Tuesday, April 3, 2007

IBRAHIM ISA dari BIJLMER -- <4> MENELUSURI TULISAN SEKITAR 'PERISTIWA 65'

IBRAHIM ISA dari BIJLMER
---------------------------------------------

Selasa, 10 Oktober 2006.


<4> MENELUSURI TULISAN SEKITAR 'PERISTIWA 65'
<'Cerpen' TRI RAMIJO – Ketika'Diamankan' Orba>

Aku tulis 'Cerpen' pada sub-judul tulisanku kali ini. Itu memang disengaja. Karena, yang ditulis oleh Tri Ramijo, sesungguhnya adalah pengalamannya sendiri. Adalah siksa dan nista yang dideritanya pribadi ketika 'diamankan' oleh petugas keamanan Orba.

Tri Ramijo mengisahkan bagaimana ia disiksa sejadi-jadinya ketika di tahan, 'diperiksa' oleh seorang interogator dari fihak keamanan tentara.

Tri Ramijo, ----- aku kenal dia. Termasuk kenalan lama. Bapaknya, seorang Digulis, pejuang kemerdekaan, juga kukenal.

Ketika bertemu Tri Ramijo di Jakarta beberapa tahun yang lalu, Tri mengisahkan pengalamannya sebagai eks-tapol untuk bisa survive. Sesudah lepas dari penjara pembuangan Orba, Pulau Buru, tamatan jurusan bahasa Jepang, Universitas Tokyo ini, terpaksa menganggur. Tapi ia bertekad untuk tidak menyerahkan hari depannya pada nasibnya. Demikianlah, Tri harus menyambung hidupnya untuk beberapa lamanya sebagai 'tukang asah gunting' keliling rumah-rumah orang kaya di Menteng. Modal untuk jadi 'tukang asah gunting' itu diperoleh Tri dari peninggalan, katakanlah 'warisan' bapaknya. Sebuah 'batu asahan' tua. Barangkali belakang hari nanti, Tri bisa menceriterakannya sendiri.Kita tunggu saja.

* * *

Aku masih ingat. Tanggal 1 Oktober 1965 di Bangkok dalam perjalanan ke Jakarta. Ketika itu, kegiatanku dalam rangka mensukseskan 'KIAPPMA'. Baru kembali dari menyelesaikan tugas KIAPPMA < Konferensi Inernasional Anti Pangkalan-Pangkalan Militer Asing> mengunjungi beberapa negeri Afrika dan Timur Tengah.

Ketika tiba di Bangkok ada tilpun dari KBRI (kemenakanku seorang diplomat muda). 'Oom', katanya. 'Jangan ke Jakarta. Situasi gawat. Kolonel Untung sudah kalah'. Aku heran dan bingung, ada apa di Indonesia? Kembali bertanya apa yang terjadi di Jakarta sampai hubungan luar negeri dengan Jakarta putus, dan lapangan terbang Kemayoran tutup. Dan siapa Kolonel Untung itu? Belakangan baru kudengar lagi bahwa yang terjadi adalah peristiwa G30S dan terbunuhnya 6 orang jendral dan seorang perwira menengah TNI. Bahwa ada 'kup' dan bahwa 'kup itu gagal' dan keadaan sudah 'dikuasai'oleh Jendral Suharto.

Begitu bandara udara internasional Kemayoran buka lagi, aku tokh berangkat ke Jakarta, karena tugas KIAPPMA belum selesai. KIAPPMA sesuai rencana akan berlangsung dalam bulan Oktober 1965 itu. Di Jakarta kelihatannya tenang-tenang saja.

Ramai diberitakan oleh pers yang sudah dibersihkan dari sk-sk Kiri seperti Harian Rakyat, Warta Bhakti, Bintang Timur dan banyak lainnya lagi, kecuali yang dikendalikan dan di bawah pengelolaan langsung fihak militer, tentang 'kekejaman-kekejaman' anggota-anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat, orang-orang PKI kata mereka, yang menyiksa, seperti memotong kemaluan dan mencongkel mata para jendral yang kemudian dibunuh di Lubang Buaya. Berita-berita tsb disiarkan berkal-kali setiap hari oleh media cetak maupun elektronik. Dengan demikian timbullah gambaran bahwa telah terjadi kup, tetapi digagalkan oleh pasukan-pasukan Kostrad di bawah pimpinan Jendral Suharto. Kedudukan dan otoritas Presiden Sukarno tidak jelas, tetapi yang jelas ialah bahwa yang memegang kekuasaan, paling tidak di Jakarta, adalah Jendral Suharto yang telah mengambil alih pimpinan TNI-AD.

Yang digambarkan ialah 'kekejaman dan 'kebiadaban' anggota Gerwani/Pemuda Rakyat/PKI di Lubang Buaya terhadap perwira-perwira tinggi TNI.Kemudian ternyata apa yang diberitakan sebagai 'kekejaman dan kebaidaban' Gerwani/Pemuda Rakyat/ PKI tsb, SAMASEKALI BOHONG. Samasekali rekayasa. Orang-orang Gerwani yang ditangkap militer kemudian di bawah siksaan disuruh mengakui perbuatan kejam di Lubang Buaya itu, belakangan membongkar sendiri tentang kebohongan fihak militer tsb. Yang terpenting ialah disiarkannya laporan dokter-doker tim forensik resmi yang memeriksa jenazah para jendral. Tim forensik menegaskan bahwa tidak ada samasekali bekas-bekas atau tanda-tanda adanya penyiksaan, seperti pemotongan kemaluan dan pencungkilan mata dsb. Jadi yang dinamakan 'kejaman dan kebidaban' Gerwani/Pemuda Rakyat/ PKI itu adalah rekayasa belaka.

Rekayasa fihak militer tsb kemudian ternyata sengaja diregisir untuk memberikan 'alasan' dan 'legimitas' dilakukannya pengejaran, penangkapan, penyiksaan, pemenjaraan, pembuangan dan pembunuhan masal terhadap orang-orang PKI, yang dianggap PKI atau simpatisan PKI serta orang-orang KIRI lainnya yang mendukung Presiden Sukarno. Pelanggaran HAM terbesar oleh penguasa militer dan pendukung-pendukungnya tsb, jelas, dilakukan tanpa proses peradilan apapun. Bahkan dalam banyak hal para korban tsb, tidak tahu menahu, mengapa mereka dipersekusi begitu kejam?

* * *

Cerita Tri Ramijo, dimuat selengkapnya di bahwa ini, mengungkapkan sebagian dari kekejaman dan kebiadan yang benar-benar terjadi dilakukan oleh fihak penguasa militer yang berkuasa, terhadap warganegara yang tidak bersalah, patuh pada undang-undang dan pendukung Presiden Sukarno.

* * *

CERPEN TRI RAMIDJO
-------------------------------
Hari Ke-8 Puasa, 1 Okt. 2006

AKU BUKAN HANYA ANAK PKI TAPI AKU ADALAH JUGA PKI.
Aku terduduk lesu di kursi kayu.
Di depanku ada sebuah meja dan di atas meja itu ada cambuk yang terbuat dari ekor ikan pare dan di ujung cambuk itu diberi paku kecil, sehingga kalau cambuk itu dipukulkan pakunya menancap ke tempat yang dipukul dan kemudian cambuk itu ditarik keras, maka tergoreslah kulit dan mengalirlah darah merah segar. Selain cambuk itu juga ada kabel dengan alat2nya untuk menyetrom yang dilakukan oleh para interogator bukan hanya dengan setrom battery tapi setrom listrik sungguhan.

Melihat alat2 penyiksa itu saja, siapa pun orangnya pasti merasa bergidik, Tiga orang interogator, seorang letnan RPKAD, seorang sersan dan seorang lagi kelihatannya bukan militer.
Perhatianku tertuju kepada interogator yang bukan militer ini. Pakaiannya berwarna kebiru-biruan. Perawakannya sedang, raut mukanya berbentuk daun sirih dan warna kulitnya Sawo matang.

"Do you remember me?" katanya tertuju kepadaku.
"Tidak". Jawabku.
"Jangan bohong, terus terang saja. Semuanya akan lancar dan tak perlu penyiksaan." Katanya.
"Maaf, saya tidak kenal bapak." Kataku menegaskan.
"Bagus. Tapi kamu kenal Nyoto 'kan.? Zain Nasution, Suripto, Karel Supit?" katanya dengan suara menghardik. Dia menyebut beberapa nama lagi yang tak bisa kuingat lagi.

Dia mulai menamparku dan aku tidak mengelak. Tamparan ketiga membuat kacamataku jatuh dan pecah sebelah. Kuambil kacamata yang jatuh dilantai tapi dia menginjaknya dan jadilah kacamata itu berkeping-keping.

Aku meludah keluar darah dari mulutku dan aku berdiri tegak. Aku tidak kembali duduk di kursi walau berkali-kali diperintahkan.

Aku berusaha berdiri mendekati tembok.
Ketiga orang iunterogator itu berdiri di depanku.
Interogator yang bermuka bentuk daun sirih itu meninjuku dengan keras.Dengan gerak refflek aku mengelak dan dengan begitu dia meninju tembok yang keras itu.

"Aduh" teriaknya. "Kamu bisa karate, ya." Sergahnya.
Tapi rupanya karena aku mengelak ditinju mereka bertiga mengerubutiku seperti mengkroyok maling ayam.

