti pengaruh dan peranan militer terhadap pemerintahan sipil. Gus Dur telah berusaha menegakkan supremasi hukum. Beliau selalu mengingatkan
bahwa agama tidak boleh dijadikan kuda tunggang politik dan bahwa agama dan negara harus selalu terpisah. Beliau juga adalah yang pertama dari kalangan ulama, kekuatan sosial dan politik yang
eksis dan bisa hidup terus di era Orba, yang dengan terbuka menyatakan keterlibatan anggota-anggotanya pada pembantaian massal tahun-tahun 65-66, dan untuk itu dengan terbuka pula menyatakan minta maaf kepada para korban. Langkah Gus Dur merupakan tindakan
politik yang besar artinya dalam usaha untuk menggalang kembali persatuan dari kekuatan nasional.

Adalah mantan Presiden Wahid juga yang sebagai presiden ketika itu mengusulkan agar MPR mencabut TAP-MPRS No XXV Th 1966, yang melarang PKI dan ajaran Komunisme. Gus Dur menganggap TAP-MPRS tsb tidak demokratis dan bertentangan dengan UUD. Selanjutnya Presiden Gus Dur mengeluarkan Instruksi Presiden No.1 Th 2000, yang membolehkan warganegara Indonesia yang di bawah kekuasaan Orba terhalang pulang untuk kembali ke tanah air, dengan demikian beliau mengkoreksi kesalahan Orba. Gus Dur juga mengambil serentetan kebijaksanaan dalam rangka Reformasi dan penanganan
KKN.

Maka adalah tidak sesuai dengan realita hidup bila menganggap pemerintah Gus Dur dan pemerintah Habibi adalah setali tiga uang atau sebagai dua hal yang sama saja. Juga adalah tidak cocok dengan kenyataan kongkrit bila dengan gampang-gampangan begitu saja secara politik mempersamakan pemerintah-pemerintah Habibi, Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri.

Masalahnya menyangkut masalah pemberdayaan hak-hak demokrasi. Dan prinsip-prinsip demokrasi adalah sesuatu yang prinsipil. Demikianlah apa yang perlu dicermati mengenai pemberlakuan dan pemberdayaan prinsip-prinsip demokrasi di negeri kita dan sementara negeri lain. Yang disadari meliputi jangka waktu panjang dan penuh dengan lika-likunya.

Satu hal juga menjadi jelas kiranya, ialah, perlunya menyadari bahwa ketika memperjuangkan prinsip-prinsip demokrasi terhadap penguasa, dalam waktu yang bersamaan ada keharusan serta kewajiban masing-masing untuk dengan tegas pula memberlakukan prinsip-prinsip demokrasi itu pada diri sendiri, pada golongan dan barisan sendiri, pada organisasi dan parpol sendiri. Karena hanya dengan demikian perjuangan untuk Reformasi dan Demokratisasi bisa dilangsungkan dengan tulus, konsisten dan mantap.

* * *

No comments: