Wednesday, April 11, 2007

Kolom IBRAHIM ISA - DOA BERSAMA DEMI KESELAMATAN BANGSA

Kolom IBRAHIM ISA
Jumat, 06 April 2007
-------------------------------------------


DOA BERSAMA DEMI KESELAMATAN BANGSA Utk
PERKOKOH SEMANGAT dan DJIWA TOLERAN

Sungguh melegakan dan menggembirakan, memperbesar rasa dan semangat toleransi kita, ketika membaca rencana bahwa Presiden SBY dan Wapres JK, akan langsung memimpin doa bersama untuk keselamatan bangsa. Rencana doa bersama tsb direncanakan pada hari Minggu, tanggal 8 April 2007. Lebih penting lagi ialah bahwa hal itu dilakukan bersama, dalam waktu yang sama, oleh umat Islam, Katolik dan Protestan di tempat ibadah masing-masing.

Sedangkan Presiden SBY dan Wapres JK menurut rencana, akan hadir di Mesjid Istiqlal, Jakarta bersama 80.000 jemaah. Bagi umat Katolik direncanakan doa dilangsungkan oleh 12.000 jemaah di Gereja Katedral, Lapangan Banteng, Jakarta. Bagi umat Protestan akan dilakukan di kurang lebih 200 paroki gereja-gereja seluruh Indonesia. Secara nasional umat Protestan akan mengadakannya di Gereja Imanuel Gambir, Jakarta.

Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) Romo Benny Susetyo Pr mengatakan, doa bersama akan dilakukan bersamaan dengan misa Paskah yang dipimpin Uskup Agung Jakarta Kardinal Julius Darmaatmadja SJ.

* * *

Hari ini, Jumat 06 April 2007, di mancanegara yang umum berbahasa Inggris, disebut sebagai 'Good Friday'. Diperingati umat Kristen seluruh dunia SEBAGAI Jum'at Agung. Yaitu hari Jum'at sebelum Paskah, memperingati hari penyaliban Nabi Isa; yang beragama Kristen menyebutnya Jesus Kristus. Bagi umat Kristen merupakan salah satu hari terpenting dalam kalender mereka. Di negeri kita, hari ini seringkali disebut hari Wafat Isa Al-Masih, adalah salah satu dari hari libur nasional. Menunjukkan bahwa di negara Republik Indonesia, sebagaimana halnya terhadap pemeluk agama Islam , para pemeluk agama Nasrani, punya tempat sama dengan para pemeluk agama lainnya.

Bahwa pada hari-hari Paskah, umat Islam, Katolik dan Protestan bersama-sama melakukan doa demi keselamatan bangsa, patut menjadi kebanggaan kita. Selain mencerminkan semangat dan jiwa toleransi antar-agama, kenyataan ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia, negara Republik Indonesia, sesuai dengan ideologi negara Pancasila dan UUD, tetap setia pada prinsip kesatuan dan persatuan di bawah semboyan BHINNEKA TUNGGAL IKA. Berbeda-beda tetapi satu.

Dengan demikian tak ada tempat bagi radikalisme maupun fundamentalisme religius yang menganggap diri paling unggul, menyisihkan, menegasi sampai-sampai pada tindakan hendak melikwidasi satu sama lainnya.

* * *

Semangat toleransi, menenggang dan saling menghormati antara pelbagai agama dan kepercayaan, seyogianya juga termanifestasi dalam kehidupan bernegara, dalam kenyataan hidup sehari-hari. Sudah sepatutnya dipraktekkan dalam kehidupan kultur dan politik yang nyata. Bukankah PANCASILA, sebagai dasar falsafah negara kita tegas-tegas memberikan hak, serta kebebasan kepada setiap warganegaranya untuk punya keyakinan ideologi dan keyakinan politik masing-masing? Hak untuk punya pendapat dan keyakinan sendiri adalah salah satu prinsip dari hak azasi manusia sebagaimana tercnatum dalam UUD RI, dan dalam pernyataan HAM mancanegara, seperti tertera dalam 'UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS UNO', 10 Desember 1948.

Pada hari-hari Paskah kali ini, kita bersama-sama mendoakan keselamatan dan kesejahteraan bangsa dengan dihadiri, bahkan 'dipandu' oleh Presiden dan Wapres Negara. Peristiwa ini melegakan kita, karena kita masih dihadapkan pada kenyataan keras, peristiwa saling konfrontasi antara satu agama dengan agama lainnya, bahkan di dalam agama yang sama yang berbeda-beda tafsirannya, dengan menggunakan cara kekerasan sebagai jalan menyelesaikan perbedaan yang ada. Semangat dan jiwa yang mendorong menifestasi toleransi ini sungguh perlu diperkokoh lebih lanjut, dikonsolidasi, dan diluaskan dalam kehidupan politik, kehidupan bernegara.

Mengapa perlu hal ini ditekankan? Karena, belakangan ini bisa disaksikan betapa suatu aliran politik yang punya hak hidup di Indonesia, sesuai dengan UUD RI, yaitu aliran SOSIAL-DEMOKRASI, yang dijadikan sebagai pedoman dan program suatu partai baru yaitu PAPERNAS, telah mengalami tindakan kekerasan, a la 'premanisme'. Salah suatu kegiatan PAPERNAS yang mengadakan pertemuan untuk menyatakan DEKLARASI PARTAI, telah diserang dan dibubarkan dengan kekerasan oleh kelompok aliran politik yang bernaung di bawah FPI, Front Pembela Islam.
Peristiwa ini sangat disesalkan, mempermalukan semangat dan jiwa bangsa kita yang toleran dan saling menghormati.

Oleh karena itu, selain menggalakkan usaha-usaha konstruktif dan positif seperti mengadakan DOA BERSAMA antara umat Islam, Katolik dan Protestan, juga perlu digalakkan semangat dan jiwa toleran dan saling menghormati antara pelbagai aliran dan keyakinan politik sesuai UUD RI dan HAM.

Menghadapi tindakan kekerasan dan 'premanisme' oleh sekelompok aliran politik, yang melakukan tindakan kekerasan, membungkam keyakinan dan aliran politik lainnya, dalam hal in, aparat penegak hukum dan lembaga-lembaga hukum dan HAM negara, tidak seharusnya berpangku tangan saja. Tidak pantas untuk menjadi 'penonton' belaka.

Aparat penegak hukum dan keadilan negeri seharusnya mengambil inisiatif untuk mengusut dan menangani soal tsb dan bertindak setimpal sesuai hukum terhadap setiap pelanggar hak-hak demokrasi dan HAM, yang merusak semangat toleransi dan saling menghormati masing-masing kepercayaan maupun keyakinan politik masing-masing.

* * *

IBRAHIM ISA -- BANGKITNYA Suatu NASION INDONESIA

BANGKITNYA Suatu NASION INDONESIA
Paris, Edisi Jubelium, Juni 2007>
<>
-----------------------------------------------------------
BANGKITNYA Suatu NASION INDONESIA
Oleh: IBRAHIM ISA,
Sekretaris Wertheim Foundation - Leiden.

Seorang kawan pernah bertanya: Kapan pada Anda timbul kesadaran kebangsaaan Indonesia?
Masih samar-samar teringat, pada umur 11 th , ketika bersama kakak iparku, kami menghadiri rapat umum Gerindo, di Gg Kenari, Salemba. Suasananya siap-siap menghadapi kemungkinan meletusnya Perang Pasifik, dan Jepang menyerbu Hindia Belanda. Masih terbayang betapa penuh sesaknya ruang rapat umum. Para hadirin banyak yang memakai kopiah, seperti kopiah Bung Karno. Menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang berbangsa Indonesia. Kesan kuat yang tinggal adalah suasana KEBERSAMAAN sebagai orang-orang Indonesia.

Kuingat-ingat betullah bahwa, kesadaran kebangsaan itu, tak terlepaskan dari hubungan kekeluargaan dengan kakak-iparku itu. Ternyata kemudian memang kakak-iparku itu adalah anggota PNI (Bung Karno).

Semangat kebangsaani yang ditanamkan pada rapat GERINDO itu, dipupuk lebih lanjut pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Ketika itu secara teratur anak-anak muda seperti aku, beramai-ramai mengikuti rapat-rapat raksasa yang diadakan untuk mendengarkan pidato-pidato politik Bung Karno. Masih teringat betul bagaimana Bung Karno dengan gaya pidatonya yang amat menarik dan mencengkam, memberikan pendidikan politik kepada hadirin, mengenai kesadaran berbangsa serta menanamkan cita-cita mencapai kemerdekaan bagi Indonesia.

Pendidikan kesadaran berbangsa, patriotisme, cinta tanah air, membenci kolonialisme, paling mendalan terjadi semasa Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Ambil bagian langsung dalam revolusi kemerdekaan telah menanamkan dan memperkuat semangat cinta pada tanah air dan bangsa. Dibarengi dengan semangat benci serta berlawan terhadap kekuasaan asing (Jepang, Inggris dan Belanda) yang ingin mengembalikan Indonesia sebagai koloni Belanda seperti pada zaman Hindia Belanda, pada masa pra-Perang Pasifik.

Kiranya, sebagian besar pemuda-pemuda Indonesia yang sebaya dengan aku ketika itu, memperoleh pendidikan semangat kebangsaan dan patriotisme kurang lebih seperti yang kualami itu.

* * *

Tanyakan kepada setiap patriot Indonesia bagaimana ia bersikap terhadap tanah dan bangsanya. Maka bisa dipastikan, akan dijawab seperti berikut ini: Siapa yang tak akan merasa bahagia dan beruntung; siapapun pasti akan merasa bangga secara wajar, bahwa ia dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia, sebagai bangsa Indonesia.

Siapa yang telah berkunjung ke INDONESIA, pasti mengetahui bahwa , Indonesia adalah suatu negeri yang begitu indah dengan rakyatnya begitu ramah dan toleran. Suatu negeri yang bukan saja terkenal karena Pulau Bali-nya, tetapi juga terkenal kesuburannya, ratuasn pohon kelapa yang menghiasi rangkuman pulan-pulau tropik, sehingga tepatlah banyak yang memberikannya nama 'Negeri Pulau-pulau Kelapa'.

Seorang ilmuwan/pakar geografi berbangsa Jerman (1848) menamakan ribuan kepulauan di khatul'istiwa itu: INDOS NESOS. Dalam bahasa Junani, artinya 'kepulauan India'. Dulu orang-orang Barat menganggap semua negeri di sebelah Timur itu adalah 'India'.

Dalam waktu panjang dunia tidak mengenal Indonesia. Mereka hanya tahu BALI, atau Gunung Krakatau yang meledak menghamburkan lava dan abu pada akhir abad ke-19. Memang tepat, pulau Dewata BALI, lebih banyak dikenal, karena keunikan kebudayaannya, keindahan dan keramahan rakyatnya. Bisanya ada pandangan yang demikian itu, tak lain dan tak bukan ialah karena mereka itu belum mengenal Indonesia dalam keseluruhannya, dalam KEBHINNEKA-annya.

Orang dengan sendirinya bangga dengan keunikan negeri seperti ini. Ini bisa difahanmi. Karena, memang Indonesia adalah suatu negeri dengan suatu bangsa yang identitasnya unik. Suatu negeri kepulauan yang terbesar di dunia. Jumlah total kepulauan Indonesia : 17.508. Meskipun jumlah penduduknya sekarang ada 225 juta., namun kurang lebih 7000 pulau-pulaunya tidak didiami manusia. Intresan untuk diketahui bahwa ratusan suku-suku bangsa Indonesia itu menggunakan bahasa daerah yang jumlahnya juga ratusan.


* * *

Dalam perkembangan dan pergolakan perjuangan bangsa ini, nama Indos Nesos menjelma menjadi INDONESIA. Pada masa awal lahirnya bangsa Indonesia, yaitu pada mula abad ke-20, penguasa kolonial Belanda tidak membolehkan penggunaan nama Indonesia. Karena penguasa kolonial memperhitungkan bahwa penggunaan nama INDONESIA, berarti memberikan kesempatan dan syarat tumbuh dan berkembangnya kesadaran berbangsa. Penguasa kolonial Belanda menggunakan nama HINDIA BELANDA. Sama halnya seperti pemerintah Perancis yang memberi nama 'Indochine' terhadap koloni-koloninya Vietnam, Laos dan Cambodia. Juga seperti halnya pemerintah London yang memberikan nama British-India pada India, Pakistan dan Bangladesh terhadap jajahan-jajahannya di wilayah tsb.

Pada akhir abad ke 19, di wilayah itu oleh Belanda diberi nama Hindia Belanda, b e l u m ada satu bangsa, atau nasion yang disebut INDONESIA..

Diantara kurang lebih 150 nasion di dunia ini, bangsa INDONESIA, adalah nasion yang tergolong nasion muda. Sebelum terbentuknya nasion Indonesia, kepulauan Nusantara didiami oleh pelbaga bangsa dan sukubangsa. Yang terbesar antaranya adalah suku Jawa, Sunda dan rumpun suku Melayu, yang , mencakup banyak suku-suku yang bertebaran di ribuan kepulauan Indonesia. Setelah lahir dan tumbuhnya nasioan Indonesia, suku-suku bangsa Indonesia itu masih ada dengan identitas kulturnya masing-masing dan hidup bersama dengan suburnya. Syukur alhamduillah, negeri ini tidak mengenal apa yang dinamakan 'ethnic cleansing'.

Kesadaran berbangsa dari penduduk yang mendiami ribuan kepulauan NUSANTARA, berlangsung melalui perjuangan dan pergolakan. Proses itu memerlukan jangka waktu kira-kira 100 tahun untuk lahir, tumbuh, menguat dan berkembang.

Sesudah mengalahkan Portugis yang berhasil menguasai sebagian wilayah di Timur Indonesia; sebuah perserikatan dagang Belanda yang dapat restu resmi pemerintah Kerajaan Belanda, dengan memiliki tentara dan mata uang sendiri, Verenigde OostIndisch Compagnie – VOC, pada awal abad ke-17, berhasil mencapai Indonesia. VOC yang diberi hak monopoli oleh Kerjaaan Belanda untuk berdagang dengan Indonesia dan negeri-negeri Asia lainnya, memberikan nama 'Nederlandsch Indië', atau Hindia Belanda untuk Indonesia. Maksud nama Hindia Belanda, ialah bahwa gugusan ribuan kepulauan yang terletak diantara benua Asia dan benua Australia itu , ada di bawah keuasaan VOC.
Demikian nama Hindia Belanda, yang diberikan VOC itu artinya Hindia 'milik' Belanda.

* * *

Ketika dalam bulan Maret, 2002, pemerintah, Belanda memperingati 400 tahun VOC, dimana sempat hadir Menteri Kwik Kian Gie dari pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri, itu diadakannya secara bukan kebetulan dan bukan tanpa alasan. Orang-orang Indonesia yang sedikit saja punya pengetahuan sejarah dan rasa harga diri bangsa, atau patriotisme, tidak bisa lain, memandang VOC sebagai suatu 'kekuasaan' yang membawa bencana pada tanah air dan bangsa. Sebagai suatu badan perdagangan yang bersenjata yang telah menaklukkan dan memeras habis-habisan negeri dan bangsa Indonesia menjadikannya jajahan kolonialisme Belanda.

Tapi bagi Belanda, VOC adalah suatu kebanggaan, suatu instrumen utama yang membawa kerajaan Belanda ke 'Abad Keemasannya', 'The Golden Age of Holland', 'De Gouden Eeuw van Nederland'. Maka bagi penguasa Belanda, kegiatan VOC itu adalah suatu 'prestasi' . Karena bangsa Belanda, suatu bangsa yang berdiam di paling Barat daratan Eropah, dengan jumlah tergolong kecil di Eropah terbanding negeri-negeri seperti Perancis, Inggris, Jerman dan Rusia, --- namun, masih pada zaman kapal layar ketika itu, telah mampu membuat kapal-kapal yang cukup besar, kuat dan cepat, mampu mengarungi Samudra Atlantik dan Samudra India, sejauh puluhan ribuan kilometer. Dalam petualangannya mencari rempah-rempah ke ujung Timur dunia, VOC berhasil mendaratkan orang-orangnya di Banten (Cornelis Houtman c.s., 1596), Jawa Barat, Indonesia. Dan akhirnya menaklukkan Indnesia di bawah kerajaan Belanda.

Ini adalah saat permulaan suatu negeri kecil bernama Nederland, mampu menaklukkan INDONESIA, suatu negeri dengan penduduk berlipat kali lebih besar dan punya kebudayaan yang cukup tinggi

* * *.

INDOS NESOS, INSULINDE, oleh kaum pergerakan kemedekaan negeri Pulau Kelapa ini, oleh kaum mudanya diformalkan dan dibaptiskan sebagai INDONESIA, yang tinggal di wilayan bernama INDONESIA, menggunakan bahasa INDONESIA, dan berbangsa INDONESIA (Sumpah Pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928). INDONESIA yang asal muasalnya disebut Indos Nesos, kemudian Pramudya Ananta Tur, novelis terkenal Indonesia, lebih senang dan lebih korek katanya bernama NUSANTARA. Karena begitu cantiknya dan begitu mempesonakannya negeri ini, sehingga seorang mantan pejabat kekuasaan kolonial Belanda di Banten, pada akhir abad ke- 19, Dr. Douwes Dekker, dalam bukunya berjudul, MULTATULI, memberikannya nama GORDEL VAN SMARAGD, Sabuk Batu Giok . . . . di Khaltulistiwa.

Betapapun indahnya negeri ini, VOC mengarungi dua samudra berlayar ke Indonesia, bukan tertarik oleh keindahan Gordel van Smaragd. , tetapi oleh -- REMPAH-REMPAH yang dikandungnya--- , yaitu bumbu-bumbu untuk masakan-masakan lezat yang amat disukai dan laris di Eropah. REMPAH-REMPAH, itulah 'besi berani' daya tarik utama yang menggerakkan VOC baravontur dan kemudian menguasai Indonesia. VOC menjelajah ke Indonesia, bukan untuk menyebar agama Kristen atau mensosialisasikan kebudayaan Eropah yang dianggap lebih unggul, ---- tetapi adalah demi mengejar keuntungan, laba dan kekayaan yang berlimpah ruah. Betul, dengan menyalahgunakan Kitab Injil dan 'keunggulan' kebudayaan dan teknologi Barat ketika itu.

* * *

Pada tanggal 28 Oktober1928, ketika bangsa Indonesia masih berada di bawah kekuasaan kolonial Belandan, sejumlah pemuda-pemuda bangsa mengambil keputusan yang bersejarah, yang turut menentukan haridepan Indonesia. Pemuda-pemuda harapan bangsa Indonesia itu mendeklarasikan, bahwa bangsa ini adalah bangsa Indnesia, yang bertanah air Indonesia dan berbahasa Indonesia (yang ketika itu masih dikenal sebagai bahasa Melayu), menjadi 'lingua franca', bahasa nasional untuk seluruh bangsa Indonesia.

Diambilnya keputusan tsb, ketika bangsa dan tanah air masih dalam cengekeraman kekuasaan asing, menunjukkan bahwa kesadaran berbangsa telah lahir dalam suasana yang penuh keyakinan dan dalam semangat hamonis dan damai. Patut dikatakan harmonis dan damai, bila kelahiran bangsa dan bahasa nasional yang berlangsung di Indonesia , dengan mengingat bahwa di pelbagai negeri dunia ketiga, untuk penentuan bahasa apa yang ditetapkan sebagai bahasa nasional, seringkali berlangsung dalam suasana konflik kekerasan yang berlarut.

Deklarasi Pemuda Indonesia pda tanggal 28 Oktober 1928 itu, merupakan tonggak penting dalam sejarah perkembangan kebangkitan kesedaran nasional bangsa Indonesia. Tetap sekali peristiwa tsb dicatat dengan tinta emas dalam sejarah bangsa Indonesia.

* * *

Namun, peristiwa-peristiwa penting yang mendahului Hari Sumpah Pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 itu, tak boleh luput dari perhatian, studi dan dokumentasi bangsa ini. Yang dimaksudkan ialah, didirikannya P.N.I. , Partai Nasional Indonesia, oleh Bung Karno, yang kemudian bersama Moh. Hatta, menjadi PROKLAMTOR KEMERDEKAAN INDONESIA, pada tanggal 17 Agustus 1945. PNI didirikan dalam tahun 1927, berarti 1 tahun sebelum Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Arti teramat penting dari didirikannya PNI oleh Bung Karno dkk, ialah bahwa partai nasional ini menjadikan Indonesia Merdeka, sebagai programnya yang terpenting Jadi program strategisnya jelas, yaitu KEMERDEKAAN INDONESIA. Dan cara perjuangannya adalah NON KOPERASI. Artinya menolak kerjasama dengan kekuasaan kolonial Belanda. PNI di bawah pimpinan Bung Karno dkk, sudah tidak percaya lagi kepada kekuasaan kolonial. Beberapa bulan sebelum didirikannya PNI, pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan kekerasan militer telah menghancurkan pemberontakan PKI yang dilancarkan oleh PKI dalam tahun 1926. Kelanjutannya adalah penangkapan besar-besaran terhadap anggota-angota PKI dan pendukungnya. Mereka kemudian dibuang ke Boven Digul, Papua Hindia Belanda.

* * *

Dalam pada itu di negeri Belanda, sejumlah mahasiswa Indonesia, yang telah mendirikan 'Indische Vereniging', mengubah nama tsb menjadi 'Perhimpunan Indonesia', PI.

* * *

Ditelusuri ke belakang lagi, idé tentang suatu bangsa Indonesia, dapat dijumpai pada didirikannya 'Syarikat Islam (SI)', 1905, dan kemudian 'Indische Partij' (1912) oleh Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo dan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara), yang kemudian di buang ke negeri Belanda, sebagai ganjaran atas 'dosanya' membangun suatu partai nasional.

Didirikannya Partai Komunis Indonesia, PKI, pada tanggal 23 Mei 1920, sebagai kelanjutan dari Indische Sociaal Democratische Vereniging (1917), ISDV, adalah satu mata rantai penting, dalam kesadaran berbangsa serta tekad untuk mencapai suatu Indonesia yang adil.

* * *

Bila hendak disimpulkan, lahir, tumbuh dan suburnya semangat kebangsaan, semangat patriotisme, cinta-tanah dan bangsa, berlawan terhadap setiap kekuasaan asing yang hendak menguasai Indonesia, terjadi dalam suatu proses panjang. Suatu proses reaktif terhadap penguasaan dan penghisapan yang dilakukan oleh kekuasaan asing Barat. Yang kita kenal dengan nama kolonialisme dan imperialisme.

Penindasan asing yang kejam dan tak adil itu telah melahirkan semangat perlawanan yang tak terkalahkan.
Proses perjuangan tsb telah melahirkan pula suatu nasion, nasion baru: INDONESIA. Singkat kata, nasion dan negeri INDONESIA, dilahirkan dalam suatu pergolakan yang lahir dari bawah, dari kehendak rakyat itu sendiri. Bukan muncul dari kekeinginan kekuasaan asing atau seorang raja feodal.

INDONESIA LAHIR DARI PERGOLAKAN PERJUANGAN YANG ADIL.
Maka ia tidak mudah berkeping-keping dan hancur berantakan, seperti halnya sementara negeri dan bangsa, yang lahir dengan paksaan kekuatan dari luar atau dari atas.

* * *
*) Majalah 'Le Banian' diterbitkan oleh Asosiasi Persahabatan Perancis-Indonesia;
Ketua -- Ny. Johanna Lederer)

IBRAHIM ISA BERBAGI CERITA: - SIAPA MENDUGA

IBRAHIM ISA BERBAGI CERITA:
Selasa, 10 April 2007

SIAPA MENDUGA -- SESUDAH 4 Th IRAK 'DIBEBASKAN' AS
Kok BEGINI JADINYA !!!???

Siapa nyana? Sungguh tak terduga!

Bukan stasiun TV Aljazeera, juga bukan TV Damascus atau TV Teheran yang kebetulan kulihat sendiri menyiarkan demo anti-Amerika terbesar dalam 2-3 bulan terakhir ini di Irak. Jangan heran! Adalah stasiun TV Amerika CNN yang kemarin, 09 April, kulihat menyiarkan tentang demo puluhan ribu massa Irak di kota Feluja. Puluhan ribu rakyat Irak, termasuk kaum perempuan yang berjilbab, dengan melambai-lambaikan bendera nasional Irak, meniup terompet, bersorak-sorai berdemonstran menentang Amerika dan sekutu-sekutunya yang menduduki Irak. Mereka bersemangat dan teramat bérang, dengan keras sekali berseru nyaring: Hai, tentara AS enyahlah segera dari Irak. Mereka berbaris sepanjang 5 km antara kota suci Kufa dan Najaf, untuk memperingati 4 tahun masuknya tentara AS ke kota Bagdad.

Imam golongan Syiit radikal Muqtada al-Sadr yang berpengaruh, dan dikatakan yang ada dibelakang demo besar tsb menyerukan: Hentikan saling bunuh antara kita sendiri. Tujukn perlawanan pada sasaran utama, tentara agresor Amerika dan sekutu-sekutunya yang menduduki Irak!

* * *

Dan . . . . . . puluhan ribu kaum demonstran Irak itu mencabik-cabik kemudian membakar bendera Amerika, 'The Stars and Stripes'

* * *

Wartawan CNN yang meliput situasi Irak tsb, juga melaporkan bahwa diantara banyak toko-toko yang ramai dikunjungi dikota Bagdad, adalah APOTIK. Yang laris dijual, adalah obat penenang syaraf. Pemilik apotik Tharik Osama, bercerita: Makin banyak orang yang membeli obat penenang. Karena mereka s e t r e s . Mereka sesungguhnya sudah diambang sakit syaraf total. Kebanyakan orang sudah tidak punya harapan situasi akan membaik. Saling ngebom (bunuh-diri), antara kaum Syiit dan kaum Sunni, operasi-operasi militer AS dan sekutu-sekutunya terjadi hampir tiap hari. Tidak seorangpun tahu kapan situasi mengenaskan ini akan bisa berubah. Yang mereka tahu adalah Presiden Bush mengirimkan tentara tambahan ke Irak.

Lalu, apalagi yang laris laku di apotik Anda, tanya wartawan CNN. Tharik, pemilik apotik menjawab: Yang hampir sama larisnya ialah 'obat kuat' bernama VIAGRA. Karena s e t r e s itu, kata Tharik, akibatnya melemahkan syahwat kaum lelaki. Padahal mereka itu masih muda-muda. Masih memerlukan dan ingin kehidupan suami-istri yang wajar. Maka dibelilah tablet Viagra agar bisa normal hidup sebagai suami-istri. Aneh kedengarannya, beli obat penenang syaraf, bersamaan dengan itu membeli obat kuat Viagra.

Aku fikir, andaikata situasinya tidak terlalu gawat untuk AS, barangkali wartawan CNN yang adalah stasiun TV milik orang Amerika itu, --- tidak akan khusus mentayangkan berita seperti itu, pas pada peringatan 4 tahun Amerika masuk Bagdad. Memang bisa terjadi bahwa di CNN orang-orang yang pro Partai Demokrat dan anti politik-Irak Presiden Bush cukup berpengaruh. Bukankah Kongres AS yang kini didominasi oleh Partai Demokrat itu, mendesak Presiden Bush untuk bikin jadwal kongkrit kapan tentara AS ditarik dari Irak. Kongres menuntut kongkritnya tidak lebih lama dari Agustus 2008. Bila Presiden Bush menolak keputusan Kongres tsb maka dana operasi tentara AS di Irak akan di stop. Begitu tajam konflik di Kongres AS mengenai beleid Presiden Bush di Irak. Tokh, Bush ngotot mempertahankan kebijakannya untuk terus menduduki Irak. Memang ada dua kepentingan kaum modal AS di Timur Tengah. Satu, mempertahankan dominasi posisi militer AS. Kedua mendominasi sumber minyak di Irak dan Timur Tengah.

Jadi bukanlah masalah menyebarluaskan atau mensosialisasikan DEMOKRASI dan HAM, bukan pula untuk mencekal 'senjata pemusnah masal' yang katanya dimiliki oleh Saddam Husein, yang jadi motif Presiden Bush masuk Irak. Sama halnya, seperti ketika AS mendalangi penggulingan Presiden Sukarno dan membantu Jendral Suharto berkuasa di Indonesia. Bukan demi menyebarkan Demokrasi dan HAM, tetapi mendudukkan pemimpin pemerintahan yang bisa diandalkan dan dikendalikan oleh AS dalam strategi Perang Dingin ketika itu. Artinya demi kepentingan kaum modal AS sendiri.

* * *

Bagi orang-orang yang bermimpi, bahwa 'demokrasi' itu, adalah semacam barang dagangan yang bisa diekspor, tidak pernah terfikirkan samasekali, bahwa perubahan demokratis sesuatu negeri itu, pertama-tama dan terutama disebabkan oleh kekuatan sosial di dalam negeri itu sendiri. Bukanlah oleh suatu invasi militer asing, atau oleh kekuatan militar dalam negeri yang dipaksakan dari atas, betapapun keheibatan dan keunggulannya. Bagi protagonis invasi militer AS dan sekutu-sekutunya untuk menggulingkan Sadam Hussen, tak pernah terduga samasekali, bahwa sesudah Sadam Hussein digulingkan, situasi di Irak, akan begini jadinya. Karena, menurut mereka-mereka itu, bukankah Amerika masuk Irak untuk mensosialisikan prinsip-pinsip demokrasi dan HAM?

Di sini perlu dengan tegas dan jelas diberi catatan-pinggir dan DENGAN HURUF TEBAL, bahwa yang mereka namakan 'demokrasi' itu adalah demokrasi dalam nama saja. Karena 'demokrasi' yang mereka jajakan itu, adalah demokrasi untuk segolongan saja. Adalah demokrasi bagi yang punya uang, yang punya modal, yang punya surat kabar, radio dan stasiun TV. Yang punya polisi dan tentara.

Jangan jauh-jauh. Lihat saja negeri kita sendiri. Dulu, fihak Barat dan pendukung serta pengagumnya menjuluki pemerintahan Presiden Sukarno sebagai suatu pemerintahan yang 'otoriter'. Sesudah Presiden Sukarno mendekritkan 'Kembali Ke UUD-RI 1945', Presiden Sukarno dituduh sebagai diktator. Padahal orang tahu, melalui SOB yang sesungguhnya dan riil berkuasa adalah tentara. Media pers Barat dan pengikut-pengikutnya di dalam negeri, bersorak ria ketika Jendral Suharto naik panggung. Dikatakan bahwa sesudah 'periode otoriter' Presiden Sukarno berakhir, Indonesia memasuki masa penuh harapan. Yang nyata terjadi adalah pembantaian masal terhadap warganegara tidak bersalah, atas tuduhan PKI atau pendukung PKI, atau yang pendukung Presiden Sukarno.

Karena, katanya, di bawah Jendral Suharto dimulai periode demokrasi (liberal). Kekuatan politik/militer yang didukung oleh Barat bertabuh-genderang, bersuka ria dimulainya 'era demokrasi' di Indonesia. Modal asing meluncur lancar masuk dan bersarang di Indonesia. Kekayaan bumi dan laut Indnesia dikuras dan din dibawa ke luarngeri. Pinjaman luarnegeri lebih-lebih lagi, mengucur masuk. Sebagian tampak membawa perubahan dengan berkembangnya infrastruktur. Tapi sebagian besar utang yang didapat dari World Bank dan IMF, yang pasti menjadi beban generasi kemudian turun temurun, dengan laju pula mengucur ke kantong koruptor-koruptor kakap. Terutama pada alamat seperti yang kita bisa saksikan. Pada dinasti Cendana. Sebagian yang juga tidak kecil ditanamkan pada BUMN, yang dalam kenyataannya dikuasai oleh militer-birokrat rezim Orba.

Antara lain yang begini-begini ini, bisa dibaca dalam surat-surat kabar sesudah jatuhnya Suharto. Akan semakin terungkap lagi kelak bagaimana KKN beroperasi dalam praktek, dan menguasai negeri kita, bila lembaga pengadilan dan kejaksaan Indonesia konsisten dalam melacak dan menangani kasus korupsi Suharto dan kroni-kroninya, seperti Yusril dan Awaludin Hamid.

Sesungguhnya sudah jelas bahwa kultur dan sistim politik di kebanyakan negeri-negeri Timur Tengah, apakah itu kesultanan atau kerajaan, republik atau menggunakan nama lain; tidak satupun dari negeri-negeri itu yang bisa dibilang negeri yang mempraktekkan prisnip-prinsip negara demokratis, HAM atau negara hukum. Kalau bukan sistim politik otoriter beradasarkan aliran agama tertentu, maka ia adalah monarki dimana sang rajalah yang punya wewenang menentukan segala. Bila dikatakan demikian, ini bukanlah suatu 'sinisme' spontan. Bila benar seperti apa yang diuar-uarkan bahwa hendak menyebar demokrasi dan HAM, bukankah ke negeri-negeri Timur itu sasarannya? Tetapi tidak, karena meskipun itu suatu monarki yang mempratekkan sisitim pemerintahan feodal, tetapi negeri-negeri itu adalah sekutu AS. Jadi sasarannya adalah Iraknya Saddam Hussein, karena Sadam Hussein punya nyali untuk tidak tunduk kepada AS dan menantang sang superpower AS.

Ungkapan diatas tadi, untuk sekadar menggambarkan bagaimana seorang presiden seperti Presiden G.W.. Bush, begitu ngotot mempertahankan sikapnya yang 'kepala batu' ingin bertahan di Irak.

Soalnya Bush punya ilusi, bahwa kekuatan militer dari luar yang sepuluh kali lebih unggul, seperti AS, akan bisa mengubah sistim politik suatu negeri yang punya sejarah dan tradisi kuno, seperti Irak. Bush punya keyakinan seperti itu, karena AS punya lebih banyak pesawat tempur dan pembom, memiliki lebih banyak meriam dan tank, lebih banyak kapal perang, termasuk yang bersenjata nuklir, dan lebih banyak punya dolar. Memang siapa yang bisa membayangkan, bahwa sesudah AS dan sekutunya masuk Bagdad sebagai suatu 'tentara pembebasan', meruntuhkan patung Sadam Hussein yang lebih gede dari gajah itu, juga mendapat sambutan beberapa ratus penduduk Bagdad, hari ini -- Senin, 09 April, empat tahun kemudian ---- chaos dan maut yang meliputi Bagdad dan Irak.

Dan adalah hari ini juga, empat tahun sesudah Irak 'dibebaskan' tentara Amerika dari 'tirani' pemerintahan diktatorial Saddam Hussein, ----- di Feluja puluhan ribu orang Irak pemeluk aliran Syiit dalam Islam, berdemonstrasi menuntut agar tentara Amerika yang dikatakan mereka 'menduduki' Irak harus segera mundur dari Irak. Mereka membakar sesuatu . . . . Ya Allah, bendera AS yang mereka bakar sambil berteriak- teriak, yang kira-kira bila diterjemahkan, teriakan itu dalam bahasa Inggris, berbunyi 'AMERICANS GO HOME IMMEDIATELY!'. Siapa menduga, bahwa perkembangan Irak akan jadi begini suram (bagi AS) jadinya. Imam golongan Syiit radikal Muqtada al-Sadr adalah 'orangnya' yang menyerukan demo 'go to hell American troops' ini.

* * *

Dengan mengikuti secara seksama situasi perkembangan di Irak dan Timur Tengah, kita, khusunya generasi muda kita, akan bisa menarik pelajaran yang amat berharga, bahwa suatu kekuatan dari luar, apakah itu berupa militer atau berupa dolar, atau berselubung agama, kapanpun tidak akan mampu mengubah nasib sesuatu bangsa. Bangsa itulah yang akan menentukan nasibnya sendiri.
Kekuatan demokratis yang tumbuh secara wajar di dalam negeri itu sendiri yang akan menentukan hari depan bangsa itu.

* * *

Tuesday, April 3, 2007

IBRAHIM ISA - (1) MENELUSURI TULISAN-TULISAN SEKITAR “PERISTIWA 1965”

IBRAHIM ISA
--------------------------
30 September 2006

MENELUSURI TULISAN-TULISAN SEKITAR
“PERISTIWA 1965” & CAMPUR TANGAN AMERIKA

Hampir setengah abad yang lalu (akhir 1965), di Indonesia telah terjadi suatu perubahan politik yang drastis. Gagalnya G30S yang dilancarkan oleh sekelompok perwira TNI, telah memberi kesempatan kepada Jendral Suharto untuk merebut kekuasaan negara. Selanjutnya Jendral Suharto melancarkan kampanye persekusi dan pembantaian masal terhadap kaum Komunis, golongan Kiri lainnya dan pendukung Presiden Sukarno. Pada waktunya Jendral Suharto melorot Presiden Sukarno secara formal dari jabatannya, dan Jendral Suharto menjadi penguasa tunggal Indonesia. Orba ditegakkan dibawah naungan bedil dan dihapuskannya hak-hak demokrasi. Dukungan politik terutama dan terpenting datang dari partai GOLKAR yang dibentuk oleh Jendral Suharto untuk keperluan itu.
Mengenai peristiwa G30S, pembunuhan masal oleh fihak militer dengan bantuan kekuatan politik/religius yang mendukungnya, dan digulingkannya Presiden Sukarno, terdapat pelbagai tulisan dan anlisis dalam jumlah besar, sebagai hasil penelitian dan studi oleh pelbagai pakar asing. Terdapat pelbagai varian kesimpulan yang itu semua merupakan bahan pelajaran bagi siapa saja yang menaruh perhatian untuk mencari kebenaran sekitar peristiwa tsb.
Bagi yang ada kepedulian untuk mengikuti tulisan-tulisan tsb, dibawah ini disajikan cuplikan tulisan seorang pakar asing, dalam bahasa Inggris, (kali ini) oleh Prof Dr. Mary Somers Heidhues, Universitas Passau .
Mudah-mudahan tulisan ini dan tulisan-tulisan yang akan di sajikan berikutnya, akan mendorong pembaca untuk memlihara dan meneruskan kegiatan studi masing-masing secara kritis, sekitar suatu peristiwa penting dan krusial dalam sejarah bangsa kita. Suatu peristiwa yang telah membawa begitu banyak korban, dan terjerumusnya negeri kita di bawah suatu rezim Orba yang anti-demokratis dan yang telah melakukan pelanggaran HAM terbesar dalam sejarah kita. Namun, produk rezim Orba, pertama-tama adalah telah dilumpuhkannya keberanian berfikir sendiri, dibikin tumpulnya kepekaan bangsa mengenai perhatian terhadap fkata-fakta yang sesungguhnya dalam sejarah bangsa kita. Fakta-fakra sejarah , yang tidak direkayasa.
* * *
Inilah bagian dari tulisan Prof. Mary Somers Heidhues, sbb:
THE US AND THE THE EVENTS LEADING UP
TO THE 1965 “COUP”
Whatever the case, during 1964 and 1965 “a domestic explosion was building up.With the PKI’s apparent surge toward dominance, Sukarno’s shifts to the left and anti-Western provocations, a collapsing economy, manifold intrigues of both the PKI and the army, each with its schemes to infiltrate each other, and the conspiratorial atmosphere heightened in mid-1965 by reports about Sukarno’s imminent fall or death, Jakarta bubbled with rumors in a feverish period aptly described by Sukarno as the “Year of Living Dangerously.” As has been shown by Bunnell, the U.S. responded to this situation with “largely consistent restraint [...] in contrast to the concurrent escalation of the American war in Vietnam.” Regarding Sukarno, there were two schools of thought among U.S. policymakers, one of accommodation, shaped by Ambassador Jones, hoping that actively influencing Sukarno and showing a friendly attitude towards him would moderate his anti-Western behavior, and one of “low posture”, shaped by U.S. officials in Washington who gained predominance after Jones departed from Indonesia in May 1965, viewing any initiative to influence Sukarno as futile. On balance, both approaches were consistent in believing that channels of communication with the Indonesian army should be kept open to fortify it for a showdown with the PKI, but also that essentially Indonesia would have “to save itself.”

As early as 1964 Jones had approached Nasution to explore possibilities of action by the army against the PKI. He asked Nasution “whether the army would take action against PKI if the party attempted exploit current economic difficulties through strikes, riots, etc. He [Nasution] said that PKI was still supporting Sukarno and would not go so far as to adopt tactics directed at Sukarno. If PKI did, however, Madiun [a 1948 purge of the Communists] would be mild compared with an army crackdown today.”^^92 To help the army prepare for such a counterinsurgency, the U.S. since 1962 provided military training at the Indonesian Army Staff and Command School in Bandung (SESKOAD) and aided the army to develop its “civic-action” programs, which brought the organization of the army’s political infrastructure down to the village level. As Scott has pointed out, SESKOAD also trained the army officers in economics and administration, “and thus to operate virtually as a para-state.” Ransom has suggested that the U.S. viewed education as an “arm of statecraft” and created a “modernizing elite” in Indonesia through the Ford Foundation, teaching the generals in counterinsurgency and how to run military-private enterprises, and educating economists and administrators at American top universities as part of a broader strategy which envisaged that key U.S.-trained Indonesians would eventually seize power “and put their pro-American lessons into practice.

This does not of course suffice as evidence to support Wertheim’s suggestion that the U.S. may have aided General Suharto in engineering the October 1 coup, even though it is clear that the NSC approved a covert action program in March 1965 with its main thrust being designed “to exploit factionalism within the PKI itself, to emphasize traditional Indonesian distrust of Mainland China and to portray the PKI as an instrument of Red Chinese imperialism. Specific types of activity envisaged include covert liaison with and support to existing anti-Communist groups, particularly among the [/less than 1 line of source text not declassified/], black letter operations, media operations, including possibly black radio, and political action within existing Indonesian organizations and institutions.” One of the operational objectives of this covert action program was also to “identify and cultivate potential leaders within Indonesia for the purpose of ensuring an orderly non-Communist succession upon Sukarno’s death or removal from office.”The body of CIA documents released to date does not, however, shed any light on the question how this program was implemented.

Several coup options were certainly discussed by U.S. policymakers in Washington and Jakarta by the beginning of 1965, when Indonesia’s military elite formed a “Council of Generals” to develop contingency plans for dealing with the mounting PKI threat. Ambassador Jones repeatedly claimed to have information from the inner circles of the army that it had “specific plans for a takeover of the government”, but in Washington skepticism prevailed as to how promising the prospects of an army takeover really were. In any case, the U.S. was apparently not prepared to intervene directly. Anti-American sentiments in Indonesia were on the rise since Sukarno had encouraged a campaign by PKI unions to harass U.S. installations and enterprises in February, a crisis which led to the dispatch of presidential envoy Ellsworth Bunker to Indonesia in March to assess the situation. His report became a policy blueprint recommending that “a reduced, non-provocative presence was the best means available to the U.S.”When the PKI called on Sukarno to break relations with the U.S. in a campaign accompanied by attacks on American diplomatic installations in August, the U.S. community in Jakarta was reduced from over 400 to only 35 officials. The U.S. Embassy in Jakarta, since July headed by the new Ambassador Marshall Green, was unable “to identify any feasible means –covert or overt- by which the United States could check the leftward drift of events.”

U.S. COMPLIANCE WITH THE INDONESIAN ARMY AFTER THE 'COUP'
However limited American power to influence, let alone manipulate, the events leading up to the “domestic explosion” of late 1965 seems to have been, the Americans were happy to assist the Suharto faction as soon as they realized that it was gaining the upper hand against Sukarno and the PKI. While acknowledging that events would “largely follow their own course” since they were “determined by basic forces far beyond our ability to control”, Ambassador Green recommended as soon as October 5, when it became apparent that the allegedly pro-Communist coup of September 30 had failed and a purge of the PKI in the countryside was beginning, to “spread the story of PKI’s guilt, treachery and brutality” and to assist the army “if we can find a way to do it without identifying it as solely or largely a U.S. effort.”

Both the Johnson administration and the Indonesian army were cautious at first regarding American aid, fearing that if it were discovered or credibly charged by Sukarno or PKI at this critical stage, as it had been during the regional rebellion, its effects could be counterproductive. As Suharto’s countercoup took shape, however, General Sukendro, a close aide to Suharto and Nasution, in November secretly procured communications equipment and small arms through the U.S. embassy in Thailand. The weapons were “to arm Moslem and nationalist youths in Central Java for use against the PKI,” whereas the communications equipment was destined for the army leadership itself and the “tactical unit level in the Central Java area.” “Special covert training at a safe site in use of the equipment” was also agreed upon.

In mid-December Under-Secretary of State George Ball exclaimed that the “Indonesian military leaders’ campaign to destroy the PKI is moving fairly swiftly and smoothly,” and expressed his confidence that “these developments will move so rapidly that we may be confronted within weeks with a situation we have hoped for, i.e. a new government, emerging or in being, that we can begin to talk to and deal with.”Thus the long-anticipated showdown between the army and PKI was finally taking place and the United States, preoccupied with the escalating war in Vietnam, clearly welcomed the emergence of the rightist military regime under General Suharto who was to court Western support as soon as he effectively eased Sukarno out of power in March 1966.

It should be noted that the U.S. policymakers were completely aware of the tragic social breakdown that was taking place in Indonesia and what the American supplies of arms and communications equipment, whatever modest these may have been, were being used for. In mid-November the U.S. consul in Medan described in a cable to the Department of State the “bloodthirsty” attitude of youth groups who were “cornering and beating to death” PKI members in North Sumatra, further stating that “something like a real reign of terror against PKI is taking place. This terror is not discriminating very carefully between PKI leaders and ordinary PKI members with no ideological bond to the party.” Washington remained acquiescent.

Another issue that has been brought up recently is that U.S. officials systematically compiled lists of PKI cadres and passed them to the perpetrators. In the investigative reporting of Kathy Kadane, Robert J. Martens, a former member of the U.S. Jakarta Embassy’s political section who reportedly had compiled these lists, is quoted as saying somewhat boastfully: “It really was a big help to the army. They probably killed a lot of people, and I probably have a lot of blood on my hands, but that’s not all bad. There’s a time when you have to strike hard at a decisive moment.” Martens later stressed that “the names I gave were based entirely –I repeat entirely- on the Indonesia Communist press and were available to everyone.” In any case it is inappropriate to suggest that U.S. assistance to the Indonesian army was pivotal during the purge of PKI, since, as has been noted by Bunnell, “it is clear that indigenous Indonesian political and social forces, together with accidental factors, were the prime determinants of the watershed events of Indonesian politics in 1965.” The provocative actions of the PKI, and of Sukarno himself, both of which have not been discussed thoroughly in this commentary, certainly contributed significantly to the tragedy. And yet, as noted in Bunnell’s words in the introductory remarks, the U.S. was “surely an important and witting accomplice.”

CONCLUSION
The misguided, ill-conceived and ultimately counterproductive U.S. covert operation during the regional rebellion in 1957-58 and the acquiescent, even supportive U.S. policy stance towards the brutal military takeover in 1965-66 remain a cause for Indonesian mistrust of outside powers, particularly the United States, to this day. During both these episodes the United States was guided by alarmist assessments of the Indonesian situation as well as a “just war” mentality, sacrificing professed American moral standards for the sake of “saving” Indonesia from falling to the Communist bloc, and failing to acknowledge the human destruction which was inflicted on Indonesia by the ideological polarization of the Cold War era. U.S. decision makers also ignored the powerful nationalist current that ultimately kept the regional rebels from fighting ferociously against Jakarta and may also have kept the PKI from dragging Indonesia into the Communist bloc in case it had been given a chance to share power in the Indonesian government. In both these episodes, the irresistible appeal of nationalist, anticolonial, and anti-Western currents to Indonesians was very much evident.
The unintended effects of U.S. actions have proven most consequential to developments in Indonesia. In the case of the abortive regional rebellion, a polarization of the formerly pluralistic political scene ensued, concentrating power in the hands of Sukarno, the army and the PKI. Thus the stage was set for the radicalization of the 1960s that eventually led to the tragedy of 1965-66. The military regime that was initially welcomed and subsequently nurtured by the U.S. seemed to serve Western interests well during the Cold War era, but its legacy of corruption, mismanagement and human rights abuses has left Indonesia traumatized again and is causing renewed headaches for U.S. policy makers concerned with a prosperous and stable Indonesia in the current age.
There is, to be sure, an important difference between the two episodes of U.S. involvement in Indonesian affairs described above. Whereas the U.S. backing of the regional rebellion was based on the assumption that the U.S. could effectively manipulate events in this far-flung archipelagic nation to serve its interests, the U.S. policy stance leading up to the tragic events of 1965 was apparently somewhat more astute in acknowledging that American power was too limited to make much of a difference. In any case, it should be stressed that this commentary does not seek to claim American responsibility for all developments in Indonesia since its independence, be they good or bad, for the story of Indonesia has been mainly the story of Indonesians, after all.
And yet, even as the events described in this commentary may seem to be distant episodes of the Cold War, episodes that are all over and done with, lessons can still be drawn from it. The recent outbreaks of anti-American sentiments in Indonesia triggered by U.S. intervention in Afghanistan in its so-called “War against Terror” are potentially disruptive for the domestic political setting and may serve as only the latest proof of persistent Indonesian perceptions of the United States as an imperial power. * * *

IBRAHIM ISA dari BIJLMER -- MENELUSURI TULISAN SEKITAR 'PERISTIWA 1965'-- < 3 >

IBRAHIM ISA dari BIJLMER
Jumat, 06 Oktober 2006
-------------------------------------
MENELUSURI TULISAN SEKITAR 'PERISTIWA 1965'-- < 3 >


* * *

Entah kapan Menkum HAM, Hamid Awaluddin, akan datang ke Den Haag dan Paris, masih belum jelas. Katanya dalam bulan Oktober ini. Tapi siapa tahu? Menurut berita yang tersiar sebegitu jauh, maksud kedatangan beliau adalah untuk melaksanakan kebijaksanaan Presiden SBY bersangkutan AJAKAN PULANG bagi para eksil yang sejak 1965 bermukim di pelbagai negeri . Katanya, urusan tsb diharapkan selesai dalam sebulan (sic!).

Apa bisa menyederhanakan soal pencabutan paspor secara sewenang-wenang oleh penguasa, --menjadi demikian 'simple'? Bukankah soalnya begitu serius dan berat? Bukankah hal itu berlatar belakang pelanggaran HAM terbesar dalam sejarah Indonesia, i.e. Peristiwa 1965. Semua meyadari bahwa dampak dan akibat (pelanggaran HAM oleh penguasa militer sejak 1965 ) terhadap rakyat biasa, sampai sekarang masih berlangsung terus. Para korban dengan keluarganya yang meliputi sekitar 20 juta jiwa itu, masih terus memikul penderitaan didiskriminasi, dimarginalisasi, distigmatisasi, dikucilkan dan disudutkan, dituduh, difitnah dan sekali lagi difitnah. Sampai sekarang ini masih ada keluarga , atau salah satu anggotanya, yang masih takut mengakui bahwa si Badu atau si Polan itu adalah bapak atau pamannya, adik atau abangnya, bahwa itu adalah keluarga mereka. Mengapa? Sederhana saja sebabnya. Karena si Polan dan si Badu itu adalah eksp-tapol, pernah di Buru, pernah dipenjarakan, pernah dekat dengan PKI atau memang pernah PKI. Seperti pengakuan seorang eks tapol dalam tulisannya baru-baru ini.

Yang oleh penguasa Orba dan pendukungya , dianggap kejahatan terbesar di Indonesia, adalah bila dulunya pernah ikut gerakan yang berafiliasi dengan PKI, atau malah pernah anggota PKI. Bahkan bukan anggota PKI sekalipun, asal saja dituduh PKI atau simpatisan PKI, sudah cukup diperlakukan sewenag-wenang oleh penguasa.

Coba saja simak berita-berita sekitar 30 September, sementara pers getol sekali menonjolkan tentang apa yang dikatakan 'bahaya Komunis' dan 'bahaya bangkitnya kembali PKI', dsb. Mengingatkan kembali bahwa kurikulum pelajaran sejarah, sesuai TAP MRPS No. XXV, Th 1966, harus menyoroti tentang 'bahaya komunis'. Meskipun tidak ada satu manusia jujur dan normal bisa percaya berita-berita dan isu-isu yang menyangkut 'bahaya komunis' dsb, tokh berita-berita seperti itu tak pernah berhenti. Apa maksudnya kalau bukan untuk menyabot usaha dan kegiatan menuju ke rekonsiliasi nasional atas dasar kebenaran dan keadilan. Bahkan maksud sementara aktivis pro-demokrasi dan reformasi, dalam masyarakat untuk mendirikan Partai Persatuan Pembebasan Nasional, yang bertujuan untuk mempersatukan kekuatan poitik alternatif, terbanding kekuatan-kekuatan politik yang berkuasa sekarang yang sudah begitu bergelimang dengan birokrasi, bias kekuasaan dan korupsi, belum lagi lahir sudah didemo. Tak ketinggalan dituduh bahwa itu adalah 'gerakan komunis'.

Banyak dari para eksil yang sudah mengambil kewarganegaraan negeri tsb, tidak lain tidak bukan, karena keterpaksaan, demi pertimbangan keamanan dan pertimbangan lainnya. Ajakan SBY agar “para mahid” pulang, sesungguhnya sudah tidak relevan lagi. Karena sebagian besar dari para eksil itu sudah beberapa kali pulang balik ke Indonesia, melepas rindu dengan tanah air dan keluarga. Mereka bisa pulang, karena sudah memiliki paspor asing.

Tragis juga, orang-orang eksil Indonesia yang sudah memiliki paspor asing, malah merasa lebih aman, tahu dan yakin ada jaminan ada otoritas yang melindungi mereka. Bahwa bila “terjadi apa-apa” - misalnya “diamankan”, pada waktu berkunjung ke Indonesia - , ada suatu pemerintah, suatu negara yang akan tampil membela hak-hak mereka sebagai warganegara, sebagai manusia. Negara atau pemerintah tsb adalah negara dimana mereka pernah minta suaka dan kemudian memperoleh kewarganegaraan negeri tsb.

* * *
Walhasil, beginilah saran saya kepada Menteri Menkum HAM, Hamid Awaluddin, yang akan datang hendak menjumpai (mudah-mudahan bersedia untuk berdialog dan bertukar hati sebagai sesama bangsa Indonesia) 'para eksil' yang empatpuluh tahun lebih dengan sewenang-wenang dicabut paspornya:

Please, please, please, diharap janganlah menganggap masalah kesewenang-wenangan penguasa mencabut paspor warganegara sendiri yang tak bersalah, yang dalam tahun 1965 kebetulan sedang berada diluarnegeri, --- sebagai soal 'mengajak mereka pulang' semata. Jangan menganggap masalah itu sebagai sekadar masalah memberikan paspor baru. Jangan anggap soal itu sekadar mengisi formulir di KBRI, . . . . habis ceritera.

Jangan ---- jangan! Sebab itu berarti mengambil sikap munafik seperti 'burung unta' yang meyembunyikan kepalanya dalam pasir. Dengan berbuat demikian, ia menganggap bahwa yang ia (pura-pura) tidak lihat itu, adalah sebagai sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, sebagai sesuatu yang non-existence. Bukankah sikap demikian itu berarti menutup mata terhadap kenyataan yang riil.

* * *

Belum lama berselang, dalam rangka menanggapi masalah orang-orang Indonesia yang dengan sewenang-wenang dicabut paspornya oleh Orba, seorang wartawan Radio Hilversum, Abuprijadi Santoso, menulis sebuah artikel di s.k berbahasa Inggris, The Jakarta Post. Artikel tsb berjudul ( dalam bahasa Inggris). berjudul

RECOGNIZING and RECTIFYING THE ERRORS OF THE PAST. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan bebas: MENGAKUI DAN MENGKOREKSI KESALAHAN DI MASA LAMPAU

Artikel Tossi (sapaan akrab terhadap Abupriyadi Santoso) tsb baik dan oleh karenanya pantas dibaca oleh Menkum HAM, Hamid Awaluddin. Semoga memperluas pemahaman beliau mengenai masalah yang akan ditanganinya.

Abupriyadi Santoso menitik beratkan pada masalah MENGAKUI KESALAHAN LAMPAU -- kesalahan pelanggaran undang-undang dan HAM, mencabut paspor warganegara yang tidak bersalah – kemudian harus MEREKTIFIKASINYA, MENGKOREKSINYA.

* * *.

Juga mengenai masalah yang sama, yaitu masalah orang-orang Indonesia eksil, Dita Indah Sari, Ketua PRD, menulis sebuah artikel di sk Jakarta Post, 03 Oktober 2006.Dita Indah Sari menyatakan bahwa: Para warga yang dicabut paspornya secara sewenang-wenang itu, sikap pemerintah bukanlah memberikan mereka suatu 'mercy' , 'belas kasihan' atau 'pengampunan'. Yang harus dilakukan pemerintah adalah memberlakukan KEADILAN, JUSTICE . Judul artikel Dita Sari berbuyji sbb:
STATELESS INDONESIANS DESERVE JUSTICE NOT MERCY.

Tepat sekali Dita Sari ketika menyoroti mereka yang sekarang disebut orang-orang EKSIL itu, ' bukan kaum separatis, ' were not separatists. Nor did they try to divide the Unitary Republic of Indonesia (to borrow the government's terminology) . Many even took part in or were involved in the war to defend the republic from the Dutch, and, ironically, were subsequently abandoned by the republic.Unlike GAM, they never once stopped feeling themselves to be Indonesian, loving Indonesia, thinking like Indonesians, speaking the Indonesian language. Like a child yearning for its mother, they are tired of longing for their mother country from afar.

Perhatikan yang ditulis Dita Sari menanggapi kelirunya penggunaan kata-kata 'mahid' dalam mempersoalkan orang-orang Indonesia yang paspornya dicabut sewenang-wenang oleh penguasa”:
'First, the term used by the government to refer to the exiles is "eks-mahid", meaning former government contracted students. They are referred to by this term because after their period of study was completed, they were obliged to work as government employees for a certain period of time as their overseas studies had been paid for by the state. This term is erroneous because it was not only students who lost their citizenship following the G30S affair but everyone who at the time was overseas and deemed to be politically opposed to the New Order regime. '. . . . . The name "eks-mahid" is actually misleading, even divisive. Will the rehabilitation policy only apply to former students? It would be more correct and fairer for them to be categorized as political victims of Soeharto's New Order.

'Second, according to Yudhoyono and Awaluddin the planned repatriation is based on the spirit of reconciliation following the ratification of the new Citizenship Law. There are also humanitarian grounds, because most are now quite old. However this way of thinking is narrow and shallow in character. Why? Because the exiles' problem is a political one, not just administrative. Therevocation of their citizenship while carrying out duties overseas violated the lawand human rights. It is a political crime because it resulted in hundreds, perhaps thousands, of people suddenly becoming stateless, without status and being abandoned to live in a foreign country for years.

'Therefore, the issue must be resolved through a policy decision by the government. The resolution of the exiles' problems should not be linked with the problem of naturalization. Awaluddin's call for the Foreign Affairs Ministry to facilitate the issuance of their citizenship documents indicates that the government does not understand, or pretends not to understand, the real issues. If they are asked to submit a request for naturalization, it means the exiles are equated with other foreign citizens who apply for Indonesian citizenship.

'The good intentions and the seriousness of the Yudhoyono government can be measured by asking the following questions: Is the government willing to acknowledge that the revocation of the exiles' citizenship was a human rights violation and then correct this? Does the Yudhoyono government have the courage to apologize for the political crimes of the New Order? How long will the government continue to cover up the New Order's actions?

'Without addressing this issue, administrative restoration of the exiles' citizenship means the Yudhoyono government denies the human rights violations and injustices committed against thousands of Indonesian people. The spirit of reconciliation and humanitarianism cannot be built on the negation of truth and justice.

'If this aspect remains unaddressed, there will be suspicions that the government only wants to build up an image as a gladiator or hero of human rights, especially so now that it is eying the chair of the United Nations Human Rights Commission. Or perhaps Yudhoyono is dressing up his image to win a Nobel Prize?'

* * *

Kritik Dita Sri terhadap pemerintah mengenai masalah pencabutan paspor secara sewenang-wenang oleh Orba, sungguh tajam. Ia menyatakan bahwa bila masalah pelanggaran HAM tsb tidak dikoreksi, akan terdapat kecurigaan bahwa pemerintah hanya hendak membangun imago sebagai gladiator atau pahlawan HAM, khususnya ketika dewasa ini pemerintah sedang melirik kedudukan sebagai ketua Komisi HAM PBB. Atau barangkali Yudhoyono sedang memperindah imagonya untuk memenangkan Hadiah Nobel?

Betapapun tajam dan pedasnya kritik banyak tulisan terhadap beleid pemerintahi, termasuk kritik Dita Sari, tidak ada jalan lain bagi suatu pemerintah yang benar-benar menyatakan memahami dan mengerti HAM dan mengatahui nasib warganegaranya sendiri yang diperlakukannya secara tidak adil itu ---- kecuali seperti disarankan dalam judul tulisan Abupriyadi Santoso, yaitu:

MENGAKUI DAN MENGKOREKSI KESALAHAN MASA LAMPAU!.

* * *

Berikut ini dimuat selengkapnya artikel Dita Indah Sari dalam The Jakarta Post, 3 Okt 2006:
STATELESS INDONESIANS DESERVE JUSTICE NOT MERCY -- October 3, 2006
===================================================================
Dita Indah Sari, Chairwoman of the PRD (The People's Democratic Party)

For more then 40 years they have lived overseas after the land where they spilled their blood denied them an entry. This is not a sort of fairy tale, but an episode of history -- a la Indonesia.

Following the eruption of the 30 September Movement (G30S) affair in 1965, hundreds of Indonesian nationals were unable to return home after they were deprived of their passports. It was these people, studying or working overseas in an official capacity, who were precisely the ones who lost their citizenship due to their different political viewpoints. The victims were those deemed to be supporters of founding President Sukarno's political line of Nasakom -- Nationalism, Religion, Communism – or members/sympathizer s of the Indonesian Communist Party (PKI).

After the massive bloodbath that took place all over the country, for Soeharto's New Order regime annulling their passports was therefore a relatively simple matter.

Following the G30S affair, the fate of the many families left behind was unclear, not knowing if they were dead or alive. Most of these victims were forced to suffer endlessly in one place after another until eventually they decided to live in one country where they have stayed to this day. Initially being political escapees, as they needed legal, security and economic certainty they were forced to change their citizenship.

Decades of their productive time elapsed without their being able to contribute anything to the mother country. They are scattered across countries such as Germany, France, the Netherlands, Sweden, Russia and China. On average, they are elderly, over 60 years old.

The political situation began to change after 1998. The government of President Abdurrahman "Gus Dur" Wahid once tried to initiate their repatriation and restoration of their civil rights. Then Minister of Justice and Human Rights Yusril Ihza Mahendra flew to Europe to meet with their representatives, although the effort failed on account of political reasons. For its efforts, the Gus Dur government was accused of compromising with the PKI (Gus Dur also proposed the revocation of a People's Consultative Assembly decree banning the PKI). His successor, Megawati Soekarnoputri, who is Sukarno's eldest daughter, should have been more concerned about the issue, but she remained silent.

More recently, President Susilo Bambang Yudhoyono expressed a desire to repatriate them, with Minister of Justice and Human Rights Hamid Awaluddin being tasked with taking charge of the process. The current government wants to give them back their passports and citizenship based on the newly enacted Citizenship Law. The government's intentions are positive, but from various statements the government has made, there are a number of basic issues that need correction, criticism or even challenge.

First, the term used by the government to refer to the exiles is "eks-mahid", meaning former government contracted students. They are referred to by this term because after their period of study was completed, they were obliged to work as government employees for a certain period of time as their overseas studies had been paid for by the state. This term is erroneous because it was not only students who lost their citizenship following the G30S affair but everyone who at the time was overseas and deemed to be politically
opposed to the New Order regime. They were also delegates from various mass organizations (laborers', farmers', young women's, academic, cultural, sporting and journalists' groups), Indonesian representatives on various international organizations and forums, and state officials.

The name "eks-mahid" is actually misleading, even divisive. Will the rehabilitation policy only apply to former students? It would be more correct and fairer for them to be categorized as political victims of Soeharto's New Order.

Second, according to Yudhoyono and Awaluddin the planned repatriation is based on the spirit of reconciliation following the ratification of the new Citizenship Law. There are also humanitarian grounds, because most are now quite old. However this way of thinking is narrow and shallow in character. Why? Because the exiles' problem is a political one, not just administrative. The revocation of their citizenship while carrying out duties overseas violated the law and human rights. It is a political crime because it resulted in hundreds, perhaps thousands, of people suddenly becoming stateless, without status
and being abandoned to live in a foreign country for years.

Therefore, the issue must be resolved through a policy decision by the government. The resolution of the exiles' problems should not be linked with the problem of naturalization. Awaluddin's call for the Foreign Affairs Ministry to facilitate the issuance of their citizenship documents indicates that the government does not understand, or pretends not to understand, the real issues. If they are asked to submit a request for naturalization, it means the exiles are equated with other foreign citizens who apply for Indonesian citizenship.

The good intentions and the seriousness of the Yudhoyono government can be measured by asking the following questions: Is the government willing to acknowledge that the revocation of the exiles' citizenship was a human rights violation and then correct this? Does the Yudhoyono government have the
courage to apologize for the political crimes of the New Order? How long will the government continue to cover up the New Order's actions?

Without addressing this issue, administrative restoration of the exiles' citizenship means the Yudhoyono government denies the human rights violations and injustices committed against thousands of Indonesian people. The spirit of reconciliation and humanitarianism cannot be built on the negation of truth and justice.

If this aspect remains unaddressed, there will be suspicions that the government only wants to build up an image as a gladiator or hero of human rights, especially so now that it is eying the chair of the United Nations Human Rights Commission. Or perhaps Yudhoyono is dressing up his image to win a Nobel Prize?

The government's readiness to give amnesty, to rehabilitate and to provide assistance to the leaders and supporters of the Free Aceh Movement (GAM) is a painful slap in the face. The exiles were not separatists. Nor did they try to divide the Unitary Republic of Indonesia (to borrow the government's terminology) . Many even took part in or were involved in the war to defend the republic from the Dutch, and, ironically, were subsequently abandoned by the republic.

Unlike GAM, they never once stopped feeling themselves to be Indonesian loving Indonesia, thinking like Indonesians, speaking the Indonesian language. Like a child yearning for its mother, they are tired of longing for their mother country from afar. * * *

IBRAHIM ISA dari BIJLMER -- <4> MENELUSURI TULISAN SEKITAR 'PERISTIWA 65'

IBRAHIM ISA dari BIJLMER
---------------------------------------------

Selasa, 10 Oktober 2006.


<4> MENELUSURI TULISAN SEKITAR 'PERISTIWA 65'
<'Cerpen' TRI RAMIJO – Ketika'Diamankan' Orba>

Aku tulis 'Cerpen' pada sub-judul tulisanku kali ini. Itu memang disengaja. Karena, yang ditulis oleh Tri Ramijo, sesungguhnya adalah pengalamannya sendiri. Adalah siksa dan nista yang dideritanya pribadi ketika 'diamankan' oleh petugas keamanan Orba.

Tri Ramijo mengisahkan bagaimana ia disiksa sejadi-jadinya ketika di tahan, 'diperiksa' oleh seorang interogator dari fihak keamanan tentara.

Tri Ramijo, ----- aku kenal dia. Termasuk kenalan lama. Bapaknya, seorang Digulis, pejuang kemerdekaan, juga kukenal.

Ketika bertemu Tri Ramijo di Jakarta beberapa tahun yang lalu, Tri mengisahkan pengalamannya sebagai eks-tapol untuk bisa survive. Sesudah lepas dari penjara pembuangan Orba, Pulau Buru, tamatan jurusan bahasa Jepang, Universitas Tokyo ini, terpaksa menganggur. Tapi ia bertekad untuk tidak menyerahkan hari depannya pada nasibnya. Demikianlah, Tri harus menyambung hidupnya untuk beberapa lamanya sebagai 'tukang asah gunting' keliling rumah-rumah orang kaya di Menteng. Modal untuk jadi 'tukang asah gunting' itu diperoleh Tri dari peninggalan, katakanlah 'warisan' bapaknya. Sebuah 'batu asahan' tua. Barangkali belakang hari nanti, Tri bisa menceriterakannya sendiri.Kita tunggu saja.

* * *

Aku masih ingat. Tanggal 1 Oktober 1965 di Bangkok dalam perjalanan ke Jakarta. Ketika itu, kegiatanku dalam rangka mensukseskan 'KIAPPMA'. Baru kembali dari menyelesaikan tugas KIAPPMA < Konferensi Inernasional Anti Pangkalan-Pangkalan Militer Asing> mengunjungi beberapa negeri Afrika dan Timur Tengah.

Ketika tiba di Bangkok ada tilpun dari KBRI (kemenakanku seorang diplomat muda). 'Oom', katanya. 'Jangan ke Jakarta. Situasi gawat. Kolonel Untung sudah kalah'. Aku heran dan bingung, ada apa di Indonesia? Kembali bertanya apa yang terjadi di Jakarta sampai hubungan luar negeri dengan Jakarta putus, dan lapangan terbang Kemayoran tutup. Dan siapa Kolonel Untung itu? Belakangan baru kudengar lagi bahwa yang terjadi adalah peristiwa G30S dan terbunuhnya 6 orang jendral dan seorang perwira menengah TNI. Bahwa ada 'kup' dan bahwa 'kup itu gagal' dan keadaan sudah 'dikuasai'oleh Jendral Suharto.

Begitu bandara udara internasional Kemayoran buka lagi, aku tokh berangkat ke Jakarta, karena tugas KIAPPMA belum selesai. KIAPPMA sesuai rencana akan berlangsung dalam bulan Oktober 1965 itu. Di Jakarta kelihatannya tenang-tenang saja.

Ramai diberitakan oleh pers yang sudah dibersihkan dari sk-sk Kiri seperti Harian Rakyat, Warta Bhakti, Bintang Timur dan banyak lainnya lagi, kecuali yang dikendalikan dan di bawah pengelolaan langsung fihak militer, tentang 'kekejaman-kekejaman' anggota-anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat, orang-orang PKI kata mereka, yang menyiksa, seperti memotong kemaluan dan mencongkel mata para jendral yang kemudian dibunuh di Lubang Buaya. Berita-berita tsb disiarkan berkal-kali setiap hari oleh media cetak maupun elektronik. Dengan demikian timbullah gambaran bahwa telah terjadi kup, tetapi digagalkan oleh pasukan-pasukan Kostrad di bawah pimpinan Jendral Suharto. Kedudukan dan otoritas Presiden Sukarno tidak jelas, tetapi yang jelas ialah bahwa yang memegang kekuasaan, paling tidak di Jakarta, adalah Jendral Suharto yang telah mengambil alih pimpinan TNI-AD.

Yang digambarkan ialah 'kekejaman dan 'kebiadaban' anggota Gerwani/Pemuda Rakyat/PKI di Lubang Buaya terhadap perwira-perwira tinggi TNI.Kemudian ternyata apa yang diberitakan sebagai 'kekejaman dan kebaidaban' Gerwani/Pemuda Rakyat/ PKI tsb, SAMASEKALI BOHONG. Samasekali rekayasa. Orang-orang Gerwani yang ditangkap militer kemudian di bawah siksaan disuruh mengakui perbuatan kejam di Lubang Buaya itu, belakangan membongkar sendiri tentang kebohongan fihak militer tsb. Yang terpenting ialah disiarkannya laporan dokter-doker tim forensik resmi yang memeriksa jenazah para jendral. Tim forensik menegaskan bahwa tidak ada samasekali bekas-bekas atau tanda-tanda adanya penyiksaan, seperti pemotongan kemaluan dan pencungkilan mata dsb. Jadi yang dinamakan 'kejaman dan kebidaban' Gerwani/Pemuda Rakyat/ PKI itu adalah rekayasa belaka.

Rekayasa fihak militer tsb kemudian ternyata sengaja diregisir untuk memberikan 'alasan' dan 'legimitas' dilakukannya pengejaran, penangkapan, penyiksaan, pemenjaraan, pembuangan dan pembunuhan masal terhadap orang-orang PKI, yang dianggap PKI atau simpatisan PKI serta orang-orang KIRI lainnya yang mendukung Presiden Sukarno. Pelanggaran HAM terbesar oleh penguasa militer dan pendukung-pendukungnya tsb, jelas, dilakukan tanpa proses peradilan apapun. Bahkan dalam banyak hal para korban tsb, tidak tahu menahu, mengapa mereka dipersekusi begitu kejam?

* * *

Cerita Tri Ramijo, dimuat selengkapnya di bahwa ini, mengungkapkan sebagian dari kekejaman dan kebiadan yang benar-benar terjadi dilakukan oleh fihak penguasa militer yang berkuasa, terhadap warganegara yang tidak bersalah, patuh pada undang-undang dan pendukung Presiden Sukarno.

* * *

CERPEN TRI RAMIDJO
-------------------------------
Hari Ke-8 Puasa, 1 Okt. 2006

AKU BUKAN HANYA ANAK PKI TAPI AKU ADALAH JUGA PKI.
Aku terduduk lesu di kursi kayu.
Di depanku ada sebuah meja dan di atas meja itu ada cambuk yang terbuat dari ekor ikan pare dan di ujung cambuk itu diberi paku kecil, sehingga kalau cambuk itu dipukulkan pakunya menancap ke tempat yang dipukul dan kemudian cambuk itu ditarik keras, maka tergoreslah kulit dan mengalirlah darah merah segar. Selain cambuk itu juga ada kabel dengan alat2nya untuk menyetrom yang dilakukan oleh para interogator bukan hanya dengan setrom battery tapi setrom listrik sungguhan.

Melihat alat2 penyiksa itu saja, siapa pun orangnya pasti merasa bergidik, Tiga orang interogator, seorang letnan RPKAD, seorang sersan dan seorang lagi kelihatannya bukan militer.
Perhatianku tertuju kepada interogator yang bukan militer ini. Pakaiannya berwarna kebiru-biruan. Perawakannya sedang, raut mukanya berbentuk daun sirih dan warna kulitnya Sawo matang.

"Do you remember me?" katanya tertuju kepadaku.
"Tidak". Jawabku.
"Jangan bohong, terus terang saja. Semuanya akan lancar dan tak perlu penyiksaan." Katanya.
"Maaf, saya tidak kenal bapak." Kataku menegaskan.
"Bagus. Tapi kamu kenal Nyoto 'kan.? Zain Nasution, Suripto, Karel Supit?" katanya dengan suara menghardik. Dia menyebut beberapa nama lagi yang tak bisa kuingat lagi.

Dia mulai menamparku dan aku tidak mengelak. Tamparan ketiga membuat kacamataku jatuh dan pecah sebelah. Kuambil kacamata yang jatuh dilantai tapi dia menginjaknya dan jadilah kacamata itu berkeping-keping.

Aku meludah keluar darah dari mulutku dan aku berdiri tegak. Aku tidak kembali duduk di kursi walau berkali-kali diperintahkan.

Aku berusaha berdiri mendekati tembok.
Ketiga orang iunterogator itu berdiri di depanku.
Interogator yang bermuka bentuk daun sirih itu meninjuku dengan keras.Dengan gerak refflek aku mengelak dan dengan begitu dia meninju tembok yang keras itu.

"Aduh" teriaknya. "Kamu bisa karate, ya." Sergahnya.
Tapi rupanya karena aku mengelak ditinju mereka bertiga mengerubutiku seperti mengkroyok maling ayam.

Aku benar2 tak berdaya menghadapi tiga orang. Kursi kayu jati itu dipakainya sebagai bahan pemukul sampai remuk.
Aku tidak menghindar lagi. Aku hanya pasrah dan tidak mengelak. Hanya setiap pukulan yang mengarah ke kepala aku elakkan.

Akhirnya mereka meletakkan kaki meja ke kuku jempol kaki kananku. Mereka duduki meja itu bertiga,.
Aku tidak mengaduh sepatah kata pun. Aku hanya mengucapkan kata tauhid terus menerus. Laillahaillellah....Hanya kata itu yang bisa kuucapkan terus menerus.

Mukaku penuh berlumuran darah. Kuusap darah itu dengan baju putihku.

Merah, merah darah. Aku sangat geram dan marah. Dalam hatiku bernyanyi:
"Darah Rakyat masih berjalan menderita sakit dan miskin.
Pada datangnya pembalasan Rakyat yang menjadi hakim.
Rakyat yang menjadi hakim hayo hayo bersiap sekarang.
Pasanglah di tembok dan tiang, panji-panji warna merah.
Yakni warna darah Rakyat, yakni warna darah Rakyat."

Aku tak tahu dan tak sadarkan diri kalau aku sudah berada di sel tahananku. Sel ini berdinding papan dan di depan dan di atas sel diberi kawat berduri.

Teman seselku membantuku bangkit. Aku minta tolong dibawa ke kamar mandi. Aku mandi sepuasnya. Kusirami seluruh tubuhku dengan air. Kuminum air mentah itu sebanyak-banyaknya. Dan aku berdo'a semoga Allah memberiku kekuatan dan menyembuhkan seluruh luka2 di tubuhku.

Alhamdulillah, aku merasa segar. Punggungku yang dipukuli dengan kursi kayu jati itu tidak terasa jarem lagi.
Setelah kembali dari kamar mandi aku meminjam buku kecil Surat Yasin teman seselku. Ayat demi ayat kubaca pelan-pelan. Aku tidak pintar mengaji. Hanya sekedar bisa dan mengerti apa yang kubaca.
Akhirnya setelah makan malam walau dikerubuti nyamuk, aku tidur nyenyak sampai pagi.

Hari berikutnya aku diinterogasi lagi.
"Kamu hebat, ya, Kemarin kamu pura-pura pingsan, ya. Sekarang kamu segar bugar." Kata interogator itu.

Aku diam saja. Tak sepatah pun kuucapkan.
"Jawab. Kamu PKI kan? Kamu anak Digul, kan? Bapakmu dedengkot PKI." Hardiknya.

"Di Digul kamu tinggal di kampung B, kan? Bapakmu tukang pancing dan teman mancingnya pak Maskun, kan?"

"Pamanmu, adik bapakmu yang menulis laporan ini. Jadi ini fakta actual. Jangan coba-coba membantah. Mengaku saja. Pamanmu orang besar dan kamu bisa ikut pamanmu." Katanya.

"Sekarang jawab, bapakmu PKI dan kamu sendiri PKI kan? Jawab !" Hardiknya.

"Ya, betul. Ayahku memang PKI dan mendapat pengesahan dari Departemen Sosial R.I. Ayahku tercatat sebagai anggota PKI (Perintis Kemerdekaan Indonesia) dan setiap bulan menerima tunjangan sosial dari pemerintah. Dan saya sendiri walaupun tidak diasingkan oleh Belanda ke Digul tapi karena sejak bayi abang mengikuti orang tua yang dibuang ke Digul saya adalah juga PKI (Perintis Kemerdekaan Indonesia)." Jawabku tegas.

Bagaimana reaksi interogator mendengar jawabanku?
Dapat dibayangkan. Seterom listrik dan alat-alat penyiksa lainnya segera beraksi.
Dan di hari tuaku sekarang ini, baru kuketahui bahwa penyakit stroke yang tidak sembuh-sembuh ini juga adalah akibat siksaan 40 tahun yang lalu.

Ini kuketahui ketika seorang tukang urut ahli bertanya kepadaku. "Apakah bapak pernah tertimpa pohon atau barang berat di punggung kanan? Banyak urat-urat syarafnya yang putus", katanya.

Aku tidak bisa menjawab. Hanya kukatakan mungkin aku pernah terjatuh waktu kecil.?

Dan ketika aku terdampar di Pulau Buru dari kawan-kawan tapol (tahanan politik), baru kuketahui nama interogator yang menginterogasiku dengan sangat kejam itu tidak lain adalah salah seorang anggota pimpinan pusat IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) yang namanya cukup terkenal dan bahkan katanya ketika pernikahannya mendapat sambutan dari ketua CCPKI D.N.Aidit, dikudang-kudang untuk menjadi keluarga teladan. Interogator itu tidak perlu kusembunyikan namanya, namanya ialah DATONG SUDIARTO.


* * *

Kolom IBRAHIM ISA - AMSTERDAM HOUDT VAN WIJI THUKU

Kolom IBRAHIM ISA
25 oktober 2003



AMSTERDAM HOUDT VAN WIJI THUKU,
MAAR YUSRIL 'HATE THEM' - DE NEDERLANDERS.



De sfeer was een en al blijdschap, door het aanschouwen van de videofilm (de bovengenoemde film van Tinuk Yampolsky), waarin te zien hoe Wiji zijn gedichten voordroeg, met de blik in zijn ogen die leken of ze vuur spuwen, terwijl zijn stem luid de
onrecht ten strijd ging en de overheid terecht stelde.
Om zijn scherpe gedichten die geen genade kennen bekend te kunnen maken onder het volk, aarzelde Wiji niet om het in de vorm van "straat-zingen" te overbrengen.
Door zijn opstandige houding ten opzichte van de overheid, is Wiji uiteindelijk het trieste lot getroffen van een VERMISTE PERSOON, ongeveer in dezelfde periode als van de verdwijning van een aantal PRD ( Partai Rakyat Demokrasi = Democratische Volks Partij }activisten die ontvoerd werden door Tim Mawar van de Kopasus ( Komando Pasukan Khusus = Speciale Troepen ).
Men zult nieuwsgierig zijn: wie waren de aanwezigen op die avond? Er waren oudere- , middelbare- en jongere mensen aanwezig. In iedere geval waren grotendeels Indonesiërs die van de Indonesische cultuur houden, die heimwee hebben in gerechtigheid en die van de gedichten van Wiji Thukul houden.
Er waren Molukkers, Minangkabauwers, Javanen, Sundanesen, Manadonesen, Batakkers, Bengkulunesen, een leider van Serikat Nelayan Bengkulu ( Vereniging
Vissers Bengkulu ), iemand van de Stichting Indonesia Media, een paar van de organisatie PERSAUDARAAN Amsterdam, Utrecht, Zeist, een paar van de Stichting SAPULIDI, een paar van de Stichting Azië Studies, van Onderzoek en Informatie uit
Rotterdam, en nog veel meer.
Vanzelfsprekend ook een aantal vrienden van het INDONESIA HOUSE en van de Stichting Wertheim, en de organisatoren van de MALAM WIJI THUKUL zelf.
Mocht ik iemand vergeten ben om te noemen, mijn excuses hiervoor.
Natuurlijk waren er ook een behoorlijk aantal van de Belanda Bule's (de Blanke Nederlanders). Er waren een paar van de beheerder van de Stichting Wertheim, er waren de dochters van Professor Wertheim, Auke van den Berg van de Rozenberg Publishers Amsterdam was ook aanwezig, de uitgever van de tweede editie 2003 van de Wiji Thukul gedichten bundel.
Ook was op die avond te zien de vertegenwoordiger van het KITLV te Jakarta, Jaap Erkelens, een Indonesië kenner en liefhebber, die al bijna dertig jaar lang heeft gewerkt in Indonesië.
Ook Joop Morrien heeft gehoor gegeven op de uitnodiging, de schrijver van het boek INDONESIË LOS VAN NEDERLAND, een teken van steun vanuit de CPN voor Indonesia Merdeka.
Onder het genieten van het overheerlijk Indonesisch menu, klaar gemaakt door de dichter Heri Latief, dat 'tot en met' werd genuttigd met z'n allen, konden de aanwezigen luisteren naar gedichten die voorgedragen werden door een aantal gasten.
Onder andere ook het voordragen van een Nederlandse vertaling van een gedicht van Wiji door Agnes. Het gedicht had kennelijk diepe indruk gemaakt bij de Nederlander, gezien hun commentaren, zo mooi en krachtig was het, ondanks dat het in het Nederlands
werd voorgelezen.
Het is daarom geen wonder, toen er mij een opmerking ter ore kwam:
WIE ZEGT HET NOU OOK WEER, DAT NEDERLANDERS ALLEEN MAAR KRITIEK HEBBEN OP INDONESIË?
Ja, hoe zou dat komen, dat zo'n opmerking geuit wordt? Dacht ik. Maar natuurlijk. Was het niet, dat onlangs de uitingen van minister Yusril Ihza Mahendra, de leider van de Partij Bulan Bintang, die rumoer heeft veroorzaakt, met de woorden: "I hate them!", "Ik haat ze", met "ze" werd bedoeld de Nederlanders.
Volgens Yusril, hebben de Nederlanders altijd maar kritiek op Indonesië. Altijd proberen op bijvoorbeeld het gebied van de 'mensen rechten' in Indonesië fouten te bespeuren, en zo voort.
Het was zo, een journalist van het NOS Journaal (Nederlandse Publiek Televisie), heeft vragen gesteld die vrij 'cynisch' van karakter waren en mogelijk ook 'provocerend' waren, in verband met het plan die voorgesteld werd door Yusril's ministerie, het plan om de nieuwe wetten in te voeren in de plaats van de 'KUHP' (= Kitab Undang-undang Hukum Pidana), het Burgerlijk Wetboek.
Nu, het plan houdt in dat de nieuwe wetten zouden "kumpul kebo" ( de Indonesische benaming voor "samenwonen") van man en vrouw -- hier wordt bedoeld met ongetrouwde stellen -- juridisch vervolgen, dit geldt ook voor de relaties van homo paren, die bedreigd zouden worden door straffen.
De bovengenoemde Nederlandse journalist stelde vragen over het plan, of het niet in strijd is tegen de rechten van de mensen en een bemoeienis is in de privacy, plus nog z'n plan om de syariah Islam (Islamitisch Burgerlijke Wet) in te voeren in de Indonesische grondwet. Hoe zit dat?
In feite, waren de kritieken gericht op de plannen van Yusril's ministerie om de KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana = Burgerlijk Wetboek) te veranderen, niet alleen afkomstig van Nederland, de meeste waren juist afkomstig van de eigen Indonesische gemeenschap, incluis de Moslims zelf.
Zodoende, Yusril was ten zeerste geïrriteerd door al die vele kritieken, en werd kwaad, en ging alles door een kam scheren, en suggereerde dat alle Nederlanden zijn "tegen Indonesië".
En toen uitte "onze" minister, op een manier dat volgens de etiketten in de diplomatie "non ethisch" was, met andere woorden "boers" of "achterlijk".
Nu, zoals bekend is, leden van de VVD (een Liberalistisch getint partij van Nederland, die erg fanatiek het individualist van de kapitalisme verdedigde, en bekend is als de partij van de rijken) gaven meteen hun reactie op deze kwestie. Luid en duidelijk waren het via de kranten, televisie en andere media. Ze hebben namelijk geëist dat de Nederlandse Ministerie van Buitenlandse Zaken de Indonesische ambassadeur in Den Haag oproepen,
voor een"verklaring".
Zo ontstond de zogenaamde "storm in een glas water", zoals het uitgedrukt in een
Nederlandse volks gezegde. Een rumoer, net of een "Thaliban die z'n baard in de fik was".
Een "rumoer"die uiteindelijk ook weer over was gewaaid, nadat minister SBY (Susilo Bambang Yudoyono) van het ministerie van Politieke Coördinatie en Veiligheid een verklaring heeft gegeven, van "het was maar een kwestie van misverstand".
Van het incident "storm in een glas water" in de relatie tussen Indonesië en Nederland, kunnen wij opmaken dat afgezien het feit dat onze minister snel is getrapt op z'n tenen, ook is hij onwetend wat betreft de geschiedenis van de relaties tussen Indonesië en Nederland, in het bijzonder de relaties tussen het Nederlands en Indonesische volk. Een
relatie die doorweven is met gebeurtenissen die heel veel zegen over de solidariteit tussen die twee volkeren.
Iedereen weet over MULTATULI en zijn roman MAX HAVELAAR, hij was resident van Lebak , in Banten in de Nederlandse koloniale tijd, die later in handen van het Indonesische volk was gevallen.
Iedereen kent de naam Piet van Staveren, die niet vreesde voor gevangenisstraf door zijn regering, vanwege zijn weigering om oorlog te voeren tegen het Indonesische volk in de tijd van het Indonesisch verzetsstrijd tegen de Nederlander.
En wie kent de naam Haji Poncke Princen niet, die de Indonesische nationaliteit heeft genomen, en de eigen regering heeft "verraden" die op dat moment bezig was oorlog te voeren tegen het Indonesische volk, hij was "overgelopen" naar de TNI (Tentara Nasional Indonesia = Het Nationale Leger van Indonesië). En die later, tot het einde van zijn leven heeft toegewijd aan de strijd voor het universele rechten van de mensen in Indonesië.
Op deze manier heeft de WIJI THUKUL AVOND ons herinnerd aan de vriendschap en solidariteit die is ontstond tussen de twee volkeren, Nederlands en Indonesisch, ongeacht welke regering op het moment aan de macht was.
Graag zou ik mijn schrijven hiermee beëindigen, in verband met mijn voorbereidingen voor de reis morgen naar Essen, Duitsland, om deel te kunnen nemen aan de Tweede Europese Bijeenkomst (31 oktober - 2 november 2003).

Kolom IBRAHIM ISA -- PERIHAL NAMA “CINA”

Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 20 Oktober 2006.
-----------------------
-- PERIHAL NAMA “CINA” Dan
-- “JAILNYA” Mulut Mantan PM S'Pore LEE


Belakangan ini di media internet, -- HKSIS agak reguler mentayangkannya--, muncul lagi tulisan-tulisan sekitar penggunaan nama 'cina' atau 'Tionghoa'. Di bumi Nusantara sendiri: Aku kurang jelas bagaimana persisnya media pers dan eletronik Indonesia apakah diskusi sekitar penggunaan nama ”Cina” atau “Tionghoa” masih berlangsung “hangat”.

Mungkin sudah mereda. Karena, ----, bukankah yang berwewenang, yang kuasa di Indonesia, kongkritnya sejak gerakan Reformasi berhasil menggulingkan Presiden Jendral Suharto, pemerintah “sedikit banyak”, telah mengkoreksi kewenang-wenangan Orba yang memulai kampanye besar-besaran “anti-Tiongkok” dan “anti etnis Tionghoa” di Indonesia. Sejumlah kebijaksanaan diskriminatif yang rasialis 'made ini' Orba telah dinyatakan batal. Lalu ada kebijaksanaan baru yang tampak dituangkan a.l. Dalam UU Kewarganegaraan yang dibuat baru-baru ini.

* * *

Namun, disana sini masih terungkap praktek-praktek penguasa setempat, atau birokrasinya, yang masih saja diskriminatif terhadap asal etnis Tionghoa. A.l. seperti yang diberitakan oleh s.k. Sinar Harapan (18 Okt 2006). Dalam tulisan tsb diungkap bahwa meskipun sejak pemerintahan Gus Dur, keharusan memiliki SBKRI bagi asal etnis Tionghoa sudah dihapuskan, tetapi dalam praktek masih terus saja berlangsung. Motifnya tak lain karena pejabat yang bersangkutan menggunakan jabatan yang dikuasainya itu untuk melakukan praktek 'pungli'. Populer disebut 'UUD' –ujung-ujungnya duit.

Jangan lupa dicatat bawa praktek 'pungli' itu sangat luas pasarannya. Berlaku dimana-mana. Mulai dari keperluan untuk 'surat ini atau surat itu' dari pejabat; atau bahkan dari pegawai 'tukang ketik' dari salah satu kantor gurem; bisa saja itu kantor notaris, atau dalam proses mendapatkan SIM lewat cara 'menembak'; atau praktek sementara 'oknum' polisi di tikungan sebuah jalan; sampai ke sementara komisi DPR atau bahkan di bagian imigrasi dari salah satu KBRI, seperti yang pernah terjadi di KBRI Tokyo. Yang begini ini korbannya bukan hanya yang etnis Tionghoa. Pokoknya, kalau sudah menyangkut 'amplop berisi', itu dipraktekkan tanpa pandang bulu. Siapa saja 'dilalap' oleh sang pejabat. Barangkali ini yang dikatakan bahwa korupsi sudah 'membudaya'.

Maka ada anggapan apakah masih relevan untuk masih memperdebatkan maslah penggunaan nama 'cina'atau 'Tionghoa'.

* * *

Namun ada kecenderungan untuk mempersoalkan masalah penggunaan nama 'cina' atau 'Tionghoa' itu terrengut dari latar belakang sejarah, mungkin baik juga masalah ini masih dibicarakan secara serius dan baik-baik .

* * *

Tulisan ini dimaksudkan agar dalam meninjau masalah penggunaan nama “Cina” sebagai pengganti nama “Tionghoa” dan “Tiongkok”, yang itu semua asal mulanya adalah ulahnya politik Orba, --- janganlah pendiskusian itu dilakukan sadar atau tidak, sengaja atau bukan, terpisah dari masalah politik. Karena soal tsb nyatanya adalah soal politik. Inti sarinya adalah masalah politik. Bukan soal istilah atau soal bahasa semata-mata. Apalagi samasekali bukan masalah 'trauma' dan lain sebagainya. Pun bukan masalah perasaan.

SOALNYA ADALAH POLITIK. POLITIK rezim Suharto, yang rasialis dan teramat diskrimiantif, ditujukan terhadap orang-orang Indonesia asal keturunan Tionghoa. Ataupun terhadap mereka-mereka yang masih berkewarganegaraan Tiongkok atau yang 'stateles'. Namun, keluarnya amat jelas. Sasaran utama dari politik ini adalah ANTI REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK. Persis sejalan dengan strategi global AS selama 'perang dingin', yang anti Komunis, anti negeri-negeri yang melakukan politik bebas dan aktif membela kemedekaan nasional dan mendukung gerakan perdamaian dunia, seperti yang dilakukan oleh RI pada zaman pemerintahan Presiden Sukarno. AS juga aktif sekali menggalakkan politik 'China containment'.

Rezim Orba dengan erat mengkaitkan politik anti-Tionghoa dan anti-Tingkoknya, dengan tuduhan/fitnahan bahwa Republik Rakyat Tiongkok 'terlibat' dengan G30S. Padahal, bisa dilacak, bisa dicek, bisa diperiksa di dalam dokumen-dokumen negara, bahwa pengiriman senjata oleh RRT ke pemerintah Presiden Sukarno, itu semata-mata sebagai sumbangan Tiongkok kepada Indonesia dalam rangka perjuangan Indonesia untuk membebaskan Irian Barat.

* * *

Penggantian nama Tiongkok dan Tionghoa menjadi “Cina” oleh Orba, a.l. merupakan pertanda, awal berkecamuknya kampanje diskriminasi dan rasis anti-Tionghoa dan anti-Tiongkok yang dimulai tahun 1965. Hal itu berlangsung berbarengan dengan kampanye pembunuhan masal terhadap rakyat Indonesia yang tidak beralah.

Masa itu, tidak sedikit warga Indonesia asal etnis Tionghoa yang jadi korban. Ya korban politik, ya harta, ya korban nama dan lebih-lebih lagi korban kehormatan. Masalah penggantian nama Tionghoa dan Tiongkok dengan nama “Cina” oleh Orba tidak berdiri sendiri. Ia merupakan suatu paket kebijaksanaan dan tindakan politik lainnya, seperti melarang penggunaan bahasa Tionghoa, keharusan menggantikan nama toko-toko berbahasa Tionghoa dengan nama Indonesia atau asing lainnya; menutup semua sekolah-sekolah Tionghoa; menutup penerbitan berbahasa Tionghoa; membatasi quotum mahasiswa asal etnis Tionghoa masuk universitas Indonesia, dan sampai-sampai kampanye agar asal etnis Tionghoa mengganti namanya dengan nama 'asli'.

Padahal (ini intermezo) -- andaikata nama 'Lim S.L.' digantikan dengan nama 'Tommy S', ya nama 'Tommy' itu kan bukan nama Indonesia 'asli', meskipun tinggalnya di Cendana. Dan siapa bilang nama 'Alatas' itu nama asli. Atau ambillah nama 'Benny M' itu kan nama asing juga.

Politik anti-etnis Tionghoa dan anti-Tiongkok tsb telah menyebabkan ribuan orang-orang Tionghoa yang telah tinggal di Indonesia turun-temurun terpaksa meninggalkan negeri yang dicintainya, Indonesia, untuk berlindung ke negeri leluhur, Republik Rakyat Tiongkok. Hubungan diplomatik Indonesia-RRT menjadi beku. Inilah hasil politik anti-Tiongkok dan anti etnis-Tionghua yang dicetuskan oleh rezim Jendral Suharto. Merusak persahabatan dua negeri dan dua bangsa, Indonesia dan Tiongkok!
Jadi soalnya masalahnya bukanlah semata-mata masalah mengganti nama Tionghoa dengan nama 'Cina'. Ketika, setelah jatuhnya Suharto, pemerintah Indonesia dengan formal mengkoreksi politik salah Orba itu; nama Tionghoa dan Tiongkok dikembalikan seperti semula, maka itu juga adalah suatu tindakan politik 'pure and simple'. Bukan masalah bahasa, istilah ataupun masalah trauma! Inilah yang harus dicengkam dalam mempersoalkan masalah ganti nama tsb. diatas.

* * *

MULUT JAIL MANTAN PM SINGAPORE, LEE KUAN YEW.
Soal yang ada kaitannya dengan 'masalah etnis Tionghoa' adalah masalah yang dinyatakan oleh mantan PM Singapore Lee Kuan Yu belum lama berselang. Kiranya juga ada latar belakang politiknya. Meskipun belum terlalu jelas apa. Sehingga, orang menduga-duga saja. Soalnya begini:

Entah apa pasal atau penyulutnya, tiba-tiba saja, betul seperti sambaran gelédék pada siang hari, Lee Kuan Yew membikin ocehan yang pasti memancing reaksi heran bercampur marah, di Kuala Lumpur dan Jakarta.

Kata Lee, (diterjemahkan-bebas dari 'The Jakarta Post', 04 Oct 06> 'adalah maha penting bagi negara-kota (Singapore) yang mayoritas besar penduduknya adalah etnik-Tionghoa, untuk berdiri tegak < mungkin maksudnya 'pasang kuda-kuda', I.I.) menghadapi tetangganya yang mayoritasnya adalah Muslim, Malaysia dan Indonesia. 'Tetangga-tetangga kita, kedu-dua negeri tsb punya soal dengan orang-orang Tionghoa mereka. Mereka (orang-orang Tionghoa itu) sukses sekali. Mereka rajin bekerja dan, oleh karena itu, secara sistimatis dimarginalisasikan'. Demikian Lee Kuan Yew.

Kementerian Luarnegeri Indonesia telah memanggil Dubes Singapore untuk Indonesia, Ashok Kumar Mirpuri, untuk dimintai keterangan dan penjelasan mengenai pernyataan Lee Kuan Yew yang kontroversial itu. Katanya, pemerintah Singapore telah memberikan jawaban bahwa mereka (Singapore) tak ada maksud untuk campur tangan dalam urusan intern Indonesia. Bahwa Singapore berkehendak memperkokoh hubungan yang sekarang ini.

Membaca pernyataan Lee Kuan Yew, yang notabene 'sudah pensiunan itu', dan dianggap oleh Singapore sebagai 'the elderly statesman' jangan disesalkan, bila muncul kesimpulan bahwa mantan PM Singapore itu, kiranya , menyimpan maksud tersembunyi, --- maka ia bicara seperti itu. Bisa juga ada kesimpulan lain, yaitu mantan PM Singapore itu 'sudah pikun'. Dia tidak tahu lagi apa yang diomongkannya. Dia sungguh tidak tahu betapa pekanya masalah hubungan etnis Tionghoa dengan etnis Melayu terutama di Malaysia.

Lee samasekali tidak tahu situasi baru yang berkembang di Indonesia sejak gerakan Reformasi dan Demokratisasi. Pelbagai fihak yang bersangkutan peras otak dan ambil inisiatif untuk 'cancut tali wondo' dalam usaha memperbaiki hubungan-kebangsaan, antara warga Indonesia asal etnis-Tionghoa dengan suku-suku bangsa lainnya. Misalnya, dalam UUD Indonesia yang sudah diamandir, sudah tak dicantumkan lagi kata-kata bahwa yang bisa jadi presiden RI adalah orang Indonesia asli. Pemerintah-pemrintah Indonesia pasca Suharto, juga telah mengambil langkah-langkah untuk mengkoreksi serentetan uu, peraturan dan kebijaksanaan diskriminatif terhadap asal etnis-Tionghoa, yang dibuat Orba. Hal-hal tsb kondusif kearah kehidupan harmonis bangsa Indonesia, yang terdiri dari begitu banyak suku bangsa dan etnis asal asing, seperti Tionghoa, Indo-Belanda, Arab dan India.

* * *

Mereka (orang-orang Tionghoa itu) sukses sekali. Mereka rajin bekerja dan, oleh karena itu, secara sistimatis dimarginalisasikan'. Demikian Lee Kuan Yew.

Minggu lalu Kementerian Luarnegeri Indonesia telah memanggil Dubes Singapore untuk Indonesia, Ashok Kumar Mirpuri, untuk dimintai keterangan dan penjelasan mengenai pernyataan Lee Kuan Yew yang kontroversial itu. Katanya pemerintah Singapore telah memberikan jawaban bahwa mereka (Singapore) tak ada maksud untuk campur tangan dalam urusan intern Indonesia. Bahwa Singapore brekhendak memperkokoh hubungan yang sekarang ini.

Membaca pernyataan Lee Kuan Yew, yang notabene 'sudah pensiunan itu', jangan disesalkan, bila muncul kesimpulan bahwa mantan PM Singapore itu, kiranya , menyimpan maksud-jahat yang tersembunyi, --- maka ia bicara seperti itu. Bisa juga ada kesimpulan lain, yaitu mantan PM Singapore itu 'sudah pikun'. Dia tidak tahu lagi apa yang diomongkannya. Dia sungguh tidak tahu betapa pekanya masalah hubungan etnis Tionghoa dengan etnis Melayu terutama di Malaysia. Apalagi mengenai situasi baru yang berkembang di Indonesia sejak gerakan Reformasi dan Demokratisasi. Pelbagai fihak yang bersangkutan peras otak dan ambil inisiatif untuk 'cancut tali wondo' dalam usaha memperbaiki hubungan-kebangsaan, antara warga Indonesia asal etnis-Tionghoa dengan suku-suku bangsa lainnya. Misalnya, dalam UUD Indonesia yang sudah diamndir, sudah tak dicantumkan lagi kata-kata bahwa yang bisa jadi presiden RI adalah orang Indonesia asli. Pemerintah-pemrintah Indonesia pasca Suharto, juga telah mengambil langkah-langkah untuk mengkoreksi serentetan uu, peraturan dan kebijaksanaan diskriminatif terhadap asal etnis-Tionghoa, yang dibuat Orba. Hal-hal tsb kondusif kearah kehidupan harmonis bangsa Indonesia, yang terdiri dari begitu banyak suku bangsa dan etnis asal asing, seperti Tionghoa, Indo-Belanda, Arab dan India.

* * *

Monday, April 2, 2007

Kolom IBRAHIM ISA - VONIS-MATI Thdp SADAM HUSSEIN

Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 13 November 2006

VONIS-MATI Thdp SADAM HUSSEIN Dan
Munafiknya Elite-Politik Dalam dan Luarnegeri
Vonis mati yang dijatuhkan oleh pengadilan Irak di bawah pendudukan AS/Inggris, terhadap Sadam Hussein, atas tuduhan melakukan kejahatan pembunuhan masal, menambah semarak pemberitaan media mancanegara mengenai masalah Irak.

Ada yang pro dan ada yang kontra terhadap vonis itu. Sebagian besar pendapat umum di Uni Eropah , pemerintah negara-negara anggota Uni Eropah sudah menghapuskan hukuman mati. Karena dianggap tidak manusiawi dan karena alasan-alasan lain. Juga media mancanegara , LSM internasional Amnesty International, tidak ketinggalan Paus di Vatikan, meski sependapat bahwa benar Sadam Hussein bertanggungjawab atas kejahatan kemanusiaan terhadap rakyatnya sendiri, namun menentang vonis hukuman mati. Hanya PM Belanda, Jan Peter Balkenende yang keseléo lidahnya, pernah menyatakan di muka pers, bahwa keputusan pengadilan Irak itu adil. Tetapi kemudian 'memodifikasi' pendapatnya itu, setelah parpol-parpol penting di Parlemen Belanda dan persnya mengeritik ucapan Balkenende yang dianggap 'bizare' (ganjil sekali) keluar dari seorang PM anggota Uni Eropah.

Di negeri kita, kalau tidak salah yang nyaring kedengaran mendukung keputusan pengadilan Irak menjatuhkan vonis mati terhadap Sadam Hussein, adalah Basyir, yang pernah dipenjarakan Indonesia, karena keterlibatannya dalam kegiatan terorisme di Indonesia.

* * *

MENENTANG HUKUMAN-MATI SEBAGAI PRINSIP
Opini umum di dunia ini terpecah dua pendapatnya terhadap hukuman mati. Lembaga-lembaga HAM internasional menentang hukuman mati sebagai suatu prinsip. Juga semua anggota Uni Eropah menentang hukuman mati atas dasar prinsip. Hukuman mati dianggap tidak menusiawi, bahkan biadab. Karena, betapapun, hukuman mati adalah suatu tindakan mencabut nyawa manusia, di luar kemauannya. Itu adalah suatu pembunuhan atas manusia. Tidak peduli apakah pembunuhan itu dilakukan oleh negara. Dinyatakan bahwa suatu vonis mati, bila kemudian ternyata vonis itu keliru, disebabkan oleh, misalnya kurangnya bukti, atau bukti-bukti yang diajukan ternyata palsu, atau karena dewan juri atau hakimnya, ternyata rasis atau didorong oleh motif poitik, maka kekeliruan itu tidak bisa lagi dikoreksi. Karena, yang divonis sudah dieksekusi, sudah mati. Juga dari segi prinsip berpendapat bahwa suatu hukuman seyogianya bersifat korektif, bukan sebagai tindakan balas-dendam. Artinya harus memberi kesempatan dan memberikan syarat kepada yang bersalah untuk mengkoreksi kesalahannya dalam proses menjalani hukuman. Kalau sudah dieksusi maka tidak ada lagi kesempatan atau kemungkinan untuk mengkoreksi kesalahannya.

Kaum politisi-elit umumnya, teristimewa dari jurusan Kanan, Konservatif, Fundamentalis, Ortodox, Ekstrim, atau apapun namanya, dalam sikapnya sering m u n a f i k . Menghadapi pelbagai soal kongkrit dan masalah hidup sehari-hari, apalagi kehidupan politik, sering-sering menggunakan dua macam ukuran atau standar yang saling bertentangan. Ini sejalan dengan sikapnya yang sering 'hipokrit'. Lebih sederhana untuk mengatakannya sebagai suatu sikap
p a l s u . Palsu, bila hal itu ditinjau secara prinsipil. Tetapi, bila diketahui latar belakang situasi kongkrit ketika sikap itu diambil, maka jelas bahwa sikap itu lebih banyak bertolak dari suatu prinsip yang lain. Suatu prinsip yang lebih tinggi bagi mereka. Yaitu prinsip 'kepentingan diri sendiri'.

Bicara tentang Sadam Hussein, pasti erat saling kaitannya dengan hal-hal yang bersangkutan dengan 'masalah Irak'. Baik diingat-ingat lagi, apa yang menjadi sebab-musabab perang Irak yang berlarut-larut semakin gawat seperti sekarang ini. Para pengamat mancanegara, termasuk pengamat Amerika sendiri, banyak yang menyatakan bahwa situasi Irak sekarang ini adalah 'on the brink of a full scale civil-war', berada di jurang perang saudara yang menyeluruh. Seratus ribu lebih rakyat Irak yang tak bersalah telah jadi korban. Dari fihak tentara penyerbu, tentara AS dan sekutunya, yang tewas melebihi 3.000 anggota tentara. Banyak yang jadi héran. Mengapa Irak sampai begini jadinya? Banyak juga yang mengomentari bahwa di periode Sadam Hussein, Irak lebih stabil dan lebih aman.

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dan komentar-komentar belum lagi terjawab dengan tuntas, tiba-tiba ramai pers mancanegara memberitakan bahwa pengadilan Irak telah memvonis mati Sadam Hussein, mantan Presiden Irak. Cepat sekali Washington berteriak : hura, hura! Bush sendiri tampil di layar TV. Dengan puas memaklumkan kegembiraannya dengan dijatuhkannya vonis-mati terhadap Sadam Hussein.

Mungkinkah Bush lupa bahwa Sadam Hussein yang diseret ke pengadilan di Bagdad dan divonis mati itu, adalah Sadam Hussein yang sama dengan Sadam Hussein yang disokong Amerika, ketika Sadam Hussein melancarkan perangnya terhadap Iran ( perang Iran-Irak berlangsung sampai 8 tahun lamanya) di bawah pemerintahan Khomeini. Bush juga pasti ingat, bahwa sehubungan dengan Osama bin Laden yang dikutuk, dikejar-kejar oleh Amerika sekarang ini, adalah Osama bin Laden yang sama itu juga yang didukung, dilatih, dibiayai dan dipersenjatai oleh CIA Amerika, ketika kekuatan Bin Laden bersama kaum Mujahidin Afghanistan, terlibat dalam peperangan gerilya melawan pendudukan tentara Sovyet di Afghanistan.

* * *
Penulis tidak begitu faham mengenai masalah hukum internasional. Tetapi kiranya pembaca sefaham dengan Penulis, bahwa, invasi militer Amerika Serikat tiga tahun yang lalu terhadap negara Irak yang merdeka dan berdaulat juga anggota PBB, adalah suatu tindak agresi. Menurut Presiden Bush, AS punya hak dan 'kewajiban' menyerbu Irak, karena negara itu merupakan bahaya terhadap keamanan dan perdamaian di Timur Tengah dan dunia. Oleh karena itu juga Irak merupakan bahaya terhadap AS. Ini disebabkan karena, katanya, Irak memiliki apa yang dikatakan 'weapons of mass destruction' , 'senjata pemusnah masal'. Katakanlah itu senjata kimia atau bakteri. Irak bahkan dibilang melindungi Osama bin Laden, dedengkotnya 'teroris' dunia yang dikatakan bertanggungjawab atas pembunuhan lebih dari 3000 orang Amerika dalam serangan terhadap Twin Towers di Manhattan, New York.

Setelah begitu banyak korban yang jatuh di kalangan rakyat Irak plus korban di kalangan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, apa jadinya Irak yang diduduki militer asing sekarang ini. Nyalakanlah radio bukalah layar TV, setiap hari ada berita pemboman di Bagdad dan kota-kota Irak lainnya. Setiap hari ada orang Irak yang terbunuh. Sebagian terbesar korban adalah rakyat, orang biasa, orangtua, perempuan dan anak-anak. Sesudah tiga tahun pendudukan militer asing keamanan dan ketenteraman rakyat Irak semakin parah adanya.


Tokh media pendukung Bush dan Tony Blair, menggembar-gemborkan bahwa hanya sesudah Irak 'dibebaskan' dari rezim Sadam Hussein, oleh AS, Inggris dan sekutu-sekutunya, maka rakyat Irak kembali punya hak untuk 'memilih' wakil-wakilnya di Parlemen dan pemerintahan sendiri. Dengan demikian adalah demi AS dan Inggris maka demokrasi bisa berlangsung di Irak.

Walhasil, pemilu berlangsung dan berdirilah pemerintahan Irak sebagai hasil proses 'demokrasi'. Setelah 'pembebasan' Irak, ternyata alasan utama dilakukannya serbuan militer asing, ialah asumsi dimilikinya senjata pemusnah masal oleh Saddam Hussein, --- samasekali tak ada. 'Senjata pemusnah masal' yang menjadi legalitas invasi militer, tidak bisa ditemukan. 'There is no smoking guns' kata para akhli mancanegara sesudah Irak sepenuhnya diduduki AS. Logisnya, otomatis alasan utama agresi AS/Inggris terhadap Irak, menjadi batal. Itu bila orang berfikir wajar dan jujur. Tapi tidak demikian AS dan sekutu-sekutunya. . . . . .

Wah, kata mereka, informasi yang kami dapati dari intel kami, ternyata keliru, salah. Meskipun demikian tindakan kami itu, betapapun ada baiknya. Karena, kata mereka, bukankah rezim diktator-militer Hussein yang kejam, penindas rakyat telah kami tumbangkan? Betul-betul suatu sikap politik yang tidak kepalang tanggung absurd. Pasti, orang bertanya-tanya, mengapa suatu rezim feodal yang otoriter dan anti demokratis, yang sampai sekarang masih membedakan hak-hak laki-laki dan perempuan, seperti rezim Saudi Arabia, atau rezim Sudan yang dibilang fundamentalis, . . . . . tidak ditumbangkan, dibebaskan, ditegakkan demokrasi di situ?

Mengapa pula rezim diktatur-militer Mianmar (Birma), yang puluhan tahun mempersekusi oposisi, memenjarakan kemudian mengenakan tahanan rumah terhadap, Srikandi Mianmar Aungsan Sukyi, pejuang demokrasi dan pernnah memenangkan pemilu di Birma, ------ mengapa rezim itu tidak ditumbangkan dengan kekerasan militer oleh AS dan sekutu-sekutunya? Mengapa AS dan Ingggris tidak ke Birma untuk menyebar demokrasi di negeri itu? Jangan lagi bicara rezim Orba yang anti-demokratis dan melanggar HAM. Bukankah masih segar dalam ingatan, bahwa Orba bisa berdiri dan berlnangsung sampai 30 tahun lebih, adalah berkat dukungan politik, ekonomi dan militer dari AS, Inggris dan negeri-negeri pro-demokrasi lainnya di Eropah?

Dengan sendirinya uaran AS dan Inggris bahwa mereka hendak membebaskan Irak dari rezim anti-demokratis, punya misi menegakkan demkorasi di Irak, adalah p a l s u . Semua itu tak lain tak bukan adalah kemunafikan elite politik yang setelanjang-telanjangnya!

* * *

KEMUNAFIKAN ELITE POLITIK ORBA DAN PENERUS-PENERUSNYA:
Pada periode rezim otoriter Orba di bawah Jendral Suharto, pemerintah Indonesia mendapat tekanan berat dan terus-menerus dari dunia internasional. Tekanan itu datang dari gerakan HAM mancanegara, seperti Amnesty International dan pelbagai Human Rights Watch dan tokoh-tokoh demokrasi dan HAM mancanegara, termasuk yang di Amerika, Inggris dan banyak negeri Barat. Semuanya mendesak Orba agar menghentikan pelanggaran berat HAM yang dimulai pada 'Peristiwa pembantaian 1965' . Agar Orba cepat membebaskan para tahanan politik yang dipenjarakan tanpa proses peradilan apapun.

Tekanan yang paling berat adalah yang datang dari pemerintah Amerika Serikat yang ketika itu dikepalai oleh Presiden Jimmy Carter (Partai Demokrat). Kita ingat: Carter menjadi Presiden AS dengan janji muluk akan menggalakkan pemberlakuan demokrasi dan Hak-Hak Azasi Manusia di dunia internasional. Memang benar, tidak semua orang atau politisi Amerika menganut politik imperialis. Tidak semua pendukung Partai Republik yang menganggap Amerika sebagai suatu 'super power' yang 'uber alles'. Tidak semua orang Amerika beranggapan bahwa AS punya misi sebagai penyebar demokrasi. Sekaligus jadi 'polisi dunia'. Tidak sedikit orang Amerika, termasuk para cendekiawannya yang yang menentang politik pemeritnah yang hendak 'merajai dunia'. Cukupan jumlahnya yang punya kepedulian serta sungguh-sungguh menghendaki diberlakukannya demokrasi dan HAM di Irak maupun di dunia. Dengan syarat bahwa pemberlakukan itu adalah atas hasil perjuangan bangsa-bangsa dan negeri-negeri yang bersangkutan.Kita mengenal nama-nama Indonesianis Amerika yang pro-Indonesia, seperti Ben Anderson, Daniel Lev dan banyak lainnya. Yang amat berkepedulian dengan nasib dan haridepan bangsa Indonesia.

Jimmy Carter terus mendesak Suharto untuk membebaskan tapol-tapol yang masih meringkuk di Pulau Buru dan pelbagai penjara Indonesia. AS menekan bahwa itu adalah syarat diteruskannya bantuan AS kepada pemerintah Indonesia. Orba sulit mencari alasan lain, untuk terus memenjarakan dan membuang puluhan ribu warga negara Indonesia yang tak bersalah ke Pulau Buru. Akhirnya rezim Suharto dengan terpaksa membebaskan para tapol yang tersebar di pelbagai penjara di seluruh Nusantara dan di Pulau Buru. Orba seolah-olah memperhatikan HAM, sesuai tuntutan Jimmy Carter. Karena Orba menyadari bahwa hidup matinya Orba tergantung pada pemerintah AS.

Bagaimana keadaan yang sesungguhnya dengan para korban 'Peristiwa 1965' itu? Betul, mereka bebas dari penjara dan bebas pula dari pembuangan Pulang Buru. Tetapi hakikatnya mereka 'dipenjarakan di luar penjara'. Karena, para korban politik Orba itu, sebelum 'dibebaskan' harus menandatangani pelbagai syarat, antara lain tidak boleh nanti belakang hari melakukan penggugatan atau menuntut ganti rugi, retribusi. Selain itu, para eks-tapol itu dikenakan wajib-lapor kepada aparat keamanan setempat. Di masyarakat para eks-tapol itu diawasi oleh aprat keamanan dan masyrakat sekitarnya. Menteri Dalam Negeri menurunkan peraturan yang dinamakan 'bersih lingkungan'. Para ekst-tapol tidak diperkenankan menjadi guru, pegawai negeri, aparat kemanan, dalang, dll. Juga tidak punya hak pilih dan hak dipilih. Mereka menjadi warganegara kelas kambing, menjadi klas 'pariah' di dalam masyrakat yang selalu mengawasinya. Mereka menjadi orang tahanan di luar penjara. Dan sampai sekarang masih begitu.

Kebijaksanaan rezim Orba itu, adalah suatu politik yang MUNAFIK, HIPOKRIT. Di bibir menyetujui 'dibebaskannya' para eks-tapol yang samasekali tidak bersalah itu. Tetapi dalam kenyataan menjadikan para eks-tapol itu 'tahanan di dalam masyarakat' . Ini berlangsung terus, sampai jatuhnya Presiden Suharto. Namun, peraturan dan ketentuan yang masih mediskriminasikan para eks-tapol itu masih saja diteruskan. Antara lain peraturan yang terkenal dengan politik 'bersih lingkungan' Menteri Luar Negeri Amir Mahmud di zaman Orba.


* * *

Mengenai masalah vonis-mati terhadap mantan Presiden Irak Sadam Hussein, bagaimana sikap pemerintah Indonesia? Apakah ada pernyataan setuju atau kontra yang jelas? Sayangnya sepanjang pengetahuan kita, tidak jelas, bagaimana sikap pemerintah SBY sekarang ini terhadap dijatuhinya hukuman mati terhadap Saddam Hussein.

Sikap demikian itu, dalam peristilahan sehari-hari dinamakan b a n c i . Bisa juga disebut hipokrit.


** * **