Aku benar2 tak berdaya menghadapi tiga orang. Kursi kayu jati itu dipakainya sebagai bahan pemukul sampai remuk.
Aku tidak menghindar lagi. Aku hanya pasrah dan tidak mengelak. Hanya setiap pukulan yang mengarah ke kepala aku elakkan.

Akhirnya mereka meletakkan kaki meja ke kuku jempol kaki kananku. Mereka duduki meja itu bertiga,.
Aku tidak mengaduh sepatah kata pun. Aku hanya mengucapkan kata tauhid terus menerus. Laillahaillellah....Hanya kata itu yang bisa kuucapkan terus menerus.

Mukaku penuh berlumuran darah. Kuusap darah itu dengan baju putihku.

Merah, merah darah. Aku sangat geram dan marah. Dalam hatiku bernyanyi:
"Darah Rakyat masih berjalan menderita sakit dan miskin.
Pada datangnya pembalasan Rakyat yang menjadi hakim.
Rakyat yang menjadi hakim hayo hayo bersiap sekarang.
Pasanglah di tembok dan tiang, panji-panji warna merah.
Yakni warna darah Rakyat, yakni warna darah Rakyat."

Aku tak tahu dan tak sadarkan diri kalau aku sudah berada di sel tahananku. Sel ini berdinding papan dan di depan dan di atas sel diberi kawat berduri.

Teman seselku membantuku bangkit. Aku minta tolong dibawa ke kamar mandi. Aku mandi sepuasnya. Kusirami seluruh tubuhku dengan air. Kuminum air mentah itu sebanyak-banyaknya. Dan aku berdo'a semoga Allah memberiku kekuatan dan menyembuhkan seluruh luka2 di tubuhku.

Alhamdulillah, aku merasa segar. Punggungku yang dipukuli dengan kursi kayu jati itu tidak terasa jarem lagi.
Setelah kembali dari kamar mandi aku meminjam buku kecil Surat Yasin teman seselku. Ayat demi ayat kubaca pelan-pelan. Aku tidak pintar mengaji. Hanya sekedar bisa dan mengerti apa yang kubaca.
Akhirnya setelah makan malam walau dikerubuti nyamuk, aku tidur nyenyak sampai pagi.

Hari berikutnya aku diinterogasi lagi.
"Kamu hebat, ya, Kemarin kamu pura-pura pingsan, ya. Sekarang kamu segar bugar." Kata interogator itu.

Aku diam saja. Tak sepatah pun kuucapkan.
"Jawab. Kamu PKI kan? Kamu anak Digul, kan? Bapakmu dedengkot PKI." Hardiknya.

"Di Digul kamu tinggal di kampung B, kan? Bapakmu tukang pancing dan teman mancingnya pak Maskun, kan?"

"Pamanmu, adik bapakmu yang menulis laporan ini. Jadi ini fakta actual. Jangan coba-coba membantah. Mengaku saja. Pamanmu orang besar dan kamu bisa ikut pamanmu." Katanya.

"Sekarang jawab, bapakmu PKI dan kamu sendiri PKI kan? Jawab !" Hardiknya.

"Ya, betul. Ayahku memang PKI dan mendapat pengesahan dari Departemen Sosial R.I. Ayahku tercatat sebagai anggota PKI (Perintis Kemerdekaan Indonesia) dan setiap bulan menerima tunjangan sosial dari pemerintah. Dan saya sendiri walaupun tidak diasingkan oleh Belanda ke Digul tapi karena sejak bayi abang mengikuti orang tua yang dibuang ke Digul saya adalah juga PKI (Perintis Kemerdekaan Indonesia)." Jawabku tegas.

Bagaimana reaksi interogator mendengar jawabanku?
Dapat dibayangkan. Seterom listrik dan alat-alat penyiksa lainnya segera beraksi.
Dan di hari tuaku sekarang ini, baru kuketahui bahwa penyakit stroke yang tidak sembuh-sembuh ini juga adalah akibat siksaan 40 tahun yang lalu.

Ini kuketahui ketika seorang tukang urut ahli bertanya kepadaku. "Apakah bapak pernah tertimpa pohon atau barang berat di punggung kanan? Banyak urat-urat syarafnya yang putus", katanya.

Aku tidak bisa menjawab. Hanya kukatakan mungkin aku pernah terjatuh waktu kecil.?

Dan ketika aku terdampar di Pulau Buru dari kawan-kawan tapol (tahanan politik), baru kuketahui nama interogator yang menginterogasiku dengan sangat kejam itu tidak lain adalah salah seorang anggota pimpinan pusat IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) yang namanya cukup terkenal dan bahkan katanya ketika pernikahannya mendapat sambutan dari ketua CCPKI D.N.Aidit, dikudang-kudang untuk menjadi keluarga teladan. Interogator itu tidak perlu kusembunyikan namanya, namanya ialah DATONG SUDIARTO.


* * *

No comments: